Terima Kasih Telah Melindungi Ku
Cerpen Karangan: Wardatul JannahKategori: Cerpen Cinta Islami
Lolos moderasi pada: 19 January 2016
Ku pastikan diri bahwa semua ini hanya kebetulan semata, menyadari seseorang yang sedari tadi mengikutiku dari depan, lebih tepatnya mendahuluiku dengan hanya berjarak satu langkah, ia menyertai langkahku, bahkan selangkah di depanku, saat ku putuskan beranjak dari arena lapangan, arena yang begitu panas dan sedikit sesak dengan pemandangan manusia yang berkeringat dan kelelahan.
Laki-laki di depanku memiliki tinggi badan yang semampai, senyum menawan dan wajah yang menarik perhatian, wajah yang diam-diam kadang ku perhatikan dari jauh. Setiap kali mencuri pandang setiap kali itu pula hatiku bergumam merajut rangkaian kata yang indah. Entah bagaimana Tuhan menciptakan magnet yang memberikan kesenangan tersendiri ini, membuatku mensyukuri kebesaranNya saat mendapati pemandangan yang menyejukkan hati. Seakan tiada lagi hal yang lebih bahagia selain berada di dekatnya dan mengukir kenangan indah yang tak terlupa.
Kini ia berada di depan mataku, memperlihatkan punggungnya yang bidang dan menyembunyikan tubuhku yang mungil. Dari balik itu, ku tahu tersirat wajah tulus yang ingin memperhatikan dan melindungi, meski tanpa kata yang jelas, bahasa tubuhnya telah menyiratkan sedikit pertanyaan yang sejak tadi menggumpal dalam relung. “kenapa mengikutiku?” tanyaku sedikit kasar, meski sebenarnya hatiku berteriak untuk tidak melafadzkan kata-kata yang mungkin tidak nyaman baginya. Namun apa daya saat lidah kelu dan suasana terlalu kaku, kalimat itu yang tiba-tiba muncul dan terdorong ke luar dari mulutku.
Reflek Ilyas -nama laki-laki itu- menoleh ke arahku, menawarkan senyum penghibur hati. Membuatku sedikit salah tingkah dengan sikapnya yang demikian. Ku sadari ada rasa nyaman yang menyelimuti diri, namun sepertinya ia menyadari dan mengerti bahwa diriku tak berkenan untuk berjalan berdampingan. Seakan terbahasakan oleh jilbab yang selalu ku kenakan, tanpa sepatah kata pun ia menghormati keputusanku, terbukti ia mengambil posisi sedikit lebih maju.
“Emm, apa tidak boleh?” balasnya, ia malah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan pula.
Ku bingung untuk menjawab, jika ku jawab ‘iya’ rasanya terlalu rendah untuk harga diri seorang muslimah, jika ku jawab ‘tidak’ khawatir jika nanti ia sedikit tersinggung dan benar-benar meninggalkanku sendiri. “emm, ya gak apa-apa.” jawabku tanpa menghentikan langkah dan tanpa melihat wajahnya.
Seperti biasa rasa jaim masih saja menjadi ciri khas gaya bicaraku, terutama pada ia yang sebenarnya telah mempunyai tempat di hati. Setidaknya dengan cara demikianlah perasaan yang tersimpan bisa disembunyikan tanpa merasa khawatir diketahui. “syukurlah,” jawabnya singkat, dan kembali menatap ke arah depan. Setelah itu ia terdiam, tiada kata yang menyusul ucapan singkat yang telah dilontarkannya. Mungkin akibat jawabanku tidak melegakan dan sedikit membuatnya kurang nyaman.
Ada sedikit rasa bersalah yang menyeruak, ingin rasanya ku sampaikan bahwa sebenarnya hati ini ingin menyambutnya ramah, namun semua itu masih tertahan dan tersembunyi di balik jeruji perasaan, ku harap ia dapat bersabar dan mengerti keadaanku. “maaf Ros karena ku telah mengikutimu..” ungkapnya tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut setelah sibuk dengan segudang kata yang sedari tadi berdengung dalam hati.
Aku hanya mampu tersenyum mendengar pengakuan jujur dari balik punggungnya. Kami terus melanjutkan langkah untuk kembali ke peraduan, tak menghiraukan nyanyian burung yang sempat singgah di jajaran pohon sepanjang jalan. Sengaja, ku kembali terlebih dahulu dari arena lapangan, meski sebenarnya masih ada pengumuman pemenang undian kupon jalan santai, namun cuaca panas telah menguras tenaga, membuatku ingin segera beristirahat setelah mengikuti jalan santai mengelilingi jalanan kampung.
“Ros, balapan yuk..” pintanya mendadak, ia berbalik, menghentikan langkah dan membuatku tengadah menatap wajahnya yang benar-benar tulus mengajak lari bersama. Dan ku rasa ia akan tahu jawaban yang akan ia terima, diam hanya itu yang bisa ku lakukan. Setelah itu aku tertunduk menyembunyikan kebingungan yang muncul di rautku.
“kok malah nunduk? gimana? Kamu berkenan? Kalau tidak ya gak apa-apa,”
Sekali lagi ‘terdiam’ Hanya itu jawabanku. “ya sudah, aku lari sendiri aja ya, da, Ros,”
Seketika ku angkat kepala untuk memastikan ia benar-benar akan berlari. Ia sedikit tersenyum dan melambaikan tangan sekilas seraya menyempatkan menatap wajahku, itu artinya ia akan melangkah menjauh. Aku hanya mampu tertegun melihat ia mulai menghuyungkan langkah cepat, dan punggungnya yang lebar semakin berjarak dari penglihatan. Hanya beberapa menit, larinya yang cepat membuatnya segera menghilang dari penglihatanku.
Dengan langkah sekenanya ku bawa diri tanpa siapa pun yang menemani, ingin rasanya ku ikut berlari dan menyusul, namun semua itu ku urungkan karena rasa Jaim yang ku sandang, sebagai muslimah tak mungkin jika ku balapan lari berdua dengan ia yang belum menjadi kekasih halalku. Langkahku semakin tertunduk, menyibak jalanan sepi perkampungan, sawah dan pepohonan seakan menjadi saksi kehampaan yang tiba-tiba ku rasa.
Sesekali suara bising sepeda motor dan mobil melintas di jalan ini, menciptakan keramaian yang tak mampu menepis rasa sepiku. Sengaja tak ku sapukan pandangan karena rasa khawatir yang menyelubungi. Ternyata tak aman rasanya berjalan seorang diri di jalan perkampungan seperti ini, memang benar masih ada rumah yang berdiri di kanan kiri jalan, namun siang bolong seperti ini suasana begitu sepi karena kemungkinan para penghuninya tengah bekerja atau istirahat.
“Nuhun sewu Bu,” sapaku, mendapati seorang perempuan setengah baya berada di depan rumahnya tengah menjaga padi yang dijemur di bawah terik matahari agar tidak di makan ayam-ayam tetangganya. “Monggoh..” balasnya, seraya tersenyum ramah, membuatku sedikit terhibur menyadari sudah sekitar 10 menit berjalan seorang diri.
‘Tak apalah, toh ku tak ingin memaksa apa pun padanya,’ hiburku dalam hati seraya melanjutkan langkah.
Tak bisa terpungkiri, rasa gusar tak mampu ku sembunyikan, hati ini memanggil, jelas mencari Ilyas. Aku butuh teman yang tulus dan berkenan melindungiku. 5 meter dari jarakku berdiri, sebuah warung lengkap dengan pelanggannya yang kebanyakan anak-anak muda berdandan metal. Mereka bertato dan menggunakan tindik di telinga bahkan di hidungnya. Wajah-wajah beringas yang membuatku ingin berbalik arah.
Perlahan tapi pasti, rasanya ku mulai menyerah dan tak ingin melanjutkan langkah. ‘sudah berapa lama dia tak menampakkan diri? Apakah ia tak mengerti bagaimana perasaanku? Haruskah aku bersikap ramah padanya? Tak bisakah ia menyadari tanpa harus ku tampakkan? Datanglah, datanglah, ku mohon datanglah, ku memanggilmu melalui suara hatiku Ilyas,’ gumamku dalam hati, beruntung kata-kata ini tersimpan, sehingga ku tak perlu malu meski meracau tak jelas.
Namun haruskah ku lanjutkan langkah? Oh ini sungguh bukan sebuah lelucon, bagaimana jika nanti mereka menggoda, lalu menghampiriku. Bagaimana jika yang datang tidak hanya satu? ku lihat jumlah mereka, banyak. Sungguh ku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk jika harus melanjutkan langkah. Datanglah Ilyas, datanglah, jangan seperti ini, rasanya ingin menjerit memanggilnya. Tapi jelas itu tak mungkin ku lakukan.
Ku tundukkan diri, meyakini bahwa semua akan baik-baik saja. Entah mengapa ku putuskan untuk melanjutkan perjalanan, ku yakin Allah akan melindungiku, meski rasanya sedikit tertatih membawa langkah. Ada rasa berdetak dalam dada, perasaan cemas itu tak bisa hilang dan sedikit demi sedikit menyusup memacu jantungku berdegup lebih cepat. Ya Allah, sepertinya ku tak mampu membohongi diri, namun terasa ada seseorang yang mengikutiku dari belakang ‘deg’ semakin cepat saja debaran di dada.
Oh, siapa ini di belakangku, dengan segenap rasa penasaran ku berbalik badan untuk memastikan sosok yang berada di balik punggungku. Ya Ilahi, tak mampu ku bendung rasa lega yang hadir seketika. Mula-mula saja tanganku hampir mendarat di dadanya, namun spontan ku urungkan dan ku palingkan muka dari padanya. Rupanya dia orang yang ku panggil-panggil sejak tadi, Ilyas.
“kenapa kau tiba-tiba ada di sini? Ku kira kau sudah sampai rumahmu,” tanyaku dengan nada yang tak jua berubah, lagi-lagi ia hanya tersenyum.
“aku mengintipmu dari tadi, sepertinya kau ragu untuk melanjutkan langkah, takut ya?”
“emm, biasa saja, sejak kapan kau mengintipku?”
“sejak kau berada di tempat ini, kau tak mungkin tahu, sejak tadi ku menantimu di balik rumah itu.” ungkap Ilyas, sambil menunjuk sebuah rumah yang berada di pinggir jalan.
“kenapa menantiku?”
“emang kamu berani jalan di depan orang-orang itu,”
“biasa saja kok..” timpalku kembali. Memang benar ku takut, tapi tak mungkin mengakui hal itu di hadapannya.
“hemm, baiklah, ayo jalan, di depan ada anak-anak muda, kau jalan di pinggirku saja.” perintahnya tiba-tiba.
“loh, ngapain? Gak ah,” jelas saja ku terkejut mendengar permintaannya.
“udah, jalan di pinggirku, kau mau digoda orang-orang itu?”
Tegasnya, karena ku masih tetap bersikukuh untuk tidak berjalan berdampingan. Baru ku sadari, ternyata hal itu terpaksa ia lakukan demi melindungik. Tak ku sangka sedari tadi ia telah menantiku untuk hal ini, dia tidak benar-benar meninggalkanku. Terima kasih ilyas, dengan sedikit menyisihkan rasa jaim, ku padankan langkah untuk berjalan berdampingan dengannya. Ia tenang sekali melangkah memancarkan sosok yang begitu melindungi. Ada rasa tenang yang kemudian hadir, terlebih saat ia menyapa dengan salam hormat kepada para kawula muda yang membuatku takut tadi.
Dan respon mereka pun begitu baik. Tak tahu jika aku seorang diri, akankah seperti ini atau kemungkinan-kemungkinan buruk yang ku pikirkan tadi akan terjadi? Entahlah. Dalam hati, ku benar-benar ingin berterima kasih padanya, terima kasih mendalam karena begitu tulus menemani. Terima kasih karena telah menanti dan melindungi, maafkan atas segala sikap kasarku, semua itu ku lakukan untuk penjagaan diri dan demi menutupi perasaanku.
“Ilyas?” panggilku dengan nada yang tak kasar lagi.
“iya, ada apa?” jawabnya sambil menoleh padaku.
“terima kasih banyak ya,”
“iya, sama-sama.”
Kami berpisah di persimpangan jalan, kenangan yang baru saja ku alami terngiang dalam ingatan. Baru kali ini aku berjalan berdampingan dengannya dan itu pun karena terpaksa. Terima kasih telah melindungiku.
Cerpen Karangan: Wardatul Jannah
Blog: diarywardah.blogspot.com
Wardatul Jannah nyantri di Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan.
Cerpen Terima Kasih Telah Melindungi Ku merupakan cerita pendek karangan Wardatul Jannah, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Suratan Takdir Allah Untuk Ku
Oleh: Ranita Nurul LailySendiri aku malam ini bagai bintang tak menemani rembulan. Ku bersandar di batu nisan yang akan menuliskan namaku esok nanti. Ku menatap langit, “Subhanallah begitu indah ciptaanmu ini.” Ku
Dinding Impian (Part 1)
Oleh: Nasywa Nur Azizah“Mbak, tolong tanggung jawab atas kelalaiannya! Saya mau bertemu dengan owner toko ini secepatnya,” ucap laki-laki dengan kaos hitam santainya yang berbanding terbalik dengan ketidaksantaiannya berbicara dengan karyawan dari
Tahukah Engkau?
Oleh: Bintun NahlTahukah engkau bagaimana rasanya menunggu si pelengkap hati? tahukah engkau bagaimana rupa yang akan menjadi penghias mimpi? tahukah engkau bagaimana rasa hati yang digenggam enggan pergi? tahukah engkau bagaimana
Jagalah Aku Dari Cinta
Oleh: Ayu Indri Astining Tyas“shodaqallahul ‘adziim” Alhamdulillah telah khatam aku mengaji ilmu al-Qur’an di pesantren sepuh ini, Pesantren Darul Qur’an namanya. Iya, di pesantren kecil yang bertembok kayu berwarna kuning sederhana dan berlantai
Harapan Sebuah Rasa
Oleh: Nasywa N.A.Aku tengah berjalan bersama teman-temanku menuju teras toko di depan gerbang sekolah kami. “Nay, aku duluan ya” pamit april yang sudah dijemput oleh ibunya. Aku berdiri, di atasku, sudah
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply