Bunga Terakhir Dari Surga IBTABU

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 16 August 2014

Lihatlah ke arah pohon besar yang menancap di tanah itu, di sana terdapat bocah yang sedang memainkan seruling bambu dengan lambaian angin sepoi. Tanah yang disinggahi bocah berusia tidak lebih dari 20 tahun ini dikenal sebagai dengan sebutan “Tanah Bunga Terakhir”.

Banyak orang yang menginjakkan kaki di tanah ini dan melihatku memainkan seruling bambu ciptaan ibu, mereka datang kadang berbondong-bondong, tak jarang juga hanya berdua. Tamu yang datang di tanah ini selalu memiliki tujuan, anehnya pusat tujuannya sama. Benar, bocah pemain seruling bambu yang menyandarkan diri di pohon beringin sepertiku sangat yakin bahwa mereka yang datang mempunyai tekad dan maksud yang sejalan.

Tanah bunga ini telah mendidikku secara sederhana dan penuh dengan pengalaman. Usia kurang dari 21 tahun yang hidup di tanah tersebut membuat jati diriku kokoh dan kebal terhadap kehidupan, walau sebenarnya hati ini menangis tanpa henti seperti kincir angin yang tak pernah berhenti. Mungkin nasib anak kecil yang terdampar dan tak mendapatkan kasih sayang sama seperti nasibku ini.

Di tanah bunga ini aku tinggal tak sendiri, banyak orang-orang yang satu sama lain selalu bekerja sama dalam membangun persatuan. Orang-orang yang berada di tanah bunga tersebut menamakan kelompoknya dengan “Ibtabu”, entahlah aku sendir tidak mengerti dengan hal-hal yang bukan ranah pikiranku. Tiada habis pikirku hanyalah mengapa mereka menciptakan kelompok atau satu kesatuan keluarga, padahal orang-orang di sini hanya berjumlah 22 orang dan satu lagi aku.

Tanah surga yang tak banyak terjamah oleh orang-orang dalam negeri ini sebenarnya memiliki manfaat yang sangat besar. Tanah yang terdapat pohon-pohon besar dan buah yang bisa dimakan dapat memberikan kenikmatan yang tidak semua orang dapat merasakannya. Aku berpikir, mungkin tanah ini adalah tanah yang tidak berguna sehingga setiap orang yang datang ke sini hanya hitungan menit saja lalu meninggalkan kenang-kenangan yang berat untuk dilupakan.

Dari kenang-kenangan itulah aku mendapatkan pengalaman yang begitu besar, tidak semua manusia dapat melakukan seperti yang aku kerjakan selama hidup. Pasti, aku pasti tergolong orang-orang yang mempunyai pengalaman unik. Orang-orang Ibtabu menamai pekerjaan muliaku dengan “Pak Pos Bunga”. Bagaimana tidak, pekerjaan tanpa bayaran itu adalah mengantarkan bunga-bunga ke rumah yang sama sekali belum pernah aku datangi.

Di sanalah mulai berjalan pengalaman-pengalaman. Terkadang aku mengantarkan bunga di dalam pulau, terkadang juga aku mengantar bunga di luar pulau. Sebatas itu saja pengalaman diriku, belum pernah menjamah negeri lain dalam menyampaikan mandat dari Ibtabu. Tak ada uang untuk perjalananku, tetapi Ibtabu selalu memberiku barang-barang yang bisa dijual di pasar yang sangat jauh dari tempat kami bertinggal. Jelas jauh, karena tempat kami adalah tempat yang sangat terpencil dan hanya ada satu gubuk yang dihuni oleh 23 orang denganku.

Tanah surga yang banyak buah serta pepohonan ini sangat aneh, sejak aku masih kecil hingga usia 20 tahun tanah ini tetap memiliki satu gubuk untuk tempat tinggal kita semua. Di mana gubuk tersebut ditempati oleh 23 orang, untung saja gubuk ini sangat besar, andai saja kecil mungkin aku akan membangun gubuk lagi untuk orang-orang yang telah tua renta ini.

Sungguh tiada yang muda usia mereka. Dari 23 orang yang bernafas di tanah bunga ini, hanya aku yang sangat muda sedangkan usia mereka berkisar 50 tahun hingga 70 tahunan. Banyak sesuatu yang tidak dapat aku lupakan di sini, di tanah surga ini. Ibtabu adalah keluarga yang sangat harmonis, dari usia-usia senja mereka masih dapat melakukan yang terbaik untuk kehidupan orang lain. Saling menyayangi, mengasihi, merawat, dan menganggap bahwa jiwa-jiwa mereka sebenarnya satu hanya saja raganya yang terpisah.

Ketika aku masih sangat kecil, aku sangat yakin mereka merawatku dengan sangat baik dan penuh cinta. Memberiku makan walaupun seadanya, menyuapiku dengan suapan yang sangat romantis, mendekapku dengan dekapan yang lama mereka dambakan. Maklum saja, orang-orang dalam Ibtabu bukanlah berasal dari satu keluarga melainkan kumpulan dari orang-orang yang sebelumnya tidak mengenal satu dengan yang lainnya.

ADVERTISEMENT

Pelukan-pelukan yang sering aku rasakan itu membuat kehangatan semakin menggebu. Bagaimana aku ingkar atau tidak melaksanakan mandat dari mereka yang sudah tua renta jika dari kecil aku hidup bersamanya. Bagaimana aku tak menyayanginya, sedangkan mereka selalu memberiku tanpa pamrih dan harapan yang tinggi. Sungguh, sungguh bijak orang-orang yang tinggal di tanah bunga ini. Mereka semua adalah keluargaku, orang-orang itu adalah ibuku.

Dengan penuh sadar aku berjalan mengelilingi Nusantara, sampai pada Bali, Lombok, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera pernah aku jelajahi. Bukan karena aku orang kaya, melainkan menyampaikan mandat dari orang-orang renta tak berdaya adalah tugasku sebagai balas budi untuk mereka di tanah bunga. Sangat sederhana sebenarnya perintah orang-orang yang berada di pulau tak terjamah itu, mengantarkan bunga terakhir untuk keluarga asli mereka yang telah membuang dan menelantarkan di tanah bunga.

Benar sekali, orang-orang yang berada di tanah bunga adalah para ibu yang telah dibuang oleh anak mereka. Dahulunya ada sekitar 40 wanita tua yang tinggal di sana, namun kini tinggal 22 wanita renta tak berdaya. Mereka tidak diharapkan oleh anak-anak yang dari kecilnya dirawat serta disayangi. Ibtabu adalah sekumpulan perempuan yang bernasib malang, mereka memiliki kisah hidup yang sama yaitu “dibuang dan tak diharapkan”.

Lihatlah, sepuluh meter dari gubuk yang kami singgahi adalah makam-makam wanita tua yang mendahului kita menghadap pada Tuhan semesta alam. Di sana terdapat lebih dari 18 kuburan wanita tua. Semua itu adalah wanita yang ditelantarkan di hutan ini. Di tanah bunga ini wanita-wanita tersebut ditinggalkan, sedangkan aku dan wanita tua lainnya merawat semampunya saja.

Aku adalah bocah yang berusia 20 tahun. Pengalamanku sangat banyak, namun tujuannya hanya satu dari pengalaman tersebut yakni menyampaikan bunga terakhir dari tanah surga. Setiap wanita yang renta telah meninggal dunia, setiap itu pula aku mengantarkan bunga ke tempat asal keluarga mereka. Bunga-bunga dari tanah surga itu aku letakkan di depan pintu rumah keluarga wanita tua yang telah meninggal di hutan tempat kami tinggal. Aku meletakkan bunga dengan hati-hati karena ia adalah mandat terakhir yang harus aku sampaikan serta berkata pada anak-anak wanita tua yang sudah meninggal “Berbahagialah dengan sebenar-benarnya kebahagiaan karena sungguh kenang-kenangan yang engkau berikan sebagai titipan untukku telah pergi dan tak akan pernah kembali pada kehidupanmu. Wanita tua yang melahirkan dan membesarkanmu sudah menghadap Tuhan-Nya. Wanita yang engkau sia-siakan di hutan bersamaku telah jauh pergi dan berjanji tak akan memberikan beban untuk kehidupanmu beserta keluarga barumu”.

Setiap orang yang datang ke sini hanya hitungan menit saja lalu meninggalkan kenang-kenangan yang berat untuk dilupakan. Mereka meninggalkan wanita yang jasanya tak dapat dibalas dengan harta, orang-orang itu meninggalkan jalan surga yang telah disediakan Tuhan untuk mereka. Aku yang bermain seruling dan bersandar di pohon dekat gubuk hanya memiliki beberapa harapan yaitu “Menyampaikan mandat wanita senja yang tak lagi berumur. Memberikan 22 bunga terakhir dari surga untuk keluarga yang telah meninggalkannya. Aku berharap 22 wanita tua renta yang ada di gubuk tanah bunga tersebut adalah Ibtabu (Ibu Tanah Bunga) perempuan terakhir yang ku lihat dan hidup bersamaku di hutan ini.”

Jika orang-orang memiliki hari ibu di dunia ini, maka hari ibu bagiku adalah setiap hari.
Jika mereka menetapkan ada hari ibu pada kalender tahunannya, maka seluruh tanggal pada kalender adalah tanggal yang ku tetapkan sebagai hari ibu.
Jika setiap manusia di Nusantara ini mengistimewakan satu tanggal untuk ibu, maka tiada tanggal yang tak istimewa bagi bocah pemain seruling yang tinggal di tanah bunga seperti diriku.

07:03
Surabaya, 22 Desember 2013
Syarifuddin HH Alfanza

Cerpen Karangan: Arif Alfanza
Facebook: Arif Al FanZa

Cerpenis adalah seorang penulis novel lepas,.
Buah karya yang dibukukan adalah “Tapak Tilas Santri Kangkung”

Cerita yang dikemas selalu membuat inspirasi dan membawa suasana hati dalam keindahan serita,.
Tidak jarang penulis menorehkan kisah nyata kehidupan dalam dunia cerita seperti novel “Tapak Tilas Santri Kangkung”

Salam Cerita,.

Cerpen Bunga Terakhir Dari Surga IBTABU merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Saat Terakhir Bersamamu

Oleh:
Pagi itu, jam dinding menunjukkan pukul 03.30. Udara yang dingin, begitu terasa di kulit. Di saat itu tarqim berkumandang. Menggema di seluruh penjuru desa. Disaat itulah, seluruh orang sedang

17 Lembar

Oleh:
Mega merah mulai menampakkan warnanya. Semua orang mulai berlindung ke gubuknya untuk berkumpul dengan sanak keluarga. Namun, tak tercantum istilah itu dalam kamus Panji, seorang pujangga berkepala batu ini.

Hantu

Oleh:
Hari itu, ku pacu kuda besiku. Hingar bingar kemacetan mengguyur deras, bersama hujan. Sukabumi menuju Bogor, tak ku surutkan langkah ini. Walau mesti aku tempuh dalam hitungan jam yang

Aku Pergi dan Aku Kembali

Oleh:
Hampa, langit cerah tanpa awan. Kutatap langit, ingin kucurahkan segala perasaan ini. Air mata telah mengering, tapi hati ini masih menangis. Hancur diriku ini, hancur bersatu dengan tanah… Yang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *