Kekasihku Penipu, Istriku Lebih Menipuku

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 16 December 2014

Ribut, suara dari ribuan mulut saling menyilang, seperti lalu lalang kendaraan di Makassar. Berbagai kesibukan, aktivitas dan aroma beragam warna dari berbagai wajah di pasar Sungguminasa. Wajar ketika tak dipatuhi karena menjelang Idul fitri, pembeli mengantri, banyak yang tak mau mengerti karena punya kebutuhan sendiri hingga copet pun beraksi.
“Plaak..”
Tepukan keras tepat di pundakku, kecepatan tepukan itu bersamaan dengan kecepatan emosiku. Sakit dan aku menoleh berharap melihat si pemilik tangan yang tega memukul keras pundakku.
Mataku terperanjak jatuh dan amarahku hilang tengelam setelah melihat orang yang memberiku tepukan nyaris membuat wajahku memerah.
“Ani…!? kaukah itu..? kaget dan masih cepat tanpa bibirku mengeja namanya yang cuma tiga huruf.”
“Ya.. Aku, bagaimana kabarmu Yas…?” Begitulah dia memanggilku dengan tiga huruf pula. lirih suaranya lembut sejuk masih kurasakan tak berubah seperti nada seruling jawa di tengah hamparan sawah menghijau.

Dia adalah perempuan yang pernah menyakitiku empat tahun yang lalu karena pernikahannya dengan orang lain. Dia tetap manis, status bersuami tak merenggut bentuk tubuhnya yang ideal. Seiring detik, proyektor pikiranku menampilkan gambar masa lalu bersamanya, menjalin kasih, melewati hari dan akhirnya dia menikah. Jelas pula undangan resepsi pernikannya yang hancur kurobek dengan tanganku. Aku hampir gila kala itu, sakit benar.

“Aku sehat, kataku lemah.” Sungguh hadirnya membuat pikiranku bernostalgia ke masa lalu, ketika dia menghianatiku.
“Oh.. syukurlah, senang mendengarnya” lagi-lagi suara ayunya menggodaku.
“Ani… mana suamimu..?” Aku menoleh ke sekelilingnya, berharap dia tidak ada meski bibirku mencarinya.
“Mmmm Dia”, jawabnya lemah, nadanya menurun dari semangat sapanya beberapa menit yang lalu.
“Jangan bicarakan Dia, terlalu menyakitkan” kaget dan segera pikiranku membentuk sebuah tanda tanya, belum sempat kutanyakan dia kembali bergumam.
“Yas… kamu ke sini mau beli apa..?”
“Aku mau membeli sendal”, jawabku sedikit gugup.
“Hmmm.. kebetulan aku juga cari sendal nih, kalau gitu kita bareng aja ya”
Aku tertawa dan menggaruk kepala, “mmm gimana ya..” jawabku sedikit ragu dan bukan aku tidak mau, aku cuma takut digosip jalan sama istri orang, itu pikirku dalam.
“Ya.. kalau tidak bisa tidak usah, aku jalan sendiri saja..” Dia senyum tapi matanya melukis kekecewaan. Aku sadar itu.
“Ya.. Aku mau kok, kita cari sendal bareng.” Tegas dan sigap, sikapku lumayan mengembalikan wajahnya untuk ceria. Dia merona lebih cerah dari mentari pagi itu di pasar.

Mataku bermain ke seluruh penjuru keramaian yang bising, sesekali kudapati beberapa pasang mata yang mengantar tiap langkahnya. Memang banyak yang tertipu dengan parasnya yang sudah bersuami.

Angin siang mulai berhembus pelan, menembus celah keramaian, menyapu bersih, membawa pergi bau dari berbagai tubuh dan sampah berserakaan di los pasar tapi masih ada yang singgah di hidungku.
“Sengsaraku sirna aroma sampah seharum kasturi, bising menjadi sebuah instrumen syahdu pelipur lara, aku selalu ingin di dekatnya.”
“Tidak.. tidak..A ku tidak boleh bermimpi aneh, Dia sudah bersuami”. Kembali hatiku membanting arah pikiranku yang sudah berandai.

“Ani… Kamu pulangnya naik apa?” Sebenarnya pertanyaanku bukan untuk menawarkan tumpangan. Kucoba mengisi kekosongan bibirnya.
“Mmmm, Aku naik angkot. Habis tak ada yang antar sih, Bapak sibuk di rumah”.
Jawabannya semakin menantangku untuk bertanya tapi kutahan. Sama sekali dia tak pernah menyelipkan nama suaminya di setiap lembaran obrolan kami.
“Emang suamimu di mana..?” pertanyaanku seperti kendaraan yang melewati jalan bebatuan, terbata dan hati-hati.
Mendengar kalimat tanyaku, dia tersenyum rusak. Lautan matanya tak dapat kuselami padahal aku penyelam handal, aku bahkan tersesat oleh senyumnya yang misterius. Dia menyimpan rahasia yang tak gampang diuraikan.
Tapi dia menyanggah sederhana.
“Yas, ada waktunya aku mengusir kalimat tanyamu dan bukan sekarang”. Dia kembali memberiku jaminan..
“Ni… Aku pulang duluan ya..”
“Oh.. iya Yas, makasih yah udah nemanin aku di sini”.

Aku pun berbalik dan berjalan meninggalkannya. Ada saja pikiranku untuk meminta no. hapenya hingga aku putar arah dan kembali kudapati dia masih memperhatikanku.
“Ani… berapa no. Hape ta..?” khas maksassar tanyaku. Dia pun menyanggah seakan tak ingin no. hapenya kupinang.
“Ayolah” nadaku sedikit memaksa.
Dia berpikir sejenak, dalam hitungan beberapa menit akhirnya dia memberikan apa yang kuminta.
Melaju pelan menikmati terik siang yang menyengat, sisa-sisa nafasnya masih kurasakan serta suaranya yang mengalun di telingaku. sampai di rumah dengan membawa sejumlah kisah baru.

Matahari terbit, embun mulai beranjak dari dudukannya yang memuai hangat dan semua berjalan dengan cepat. Aku masih ragu untuk membuat hapenya berdering dari panggilanku. Benar, ini tidak logis lagi. Tidak mungkin aku menelpon istri orang dengan alasan apapun.

Aku bermalam di rumah teman kebetulan rumahnya tak jauh dari kampus. Suasananya ramai, gaduh. Ada yang sibuk dengan monitor, mengakses internet, fb hingga game yang memerahkan mata. Ada pun sibuk dengan Hpnya, bertukar suara. Lembar proposal skripsi berserakan dengan hiasan coretan dari Dosen Pembimbing. Tak ada yang peduli.
“Gimana dengan aku..?” sapa hatiku lirih. Masing-masing sibuk dengan urusannya. Mungkin jariku butuh olahraga, hingga kumainkan Hape, mencari daftar kontak dan sampailah aku pada sebuah nama yang baru tersave di kontakku. Kuberanikan diri untuk menelponnya.
“Tut.. tut… tut..” nada memanggil mulai menelusuri jaringan hingga terdengar sebuah jawaban, aku di ujung telepon.
“Assalamualaikum… maaf dengan siapa?” Jawab salam Nada suaranya lemah dan aku tau dia setengah berjalan menuju mimpi.
“Maaf, dengan Ani ya..?” aku memastikan.
“Ia.. Saya sendiri, ini dengan siapa..?” dia membalas.
“Oh.ini Aku, Diyas”. Aku sedikit tegas memberi sedikit tekanan berharap dia kembali dari perjalanannya menuju suatu alam.
“Oh.. Kamu Yas.. udah jam berapa sekarang..?” nadanya semakin menanjak dari rasa kantuknya.
“Hmmm.. udah jam 12 malam.”
“Yas.. napa belum tidur..?” ini udah larut.
Aku kembali membalas, “Ah.. biasa, aku udah biasa begadang”.
Obrolan semakin canggih, membabat habis jam yang seharusnya digunakan untuk tidur.
“Ni.. maukah kamu menjadi kekasihku lagi..?” Aku mengatakan cinta. “Yas.. kamu sadar tidak”.
“Ya aku sadar, aku ingin kita seperti dulu lagi”.
“Yas… jangan begitu, aku ini sudah janda. Kamu akan menyesal nantinya dan tak ada kebahagiaan yang bisa kamu dapat dari saya”.
Tak Terasa
“Allahu.. Akbar.. Allahu Akbar..” Udah ada yang adzan.
“Udah subuh Yas, mending kita pending dulu. Sholaat dan tidur. Dia menyarankan dan aku menurutinya.

Hari berlanjut tak diam dan tak mau menungguku. Semakin cepat terasa, hubungan kami semakin dekat, bahkan pertanyanku mengenai suaminya sudah aku hapus. “Ah itu tak penting”.
Dua hari dia tak menghubungiku, ada yang hilang dan aku malah merasa sedih. Ada apa yaa..? apa dia sibuk hingga lupa memencet panggilan untukku. “Ah biarkan saja”.

ADVERTISEMENT

Malaikat putih bersayap terbang mengitari kepalaku dengan nasehatnya yang bijak.
“Lho Yas.. Kamu malah sibuk mikirin istri orang, apa yang kamu harapkan..?”
Tak kalah hebatnya dengan wajah hitam bertanduk menggodaku
“Aah Yas… itu tak masalah, diakan sayang kamu juga”
Dua mahluk halus itu berselisih, bergantian membujukku dan sayang aku tak menghiraukan mereka.

Siang itu aku sibuk dengan laptop, bermain dengan keyboard dan menyelesaikan proposal yang sebelumnya mati suri. Aku ingin cepat dapat tanda tangan dan ACC.

Hapeku berdering keras, ada panggilan dan tidak lain adalah Ani.
Aku angkat panggilannya dan memberikan dia kesempatan memulai pembicaraan.
“Ya.. halo, Yas..”
“Ya.. Ni, ini aku. Kamu kenapa..?” Aku sedikit menahan kecepatan laju bicaranya.
“Aku udah resmi cerai dengan suamiku”.
Aku tersentak dan tak sengaja tanganku menyambar sebuah gelas berisi kopi. Aku benar-benar kaget dengan pengakuannya.
“Kenapa Bisa..?” sedikit kupastikan dengan nada pelan.
Dia menjawab
“Kami tak cocok dan akhirnya kemarin dia menceraikan aku dengan resmi, dengan kebulatan hatinya dan dengan air matanya”.

Aku mendengarkannya sementara pikiranku melayang mencari sesuatu yang tak pasti. Obrolan kami larut hingga 60 menit tak terasa dan hanya perceraian yang kami bahas.
“Yas.. udah dulu ya.. Aku mau tidur siang nih.” Dia memotong tak memberiku kesempatan dan “tut… tut.. tut”. putus obrolan kami.

Dia sudah menjadi janda, kata yang seakan menjadi nyanyian batinku siang itu.

Waktu melaju seperti biasanya, seperti biasa kami mengisi hari-hari dengan canda tawa di dunia telekomunikasi, sesekali aku mengajak dia makan. kami semakin dekat seperti beberapa tahun silam.

Setahun sudah kami melintasi waktu, semua berjalan dengan baik.
Aku pun resmi menyandang gelar sarjana dan mendapatkan wadah untuk mengaplikasikan ilmu yang aku dapat dari bangku kuliah. Meski masih terbilang honor dengan gaji yang tak menentu tapi aku menikmatinya. Aku pikir, lama-lama juga terangkat jadi PNS.

Hari itu kuberanikan diri untuk memperkenalkan seorang perempuaan kepada orangtuaku, benar aku ingin mengakhiri gelarku sebagai seorang anak muda.
Respon orangtuaku positif dan itu sebelum saya terus terang bahwa Ani adalah seorang janda. Keadaan berputar 190 derajat setelah saya memberitahukan bahwa dia adalah seorang janda.
Aku tetap kokoh dalam sebuah keyakinan dan benar-benar hanya dia yang kuinginkan. Semakin orangtuaku bersikeras membujuk agar aku mengakhiri hubunganku dan semakin bersikeras aku mempertahankannya.
“Yas.. apa kata orang nanti…? Kamu menikah dengan seorang janda”.
”Bu, Aku sudah pikirkan hal itu dan aku tak perduli dengan ocehan dan gosip murah. Aku tetap bertekad untuk mempersuntingnya. Aku mencintainya dan dia pun sebaliknya. Ketika aku memilihnya maka akan kubutakan mataku tentang apa dan bagaimana masa lalunya”.
“Aku sudah terlalu lama mengenalnya, dia cocok denganku, dengan karakterku dan segala yang ada dalam keluarga kita termasuk ayah dan ibu”.
Kalimat yang aku ungkapkan untuk yang kesekian kalinya dan selama itu pula mereka tak mau menerima tawaranku
Entah, mungkin karena Orangtuaku sudah bosan mendengar tawaranku hingga akhirnya mereka menyalakan lampu hijau.
“Ya.. ini hidup kamu, hidup barumu dan bukan aku dan bapakmu yang akan menjalaninya” pengakuan Ibu telah aku saksikan, memberiku jalan dan restu.

Kami akhirnya menikah, menjalani hidup baru. Tak kalah serunya dengan gosip beterbangan dari mulut ke telinga.
Malam pertama, malam yang di mana semua pasangan pengantin baru menantikannya. Kami lalui dengan penuh bahagia dan aku lega meski ada sebuah tanda tanya lagi.
Ternyata aku menikah dengan seorang gadis dan bahkan aku tidak percaya tapi itulah kenyataannya. Beberapa hari kemudian aku melepaskan beban pikiran dan mempertanyakan kepada Istriku tentang kejadian itu.
“Benar suamiku…” Nadanya lembut dan meyakinkan sambil duduk manis di sampingku, menyandarkan kepalanya di pundakku dan menatap mataku dengan serius.
“saat ini aku akan membuatmu lebih nyaman dengan beberapa penjelasan yang mungkin bisa mengobati gundahmu selama ini.
“Suamiku, aku tau gosip ratusan mulut sekampung kita mebuatmu tidak nyaman meski kau mengatakan tidak”.
“Aku Seorang janda”, intonasinya rendah.
“Aku seorang janda di matamu dan di mata keluargamu hingga semua masyarakat menyusul mengatakan itu. Ya.. semua benar bahkan kamu suamiku”.
“Hanya saja, saat kita belum menikah, aku janda di dalam sebuah status sosial dan di dalam sebuah undang-undang”
“Aku bangga padamu suamiku, meski cintamu pernah aku khianati beberapa tahun yang lalu karena pernikahanku dengan orang lain namun kau tetap mencintaiku bahkan sampai aku berstatus janda hingga satu minggu yang lalu kau melamarku. Aku bahagia”.
“Suamiku, cintamu tak mengenal statusku apa, aku benar-benar percaya ketulusanmu mencintaiku”
“Suamiku”, Kau tak pernah takut dengan gosip, tak pernah goyah dengan murka orangtuamu hingga hari ini kau masih berada di sampingku sebagai Suamiku”.
Nadanya semakin menghanyutkan, aku tetap menatapnya meski tak bisa kusembunyikan kaca di mataku, aku mendengarkan nyanyian syahdu dari hatinya, kembali istriku melanjutkan.
“Suamiku…”
“Sebelumnya aku berpisah dengan suamiku bukan karena aku membencinya atau sebaliknya, dia baik dan aku mencintainya”.
“Hari-hari kami lalui dengan baik dan dia memberiku nafkah sebagaimana seorang suami pada umumnya, tapi tidak untuk nafkah bathin”.
“Suamiku akhirnya jujur tentang sikapnya yang tidak mau menjadi seorang suami seutuhnya, penyakit yang tertanam dalam dirinya tidak bisa membuatnya menjadi laki-laki meski dia adalah seorang lelaki yang tampan”.
Dia tak ingin membuatku dingin ketika angin malam menyapa. Wajar aku menuntut kehangatan darinya karena aku halal untuknya tapi dia tetap tak bisa hingga hari itu dia menceraikanku bersama tangisnya yang pilu.
“Dia yakin dengan perceraian itu, aku mendapatkan yang lebih baik, laki-laki yang baik dan suami yang sejati. Suami yang mampu mengusir gundahku dan itu kamu Yas..”
“Istriku”, Aku memotong lembaran curhatnya dan menghapus beberapa tetes air matanya.
“Terimakasih kau telah menipuku”.

Cerpen Karangan: Ilyas
Facebook: ilyas saputra
Nama saya Ilyas, menjalani pendidikan di salah satu Universitas swasta di makassar.

Cerpen Kekasihku Penipu, Istriku Lebih Menipuku merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Cinta Tertunda

Oleh:
Pagi itu, aku masih bersama ayahku. “Sarapan kali ini, enak sekali!.” pujiku kepada ayah “Memang sebelum-sebelumnya tidak enak?” tanya ayah “Enak kok yah, tapi ini lebiih enak!” ucapku “Eh,

Kasih Yang Tak Dianggap

Oleh:
“Hari itu semuanya baik-baik saja aku masih bersamanya dan menjalani hari-hari dengan indah dan penuh keceriaan tapi entah mengapa 3 hari ini dia sangat berubah padaku bahkan tak menemuiku

Aku (Masih) Cinta Kamu

Oleh:
Angin sore yang berhembus ini. Mengingatkanku tentang kamu yang dulu mewarnai hidupku. Air danau yang jernih ini seperti pikiranku dulu sebelum mengenalmu ‘jernih’. Sore itu, aku seperti di buat

Mawar Africa

Oleh:
Tidak akan pernah sesederhana bunga mawar di ujung jendela. Bagiku hal lain yang kucintai selain menulis adalah kamu. Dan bagaimana bisa, jikalau kamu satu-satunya alasan untuk aku tetap menulis,

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *