Mimpi

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Dalam Hati (Terpendam), Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 9 June 2017

Suci menatap ke arah jendela, lalu ia membuka tirai jendela yang masih tertutup itu. Angin begitu kencang berhembus. Cahaya putih begitu cepat melesat, membuatnya terkejut. Setelah cahaya putih itu melintas, menggelengar suara halilintar yang begitu dahsyat. Ia menutup telinganya rapat-rapat.

Hujan pun turun dengan deras, mengingatkan sebuah cerita kepedihan hari kemarin dan membuatnya termenung. Tubunya terasa lemas. ia bersandar di dinding sambil menatap ke luar. Kemudian pandanganya beralih pada ponselnya. Di dalam background ponselnya. Terpampang nyata foto lelaki yang membuatnya lumpuh karena cinta.
“Kak Cipta… kak Cipta…, kak, dengan cara apa kau bisa mencintaiku? Dengan cara apa?” tangisnya sendu.
Lalu, ia menatap ke atas langit yang hitam kelam. Tak satu pun bintang berkelip. karena saat itu turun hujan. Air hujan pun seakan mengiringi tangisanya yang ikut melukis isi hatinya. Hati yang terluka karena cinta.

Terkadang rasa rindu membuatnya semakin tertekan dan tak tahu apa yang dapat dia lakukan. Mungkin dengan cara ini dia dapat melukiskan batin yang tak mampu dia ungkapkan. Goresan pulpen tergesek oleh kertas putih tanpa noda itu, membuatnya semakin terpuruk penuh luka. Ia pun hanya mengisi waktu kosong dengan mengoreskan tinta pada kertas tanpa noda itu dengan tulisan terkutuk penuh kasih tanpa suara tangis. Kini, ia bersenderan di dinding jendela kamarnya, menangis tanpa suara.

Ia yang begitu mengaguminya, tapi tak tahu bagaimana untuk mengungkapkan rasa. Hanya diam dan cuma diam yang ia lakukan. Meliriknya dari jauh sebagai obat rindu. Tersenyum walau dalam dada sakit yang membuatnya bertahan. Apa mungkin Cipta bisa menjadi seseorang yang berarti untuknya? ia merasakan itu sangat sulit untuk tercapai.

Suci menyadari, ia begitu jauh berbeda dengan temennya itu. ia hanyalah orang tidak mampu yang beruntung bisa bersekolah di sekolah terkenal dan favorit di kota Semarang. Beda dengan Hirsa. Hirsa teman dekatnya bahkan mereka berdua selalu bersama ke manapun, pulang sekolah juga sering berdua. Dia cantik, pintar dan sedikit lebih tinggi dari Suci. Kulitnya putih, lebih putih dari Suci, rambutnya panjang bergelombang dan senyumnya manis. Maka tak salah jika Cipta melukiskan rasa cinta untuk Hirsa.

Setiap saat Suci selalu berusaha untuk mencari perhatian Cipta, namun apa yang ia dapat. Cipta malah tersenyum untuk Hirsa. Membuat dadanya sesak. Ia cuma bisa tersenyum walapun sebenarnya remuk. Ia pun berpaling dan berusaha untuk memendam rasa sakitnya.

Malam itu ia duduk di atas sajadah dengan berzikir dan menyebut asma Allah berkali-kali, ia berharap Sang Maha Pemurah menyikapi keinginannya untuk dapat melukis asa di bawah naungan besar yang menjadikan dia tersakiti. Tak lupa ia beristiqarah, begitu juga tak lupa dia berdoa. Berkali-kali ia meminta, namun nihil. Pasrah adalah jalan terbaik untuk menyerahkan semua kepada Sang Kuasa.

Waktu menunjukan pukul 06.30 WIB. Pandanganya tertuju pada jam tangan yang melingkar manis di lengan kirinya. Seiring berputarnya jarum jam yang tak tahu kapan akan berhenti, sesekali dia melirik ke arah kiri tempat duduknya. Namun buah hasil dari itu nihil. Tak terbayang di mata bulatnya yang indah itu sosok yang dia kagumi. Jarum jam terus berputar. Tepat pukul 06.45 WIB, is mengangkat kepalanya ke atas tibalah yang ia nanti. Namun, semua menjadi pupus. Seperti angin yang berhembus kencang tanpa menyapa, sekejab menghilang tak meninggalkan jejak. Mata bulatnya mulai jernih dan berkaca. meneteskan butiran-butiran air mata kecil, lalu mengalir semakin deras. Menyusuri pipinya yang hitam berminyak, lalu ke dagunya yang mungil.

Dengan perasaan kecewa, ia ayunkan langkah kakinya menuju kelasnya. Butiran-butiran harapan kini telah sirna.
“Ah aku terlalu berharap, semua jadi gini kan” tutur hatinya remuk redam menerima harapan kosong yang tak mungkin perpihak kepadanya.

Tak lama berjalan, ia melok ke kanan, seperti biasa ia masuk dalam kamar mandi untuk merenungkan pikiranya. Cewek ini memang suka menyendiri di dalam kamar mandi saat hatinya gundah.
Setetes air matanya pun menetes di pipinya. Perlahan-lahan, kemudian semakin deras. ia tak memperdulikan orang lain di sekitarnya. Perlahan dia mengusap air matanya dan menatap tajam cermin yang saling berpandangan denganya. Lalu ia hapus air mata yang mengalir di hidungnya dengan sapu tangan.

ADVERTISEMENT

Suci keluar dari kamar mandi, walau matanya masih sembab dan hidungnya masih memerah, kemudian ia meneruskan langkahnya menuju kelasnya.
“Kenapa kamu menangis” tanya Diva di samping Suci duduk meletakan tas ke bangku. Suci yang masih saja memasang wajah muram itu pun duduk tanpa menjawab pertanyaan Diva. Tak lama seorang guru masuk dalam ruang kelas itu.

Usai pelajaran berakhir, Suci menuju musola di dalam sekolahnya itu, tak jauh dari sosok laki-laki yang membuatnya terobsesi dan terus menghantui. Kali ini dia berharap nanti sewaktu sholat ia melihat dan lebih-lebih disapa oleh Cipta. Ia menatap tajam pintu kelas sebelah musola, kelas Cipta. Sesekali ia melirik ke arah barisan jamaah yang sedang berbaris untuk menunaikan kewajiban. Ia tak melihat sosok laki-laki itu. Tak lama ia memutuskan untuk mengambil air wudhu. Ia membasahi wajah penuh murung itu dengan sapuan air Suci yang akan membuatnya menjadi lebih segar.
Dari jauh pandangan matanya pun tak juga tersingkirkan oleh laki-laki itu, sambil berjalan menuju tempat shalat, matanya masih saja mencari-cari Cipta.

Ia baru saja selesai berdzikir dan melaksanakan ibadah shalat Ashar. Suci teringat kalimat-kalimat yang pernah ia cari diinternet, iya kalimat meminta peunjuk serta fadilah untuk dapat memikat hati Cipta. Detak jantung Suci berdegup makin kencang saat kalimat itu dibaca olehnya beberapa kali. Sebuah pesan yang membuat hatinya kalut, gundah dan kebingungan. Air mata Suci seketika menetes, perlahan-lahan. Lama-lama menjadi deras air matanya. Ia menangis. “Apakah kak Cipta tahu saat ini aku sedang menagisinya?” Batin Suci dalam hati resah.

Untuk mempererat hubungan cintanya dengan Cipta, selama ini Suci selalu mengamalkan ayat-ayat al-Quran agar hati Cipta sepenuhnya terbuka untuk dirinya. Anjuran untuk bersholawat serta menyebut nama Cipta pun ia lakukan. Akan tetapi, usahanya kali ini sia-sia belaka. Seperti melukis di atas air. Sesuatu hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Haruskan Suci melupakan Cipta?

Sepulang sekolah Suci berniat untuk pergi ke toko buku, namun kali ini ia tidak ada teman untuk ke sana, ia mencari Diva temanya. Akhirnya Suci pun pergi bersama Diva ke toko buku dekat sekolanya itu. Sebenarnya Suci tidak ingin mengajak Diva, ia ingin sekali mengajak Cipta untuk sekedar membaca buku. Namun ia tidak berani untuk menawarinya.

Sesampainya di toko buku, Diva berjalan ke arah utara, sedangkan Suci melangkah menuju kumpulan buku Novel Roman. Kemudian ia mencari-cari buku yang ia ingin baca. Tak lama sebuah buku terpampang jelas di hadapanya, “rain”. Sebuah buku dimana seorang wanita yang terobsesi dengan seorang cowok yang baru saja cewek itu kenal. Namun cewek itu hanya menyimpan perasaannya dan diresapi sendiri. Ini mungkin kisah yang sama yang Suci alami. Mungkin ia akan membaca novel itu untuk mencari inspiratif hidup cewek yang terdapat pada novel tersebut.

Tak lama Diva menghampiri Suci,
“Suci, pulang yuk, sudah setengah lima nanti keburu hujan langit sudah menghitam.”
Diva mengajaknya pulang karena hari sudah sore lagipula saat itu musim hujan. Jika kelamaan di sana bisa saja nanti pulang kehujanan. Padahal Suci baru saja membaca lima dari dua ratus tiga puluh halaman novel itu.
“Iya bentar ini aku taruh buku ini dulu” jawab Suci seraya menaruh buku di sebuah lemari rak buku.

Akhirnya Suci pun menyetujui untuk pulang. Mereka pun keluar bersama, sampe di pintu keluar toko buku, langit sudah mulai meneteskan sebagian dari airnya. Suci dan Diva pun berlarian kecil menuju halte Simpanglima. Tak lama bus datang lalu mereka naik. Diva duduk di depan dekat pintu, sedangkan Suci duduk sendirian di bagian depan bus. Hanya ada 3 orang yang mengisi tempat duduk di sayap kiri bersama Suci. Dan 5 orang di sayap kanan.

Suci sedikit kikuk dan merasa bodoh. Matanya tertuju pada sepasang kekasih yang sedang menikmati perjalan sambil perpegangan tangan. Namun itu menjadi sedikit rasa jenkel dalam hatinya, ia pun melupakan dan melemparkan pandanganya kejalanan.

“Suci kamu baru pulang?” ujar Cipta dengan senyum yang baru saja naik bus itu dan duduk disebelah kiri Suci.
Seketika uadar dalam bus menjadi lebih dingin dari tadi. Perasaan Suci kanget campur tidak percya Cipta menyapanya didalam bus.
“Iya kak, kakak juga baru pulang?” tanya Suci sambil sedikit melirik kemata Cipta.
“Iya ini kakak dari beli buku tadi” jawab Cipta sedikit senyum.
“Lho sama dong kak, tadi aku juga dari toko buku itu” Suci kaget dalam benaknya berpikir, kenapa tadi aku gak ketemu kak Cipta ya, seandainya saja tadi bisa berduaan baca buku yang aku baca tadi. Seketika pikiran Suci lengah.
“Ikut kakak makan yuk, laper!” ajak Cipta.
“Kakak benar mengajak aku makan? Dimana? Yuk aku juga lapar.” jawab Suci sedikit senyuman gembira bak bunga yang baru saja mekar disiram oleh air hujan seketika datang tanpa diundang.

Sampailah mereka di suatu halte, kemudian mereka berdua keluar halte dan meninggalkan Diva. Merek menuju sebuah restoran kecil sebelah jalan raya dekat halte tadi.
“Suci” ucap Cipta membuyarkan lamunan Suci.
“Hem?”
“Tadi kamu ke toko buku beli apa?”
“Aku gak beli apa-apa, tadi sempat baca novel bagus tapi baru beberapa halaman saja” jawab Suci”
Cipta mengangguk.
“Novel apa” jawabnya singkat.
“Gak apa-apa kok” Suci menjawab dengan malu.
“Ini aku tadi beli buku buat kamu”
Seketika Suci terkejut sejenak. Lalu terdiam terpaku melihat buku yang dikasih Cipta adalah novel yang tadi ia baca. “Rain”. Iya buku yang Suci baca tadi. Ia kebingungan sedikti malu-malu.
“Makasih kak”
“Iya sama-sama”
“Ini Novel yang aku baca tadi.”
“Serius? Aku salah nggak beli itu untuk kamu?”
“Nggak. Makasih banget ya kak?”

Entak kenapa suasana semakin bertambah kaku, Lelaki itu perlahan mengendalikan kedua tangannya menuju tangan Suci. Tak lama Suci dibuat terkejut, lelaki itu memegang tangan Suci. Entah angin apa yang membujuk Cipta untuk memegang tagan Suci. Suci tidak percaya dengan apa yang terjadi, namun itu memang benar.
Suci tersenyum memancarkan rasa gembira. Lalu ia menundukan kepala sejenak, ia masih tak percaya dengan yang terjadi. Dalam waktu yang penuh bahagia itu, ia meresapi sesuatu kisah yang ia impikan.

“Suci bangun! Sudah sampe ayo turun!” teriak Diva. Suci terbangun. Dia gelagapan. Dia memandang sekeliling. Di mana kak Cipta?
Dengan penuh tanya tanya, ia melangkahkan kakinya keluar bus. Suci melirik jam tangan yang melingkar manis di jarinya. Pukul 17.00 WIB. Ia dan Diva bergegas pulang karena sudah terlalu sore.

Malam itu tepat pukul tujuh malam, Suci bersenderan di dinding kamarnya melamunkan mimpinya sewaktu pualng tadi di bus. Ia seakan menemukan suatu petunjuk.
Ia masih bersenderan di dinding kamarnya, kulitnya seraya dingin merinding. Ia mencoba melipat kedua tanganya ke dada. Namun angin tetap berhembus kencang menuju menerobos jendela kamar Suci yang terbuka. Tak lama kemudian, ia mendekat ke jendela yang terbuka tadi. Ia menatap ke atas langit.
Tuhan, seandainya tadi benar-benar terjadi. Mungkin …

Suci merasa badanya gemetaran karena angin semakin kencang berhembus menegnai badan Suci, lalu ia menutup kencang jendelanya.
Mendadak ibunya masuk tanpa mengetuk pintu,
“Sudah shalat belum? Shalat dulu” suruh ibunya sambil menatap ke arahnya.
Lalu Suci berajak dari tempat tidurnya dan mengambil air wudhu.
Dalam shalat, Suci menundukan diri kepada Tuhan, “Ya Allah, jadikan mimpi tadi menjadi sebuah kisah nyata, ya Allah, hamba bersujud kepada-Mu, berserah diri, Hamba sangat mencitai kak Cipta, kabulkanlah ya Allah.”

Tak semua rasa cinta itu harus diumbar ke dunia. Adakalanya dipupuk dengan sabar. Dinikmati setelah mekar.
Suci letih. Teramat angat letih. pikiranya dibuat galau dengan hal-hal yang masih berbau kemungkinan.

Cerpen Karangan: Riki Wahyu Wibowo
Blog: Rikiwahyuwibowo.blogspot.co.id/Cipta

Cerpen Mimpi merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Waktu Di Balik Senja (Part 5)

Oleh:
“Ray..” panggil Devan. “Lo gak apa-apa kan?” tanyanya lagi. “Enggak, emang gue kenapa?” “Kenapa kemaren gak masuk? Ada masalah sama Adit? Atau sama Bara?” “Apaan sih, gak ada kok.

Senja Penuh Keharaman

Oleh:
Waktu berjalan cepat pagi telah berubah menjadi siang kebetulan hari itu adalah hari Jum’at. Setelah itu kami memutuskan untuk mengadakan latihan tambahan guna mempersiapkan pentas seni besok di gedung

Cinta Yang Terpendam

Oleh:
Mencintai dalam diam adalah hal yang menyakitkan bagi orang-orang yang tak biasa dengan hal itu. Namun, mencintai dalam diam menurutku adalah hal yang paling aku gemari karena hanya itu

Bekal Nasi

Oleh:
Semenjak aku sekolah pagi, aku jadi lebih banyak kegiatan. Kegiatan tambahan dari ekskul, rapat osis dan latihan musik benar-benar membuatku jauh dari makan siang, terutama jauh dari Nasi. Tapi

Manisnya Sabar

Oleh:
Awal yang bahagia, namamu Desty saat ini aku mau masuk SMK bahagia banget. Hari senin tiba, hari dimana masuk sekolah yang pertama kalinya, semua menyambutku. Rasanya senang sekali. Aku

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *