Konotasi Hidup

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Islami
Lolos moderasi pada: 20 December 2015

Bagaikan pungguk merindukan bulan. Itulah konotasi hidupku saat ini. Telah lama aku memendam sebuah perasaan yang amat indah yang tak seorang pun tahu. Mungkin Allah belum mengizinkan perasaan ini berkata di kehidupan nyata, namun aku yakin Allah sudah mempersiapkan hal yang lebih indah untukku. Aku hanyalah seorang hamba yang lemah tanpa ridho-Nya, aku akan selalu bersyukur atas apa yang telah digariskan oleh Allah dalam hidupku. Selintas catatan hatiku yang tergores dalam tinta hitam ini.

Rasa ini berawal sejak aku melihat dirinya melantunkan ayat suci Al-qur’an saat acara Maulid Nabi di Balai Desa. Suaranya telah menghipnotisku. Dan ketika aku masuk sekolah menengah atas tepatnya saat Masa Orientasi Sekolah, tak ku sangka ternyata dia satu sekolah denganku, ia juga menjadi Ketua Osis. Subhanallah.. aku semakin kagum kepadanya. Saat itu tiba-tiba saja dia menatapku dan tersenyum padaku. Aku pun hanya menundukkan pandanganku sambil berucap pelan, “Astagfirullahaladzim..”

Saat itu.. seluruh siswa disuruh untuk meminta tanda tangan seniornya, sengaja aku memilih senior perempuan yang terlihat baik. Namun ternyata persepsiku salah, ternyata senior yang ku temui saat itu senior yang paling rese, dia memintaku untuk mendapatkan nomor telepon Kak Fazri.
“Kak Fazri Ketua Osis itu kak?” tanyaku.
“Yuph.. benar sekali.”

Bisikku dalam hati, “Yaa Allah.. bagaimana ini?” aku malu dan perasaanku campur aduk saat itu.
Dengan perlahan namun pasti ku langkahkan kakiku ke arahnya.
“Kak Fazri bukan?” tanyaku.
“Iyah.. ada yang bisa di bantu de?” sambil tersenyum.
“Ini saya disuruh minta nomor telepon Kakak.”

“Sama siapa de?” sambil tersenyum.
“Kak Gita..” sambil menunjuk kearah senior perempuan itu.
“Yaaah.. boleh, tapi ada syaratnya.”
“Aduuuuh.. jangan ribet-ribet ya kak waktunya kan sebentar lagi.” Pintaku dengan menampakkan wajah cemas.
“gak kok, nyantai aja. Coba kamu berdiri samping pot bunga itu sambil menyanyikan lagu Balonku.”
Dengan polosnya aku pun mengikuti perintahnya. Di bawah terik sinar mentari yang menyengat ku alunkan syair-syair lagu masa kecil itu. Ku lihat dia amat senang melihatku seperti ini. Dan sepertinya diam-diam Kak Fazri juga mengambil fotoku.

“Sudah kak!!” kataku.
“Bagus de, sekarang saya mau kamu buatkan Kakak puisi yah. Nyantai aja, masih lama waktunya kok.”
“aduuuh.. Kakak ini mau menyiksa yah? lagian mana mungkin aku bisa melakukannya, waktu tinggal 15 menit lagi kak.”
“Udah.. jangan banyak protes, buatlah.”
Aku teringat pada sebuah puisi dari sahabatku yang telah pergi satu tahun lalu, aku pun dengan cepat menulis puisi tersebut pada selembar kertas. Inilah isi puisi tersebut.

Detik jam menafsir rambutku yang memutih di ujung malam
Sungguh bagiku tak ada beda siang dan malam
Jika matamu adalah sumber cahaya bagi kalbuku
Sahabat.. dengarlah risik angin di daun bambu
Ialah getar rinduku padamu
Yang dikekalkan dasar sumur waktu
Dasar sumur waktu

Akhirnya setelah aku selesai menulis puisi itu, nomor telepon kak Fazri pun kudapatkan.
“Terima kasih kak”
“Sama-sama. Oyah, nama kamu siapa de?”
“Zahra Humaira kak.” Sambil berlari.

Dan ketika aku hendak memberikan nomor telepon Kak Fazri, senior perempuan itu menghilang entah ke mana. Saat itu pula, para senior telah berkoar-koar memanggil seluruh siswa baru berkumpul di aula. Akhirnya ku masukan kertas yang berisi nomor telepon itu ke dalam saku bajuku. Hari ini adalah MOS terakhir, dan tiba saatnya besok aku mengenakan pakaian putih abu. Oh.. tak sabar aku menunggu hari esok.

Bumi menjadi gelap, malam pun tiba. Dari jendela kamar ku tatap lampu-lampu di pusat kota telah menyala menghiasi malamku yang menyedihkan. Yah.. aku merindukan suasana rumah yang penuh kehangatan saat bersama keluarga. Tanpa sadar air mata pun menetes membasahi pipiku. Hatiku pilu, rasanya aku ingin cepat pulang. Saat itu aku sadar, betapa beharganya keluarga bagiku, betapa besarnya kasih sayang yang mereka berikan untukku, dan aku tak ingin mengecewakan mereka, aku akan berusaha menjadi orang yang tak hanya dipandang sebelah mata, aku harus Sukses. Yah.. bagai bintang yang senantiasa menghiasi dan menyinari kegelapan malam. Allahuakbar!!!? Ku rebahkan tubuhku di atas kasur kecil alakadarnya. Namun lumayan memberiku kenyamanan daripada harus tidur di lantai. Perlahan mataku pun terpejam, jiwaku hanyut ke dalam dunia mimpi yang tak jelas alurnya.

ADVERTISEMENT

“Allahu akbar.. Allahu akbar..”

Aku terbangun. Suara adzan subuh di pagi buta mengalun indah mengajak umat muslim melaksanakan salat subuh. Suara anak kecil yang memuji asma Allah mereplay masa kecilku dulu. Rasanya ingin sekali aku kembali pada masa itu, masa dimana penuh keceriaan. Mentari pagi menyilaukan sinarnya ke seluruh antero bumi, embun pagi pun mulai menghilang seiring mentari yang menghangatkan bumi ini. Hari ini, hari pertamaku mengenakan pakaian putih abu, Oh, senang sekali rasanya. Namun, kegembiraan itu berubah menjadi kecemasan, saat jarum jam telah menunjukkan pukul 07.00. Jarak sekolah ke tempat kostku kira-kira 100 m.

“Gubrak…”

Akibat terburu-buru aku pun terjatuh menabrak seorang laki-laki berkacamata berambut lurus dan berpakaian rapih.
“maaf, lain kali hati-hati yah..” sambil tersenyum.
“Oh, iya kak saya lagi buru-buru. Maaf,”
“Kamu Zahra yah?”

Aku pun terkejut ketika melihat orang yang ku tabrak adalah Kak Fazri. Keringat pun bercucuran membasahi wajah dan seluruh badanku. Tanpa berpatah kata sedikit pun aku langsung pergi meninggalkan dirinya dan berlari menuju ke lapangan untuk mengikuti upacara senin pagi yang sudah mau dimulai.
“Huuufh.. akhirnya kita selamat ra.” ujar temanku Dona.
“Iyaaa na.”

Rasanya hari pertama sekolahku ini penuh kesialan, mudah-mudahan saja Allah selalu memudakan jihadku dalam mencari Ilmu. Selang waktu berlalu begitu cepat, tahun demi tahun ku lewati. Kini aku sudah menjadi siswa kelas XII. Aku tak pernah melewatkan waktu senggangku untuk bersantai-santai. Paling sesekali saja hanya untuk merefresh otakku sebentar. Alhamdulillah.. aku amat bersyukur dan bahagia dapat memberikan kebahagiaan di raut wajah Ayah dan Ibuku, pasalnya telah banyak prestasi yang ku raih semasa di bangku kelas X dan XI.

Aku berhasil meraih ranking pertama selama 5 kali berturut-turut, aku juga meraih juara Olimpiade Kimia di tingkat Kota. Memang Allah tidak pernah tidur, dia selalu mendengarkan doa umatnya yang bersungguh-sungguh. Aku harus yakin, aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan orangtuaku yang rela bekerja demi membiayaiku sekolah. Yah.. Ayahku hanya seorang buruh, dan Ibuku hanya seorang penjahit di perkampungan. Aku tak tega melihat mereka bekerja tanpa henti demi aku, namun mereka tak pernah mengeluh meski sakit mendera mereka. Semangat mereka adalah motivasiku, dan aku harus bisa membanggakan mereka, aku ingin menjadi seperti yang mereka harapkan dan aku mampu mengukir senyuman bangga di raut wajah mereka.

Kini kak Fazri sudah lulus dan dia kuliah di Universitas Islam Negeri di Bandung. Entah mengapa aku merasa kehilangan dirinya, kehadirannya memang telah memberi warna dalam hidupku. Namun aku selalu berusaha untuk tak terlarut dalam keadaan itu. Aku harus fokus dengan capaian cita-citaku. Karena aku tak mau mengisi masa remajaku dengan kesenangan yang sementara. Kini giliranku menghadapi Ujian Nasional. Jadwalku begitu padat akhir-akhir ini, pasalnya dari bulan Maret hingga April tak ada jeda bagiku untuk berleha-leha. Yaah.. jadwalku seperti artis saja yah.. Haha.

Ketika bel istirahat berbunyi, ku duduk di teras depan kelas bersama Dona sahabatku sambil memakan sweet corn. Saat itu kami saling bercerita.
“Ra, lulus dari sini kamu mau ngelanjutin ke mana?” Tanya Dona.
“Gak tahu, aku bingung na.”
“Loh.. kenapa bingung? Kamu kan jenius ra, pasti banyak Universitas yang bisa kamu masuki dengan mudah”
“Alhamdulillah, biasa aja kok. Kamu sih?”
“Aku mah pingin ke Yogyakarta ra, di UGM. Haha.. tapi kayaknya gak mungkin deh. Di sana kan tempatnya orang jenius semua. Kayak kamu?”

“Ah, kamu bisa aja.. jangan terlalu berlebihan memujiku na, tanpa Allah aku bukan apa-apa. Semangat na, kamu pasti bisa. Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Kita berusaha sama-sama. Oke?”
“Yaah.. man jadda wajada. Kamu juga harus semangat ya ra.” Kedua orang sahabat itu pun berpelukan dan saling menguatkan.
“Huupp.. eh masuk kelas yuk, bentar lagi ujiannya mau dimulai.”

Ujian demi ujian telah ku selesaikan. “Oh.. betapa legaaa rasanya, terima kasih ya Allah telah memberiku kesehatan sampai akhirnya aku mampu menyelesaikan ujian ini.” Bisikku dalam hati. Kini tinggal menunggu hasil, aku akan tetap tawakal apapun hasilnya, yang terpenting aku sudah berdoa dan berusaha. Aku pun akan melewati libur panjang, senang rasanya bisa berkumpul lagi bersama keluarga. Namun di sisi lain aku juga merasa dilema. Aku ingin melanjutkan kuliah, namun aku tak mampu berkata pada orangtuaku dengan kondisi ekonomi yang seperti ini. Suatu pagi yang cerah, temanku Dona mengirim pesan.

Dona: “Ra, nanti jam 8 suruh ke sekolah. Ada informasi penting kata Bu Tuti.”
Zahra: “Oke, berangkat bareng yah”
Dona: “Siiip,”

Aku bersiap-siap. Tiba-tiba bunyi klakson terdengar dari depan rumah. Ternyata itu Dona. Kami pun berangkat naik motor ke sekolah. Dan tiba di sekolah, ku lihat raut wajah Bu Tuti amat senang dan bangga. Entahlah aku tak mengerti, ia pun memberikan sebuah amplop kepadaku. Dan saat ku baca isi amplop itu, langsung ku bersimpuh sujud syukur kepada Allah karena aku mendapatkan beasiswa kuliah Fakultas Kedokteran di UGM. Alhamdulillah.. Allahu akbar!!! air mata ini pun menetes, seiring perasaan bahagia yang ku rasakan, sungguh aku tak menyangka ternyata doaku selama ini terkabul. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur kepada Allah. Begitu juga sahabatku, ia juga diterima kuliah di Universitas yang sama denganku, hanya saja dia di Fakultas Ekonomi.

“Selamat ya ra?” ucap semua teman-teman kepadaku.
“Iya terima kasih.”
“Zahraaa.. kita kuliah di tempat yang sama ra. Doa kita terkabul”
“Iyaaa na, aku senang sekali. Tak sabar aku memberitahukan pada Ibu dan Ayah.”

Setiba di rumah, ku lihat Ibuku sedang sibuk menjahit. Aku pun menyerahkan amplop itu padanya. Dan saat ia membacanya ia langsung memelukku dan meneteska air matanya. Sungguh aku amat bahagia. Kini masa depan telah menunggu di depan mata. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Kelak jika aku berhasil jadi seorang Dokter, aku ingin mengabdikan kemampuanku untuk orang-orang kurang mampu di desaku, yaaah agar mereka juga dapat merasakan kebahagiaan yang ku rasakan.

Lima tahun kemudian, aku muncul menjadi bintang dalam kegelapan. Gelar dokter ku dapatkan dengan nilai IPK yang memuaskan. Saat wisuda berlangsung, ku lihat seseorang mengenakan jas hitam berjalan ke arahku, serasa tak asing bagiku. “Selamat yah..” sambil memberikan kertas berisi puisi. Saat ku baca, ternyata itu puisi yang ku tulis untuk Kak Fazri saat SMA dulu.

“Kak Fazri?” tanyaku.
“Iyaah,” sambil tersenyum.
“yaa Allah.. kok Kakak bisa ada di sini, Kakak sendiri?”
“Gak, sama Ayah. Waaah.. hebat kamu sudah jadi dokter.”
“Alhamdulillah kak aku amat bersyukur. Ayah Kakak yang mana?”
“Subhanallah.. itu yang pakai batik biru.”

“Oh.. ternyata Kakak anak pak Kades?”
“Hee.. Iyaah, Ayah menyuruhku untuk menghadiri acara ini.”
“Yaa Allah.. aku baru tahu kak. Oh ya, Kakak sendiri bagimana kuliahnya?”
“Alhamdulillah.. sekarang Kakak sudah mengajar di UIN.”
“Subhanallah.. jadi dosen kak?”
“Iyaah..”

Tiba-tiba ku lihat raut wajah Kak Fazri nampak gugup dan ia pun berkata padaku, “Ra, bolehkah aku mengenalmu lebih dekat? Iyyaki uhibbu fillah..”
Aku pun hanya tersenyum. Dia pun juga ikut tersenyum. Akhirnya, janji suci itu pun terucap dalam dunia nyata, konotasi hidupku menjadi denotasi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Subhanallah.. ku rasa ini seperti mimpi, tak henti-hentinya aku berucap syukur kepadaMu ya Allah.

Cerpen Karangan: Riani
Facebook: rianiajja958[-at-]yahoo.com

Cerpen Konotasi Hidup merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Kau Pilihanku

Oleh:
Seberkas cahaya memamerkan binar indah sang surya, menghujam keindahan budaya di alam tercinta. Burung-burung gereja turut serta bergembira dengan kicauan indah bernada, mengantarkan para pengais rezeki untuk segera berkarya

Pangeran Berhati Putih

Oleh:
Tetesan embun dan basuhan air wudhu’ itu terlihat dari wajah Aisyah. Dia bergegas menyapa dunia untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi agama islam di Jember,

Angle Of Love

Oleh:
Cinta, tiba-tiba saja aku tertarik ingin menceritakan kisahku. Kisah yang meninggalkan pertanyaan dan aku pun tidak yakin dengan jawabannya. Bermula dari ketika aku dan sahabatku ayu sedang duduk di

Kisahku dan Gadis Berjilbab Biru

Oleh:
Siang itu waktu menunjukkan tepat pukul dua siang, dan aku pun mulai beranjak dari tempat tidurku untuk segera bergegas berangkat kerja. berhubung waktu itu ada jadwal meeting dengan client

Prinsip

Oleh:
Aku mencintainya, sangat mencintainya. “Walau sepihak”, tandasku pada hati yang seenaknya menciptakan rasa itu. Ditambah hujan dari mataku enggan sepakat untuk tak nampak di hadapan orang lain. Guess where

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *