Cermin (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Horor (Hantu)
Lolos moderasi pada: 16 July 2014

Kasih, kau adalah pantulanku,
yang kulihat hanyalah dirimu
Pantulanku, dan segala yang kulakukan
Seolah kau adalah cerminku
Cermin yang membalas tatapanku
Bisa kulihat kau membalas tatapanku
Teruslah menatapku
Kasih, teruslah menatapku

Pagi itu hari serasa diam tak bersuara, Kanjeng Janet dengan tubuhnya yang tak lagi muda berjalan menyusuri bilik dapur yang gelap. Wanita tua ini sudah 1 tahun ditinggal mati oleh suaminya yang seorang Menir Belanda, suaminya meninggalkan harta yang sangat banyak kepada Kanjeng Janet yang seorang bangsawan Jawa yang terlihat masih langsing dan segar karena rutin minum jamu dan ramuan rempah awet muda. Ketiga anaknya yang bekerja ke luar negeri hanya bisa menghubunginya lewat telpon. Di usianya yang tak muda lagi Kanjeng Janet sebenarnya ingin ditemani oleh ketiga anaknya, tetapi ia mengerti kalau anak-anaknya harus melanjutkan kehidupannya masing-masing.

“Yuharsono kemari! tolong bawakan belanjaan Kanjeng.” Teriak Kanjeng Janet kepada anak dari pembantunya yang setahun lalu lulus SMA. Wajahnya tampan dengan garis wajah yang tegas, kulit sawo matangnya sangat khas Indonesia membuat penampilannya menarik di antara pria jawa kebanyakan.
“Mana Bapakmu?” Tanyanya kepada Yuharsono yang menenteng belanjaan sambil membuka pintu rumah yang bak istana di tengah kota.
“Lagi beri makan ikan Kanjeng.” Kata Yono sambil meletakan belanjaan di samping sofa ruang keluarga. Rumah yang dulu ramai kini menjadi gelap dan serasa mati setiap suasana yang masuk ke dalam rumah itu.
“Kamu jangan lupa panggil bapak kamu, ada yang aku mau bilangin.” Cegat Kanjeng Janet kepada Yono yang sedang berjalan keluar dari rumah lewat pintu belakang.
“Iya kanjeng.” Jawab Yono dan kembali berbalik kebelakang dengan membungkukkan punggungnya.
Saat berjalan keluar Yono langsung menuju ke kolam ikan di halaman rumah besar itu. Terlalu mewah kalau itu dikatakan kolam ikan, karena keindahan dari perpaduan batuan sungai dan keramik yang bercorak, di sisi belakang tumbuh tanaman menjalar dan tanaman hias serta pancuran bambu yang membuat suasananya sangat asri dan tenang. Terlihat pria setengah baya yang sedang berdiri di pinggir kolam yangs sedang melembarkan pelet ke arah kolam.
“Bapak!” sapah Yono kepada bapaknya dengan logat jawa yang kental.
“Iya nak ada apa.” Tanya Pak Jarwan kepada anak semata wayangnya.
“Bapak dipanggil sama Kanjeng Janet.” Kata Yono dengan wajah polos dan tidak tahu apa apa. Setelah melihat wajah polos Yono, Pak Jarwan tidak bertanya lagi, segera dia bergegas ke dalam rumah untuk menemui Kanjeng Janet.

Ditemuinya majikannya yang sedang berdiri di depan cermin antik peninggalan keraton dahulu. Tidak ada yang aneh dengan cermin yang berukuran sebadan itu bagi Pak Jarwan, tetapi sejak kematian Menir Paulo, Kanjeng Janet sering berdiri di depan cermin itu.
“Ada apa Kanjeng Janet manggil saya?” kata Pak Jarwan sambil menatap ke bawah tak berani menatap ke arah majikannya.
“Barang-barang bekas di gudang kamu bersihkan dan jangan lupa air di kolam renang kamu ganti, karena cucu saya mau datang dari Belanda.”
“Baik Kanjeng, kalau begitu saya permisi dulu kanjeng.” Pak Jarwan tidak bertanya lagi karena sejak Ia bekerja selama 20 tahun kepada keluarga Menir, Pak Jarwan jarang menanyakan hal-hal yang terlalu penting kepada majikannya, pertanyaan kenapa cucunya datang kesini dianggap tidak penting baginya.
“Yah, panggilkan juga Simbo, ada yang mau saya bilangin.” Pesan Kanjeng Janet kepada Pak Jarwan untuk memanggil istrinya Mbo Linda.
Mbo Linda datang dengan tegesa-gesa dan menunduk di depan Kanjeng Janet. “Ada yang bisa saya bantu Kanjeng?”
“Mbo Linda bersihkan semua kamar di lantai dua ! Ganti semua seprainya, sekalian toiletnya kamu bersihkan, tuh tehelnya berjamuran gara-gara lama gak dipake!”
“Iya Kanjeng, kalau begitu saya turun dulu siapkan makan malamnya.” Ucap Mbo Linda pamit kepada majikannya. Mbo Linda turun dari lantai dua dan menuju kearah dapur dan meninggalkan Kanjeng Janet sendiri bersama cermin besarnya. Di dalam rumah tersebut terdapat dua cermin besar, yang satunya lagi berada di dalam kamar Kanjeng Janet.

“Hey sayang, apakah kamu rindu padaku?” tiba-tiba bayangan dari pantulan oleh cermin itu berubah menjadi pria tua yang menggunakan Piyama.
“Paulo? Apa itu kamu?” Kanjeng Janet tidak dapat membendung lagi air matanya, dia sontak menangis sambil memeluk lututnya karena kakinya tak mampu menopang rasa sedih saat mengingat suami yang sangat dia sayangi.
“Janet, mengapa kau menangis?” bayangan itu duduk dengan pandangan ke arah wanita yang sedang menangis terisak isak, serasa aneh ketika wanita yang sudah tua itu menangis tetapi air mata yang mengalir di kulit pipinya yang mulai kendur itu menandakan bahwa hatinya sangat rindu.
“Aku sangat kesepian Paulo, aku sangat rindu kepadamu. Kenapa engkau meninggalkanku?” Racau Kanjeng Janet kepada cermin di depannya yang kini hanya memantulkan bayanganya. Dia hanya mampu berlutut menangis di depan cermin dan menyembahnya. Suasana menjadi lengang dengan terpaan angin di dalam ruangan lantai dua. Setiap pagi dan mau tidur dia selalu membersihkan cermin kesayangannya dan tak membiarkan siapapun menyentuhnya. Tetapi untung saja penghuni lain selain Kanjeng Janet tidak ada yang berani menyentuhnya.

“Yuharsono hari ini Nelly mau pulang, kamu jemput dia ke bandara yah, 3 jam lagi pesawatnya akan landing.” Perintah Kanjeng Janet kepada Yono.

“Iya Kanjeng.” Jawab Yono. Tanpa basa basi dia langsung membawa mobil BMW yang sering dia pakai untuk mengantar majikannya ke arah bandara. Sesampainya di bandara Yono menunggu selama 2 jam, dengan bekal foto yang dititip oleh Kanjeng Janet.

“Non Nelly yah?.” Tegur Yono kepada wanita yang berambut coklat yang sedang duduk memainkan gadget.
“Yes, I’m Nelly, siapa yah?” tanya Nelly kepada pria bertubuh tegap yang memegang foto. Paras gadis belasteran Belanda dan Jawa itu membuat wajah putihnya sangat cantik dan bening ditambah dengan rambut panjangnya yang coklat kemerahan membuatnya semakin enak untuk dipandang. Wajar saja di usianya yang telah masuk 17 tahun, dia kini terlihat ranum dan segar.
“Saya disuruh sama Kanjeng Janet untuk jemput Non Nelly.” Kata Yono sambil senyam senyum gembira karena telah menemukan cucu majikannya di tengah-tengah keramaian bandara. Apalagi yang ditemuinya adalah bidadari tak bersayap yang membuat jantungnya berdebar-debar kencang.
“Oh kamu disuruh sama Omah buat jemput Aku, kalau begitu makasih yah sudah repot-repot.” Ucap Nelly sambil menyerahkan koper yang cukup besar kepada Yono dengan simpul senyumnya yang sangat manis.
“Dengan senang hati Non.” Kata Yono kepada Nelly.

“Nelly! Wait me. Huhuhuhuhu, Hey girl! you want to leave me alone in here? HA, its a good idea.” Teriak gadis yang memakai tas ransel dan berlari ke arah Nelly.
Wanita bernama Deamona itu berasal dari Belanda. Wajah sangat internasional karena orangtuanya asli orang eropa. Dengan rambut pirang kemerahan dan menggunkan kacamata dia datang bersama Nelly ke Indonesa untuk menemaninya menyelesaikan tugas penelitian budaya Jawa sekalian untuk berlibur di tanah nenek moyang Nelly. Sebenarnya Mona mengerti berbahasa Indonesia karena dia tinggal di wilayah Belanda yang mayoritas berasal dari Indonesia walaupun masih belum terlalu lancar. Ia telah bersahabat dengan Nelly sejak kecil. Maka dari itu mereka melakukan penelitian bersama-sama dalam meneliti Kebudayaan Jawa, terlebih lagi Nelly mempunyai darah Jawa.
Sudah 10 tahun dia meninggalkan Indonesia dan ini menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan bagi Nelly apalagi bagi Mona yang baru pertama kali ke Indonesia.

ADVERTISEMENT

“Omah ! Nelly rindu banget sama Omah, Omah sehat-sehatkan, Nelly minta maaf karena tidak bisa melihat saat terakhir Opah, Nelly sangat menyesal Omah.” Teriak histeris Nelly sambil berlari ke arah neneknya dan menghentakan tubuh neneknya.
“Omah juga sangat rindu sama cucu kesayangan Omah, kamu sudah besar sayang, dan telah menjadi gadis yang sangat cantik. Oh iya panggil temanmu masuk ke rumah Nak!” Pintah Kanjeng Janet dengan lemah lembut adat Jawanya.
“Salam kenal grandma, perkenalkan nama saya Deamona” Ucap Mona dengan lidah yang terbelit-belit.
“Wah, bahasa Indonesia kamu bagus yah nak.” Puji Kanjeng Janet kepada Mona.
“Ah, I have difficult to speak bahasa grandma. Tapi saya selalu berusaha.” Tegur Mona dengan tiba- tiba sambil menepuk tangan.
Seketika suasana menjadi hangat dan dipenuhi gelak tawa dari penghuni rumah gedong peninggalan Menir itu, serasa ada yang beda di dalam ekspresi Kanjeng Janet Pada waku itu. Ia terlihat lebih bersemangat

Suasana makan malam menjadi meriah dengan kehadiran dua gadis yang sangat cerewet, terlebih lagi Mona yang sangat penuh pertanyaan terhadap Kanjeng Janet sebagai Bangsawan Jawa. Padahal bahasanya gak bisa dimengerti karena sudah campu-campur seperti gado-gado.
PlaaT, BletaAk!!
“What its that? it make me shock.” Teriak Mona sambil mengelus dadanya di meja makan.
“Omah, itu bunyi apa. Seperti ada yang jatuh.” Tanya Nelly kepada Kanjeng Janet yang terlihat biasa-biasa saja dan masih menyantap makan malam di depannya.
“Itu sering terjadi nak. Jarwan!” Panggil Kanjeng Janet kepada pembantunya.
“Iya Kanjeng.” Kata Pak Jarwan sambil tertunduk.
“Kamu ke atas periksa ada apa di sana.” Perintah Kanjeng Janet kepada Pak Jarwan.
“Baiklah Kanjeng.” Ucap Pak Jarwan sambil bergegas ke lantai 2 untuk memastikan.

Di lantai dua udara terasa sangat dingin dan membuat bulu kuduk Pak Jarwan berdiri. Aneh bila ada benda jatuh disini, semua guci dan pernak-pernak pernik mewah yang dimiliki oleh keluarga Menir tersusun rapih di tempatnya. Kalaupun ada hewan yang menjauhkannya itu sangat mustahil karena Kanjeng Janet alergi dengan bulu-bulu hewan dan sebagainya sehingga dari dulu keluarga Menir tidak pernah memelihara hewan.
“Aneh kok gak ada apa-apa?” gumam Pak Jarwan dalam hati.

Tiba-tiba terdengar suara khas musik gamelan dari arah kamar Kanjeng Janet. Karena penasaran Pak Jarwan mendekat dan berusaha memperjelas pendengarannya. Terdengar sayup-sayup suara gaduh seperti pesta. Lebih memastikan Pak Jarwan mengintip melalui lubang kunci. Dan sontak Pak Jarwan terkejut melihat cermin di samping jendela kamar Kanjeng Janet.
“Astagfirullah, apa saya gak salah lihat?” Gumam Pak Jarwan dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan kaki berat dan gemetar Pak Jarwan berjalan meninggalkan pintu kamar. Sontak ada bayangan hitam menyambar melewati Pak Jarwan dan menghilang di jendela. Dengan terburu-buru bagai kuda yang dipacu Pak Jarwan turun dan menemui Kanjeng Janet.
“Ada apa di sana?” Tanya Kanjeng Janet kepada Pak Jarwan yang tertunduk dan susah mengambil nafas.
“Ti, ti, tidak ada apa-apa Kanjeng yang jatuh di atas.” Jawab Pak Jarwan tergagap-gagap.
“Oh begitu? Yah sudah, kamu lanjutkan pekerjaanmu!” Perintah Kanjeng Janet kepada pembantunya dan kembali berbalik melihat cucunya.
“Udah Omah tebak, gak ada apa-apa. Itu mungkin hanya pendengaran kalian.” Kanjeng Janet berusaha menenangkan mereka yang terlihat terkejut.
“Iya nih Mona, Nelly tidak terkejut mendengar suara itu. Suaramu lebih yang lebih keras dari petasan itu yang pecahin gendang telingaku.”
“Hehehe, Sorry girl.” Kata Mona sambil cengar-cengir seperti orang yang baru ketahuan kentut.

Dentang jam berbunyi sangat jelas memecah kesunyian malam yang dingin. Jam antik berusia ratusan tahun itu masih nyaring untuk didengar di Istana milik Menir Belanda.
“Ah Nelly, I cannot sleep, sudah lagi tengah malam.” Rengek Mona dengan meguncang-guncang tubuh Nelly.
“Aku juga nih, mungkin karena baru hari pertama. Ayo kita jalan-jalan di luar, siapa tau bisa cepat ngantuk.” Saran Nelly kepada Mona yang kelihatan tersiksa karena tidak juga tertidur.

Grek grek grek
“Yono lagi apa kamu menggali tanah?” Teriak Nelly dari beranda lantai dua.
“Gak Non, ini disuruh sama kanjeng buat tanam bunga hiasnya.” Jawab Yono malu-malu. Terlihat gadis cantik dengan senyum menawan dari atas. Terpaan sinar rembulan membuat wajahnya bercahaya. Yono tidak pernah menyangka dapat bertemu dengan wanita secantik Non Nelly.
“Kok tengah malam sih? Gak pagi aja Yono.” Tanya Nelly kepada pria pribumi yang memiliki wajah dengan garis-garis tegas di wajah tampannya.
“Kata Kanjeng tanam bunga hiasnya harus tengah malam.” Jawab Yono dengan logat Jawanya.
Suasana malam sangat terang dengan sinar bulan purnama, membuat malam itu sangat indah bagi Nelly terlebih lagi dari kejauhan dia melihat pria yang sangat tampan dan sopan. Tidak seperti pria-pria Netherland yang suka mempermainkan wanita dan selalu kasar.
“Nelly I’m sleepy, cemmon tidur.” Raung Mona sambil mengangkat tangannya ke atas dengan mulut menganga selebar-selebarnya. Nelly diam saja tidak menggubrisnya karena lagi menatap ke arah Yono yang sedang sibuk menanam bunga hias.
“Nelly, Ayo sleep!” Rengek Mona lagi. Sontak Nelly tersadar dari lamunannya tentang Yono.
“Oh iya, aku juga sudah ngantuk nih. Ayo ke kamar.” Ajak Nelly.

KreEETtttt
Suara pintu begerak memecah kegaduhan yang dibuat oleh Mona. Sontak pandangan mereka tertuju ke arah cermin besar di dekat jendela.
“Mona, wait! Aku mau liat cerminnya.” Ajak Nelly berjalan ke arah cermin yang terlihat memanggilnya. Sayup-sayup terdengar erangan dari arah cermin tersebut, erangan seperti seseorang bernafas berat jelas terdengar di pendengarannya. Dari belakang, Mona membonceng dengan wajah gelisah. Mereka melewati lorong yang tak panjang dan hanya sebagai penyekat antara ruang pribadi kanjeng Janet dengan ruang khusus tamu di lantai dua. Lorong itu berhenti di cermin tersebut. Membuat bayangan mereka kecil di cermin itu.
“Nelly, kamu berani sekali ke sini, its very horor you know!” Kata Mona ngeri.
“Ada yang aneh deh dengan cermin ini tadi aku lihat bukan bayang kita. Tapi bayangan seorang pria.” Ujar Nelly dengan mantap.
“Ah impposible, cemmon kembali ke kamar.” Bujuk Mona dengan menarik tangan Nelly kembali ke kamarnya.
Mereka pun hilang seiring dengan suara derit pintu kamarnya. Udara mencekam memenuhi ruangan di mana cermin besar itu berada. Tiba-tiba ada sosok hitam tinggi berdiri di depan cermin dengan wajah tertunduk kakinya kotor karena tanah dan tangannya putih. Sosok itu bergerak ke arah cermin dan menghilang.

Cerpen Karangan: Arfah Kun
Facebook: Arfah Kun Excellent
Nama: Muh. Arfah
TTL: Siwa, 26 April 1996
Hobby: Main gitar dan menyanyi

Cerpen Cermin (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Billing Nomor 13

Oleh:
Di luar masih gerimis, sisa hujan yang terus mengguyur sedari sore. Ren hanya bisa menatap lesu pada billing nomor tiga belas yang entah kapan akan selesai. Jika saja tidak

Jangan Intip Celah Itu!

Oleh:
Hari ini di sekolah banyak sekali gosip-gosip yang bertebaran di sekolah tentang celah-celah. Di mana-mana orang membicarakan itu. Aku tidak tahu ada apa dengan celah itu, membingungkan sekali hampir

My Horror Story

Oleh:
2 february, tahun 2011. Dimulainya liburan musim panas, saat itu, aurell, olivia, athalla, randi, hima, syara dan reyhana akan liburan musim panas, kami akan menentukan tempat berlibur yang paling

Aku Bukanlah Aku

Oleh:
Namaku Laura Aurora aku lahir dari keluarga yang sederhana, makan pun harus berusaha. Aku beruntung bisa sekolah di SD Will Quality kelas termewah yang masuk dalam urutan ke-10. Ibuku

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

2 responses to “Cermin (Part 1)”

  1. Akizuki AIry says:

    wah, ceritanya seru dan mendebarkan! nggak sabar baca lanjutannya!

  2. Elisabeth says:

    ada tu cermin part 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *