Kisah Seorang Anak Yang Cacat

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Penyesalan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 7 December 2014

Mengapa sampai saat ini Ibuku malah semakin sayang pada saudara tiriku. Sedangkan aku? Sepertinya dibuang, Ibuku tidak memperhatikanku lagi, makan pun aku harus mengambil sendiri dengan keadaanku yang seperti ini. Aku lumpuh tak dapat berjalan, aku hanya dapat duduk di kursi roda sepanjang harinya. Sepertinya aku ditelantarkan oleh ibu kandungku sendiri. Andai saja tidak ada kakaku Aisyah yang memperhatikanku mungkin sekarang ini aku sudah mati kelaparan. Ibuku jarang menanyai ‘sudah makan apa belum?’ atau kata yang lainnya yang menunjukan bahwa dia peduli kepadaku. Aku sedih dan aku sakit hati, ternyata aku diterlantarkan oleh ibuku sendiri justru yang mendapatkan kasih sayang setiap harinya adik tiriku bahkan kakakku Aisyah jarang diperhatikan juga. Dia berusaha untuk hidup mandiri katanya dan dia ingin mengurusku dengan kesabarannya.

Aku bangga mempunyai kakak yang sangat perhatian padaku. Kakaku memang tidak tegaan pada siapapun apalagi anak kecil yang tidak sempurna fisiknya. Aku sangat mengagumi kakakku ketimbang artis-artis indonesia atau artis luar, dia sangat berjasa dalam hidupku begitu juga dengan ibuku.

Kakakku yang masih berumur 15 tahun itu, dia seorang yang pekerja keras, dia suka belajar, mengerjakan pekerjaan rumah, membaca buku setiap jamnya, setiap waktu ia isi dengan hal baik dan dengan hal-hal yang positif. Dia tidak pernah pergi bermain untuk seharian, paling saja pergi ke warung internet untuk mengerjakan tugas sekolahnya, itu pun hanya beberapa jam saja.

Ibu dan kakakku adalah wanita yang tegar. Namun, sekarang ibuku sudah ada yang mendampingi lagi dan aku kategorikan bahwa kak Aisyah lah wanita yang paling tegar. Dia masih remaja belum masuk usia dewasa tapi dia masih mau mengasuhku dan memberiku makan, menyuapiku, memandikanku, membersihkan kotoranku. Aku lemah tidak berdaya, tidak seperti kakakku yang fisiknya sempurna. Tuhan itu cukup adil bagiku dia telah menciptakan makhluknya sedemikian rupa, dia menciptakan manusia tidak sempurna namun ada yang harus menyempurnakannya. Seperti aku inilah contohnya, Tuhan menciptakan kak Aisyah untukku, agar bisa mengurus dan memperhatikanku tanpa mengenal lelah dan letih. Dia juga belajar sepanjang hari agar menjadi murid yang berprestasi di sekolahnya. Kak Aisyah memang pandai mengatur waktu. Kak Aisyah juga sangat menyukai berolahraga dan itu menyehatkan katanya. Seandainya fisikku sama seperti kak Aisyah mungkin setiap hari minggu kita jogging bareng, main bulu tangkis bareng, main basket bareng dan yang lainnya.

Andai saja orangtuaku mampu menunjang kebutuhan hidup kita mungkin kak Aisyah sekarang sudah menjadi Atlet terbaik. Namun sayang kelabilan ekonomi yang membuat kita tidak bisa mengembangkan bakat kita masing-masing. Kalau aku tidak punya bakat apa-apa, bakatku Cuma nyusahin kak Aisyah dan Ibuku saja. Tapi aku sangat suka melukis, sering kali aku melukis wajah kak Aisyah yang anggun nan cantik jelita itu. Kepalanya yang selalu ditutupi oleh kerudung, wajahnya yang cantik, dan kulitnya yang tidak begitu putih, tidak begitu hitam juga tapi menurutku itu adalah anugerah yang Allah berikan yang telah membuat kak Aisyah sempurna di mataku.

Namun, ibuku sifatnya kini jauh berbeda semenjak ia menikah lagi. Bapakku kini telah jauh dariku, entah dimana sekarang dia berada. Ibuku selalu memarahiku jika aku pipis dicelana karena tak tahan, aku dimarahinya. Katanya aku ini ‘anak yang tidak berguna dan hanya bisa menyusahkan orang tua saja. YaAllah, jika hati ibuku masih lembut seperti dulu mungkin aku tidak terlalu sakit hati atas semua perkataannya. Seandainya ibuku tidak menikah lagi mungkin aku akan terus diperhatikan seperti dulu. Perhatiannya kini pudar semenjak kehadiran anak-anak dari ayah tiriku.

Aku bagaikan lilin yang habis batangnya karena dilelehkan api dan sekarang aku tidak berguna, aku sangat tidak berguna. Ibuku selalu bilang jadilah anak yang berguna walaupun keadaan fisikmu seperti ini. Namun apa yang dapat aku lakukan? Tidak ada, aku hanya dapat duduk di kursi roda ini pemberian dari Ibu ayahku yang kini sudah meninggal sekitar 5 tahun yang lalu. Aku hanya dapat duduk di kursi roda tua ini dan aku tidak ada tenaga untuk mendorong sendiri kursi roda ini, kadang aku menyuruh kak Aisyah untuk mendorongnya. Aku tidak berani menyuruh ibuku, karena aku takut ibuku malah marah-marah. Ibuku sungguh tidak seperti dulu. Apa aku ini menjijikan sehingga ayah tiri dan ibu kandungku sendiri tidak sudi memberikan perhatiannya padaku. Aku hanya butuh kasih sayang dari kedua orangtua ku yang utuh, yang seperti dulu. Sungguh aku tidak ingin mempunyai ayah tiri dan aku ingin ibuku menyayangiku seperti dulu. Saat aku masih bayi dan seterusnya.

Kak Aisyah tempatku mengadu, ka Aisyah yang memelukku saat aku hendak tidur, kak Aisyah yang mencium keningku saat aku sudah terlelap dalam tidurku. Aku dapat merasakan kasih sayang yang tulus dari ka Aisyah. Kasih sayang ibu padaku kini telah pudar, ibu tidak peduli lagi kepadaku. Ya Allah bukakanlah kembali pintu hati IBu untukku. Aku selalu berdoa seperti itu setiap malam, sebelum aku tidur.

Setiap pagi, aku hanya dapat memandang pemandangan yang tidak enak bagiku. Ibuku yang biasanya membuatkan nasi goreng dan satu cangkir teh manis, sekarang semuanya telah dialihkan pada adik tiriku. Satu suapan pun ibu tidak pernah memberikannya lagi untukku.
“Ehhmm, udah nih makan aja nasi goreng Kakak Al, kakak gak bisa nyuapin kamu. Kakak buru-buru berangkat sekolah, maaf banget ya.” Kata kak Aisyah sambil menyimpan satu piring plastik nasi goreng di pahaku. Aku hanya tersenyum melihat kak Aisyah, dia sangat peduli kepadaku.
“HAti-hati kak.” Teriakku sambil melambaikan tangan.
Nah, sekarang sepi tanpa kak Aisyah. Gak ada teman ngobrol, nggak ada teman bercerita. Untung saja Allah masih mengizinkan aku berbicara, setelah Allah kasih aku ketidak sempurnaan fisik ini. Mataku hanya terbuka satu saja, mata sebelahku memang sudah tidak ada sejak saat aku dilahirkan. Kak Aisyah yang bercerita tentang aku waktu aku masih bayi dan masih ada dalam kandungan.
Katanya, dulu aku sering dibelai oleh ibu saat aku masih ada dalam kandungan. Aku dijaga sepenuh hati oleh ibu. Aku dijaga sepenuhnya oleh ibu, dengan seluruh kasih sayangnya walau aku masih ada di dalam kandungan, ibu berharap mengeluarkan anak perempuan agar kak Aisyah punya kawan untuk bermain. Namun semuanya berbeda, ibu ku terjatuh saat ibu sedang mengepel halaman rumah.

Ibu mengepel dengan lap tangan, ibu bilang sama kak Aisyah bahwa ibu ceroboh karena Ibu juga tidak hati-hati. Ibu terpeleset saat membersihkan lantai di halaman dan ibu langsung tengkurap dan setelah aku dilahirkan keadaan fisikku seperti ini. Setelah ibu bersusah payah dan menaruhkan setengah nyawanya untuk mengeluarkan aku dari rahim dan Ibu menangis saat mengetahui bahwa aku cacat. Namun, ibu memelukku ibu bersyukur setidaknya aku ada di dunia ini dan dapat menemani ibu. Ibu bilang ibu akan menjagaku, walaupun aku cacat katanya. Ibu akan selalu menyayangiku dan selalu memberikan perhatiannya padaku.
Itu yang kak Aisyah ceritkan kepadaku.

ADVERTISEMENT

Tapi, kenapa semenjak ada anak tiri nya sifat dan prilaku Ibu kepadaku itu sangat berbeda. Ibu sepertinya sudah tidak peduli lagi kepadaku. Hari-hari yang aku jalani penuh dengan rasa IRI karena beruntungnya saudara tiriku mendapatkan kasih sayang dari ibu kandungku. Saudara tiriku memang perlu diberi kasih sayang dan karena ibu kandungnya sudah meninggal. Aku selalu berusaha untuk memakluminya, aku mencoba sabar, mungkin nanti ada saatnya lagi ibu bisa memperhatikanku lagi. Walaupun bukan sekarang.

Siang itu aku menghampiri Ibu yang sedang duduk menghadap mesin jahit, ibuku memang mahir dalam urusan jahit-menjahit. Ibu juga tidak perlu pergi jauh-jauh ke pasar untuk membeli baju baru. Ibu selalu memanfaatkan kain-kain yang tersisa untuk dibuat baju atau barang lainnya, karena sisanya juga tidak terlalu banyak. Paling ibu suka menambalnya dengan warna kain yang lain, tapi ibu menambalnya dengan sangat rapi seperti bukan baju yang ditambal dari sisa-sisa kain. Aku menghampiri ibu saat itu, sudah lama aku dan ibu tidak bercakap.
“Ibu..” Panggilku sambil mendorong kursi rodaku dengan perlahan dan menghampiri ibu.
“Apa Alya?”
“Ibu sudah makan siang dan shalat dzuhur bu?” Tanyaku
“Belum, tanggung. Siang ini baju yang ibu jahit harus segera selesai. Kamu kalau mau makan, makan saja. Tidak usah pedulikan ibu!” Bentak Ibuku.
“A..aaa.. anuu Bu, aku tidak bisa mengambilnya sendiri.” Kataku dengan gugup. Sebentar lagiibu pasti ngomel.
“Aduhh, anak manis kasian sekali kamu.” Kata ibu sambil mengelus daguku “Ambil saja sendiri, ibu masih sibuk Alya, tolong ngerti!” Spontan ibu langsung membentak lagi. Aku terkaget, dulu ibu tidak seperti itu. Ibu rela menunda pekerjaannya dulu untuk menemaniku makan. Namun sekarang ibu malah sering memarahiku. Mungkin ibuku sudah terpengaruh oleh anak tiri dan suaminya yang sekarang.
“Ii.. iyyaa bu, maafkan aku Bu.” Kataku langsung menunduk.
Tiba-tiba..
“Assalamualaikum.. Ibu Aisyah pulang.” Teriak kak Aisyah yang sudah pulang sekolah, kak Aisyah menghampiri tempat ibu menjahit dan mencium tangan ibu dan aku mencium tangan kak Aisyah.
“Walaikumsalam. Urus sana adikmu, jangan sampe dia ganggu ibu lagi kerja kaya gini!” Seru Ibuku.
“Iya bu. Yuk Al, ke kamar kakak dulu.” Ajak kakaku sambil mendorong kursi roda.
“Kamu tadi kenapa sama Ibu Al?”
“Nggak kenapa-kenapa kok kak. Ibu Cuma salah paham aja, tadi kan Alya tanya ibu sudah makan dan shalat dzuhur belum. Tadinya aku hanya ingin mengingatkan ibu saja bukan ingin meminta makan.” Kataku menjelaskan.
“Heum, ya udah lagian ibu kan lagi kerja, jadi ibu kaya gitu. Kamu udah makan?”
“Belum kak.”
“Ya udah tunggu ya, kakak ganti baju sama shalat dulu. Nggak lama kok, ntar kita makan bareng. Oke.” Kata kak Aisyah dan kami tos.

Aku benar-benar senang dengan kak Aisyah, kak Aisyah orangnya bener-bener baik. Dia selalu memperhatikan aku walaupun aku tau sebenarnya kak Aisyah lelah. Kak Aisyah selalu sabar mengurusku, bahkan kak Aisyah yang sering membuatku tertawa lepas. Kak Aisyah sangat pintar juga membuat lelucon. Sudah 20 menit aku menunggu kak Aisyah dan sekarang waktunya makan siang bareng kak Aisyah.
“Kamu mau makan dimana Al. Di luar atau di dalam saja? Mungkin kamu jenuh di dalam rumah terus?” Tawar kak Aisyah.
“Di luar enak kali ya kak.” Kataku.
Kak Aisyah mengangguk dan membawaku ke teras rumah depan. Tidak begitu luas halaman rumah kami, namun kak Aisyah selalu merawatnya dengan baik jadi rumah kami tidak begitu terlihat jelek dan kumuh. Kak Aisyah suka merawat tanaman-tanaman kami yang kecil setiap pagi dan sore. Jika kelak kak Aisyah sudah menikah mungkin kak Aisyah akan menjadi IBU TERBAIK, kak Aisyah sudah tau bagaimana caranya membagi waktu dengan baik dan merawat anak-anak. Kak Aisyah menyuapiku dengan lembut, rasanya aku ingin menangis, kenapa tidak ibu yang seperti kak Aisyah, kenapa bukan Ibu lagi yang memperhatikanku. Ibuku sudah mengacuhkan aku, malah yang sering mendapatkan perhatian Ibu itu kakak tiriku. Dia sudah cukup dewasa, namun cara pemikirannya lebih dewasa kak Aisyah.

Setelah selesai makan siang, aku diajak jalan-jalan sama kak Aisyah keluar rumah. Ya walaupun hanya dibawa di halaman rumah saja, tapi aku senang kak Aisyah masih mau menyempatkan waktunya untukku.
“Aduuh, neng Aisyah setia banget jagain adiknya.” Kata salah seorang tetanggaku.
“Hehe iya dong Bu, siapapun yang punya adik pasti bakal ngejaga adiknya sendiri.” Sambung kak Aisyah.
“Iya sih neng, tapi anak ibu boro-boro gitu. Disuruh jagain adiknya beberapa jam juga nggak mau. Anak muda sekarang itu jarang banget ada yang kaya kamu Syah.” Cetus bu Eli.
“Ah ibu ini bisa aja, berlebihan bu.” Kata kak Aisyah merendah, aku hanya tersenyum mendengar percakapan mereka.
“Hehehe, ya udah Syah. Saya pulang dulu ya.” Kata ibu Eli.
Ibu Eli emang bener sih, buktinya kakak tiriku tidak seperti kak Aisyah. Malah dia sering asik sendiri diem di kamar sambil dengerin radio kak Aisyah yang dia rebut dari kak Aisyah.

Suatu waktu Ibu dan Ayah tiriku bertengkar sampai setiap hari dan itu tidak terhitung sudah berapa kali ayah tiriku membentak ibuku. Aku sangat sedih tidak dapat membela Ibu, namun masih ada kak Aisyah yang bisa membela ibu. Ayah tiriku sekarang sikapnya berubah pada ibuku, dia sering pulang malam dengan alasan lembur. Ibuku kadang tidak percaya dan menanyakan baik-baik pada ayah tiriku ‘tidak mungkin lembur sampai setiap hari’ dan bahkan gajinya juga sama saja dengan kerja tanpa lembur. Tidak lama dari itu ayahku minggat dari rumahku dengan anaknya. Katanya dia bosan punya istri cerewet kaya ibu, yang curigain terus suaminya. Ibuku memohon-mohon untuk tetap meninggalkan anaknya disini. Mungkin kalau aku yang pergi ibu tidak akan mencegahnya karena bagi ibu aku itu tidak berguna tidak dapat membantu ibu apa-apa. Namun, inilah keadaan diriku memang seperti ini jangankan untuk membantu ibu untuk berjalan pun aku sulit. Mungkin nantinya aku malah lebih mengacaukan pekerjaan ibu.

Ibu setiap hari menangisi anak tirinya yang dibawa oleh suaminya. Aku melihat ibu yang selalu menangis walaupun ibu sedang menjahit. Aku menghampiri ibu. “Ibu sudah jangan menangis terus-menerus. Mungkin kalau kak Dewi kangen sama ibu dia akan temuin ibu disini kan.” Kataku coba menenangkan ibu.
“Diam kamu! Tau apa kamu soal ini. Ibu merasa sangat kehilangan Al, dia selalu memberi apapun yang ibu mau. Sedangkan anak-anak ibu mana, tidak ada satu pun yang dapat memberi ibu gelang emas untuk menghias tubuh Ibu.” Kata Ibuku dengan nada tersedu-sedu.
“Ibu, kalau Alya yang pergi apa ibu akan merasa kehilangan. Alya yang sudah ibu rawat dari bayi, bahkan Alya yang sudah ibu kandung selama 9 bulan itu apa ibu masih akan pedulikan kalau aku pergi? Alya memang tidak seperti kak Dewi yang punya uang banyak dan dapat memenuhi kebutuhan ibu. Ibu Alya ini cacat, maafkan Alya jika Alya hanya menyusahkan Ibu tidak dapat memberi apa yang ibu mau. Aku sungguh tidak mampu BU.” Kataku sambil memandang wajah ibu yang berlinangan dengan air mata di wajahnya. Ibu ku berhenti menangis dan terdiam. Ibu langsung menghampiri aku dan hanya berdiri di hadapanku.
“Betapa berharganya kak Dewi di mata ibu, dia Cuma anak tiri ibuk an. Aku coba paham sama sikap ibu yang beberapa tahun ini sama sekali tidak mempedulikan aku. Apa aku sama berharganya dengan kak Dewi?”
Ibu memelukku “Maafin Ibu Alya, ibu khilaf. Ibu suka terpengaruh sama omongannya Dewi. Dewi pernah bilang sama Ibu, buat apa mengurus anak yang sama sekali belum bisa menghasilkan uang untuk Ibu. Ibu terhanyut begitu saja dengan kata-kata Dewi, sehingga ibu tidak mempedulikan kamu dan Aisyah. Ibu menyesal Nak.” Ibu memelukku semakin erat dan menangis lagi.

Tiba-tiba kak Aisyah datang di balik pintu, kak Aisyah sudah mendengar percakapan aku dengan Ibu seadari tadi “Asstagfirullah Ibu. Semuanya juga butuh proses untuk menghasilkan uang dan kita juga harus punya bekal dulu untuk bisa bekerja. Ibu tau Aisyah ini masih sekolah kan bu, Alya juga tidak dapat menghasilkan apa-apa karena keadaannya yang tidak mendukung, dan ibu masih mengharapkan uang dari kita yang masih belum layak bekerja. Ibu, Aisyah Janji Aisyah bakal bahagiain ibu kelak Aisyah sudah sukses, Alya juga selalu berusaha menjadi anak yang berguna untuk ibu dan bapak. Namun, sekarang bapak sudah pergi entah kemana. Bapak sudah tidak peduli lagi sama kita. Dan sekarang Ibu juga seperti ini karena terhasut oleh omongan orang lain, uang dan perhiasan yang sekarang ibu pakai.”
“Aisyah maafin Ibu Nak, ibu memang salah. Ibu tidak peduli sama kalian karena Dewi dan bapaknya selalu memberi Ibu uang untuk sehari-hari. Untuk kamu sekolah juga, Nak.”
“Sudah, bu. Ibu tidak harus seperti ini, mereka sudah meninggalkan ibu tanpa mempedulikan betapa sakitnya ibu yang terkhianati. Aku tau Pak Reno sudah punya perempuan yang lain lagi. Aisyah melihat dengan mata dan kepala Aisyah sendiri, pak Reno keluar dari rumah makan dan menggandeng seorang perempuan. Aisyah tidak ingin menceritakannya karena mungkin ibu tidak akan percaya.”
“Aisyah, apa kamu sungguh dengan apa yang kamu bicarakan?”
“Tentu Ibu.”
“Ya sudah lupakan saja. Biarkan saja Reno pergi, hati ibu sudah sangat sakit sekali. Ibu mohon sama kalian ya jangan pergi dari ibu. Ibu cukup kehilangan ayahmu yang sekarang dan anak tiri ibu. Ibu baru sadar, anak yang paling berharga itu anak yang sholeh dan menyayangi orang tua.”
“Iya syukurlah kalau ibu sadar. Sayangi Alya seperti yang ibu janjikan dulu ya Bu. Waktu pertama Alya dilahirkan, ibu ingat kan? Jangan acuhkan Alya bu, kalau Aisyah sih tidak apa-apa. Aisyah dapat melakukan sesuatu sendiri, tolong ya bu sayangi Alya seperti dulu. Dan kami tidak mungkin membiarkan ibu sendiri disini.” Kata kak Aisyah sambil memeluk aku dan ibu.
“Iya Aisyah ibu Janji dan takkan melanggarnya lagi. Maafin ibu ya Nak.” Lanjut ibu, sambil tersedu-sedu “Ternyata kamu udah cukup dewasa Syah. Ibu sayang kalian.” Sambung Ibu lagi dan memeluk kami dengan erat. Aku sangat merasakan kehangatan saat ini, aku bahagia hari ini dan mungkin seterusnya.
“Ibu Alya minta ibu jangan menangis lagi, lupakan semua masalah ibu. Ada Alya sama kak Aisyah yang bakal nemenin ibu terus.” Kataku sambil mengusap air mata di wajah ibu.
“Iya Nak, terimakasih sudah mau memaafkan ibu.”
“Sudahlah ibu, kami ini anak ibu. Tidak baik jika saling menyimpan rasa benci atau apapun itu. Alya tetep sayang sama ibu ko.” Kataku sambil merasakan kehangatan pelukan dari Ibu.
*Terimakasih Ya Allah, sudah menyadarkan ibuku kembali. Doaku yang kupanjatkan malam ini.
Sekarang aku tertidur dengan pelukan hangat dari seorang Ibu lagi dan kak Aisyah. Dan kecupan di keningku yang dapat menenangkan hatiku. Sekarang Allah sangat adil kepadaku, dia telah mengirimkan dua Malaikat untuk menjagaku agar aku tak kesepian.

Armada – Ibu
Peluk bahagia, bilaku dewasa.
Khilaf yang pernah aku lakukan dahulu.
Tak berniatku tuk menyakiti hatimu.
Oh.. Ibu…
Cintamu tak mengenal waktu.
Kasihmu menyadarkan aku.
Tak ada yang lebih dari mu.
Oh.. Ibu..
Apakah ku mampu membalas semua yang pernah kau beri dengan ikhlas.
Nyawa pun relakanku lupa.
Oh.. Ibu…
Hidupmu menuntun jalanku.
Cahaya terang dalam gelap langkahku menuju surga dikakimu.
Menuju surga dikakimu.
Oh.. Ibu…

Cerpen Karangan: Vindia Arini
Facebook: vindia_arini[-at-]yahoo.co.id

Cerpen Kisah Seorang Anak Yang Cacat merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Ibuku yang Amat Sangat Aku Cintai

Oleh:
Dia penyemangatku. Dia perempuan yang telah melahirkanku dan merawatku hingga aku seperti sekarang. Dia perempuan yang orang-orang ceritakan perjuangannya. Ternyata dialah yang selalu menemaniku dalam suka maupun duka. Hatinya

Perginya Sahabat Pertama

Oleh:
Namaku Ayu, usiaku 14 tahun. Aku tinggal di kota Pontianak, sebenarnya asalku dari Kebumen, Jawa Tengah. Saat itu liburan sekolah dan orangtuaku memutuskan untuk pulang kampung. Aku tinggal di

Emma

Oleh:
Hari ini aku melewati jalan yang cukup ramai. Tujuanku adalah toko bunga. Ketika hendak membuka pintu toko, tak jauh dariku sepasang sahabat saling bercanda. Wajahnya terlihat kebahagiaan masing-masing. Sebuah

Dina dan Aku

Oleh:
Aku ingat saat usiaku 4 tahun. Saat itu Ibu mengajari aku dan Dina berhitung. Aku belajar menghitung jariku. Delapan, sembilan, sepuluh. Jumlah jariku ada sepuluh. Tapi saat itu Dina

Raden Anak Teman Bundaku

Oleh:
“huf huf huf… desah ibu Indah ketika akan segera melahirkan, pada saat itu juga di ruang kamar yang sama ada seorang ibu yang akan melahirkan juga namun berbeda nasib

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

2 responses to “Kisah Seorang Anak Yang Cacat”

  1. sindy says:

    keren ceritanya, terus berkarya vindia arini ^_^

  2. Ameera Kinan Azalia says:

    Bagus,cukup membuat haru. Thanks sudah kasih inovasi Hindia Arini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *