Kebohongan Suamiku

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Islami
Lolos moderasi pada: 17 May 2014

Hari kepulanganku dari pesantren, menjadi awal kutatap cakrawala kebebasan. Ada semangat baru melekat di jiwa. Sejak enam tahun lalu, aku masuk di pesantren ini, mendalami islam dan Al-Qur’an, mengecap manisnya iman dan takwa. Sekarang aku telah dilapasnya, seperti anak burung yang baru beranjak dewasa. Senang rasanya, seakan penduduk langit dan bumi menyapa kehadiranku di permukaan. Namun kesadaran ini semakin menerkam tatkala laju mobilku semakin jauh melaju. Tak ada yang mengalahkan sedihnya dilepaskan oleh tempat dimana aku bersama kawan-kawan lainnya mengukir asa dan kenangan.

Aba menyetir mobil. Matanya bercahaya pantulan mentari elok. Aku mengernyitkan kening dan menggeleng. Aku mengenal ekspresi ini. Ekspresi Aba yang penuh misteri.

Sejurus kulepas pandangan. Rimbun pohon di sisi jalan kini menjadi daya tarikku. Sambil menyetir Aba berbicara tanpa mempedulikan mataku yang mulai layu termakan kantuk.
“Ummimu tidak ikut menjemput. Dia sedang sibuk mengurus penyambutan…” Aku mengangguk tanda mengerti. Siapa lagi yang akan disambut kalau bukan putri semata wayangnya. Itulah aku.

Usai sholat magrib berjamaah, orang-orang seisi rumah berhamburan. Aba sibuk teleponan dengan temannya, ummi dan sepupuku Anis sibuk menghidangkan makanan. Aku ikut membantu. Dengan senyum merekah aku mengangkat gelas dan sendok, lalu mengaturnya di atas meja. Semuanya memang aneh pikirku. Masa menyambut kepulanganku saja terlihat sedikit sakral.
“lho Ummi menyambut kepulangan Zakiyah saja lebay amat!” seruku pada Ummii. dia diam saja, sambil sibuk mengatur piring di atas meja.
“ini penyambutan buat calon suami kamu.” Anis angkat bicara, aku melongok bingung. Sepupuku ini memang senang bercanda. Aku menghampiri Ummi. Mencari jawaban di sorot matanya yang dalam.
beliau enggan menatapku. Dan kudapati kebenaran dari sorot mata itu.
Aku terdiam mematung…

Namanya Farid. Mahasiswa Al-Azhar tingkat 3 jurusan Syariah Islam. Saat ini dia duduk di sampingku di dalam pesawat. Yaa, kami sah sebagai suami isteri. Dua hari lalu dia mengucap ijab Kabul yang disahkan keluarga kami sebagai saksi. Dua hari lalu aku mulai mempertanggungjawabkan hidupku padanya, dan Dua hari yang lalu aku telah berhak meminta sesuatu padanya.

Kami akan menuju negeri seribu menara (Mesir). Tempat di mana aku akan melanjutkan pendidikan. Lebih tepatnya tempat kami berdua akan melanjutkan pendidikan. Jangan salah, ini salah satu janji Aba yang mendorongku untuk menganggukkan kepala menyetujui lamaran ini, di samping perjodohan kami sudah lama dibicarakan. Bahkan sejak kami kanak-kanak. Dan inilah hasilnya. Aku duduk dengan seorang suami yang baru kulihat dua hari yang lalu. seorang suami yatim yang selalu dibangga-banggakan oleh Abaku. seorang anak yang telah diasuh oleh Aba. dialah suamiku.

Kutatap wajah suamiku yang terlelap. Lekat-lekat kupandangi tidurnya yang pulas. kulawan rasa terasingku selama ini. Dia belum kukenal sama sekali. Semakin dekat semakin aku mencari jawaban. Benarkah dia jodohku?, benarkah aku bagian dari tulang rusuknya yang hilang?, semakin lama semakin aku tak mengenal diriku. Seperti orang yang hilang ingatan. Kulontarkan Tanya pada diri sendiri. “benarkah aku sudah menikah?”
“Sudah..” matanya membuka dan mendapati aku menatapnya. Kami salah tingkah sendiri. Aku berusaha bersikap hangat. “kakak mau minum?” ia menggelang.
“Kamu pintar masak kan?” tanyanya seketika. Dengan rasa malu aku menggeleng. Dia menatapku lama. Mungkinkah dia juga merasakan perasaan yang sama sepertiku. Melontarkan pertanyaan pada dirinya sendiri mengenai kebenaran ini. seperti mencari keyakinan tentang takdir kami saat ini. Kami berdua terdiam.
“jadi Zakiyah pintar apa?” nada suaranya lebih rama.
“aku suka membaca, nonton, fotografis, dan jalan-jalan seperti sekarang ini.” Jawabku antusias. Dia tertawa,
“hey, yang aku Tanya kepintaran kamu dalam mengurus rumah tangga, bukan kesenangan kamu!”
dia tersenyum. Aku merasa malu dan bodoh. tiba-tiba tangan hangatnya mengusap kepalaku, seperti memperlakukan anak kecil yang lemah.
“dasar isteri aneh. oh ya, ini untuk kamu” tangannya menyodorkan sebuah gelang putih dari batuan alam lalu
dia kembali terlelap. Aku menatap gelang ini dalam ekspresi bingung.

Kami hidup bersama di sebuah rumah kontrakan kecil, dekat universitas Al-Azhar. Dia membantuku mengurus segala bentuk administrasi perkuliahan, membeli perlengkapan seperti buku dan lain-lain, membantu mengeja bahas Arabku yang awut-awutan. Dan pastinya jalan-jalan di sela kegiatan kami. Suamiku mengajakku ke berbagai kota yang terkenal seperti Alexandria, mengunjungi pyramid, dan patung sphinx, termasuk mengunjungi pantai indah Alexandria. Mecoba berbagai makanan khas mesir seperti syawerma sejenis roti isi, namun kadang kami mencari makanan Indonesia seperti coto di kala lidah kami rindu mencicipi masakan tanah air.

Aku belajar menjadi seorang ibu rumah tangga. Memasak untuk makan kami bersama yang pada akhirnya akan dibantu olehnya. Padahal dia selalu terlihat sibuk mengerjakan tugas. Ternyata nikah muda tidak seburuk fikiranku selama ini. Menoton, tidak bisa bebas, kuno dan pemikiran lain yang yang menurutku kurang menarik.

Dengan menikah kami lebih mandiri, lebih bisa menyesuaikan sikap dan diri, lebih memahami orang lain, kami juga bebas melangkah, belajar, bahkan kami bisa menjadi partner diskusi dan saling membantu dalam pelajaran. itulah kebahagiaan kecil yang kualami saat ini.

ADVERTISEMENT

Sayup-sayup adzan subuh membelah tidurku. Aku terbangun dari tidur lelap, suamiku ternyata sudah duduk rapi dengan Al-Qur’an di tangannya. Ia terlihat serius melantunkan ayat suci itu sampai tak sadar kalau-kalau aku sudah bangun. Segera kuguyur kantuk dengan wudhu yang sejuk, mengenakan alat sholat dan duduk di sampingnya. Ia menutup Al-Qur’an, dan memimpin sholat subuh.
Usai berdo’a aku mencium tangannya, lalu kulontarkan pertanyaan yang selama ini masih kusimpan.
“hm.., kakak kenapa mau menikah muda, dan menyetujui perjodohan kita?” Tanyaku antusias.
Dia Nampak berfikir lalu tersenyum.
“karena kita dijodohkan” aku melotot memasang roman kurang puas.
“yahh.., jawabannya tidak rasional.” Selaku ketus, dia tertawa.
“supaya ada yang masakin selama kuliah. Tapi yaa, gimana lagi. Kamu sendiri tidak bisa masak.” jelasnya sambil mengejek. Kemudian dia balik bertanya. “kalau zakiyah, kenapa menyetujui pinangan ana?”
“hm… karena di suruh sama Aba.” Jawabku jujur
“tuh kan jawaban kamu lebih aneh.” Kami kembali tersenyum.
Segera kugenggam tangan suamiku, mendekapnya di dada. “… uhibbukum fillah” Lama kami saling memandang, mencari kebenaran dari sorot mata masing-masing. Seperti mencari sebuah keyakinan. tentang keberadaan kami di negeri ini, hanya berdua dengan status yang berbeda dari teman-teman seusia kami.
“masak gih sana, sebentar ada kuliah kan.” Suamiku mengingatkan. Aku beranjak
“kakak mau makan apa?” tanyaku antusias.
“terserah, asal tidak gosong” jawabnya kembali mengejek. Aku meringis..

Setahun berlalu. Kami mulai diliput kesibukan ujian. Kadang kami sama-sama mengerjakan tugas di kamar dalam diam dan sunyi. Sesekali saling melirik dan bertukar pandang. Saat seperti itu kami akan tertawa geli. Kadang aku terkejut, ketika mengetik tiba-tiba di sampingku sudah ada makanan dan minuman. Aku malu sendiri, dan merasa tidak enak. Sebaliknya suamiku senang kalau melihatku terlalu serius dengan tugas-tugas sampai lupa menyiapkan makanan. Katanya ini salah satu kebiasaan pelakon nikah muda.

Akhirnya pengumuman keluar. Kami dinyatakan lulus dan naik tingkat. Meski harus kuakui nilainya lebih bagus dari nilaiku. Tapi aku tidak mau kalah. Ada saat di mana suami akan menjadi pesaing kita. Meski berbeda jurusan tapi dalam pencapaian prestasi aku senang menjadikannya pesaing.

Musim panas. Saat di mana mentari mengguncang Afrika dengan sengatan maha dahsyat. Inilah masa-masa yang kurang kusukai di Mesir. Masa-masa ini juga menjadi masa yang berbeda dari sebelumnya. Termasuk kondisi suamiku. Dia lebih lama menghabiskan waktu di luar rumah, Pulang terlambat, bahkan sampai tangah malam. dan ini yang kurang kuterima dengan akal sehat. Ketika dia harus menginap di rumah temannya yang lebih jauh jaraknya dari kampus di bandingkan rumah kita. Setiap kutanya, jawabanya datar-datar saja. Belajar bareng, kerja tugas bareng, bahkan ada jawaban yang membuatku terpukul. “sekali-kali ngumpul sama teman. Kan bosan kalau di rumah terus

Libur panjang menyapa. Dan keanehan suamiku semakin menjadi. Dia Nampak lebih kurus, enggan memakan makanan yang kumasak, wajahnya pucat, matanya sendu, dan tidak bersinar seprti dulu. Ada pertanyaan besar mengganjal di hatiku, kala kulihat dirinya yang menjauh, menghindar, dan memiliki kesibukan sendiri.

Di suatu malam buta aku tersentak bangun. Terdengar pintu bergerak lepas. Suamiku pulang bergelantung dengan lemah, wajahnya Nampak lelah, tubuhnya lemah dan kurus, Nampak bayangan hitam di sekeliling bola matanya yang mendung. Dengan buru-buru ia menghempas tas, memasukkan pakaian ke dalamnya. Aku terkejut melihat aksi yang yang semakin aneh.
“aku mau pergi acara di luar kota,” jelasnya ketus. Dengan sejuta kebingungan aku melontarkan Tanya.
namun dia hanya diam. Yaa. Aku sadar ini momen-momen liburan. Tapi bukankah dia bisa menghabiskannya di sini.
“lalu aku sama siapa?” tanyaku dengan nada meninggi. Dia enggan menatapku bahkan sangat sibuk mengatur pakaiannya.
“cari kesenangan sendirilah, pulang ke Indonesia juga bisa. Aku pamit dulu assalamualaikum..”
bruk!!! Pintu tertutup rapat, suamiku pergi bahkan tanpa menatapku sedikitpun.
ini bukan dia sela batinku. Namun ketakutan membuatku semakin yakin…
itu kah sikap suamiku yang sebenarnya?

Aku duduk, sibuk berkutat dengan prasangka sendiri. Ya Allah…, ujian apa ini? Kenapa suamiku berubah, apakah dia pergi karena bosan hidup bersamaku. Atau… tunggu..!! selama ini dia tidak pernah menyatakan perasaannya padaku. Itu berarti, dia tidak mencintaiku. Tapi kenapa? Kenapa dia mau saja dijodohkan. Menjadikanku sebagai isterinya dan mencampakkanku begitu saja. Di sini di sebuah rumah kontrakan kecil di negeri yang masih asing bagiku…
lama aku terdiam. Ada sesuatu yang menarik perhatian. Yaa, di atas meja belajar suamiku. Mungkin ia lupa membawanya. Surat. Sebuah surat putih.

assalamualaikum.. warahmatullah…
Zakiyah isteriku…
maafkan aku karena tidak bisa menjadi imam yang baik untukmu. awalnya kufikir kita akan terus bersama. meski perasaanku belum bisa menyuguhkan cinta untukmu. berbagai upaya telah kulakukan. tapi cinta itu seakan enggan muncul seiring berlalunya waktu mungkin karena aku belum bisa menerima pernikahan ini, padahal Abamu terlalu baik kepada anak yatim ini. Zakiyah isteriku… aku sudah mencoba mencintaimu. tapi sulit, bahkan untuk belajar menerima keadaan ini. aku hanya mengharapkan malam-malam panjangku diisi tahajjud dengan wanita yang kucintai, menjadi iman setia baginya. yaa, ini sangat egois. tapi jiwaku semakin tidak ridho, bila kulihat dirimu dalam harap yang lebih. kamu wanita baik, hanya saja itu belum cukup mengundang rasa sayangku untukmu. aku pergi, demi masa depan kita berdua. aku bukan suami yang baik untukmu, yang bisa kau cium tangannya dengan hormat aku bukan suami bertanggung jawab, yang bisa menemanimu di setiap kesusahan. maaf sekali lagi… aku bukan suami sempurna. semoga engkau temukan sosok yang lebih baik dariku, yang bisa menjadi iman dalam hidupmu. yang enggan mencampakkan gadis manis seprtimu… sekali lagi, maaf Zakiyah… aku tak bisa menjadi iman yang sempurna.
suamimu, yang hina
Farid
wassalamualaikum warahmatullah..

Aku bangkit dengan sekujur tubuh bergetar. isi surat itu terlalu menyakitkan. aku merasa dikhianati dan dipermainkan. sejak bertemu dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya. kenapa aku tidak menyadari ini, kenapa aku begitu bodoh menerima pinangannya begitu saja. dan ini penyesalan yang lebih sakit untuk kuakui. kenapa aku mencintai suamiku? tidak… aku harus kuat. teringat masa-masa beliaku di pesantren dulu, di setiap malam sebelum mimpi menjemput kami, aku dan teman-teman sekamarku mengungkapkan mimpi dan keinginan kami kelak. seakan semuanya akan tercapai dengan begitu mudah. cita-citaku berkeliling dunia, menjadi motivasi yang besar untuk membuatku menjadi lebih kuat. Aku tidur saat itu dengan senyum puas, berharap mimpiku akan terjawab di masa nanti. sekarang aku rindu masa-masa itu, kawan-kawanku. bagaimana kabar mereka sekarang? mungkinkah mereka masih mengingatku, dan mimpi-mimpi itu. aku terisak lagi… mimpiku harus termakan pernikahan ini. pernikahan yang penuh sandiwara. pernikahan yang tak lebih dari sekedar permainan. dan akulah mainan yang harus menyandang diri sebagai mainan itu. pertanyaan silih berganti di setiap memoriku, akankah ku pertahankan ini. pertahankan kepalsuan, pertahankan kepercayaan Aba yang kini ternoda. aku harus sholat. yaa, aku butuh petunjuk Rabbku.

Malam ini terasa aku berdiri memandang malam yang gulita. di antara menara-menara menjulang tinggi menusuk langit. umpama jiwa ini di sobek kenyataan pahit. yaa, kenyataan yang pilu, kenyataan yang harus kupikul sebagai wanita berusia 19 tahun. tapi aku akan kuat, pesantren telah mengajarkanku menjadi wanita yang semangat dan sabar dalam mengarungi setiap badai ujian. aku harus buktikan kepada suamiku kalau aku bisa menjalani hidupku di sini tanpa bantuannya. tak ada yang mengetahui kejadian ini termasuk Aba. kecuali Anis sepupuku, dia juga akan melanjutkan pendidikan di sini.

Tiga hari setelah kepergian suamiku. Anis datang, ia marah dan berniat melapor pada Aba. tapi aku melarangnya. tidak untuk saat ini. aku tidak sanggup, aku tidak akan memberatkan orangtuaku yang semakin bertambah tua. Aku sudah bertekad. Aku akan tetap di sini. fokus pada pelajaranku, melanjutkan kembali mimpiku di pesantren dulu. keliling dunia. aku akan menjadi diplomat, sesuai jurusanku di sini. Hubungan internasional. meski terdengar ngawur. tapi aku akan lebih menspesifikkannya, aku akan menjadi diplomat bagaimanapun caranya.
“ukhti Kia minum susu ta!” Anis menyuguhkan segelas susu putih, sementara aku sibuk menyelesaikan diktat perkuliahan.
“syukran ya, Nis.” aku mengangkat secangkir susu hangat. menuangnya dalam tenggorokan yang kering. dan.. seketika parutku melilit. terasa nyeri yang sangat, aku mual dan memuntahkan segala isi perut. kepalaku sakit. rasa mual semakin menyiksa perutku. dan semua gelap…

Kepalaku terasa berat dan pusing. kupandangi langit-langit kamar samar. ini bukan langit-langit kamar rumahku. aku di mana? apakah ini pesantren, atau aku sedang di kamar kecilku di indonesia. Anis masuk dengan senyum mengambang, ia mendekat. dan berbisik di telingaku. sejurus suasana hening. aku di rumah sakit, dan… aku terkejut mendengar berita ini. Aku mengandung tiga bulan. di luar dugaan. aku masih belum parcaya, kebingungan melanda perasaanku. apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti ini. haruskah aku senang dengan kenyataan ini. tapi bagaimana dengan keadaan anakku kelak, tumbuh tanpa seorang ayah, aku sangat senang dengan anugerah Allah, tapi air mataku tak henti membanjir.. bila kubayangkan nasibnya kelak.

Satu bulan berlalu. sepupuku anis Mulai sibuk dengan ujiannya, begitu juga aku. dia begitu memperhatikan kesehatanku, yang kurang terurus karena aku lebih senang mencari kesibukan, dan berkutat dengan dikta-diktat yang menumpuk. siang ini aku di rumah saja, menghabiskan waktu, mendalami bahasa asing dan mengerjakan tugas lagi.
terdengar pintu rumah terketuk. Aku bangkit, membuka pintu menyaksikan sosok lelaki berdiri tegak. Dia Habib teman suamiku. yaa, aku seirng ke jurusan suamiku, mencari Habib dan mencari tahu keberadaan suamiku. tapi, dia hanya bisa menggeleng dan meminta maaf karena tidak tahu sama sekali tentang keadaan suamiku yang sudah sebulan lebiih tidak menginjakkan kaki di kampus. aku terkejut, dan beragam tanya timbul satu persatu. rasanya ingin aku menanyakan semuanya langsung kepada laki-laki ini. tapi bibirku kelu… terlalu terpaku aku dengan pikiranku sendiri.
“Farid. dia…” jelasnya dengan sedikit keraguan
“Farid sedang menjalani operasi ginjal. maafkan Ana, seharusnya ini kukatakan sejak dulu.”
aku masih bungkam mematung. suamiku sakit. teringat masa akhir kami bersama, tubuhnya yang kurus, wajahnya pucat, matanya yang semakin redup. Tuhan.., suamiku sakit dan aku tidak mengetahuinya.
“Dia menyuruhku untuk merahasiakan ini, dia tidak mau kamu mencemaskan keadaannya. salah satu ginjalnya rusak. makanya dia beralasan ke luar kota. sekali lagi maafkan ana merahasiakan ini ” “kenapa dia merahasiakannya?” tanyaku dengan nada bergetar “Dia tidak mau kamu hidup dengannya yang sudah tidak sempurna”

Aku berdiri di samping suamiku yang terlelap. di dalam rumah sakit Cairo. rumah sakit yang dekat dengan rumah kami. dan selama ini aku tidak tahu. Betapah lemah dirinya. Kurus dan pucat. Pertahananku bobol, akhirnya aku menangis di hadapan suamiku yang tak sadarkan diri. Selang infus membuatnya terlihat semakin lemah. Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang beku. Kulirik pula sebuah gelang yang melingkar di pergelanganku, teringat saat kami di pesawat, gelang pemberiannya begitu berharga saat ini. Aku ingin ia membuka mata melihatku mengenakan gelang pemberiannya.

Aku menggendor lemah tubuhnya. Tidakkah ia ingin mendengar ceritaku, kabar baik kalau aku sedang mengandung, tidakkah ia ingin merasakan masakanku yang sudah mendingan dari awal kita menikah dulu. Tidakkah ia ingin mengetahui kalau aku sangat merindukan teh hangat buatannya, lantunan tilawah Al-Qur’annya yang membuatku segera bangkit, dari tidur lelap.

Suamiku yang bodoh, kenapa ia pergi dalam keadaan sakit dan berbohong. Tidakkah ia tahu kalau isi suratnya sangat pedas. Aku ingin marah, ingin merengek, ingin meminta pertanggungjawaban karena telah mencampakkanku.
Tapi saat ini di hadapanku hanya ada raga yang terbaring kaku.

“suamiku bangunlah.. kamu harus sembuh. Aku tidak peduli dengan ketidaksempurnaanmu. kita harus melanjutkan pernikahan ini. Belajar bersama, mengerjakan tugas barsama. Aku masih harus mengalahkan nilaimu…
suamiku.. jangan tinggalkan bagian tulang rusukmu yang hilang…” aku berbisik si telinganya. sayang tak ada reaksi, tak ada tanggapan, suamiku masih bungkam dalam keadaan terlelap.

Pagi bermandi cahaya mentari. Aku berjalan cepat. Menghampiri lelaki di hadapanku. Menggandeng tangannya dengan erat.
“mau makan apa?” tanyanya. Aku melirik warung coto di hadapan kami. Dia tertawa..
“bukan aku yang mau. Tapi yang di sini.” Jelasku sambil menepuk perutku. Kami tertawa lagi.
yaa, suamiku kembali. Meski dalam keadaan yang lemah. Tapi dia tetap kuat di mataku. Hilangnya satu ginjal tidak menghilangkan sedikit pun rasa sayangku.
“Ammiyah…!” bisiknya sambil memandangku lama. aku terkejut lalu tersenyum
“Behebbik… uhibbuki fillah ” lanjutnya
kami terdiam, sambil menunggu pesanan coto untukku.

Cerpen Karangan: Rezky Arnindi
Blog: coretansiput.blospot.com

Cerpen Kebohongan Suamiku merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Aku Pernah Jatuh Cinta

Oleh:
Hari ini, setelah libur kuliah sedikit lama, Aku berencana kembali ke kota Malang. Perjalanan yang cukup menguras tenaga, karena memerlukan 4 jam waktu tempuh dengan menggunakan motor. Tapi, perjalanan

My Husband is My Idol (5)

Oleh:
Part 20 Menunggu Wisuda Hari sidang sudah tiba, Kami para mahasiswa sangat bersemangat untuk melaksanakan sidang ini. di antara aku.Aisyah dan Dara yang akan sidang terlebih dahulu adalah Dara

Istikharoh Cinta

Oleh:
Aku tahu islam melarang untuk pacaran, tapi mengapa banyak orang yang terjebak oleh kata konyol itu? Cinta. Aku adalah salah satu orang dari mereka. Hafidz namanya, ia adalah pria

Sebuah Keputusan

Oleh:
Sore itu, dengan penuh pertimbangan dan keteguhan hatinya—Windy—gadis yang kini tengah berkutat di semester lima perkuliahan itu kembali mengulang kalimat itu sebagai bukti bahwa niatnya sudah kuat dan dan

Nantikan Ku Di Batas Waktu

Oleh:
Aku terhanyut bersama sunyinya malam, Aku merayu meminta pada sayang pemilik cinta. Aku mengadu. Meminta, meronta, merebahkan diri dan semoga sang pemilik cinta, berkenan untuk mendengar di sepertiga malam.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *