Aku, Kau Dan Dia

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Pertama, Cerpen Kristen
Lolos moderasi pada: 29 March 2016

“Kring, kring, kring..” alarm berbunyi.

Setiap harinya dia berusaha membangunkanku, dan mungkin hari ini agak sedikit lebih sulit. Sambil malas malasan ku raih alarm di atas meja samping tempat tidur dan ku matikan. Beberapa menit kemudian, dia kembali mencoba membangunkanku, andai dia punya tangan, mungkin dia akan gunakan tamparan di pipiku karena sudah bosan. Ku angkat kepalaku dan mencoba melirik jam, “Hmm, masih jam 8.15, beri aku waktu 5 menit lagi,” kataku sambil menutup mata.

Setelah ku coba, kantukku sudah hilang, padahal aku masih ingin melanjutkan mimpiku tadi malam. Sungguh mimpi yang indah. Sekali pun aku ingin, aku jarang mendapat jatah mimpi semanis itu, walau hanya bertegur sapa, tapi itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku. Mimpi tentang seorang gadis manis berseragam putih biru yang masih teringat jelas di kepalaku.

“Fina,” sebutku sedikit berbisik.

Aku bertemu dengannya saat duduk di bangku smp, kami sekelas selama dua tahun. Kami juga tidak akrab, tidak sering bersama, tapi bagiku dia sangat berbeda, aku menyukai tatapannya kepadaku, dia begitu bersemangat, cantik, bersahaja, menawan, dan tenang. Sering aku memperhatikannya di kelas, sedikit melirik ke arahnya, mencoba memata-matai apakah dia juga memperhatikanku, walau sedang belajar, aku sering kehilangan konsentrasi karenanya. Juga sering tertangkap basah olehnya, tapi dia diam saja. Aneh tapi nyata, aku merindukannya setiap detik. Aku selalu ingin memandanginya walau dari kejauhan, dan memang hanya berani dari kejauhan, aku selalu ingin tahu di mana posisinya, sedang apa dan bersama siapa. Walau terdengar aneh, tapi ini nyata.

Kami selalu mengikuti kegiatan ekskul yang sama, aku menyukai apa saja yang dia sukai, membuat seolah-olah kami selalu akrab (hahaha). Walau begitu, aku tak punya cukup keberanian untuk bicara banyak dengannya. Ya, kadang aku memang mengganggunya, tapi dia diam saja, seolah cuek. Tapi anehnya itu yang membuatku tertarik. Dia begitu berbeda. Aku selalu bersikeras meyakinkan diri bahwa dia juga punya rasa padaku, aku tahu dari caranya melihatku. Aku tidak sedang berusaha menghibur diri, tapi aku merasakannya, rasanya aku begitu dekat dengannya, aku sudah meraihnya, dan ku rasa kami cocok, dia cantik, banyak yang suka, aku juga tampan dan banyak yang suka (fakta bro).

Saat kelas tiga SMP, ternyata dia memang benar menyukaiku, aku rasanya terbang ke langit ke tujuh sangking bahagianya. Aku mendengarnya dari teman sekelasku yang dekat dengannya. Lalu tanpa basa basi, aku juga mengatakan aku menyukainya, cinta mati padanya dari kelas satu lewat teman dekatnya itu (tidak tanggung-tanggung), walau tidak langsung aku sudah menganggapnya kekasihku, karena aku juga tetap memegang janjiku untuk tidak pacaran kalau masih SMP. Tapi tetap aku tak punya keberanian untuk bicara dengannya, walau hanya lirik melirik, tapi itu cukup buatku, aku sungguh bahagia. Senyum-senyum saat melihatnya, dia pun begitu, hanya kami yang tahu perasaan kami.

Setelah SMP berakhir, aku lost contact dengannya, tidak terdengar kabarnya lagi hingga saat ini. Usaha yang ku lakukan untuk mencarinya, “nihil,” tidak ada hasil. Hingga aku duduk di bangku perkuliahan semester tiga, aku masih merindukannya, mungkin effek dari first love. Kata orang memang agak sulit dilupakan, tapi menurutku ini bukan agak sulit lagi, ini sudah parah namanya. Aku hanya butuh kabar darinya, menunggu kata darinya, apakah masih, ataukah… kenangku setiap hari. Dan seperti biasa, ibuku akan menerobos pintu kamarku, dan akan mulai meneriakiku.

“Joohhaaan, Johhhaaaannn, kamu tuh ya, jam segini masih saja tidur, mau jadi apa kamu, hah? Orang jam segini tuh udah kerja, udah kuliah, kamu masih molor aja, katanya bersungut-sungut. Dia adalah ibuku tersayang, satu-satunya wanita di rumah kecil kami, mengurus tiga pria dewasa, tiga pria jagoannya (aku tidak yakin). Setiap pagi dia membangunkanku dengan omelan yang sama, dengan suaranya yang kencang dan tinggi, terkadang dia tidak hanya membangunkanku saja, tapi tetangga sebelah juga ikut terbangun.

“Iya Mamah sayang, aku juga baru mau bangun kok,” rayuku seperti biasa.
“Sudah basi,” katanya singkat. Aku cuma senyum kecil sambil menggaruk kepala.
“Sudah sana kamu cepetan mandi, Mama udah siapin sarapan, dan Mama mau pergi reunian sama teman teman SMA Mama, eh, ada surat tuh buat kamu, di atas meja ya, Mama pergi,” katanya sambil berlalu. Surat? Tumben… batinku sambil menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku buru-buru ke ruang makan mengambil surat pertamaku tahun ini. Amplopnya berwarna biru, dilipat rapi, kertas yang ada di dalamnya berwarna krem.

ADVERTISEMENT

“Untuk Johan Winarta,” tulisan tangan yang tidak asing, batinku. Lalu aku mulai membaca isi dari surat itu. “Salam damai. Hai, Johan. Apa kabar? Ku harap, kamu dan semua keluarga berada dalam keadaan sehat dalam lindungan Tuhan. Sudah cukup lama kita tidak bertemu. Aku tidak mendengar kabar darimu beberapa tahun ini. Ku harap kamu masih mengenaliku jika kita bertemu nanti. Sebenarnya aku juga ingin mengabarimu dari awal, tapi untuk bicara langsung, aku tidak bisa. Aku juga ingin mengabarimu saat aku di asrama, tapi baru kali ini bisa terwujud karena aku dipindahkan kembali ke kota ini. Aku ingin bicara sejenak bersamamu, ku harap kamu ada waktu untuk datang ke tempatku bekerja. Aku sekarang bekerja di SD anthonius, jln. Murni 2. Banyak yang ingin ku ceritakan, tapi mungkin kertas ini tidak akan cukup. Jika ada waktu, datanglah. Salam kasih Tuhan. Sr.Paulina Theresia.”

Aku cukup tertegun melihat isi dari surat itu. “Sr.Paulina? siapa dia?” dan juga alamat yang ditujukan benar alamat rumahku. Aku begitu penasaran, hingga hari itu juga aku langsung ke SD Athonius dan bolos kuliah. Ku kenakan pakaian yang rapi dan bersih, karena kali ini aku akan menemui seorang biarawati. Sesampainya di lokasi, aku bertanya pada seorang guru di sana, di mana aku bisa menemui seorang yang bernama Sr.Paulina Theresia. Dia menunjuk kepada seorang suster berkerudung putih, berbaju putih layaknya seorang biarawati. Dia sedang berdiri membelakangiku, memandangi mawar putih yang mulai mekar di hadapannya. Lalu aku berjalan pelan dan menyapanya, “Suster Paulina Theresia?” tanyaku, dia agak sedikit terkejut lalu menoleh kepadaku.

Seperti disambar petir yang sangat kuat, aku merasa bermimpi sampai tak bisa berkata-kata. Dia tersenyum dan menyapaku, “Hey, Johaann. Aku mengirimmu surat tadi dan kamu langsung datang? ku kira kamu cukup sibuk dengan kuliahmu hari ini, dan sepertinya kamu bolos ya?” tanyanya sambil tertawa kecil. Aku masih tidak bisa berkata apa-apa, lalu dia menarikku untuk duduk di sebuah bangku di taman sekolah itu, lalu dia menatapku tersenyum bersahaja, tapi kali ini senyumnya berbeda. Dulu dia tersenyum padaku, seperti dia adalah milikku, namun kini dia tersenyum kepadaku seperti dia sudah menjadi milik yang lain.

“Fina,”

Aku pulang dengan perasaan yang tidak menentu, antara sedih, terharu, dan bangga. Tapi tentu sedihnya lebih banyak. Masih ku ingat kisahnya yang ia ceritakan panjang lebar tadi. Rupanya dia sudah tertarik menjadi seorang biarawati dari SD dan itu menjadi cita-citanya. Orangtuanya setuju namun saat dia mulai menyukaiku (dia tertawa saat menceritakannya), panggilannya menjadi seorang biarawati sedikit mulai luntur. Namun di akhir SMP, dia memutuskan untuk menjadi seorang biarawati karena khotbah seorang pastor di gereja, katanya, “Setampan apa pun pria yang sedang ada di dalam hatimu saat ini, pastilah lebih tampan penciptanya,” yah jujur, sedikit bergurau, namun isi dari khotbah ini mengandung arti yang sangat dalam. Di akhir percakapan, dia memandangiku, dan tersenyum lebar.

“Aku memang mencintaimu, tapi aku lebih mencintai dia dan panggilanku, aku tidak menyesal, aku bahagia dengan pilihanku, sungguh aku bahagia, dalam kehidupan biara ini mengajariku banyak hal, kesederhanaan, persaudaraan, kesetiaan, suka cita, dan cinta yang sesungguhnya kamu…. Juga harus bahagia dengan pilihanmu,” katanya sembari tersenyum.

Cerpen Karangan: Finerolle
Blog: finola18.blogspot.com

Cerpen Aku, Kau Dan Dia merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Topi Biru

Oleh:
Tiara mendorong kursi rodanya perlahan. Entah kenapa Tiara merasa ingin berjalan-jalan sehingga ia pun memutuskan untuk berkeliling di sekitaran rumah sakit. Terlihat ada keluarga yang saling memberikan pelukan satu

Haleluya

Oleh:
Mual, perasaan aneh yang selalu menghantui perutku. Rasanya ingin muntah. “Apa yang kumakan hari ini?” Aku tidak tahu. Sudah hampir sebulan lamanya sejak perasaan ini menghantuiku. Rasa bosan yang

Rain dan Hujan

Oleh:
Datang tak diindahkan. Tak datang diharapkan. Yups, itu adalah hujan. Perkenalkan namaku Rain. Dalam bahasa Inggris Rain artinya Hujan. Selain karena aku lahir pada musim hujan, Ibu memberikan nama

Bekas Luka Cinta Pertama

Oleh:
Cinta pertama, ya. Itu adalah dua kata beribu kisah. Tak cukup satu buku untuk menuagkannya. Cinta pertamaku, dialah pembunuh perasaanku. Kini sangat sulit bagiku untuk mencintai. Hatiku bagai mati

Kembali

Oleh:
“Lista, kamu mau jadi pacarku?” Aldo berlutut di depanku, tangannya memegang boneka tedy bear berwarna cokelat. Lagi-lagi hal seperti ini terjadi, Aldo tidak pernah merasa kapok untuk menembakku berulang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *