Kembali
Cerpen Karangan: Suci Yaliyani ArsyillahKategori: Cerpen Cinta Pertama, Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Penantian
Lolos moderasi pada: 27 August 2023
“Lista, kamu mau jadi pacarku?”
Aldo berlutut di depanku, tangannya memegang boneka tedy bear berwarna cokelat. Lagi-lagi hal seperti ini terjadi, Aldo tidak pernah merasa kapok untuk menembakku berulang kali. Kalau dihitung ini adalah kali kesepuluh dia menyatakan cinta kepadaku. Tapi kali ini lebih parah, dia meminta segmen khusus kepada panitia untuk menembakku di atas panggung saat aku sedang menjadi master of ceremony acara inagurasi fakultas. Semua mata tertuju pada kami, mereka sedang menunggu akhir seperti apa yang akan muncul dalam drama kali ini.
“Terima. Terima. Terima.”
Sorakan penonton membuat Aldo tersenyum semakin lebar, merasa mendapatkan banyak dukungan. Aku benar-benar malu, sejak tadi aku berusaha untuk tidak menampar Aldo. Kenapa sih dia nekat melakukan hal semacam ini? Aku menarik tangan Aldo ke belakang panggung, semua penonton bersorak riang. Mereka pikir akan ada momen manis yang akan terjadi berikutnya.
“Maksud kamu apa sih?” tanyaku setelah kami berada di belakang panggung.
Semua kru yang ada di sana beralih memandangi kami. Aku rasa lebih baik malu di depan panitia daripada menahan malu di depan penonton. Aldo tidak menjawab apa-apa, dia hanya diam memerhatikan aku yang terlihat sangat kesal.
“Siapa yang ijinin dia naik ke panggung?” teriakku pada kru yang bertugas di belakang panggung.
Mereka semua diam, terlihat takut melihat kemarahanku. Aku memandang semua kru yang ada di tempat itu satu per satu, tidak ada yang mengaku. Nela muncul dengan wajah panik, dia berusaha menenangkanku. Aku berbalik lagi pada Aldo yang kini tertunduk takut, dia tidak berani menatapku.
“Aku udah bilang berulang kali kalo aku ngga suka sama kamu. Gue ngga akan mau jadi pacar kamu, Aldo. Please, jauhin aku! Move on! Cari cewe lain! Jangan maksa.” Kataku penuh penekanan.
Aku meletakkan mikrofon di sembarang tempat, sudah malas melanjutkan acara ini. Nela masih berusaha menenangkanku dan mencegahku pergi. Tapi aku sudah terlalu marah, moodku sudah hancur. Aku pergi begitu saja dari gedung meskipun acara belum selesai. Beberapa panitia meneriakiku, mereka bilang aku tidak profesional.
Aku berjalan cepat menuju gedung PKM, berniat untuk mengambil tas kemudian pergi dari kampus. Nela mengejarku sampai ke dalam ruang rapat, dia masih berusaha untuk membujukku agar bersedia melanjutkan acara. Acara akan berantakan jika MC tidak ada.
“Ngga mau. Aku udah kepalang malu. Aku mau balik.”
Aku mengemasi baju dan peralatan make up yang berantakan di atas meja, aku belum sempat merapikannya karena buru-buru ke gedung untuk mengikuti briefing sebelum acara dimulai. Dalam briefing tidak ada skrip tentang Aldo naik ke panggung dan menyatakan cinta kepadaku. Aku pergi keluar kelas, beberapa siswa yang melihatku lewat langsung berbisik-bisik. Besok aku akan menjadi trending topic, dikenal sebagai panitia paling tidak profesional atau cewe sombong yang menolak cowo berkali-kali. Aku mana peduli.
Sore harinya Nela mengajakku ke kafe baru dekat rumah. Katanya sedang ada diskon grand opening khusus hari ini, potongan harga untuk semua produk sebesar 50%. Sebagai pemburu promo tentu saja aku mengiyakan. Apalagi aku sedang butuh hiburan, kejadian di sekolah benar-benar membuat mood kacau. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi hari esok.
“Masih bad mood ya?”
Aku menghela napas berat, tidak memudah mengembalikan mood yang sudah rusak. Seperti mengetahui bahwa aku duduk di sini bukan untuk membahas masalah tadi pagi Nela merubah topik pembicaraannya.
“Katanya hari ini Vino pulang dari Banjar, Lis.” Katanya lagi dengan mata berbinar terang.
Aku terkejut, kopi susu yang sedang kusesap tumpah membasahi baju dan rok yang kukenakan. Aku segera membersihkan baju putihku dengan tisu di atas meja. Nela ikut membantu dengan mengambilkan beberapa tisu yang tersedia.
“Aduh… Gimana? Mau dibersihin ke kamar mandi ngga, Lis? Aku anterin.” Kata Nela menawarkan. Aku mengangguk patuh, kemudian mengikuti langkah Nela sambil sibuk membersihkan baju. Tiba-tiba Nela berhenti, hampir saja aku menabraknya.
“Kenapa berhenti?” tanyaku heran.
“Kamu sibuk sendiri. Bersihin bajunya di toilet aja, sambil jalan kan susah.” Kata Nela kemudian menggandeng tangaku.
Aku hanya bisa menurut. Pikiranku kini penuh dengan Vino, teman kecilku yang pindah ke Banjar 5 tahun yang lalu.
“Udah sampai, sana masuk! Aku nunggu di luar.” Nela berdiri di depan pintu bertuliskan “Toilet Wanita”.
Aku masuk ke dalam toilet, tidak ada siap-siapa di sana. Aku berjalan menuju wastafel, menyalakan keran dan membasahi tangan dengan air. Baju dan rok yang terkena noda kopi aku basahi, kemudian aku kucek sebentar. Setelah selesai aku mencuci muka.
Bayangan gadis kecil dan pemuda kecil berusia 12 tahun yang sedang duduk di tepi sungai mengisi pikiranku. Aku teringat pada saat terakhir bertemu dengan Vino sebelum pindah ke Banjar. Kejadian 10 tahun lalu itu masih terasa sangat fresh dalam ingatan, seperti baru terjadi kemarin.
—
“Vino beneran mau ke Banjar?” gadis kecil berkepang dua bertanya dengan raut sedih. Vino terlihat enggan membicarakannya. Aku memandangnya dengan saksama, berharap Vino akan menggeleng atau mengatakan tidak.
“Iya, Lis. Mau ke Banjar, lanjutin sekolah di sana.” jawabnya dengan suara lirih.
Aku kecewa. Memasang wajah cemberut seketika.
“Kenapa harus pergi? Sekolah di sini kan bisa.” Tanyaku sedikit berteriak, aku benar-benar kesal.
Vino menunduk, memandang riak air yang tercipta dari gerakan kakinya yang terendam di dalam air. Aku masih menunggu jawabannya.
“Vino jawab dong!” aku memaksanya untuk memandangku. Mataku mulai memanas, air mataku hampir jatuh.
Vino tetap diam tidak menjawab apa-apa. Air mataku mulai mengalir lembut menuruni pipi. Aku tidak mau Vino pergi, Vino tidak boleh meninggalkan aku. Vino juga merasa begitu kan?
“Vino jawab!” suaraku meninggi.
Aku mulai terisaka, tangisku pecah begitu saja. Vino masih diam, mengamati wajahku dengan tatapan sendu. Kami saling bertatapan. Vino memelukku tiba-tiba, menangis di pundakku. Aku mematung, Vino sama sedihnya dengan aku, dia sulit meninggalkanku.
“Vino ngga mau pergi, Lista. Tapi, Vino harus ikut abah sama umi. Vino udah bilang sama abah kalau mau tetap di sini sama Lista, bibi Yola, paman Nurdin dan teman lainnya. Abah ngga kasih ijin. Abah bilang kalau Vino libur bisa main ke sini.” Vino melepas pelukannya, mengusap air mata. Mungkin dia malu menangis di hadapanku.
Aku mengusap air mata, lalu menatap wajah Vino dalam-dalam. Seulas senyum timbul di wajahku, masih ada harapan untuk bertemu.
“Beneran Vino mau main kesini?” Vino mengangguk sambil tersenyum.
Aku tersenyum semakin lebar. Masih ada harapan untuk bertemu kembali meskipun intensitasnya sebentar mungkin.
“Janji Vino!”
Aku menyodorkan jari kelingking, Vino menyambutnya. Jari kami bertaut menandakan sudah ada janji yang mengikat. Suatu saat kami harus bertemu kembali, Vino harus mendatangiku.
—
Aku kembali ke alam nyata, pipiku basah oleh air mata. Ingatan itu mengundang tangis. Tangis atas janji yang belum dapat Vino tepati hingga saat ini. Kami bahkan sudah hilang kontak. Sejak 5 tahun lalu Vino tidak lagi memberiku kabar, nomornya tidak dapat dihubungi. Aku juga tidak bisa menemukan media sosialnya, Vino bukan orang yang suka pamer di media sosial. Ketika aku mengajaknya membuat facebook dia menolak, katanya ngga ada gunanya main begituan. Dia lebih suka berinteraksi secara langsung.
Aku menyesal dengan keputusan yang telah kubuat, untuk selalu setia menunggu kedatangannya. Tapi nyatanya apa? Vino tidak juga datang menemuiku, dia juga berhenti mengabariku. Ingin rasanya cuek dengan kabar yang disampaikan Nela bahwa Vino akan kembali, namun rasa rindu pada sosoknya tetap tumbuh dan semakin berkembang. Itulah alasanku sulit menerima sosok lain, termasuk Aldo yang cukup populer di sekolah.
Aku mengusap air mata dengan garang, mencoba menata kembali hati agar tegar. Kembali membangun serpihan kekuatan yang mulai ambruk terserang bongkahan rindu pada sosok Vino.
Ketika keluar dari toilet Nela tidak ada di tempat semula. Aku mencarinya di sekitar tempat terakhir dia menungguku, tapi sosok Nela tidak juga aku temukan. Aku memutuskan untuk kembali ke meja, siapa tahu Nela sudah lebih dulu kembali karena menungguku terlalu lama. Ketika sampai seorang pemuda berkaos merah mengejutkanku, dia duduk di kursi depan Nela, kursi yang seharusnya menjadi tempatku. Pemuda itu tampak asing, aku hanya melihat punggunya saja.
“Lista, sini! Duduk samping aku.” Nela melambaikan tangan, memintaku mendekat. Aku menatap Nela, lalu melirik si pemuda. Nela tertawa, peka terhadap maksud lirikanku.
“Duduk dulu, Lis.” Nela menarik tanganku, memaksaku duduk.
Aku duduk di sebelah Nela. Kemudian melirik ke arah pemuda asing di depan Nela yang dengan tenang melahap roti bakar selai cokelat. Wajahnya sangat teduh, tenang dan tidak peduli dengan kehadiranku. Dia tidak memandanku sama sekali, tidak menyapa atau meminta maaf karena telah duduk di kursiku. Aku kesal dengan kenyataan itu, semakin lama sikap manusia makin tidak sopan ya.
“Lis, tahu ngga dia siapa?” Nela menunjuk si pemuda dengan wajah sumringah.
Aku mengedikkan bahu tak peduli. Masa bodoh dengan orang baru yang tidak tahu sopan santun. Mengambil tempat duduk orang tanpa ijin, tanpa minta maaf.
“Dia Vino.”
Aku terkejut, mataku melebar, bibirku menganga tak percaya dan jantungku berdetak semakin cepat. Mendengar namanya disebut saja sudah membuatku salah tingkah sampai menumpahkan kopi. Bertemu dengannya secara langsung tentu membuatku semakin salah tingkah, entah barang apa yang akan aku tumpahkan lagi.
Aku menatap pemuda itu tak percaya, mencoba mencari dimana letak kemiripannya dengan Vino yang kutemui 5 tahun lalu. Pemuda itu menatapku balik, pandangan kami bertemu. Wajahnya terlihat lebih jelas, aku memandang setiap detail wajahnya. Matanya, alisnya, bulu matanya, hidungnya, bibirnya dan tahilalatnya masih sama. Tatapan matanya juga masih sama, terlihat sendu dan menenangkan. Dia adalah Vino, orang yang aku tunggu selama ini.
“Vi… Vi… Vino.” Panggilku dengan suara bergetar. Tepat saat nama Vino terucap dengan sempurna bulir demi bulir air mata mulai turun, membasahi mata dan pipiku. Aku menangis.
Vino berdiri, mendekati kursiku lalu berlutut di dekatku. Dia menggenggam tanganku dengan erat, seolah takut aku akan lari menjauhinya. Dia mendongak ke atas, mengamati wajahku lebih dekat. Kami saling berpandangan, berbagi rasa yang tak mudah diungkapkan lewat kata.
“Maaf, aku telat ya?” katanya lirih kemudian tersenyum.
Aku terus menangis, sulit mencegah air mataku tidak turun. Bibirku tidak bisa berkata apa-apa, tenggorokanku tercekat. Hanya kepalaku yang menggeleng.
“Maaf karena baru bisa menepati janji sekarang. Maaf karena ngga mengabari kamu. Maaf karena membuat kamu menunggu. Maaf karena aku baru kembali.” Senyumnya semakin lebar.
Vino menggenggam tanganku lebih erat.
“Nggak, Vin. Kamu datang tepat waktu. Terima kasih sudah bersedia untuk kembali. Terima kasih telah berusaha menepati janji. Aku saja yang kurang sabar selama ini.” Jawabku kemudian.
Vino tersenyum, kemudian memelukku dengan erat. Aku membalas pelukannya. Wangi tubuhnya bisa kurasakan secara langsung, kesegaran khas parfum cowok tercium begitu semerbak. Aku bisa merasakan ototnya yang semakin besar, dadanya semakin lebar dan pundaknya semakin tegap. Dia telah tumbuh menjadi seorang pria dewasa, bukan lagi sebagai Vino kecil berusia 12 tahun.
Tangisku belum juga reda, aku menangis bahagia. Vinoku telah kembali, dia ada di sini, memelukku dengan erat, memberiku kenyamanan yang tak pernah kuharapkan kepergiannya. Aku tidak mau melepasmu lagi, aku tidak ingin kamu pergi meninggalkanku.
“Aku sayang, kamu.” Bisiknya tepat di telingaku.
Aku tersenyum lebar, tanpa sadar memeluknya semakin erat. Hari ini begitu membahagiakan bukan? Aku melepas pelukannya, dia mengamati wajahku sekali lagi. Air mataku sudah kering, tangisku sudah berhenti. Kini senyum manis yang mengembang di bibirku.
“Udah… Kangen-kangenannya ditunda dulu. Ngga enak diliatin orang.” Nela menegur kami. Vino bangkit lalu kembali duduk di kursinya. Orang-orang di sekitar kami melihat dengan pandangan yang bermacam-macam. Ada yang ikut sedih hingga meneteskan air mata dan ada yang bergidik jijik dan menganggap kami terlalu lebay. Nela membayar pesanan dan mengajak kami keluar dari kafe dengan segera.
“Lista pulang sama kamu ya, Vin?” kata Nela
“Kamu pulang sama siapa, Nel?” Tanya Vino balik.
“Bawa motor. Tuh parkir di sana.” Nela menunjuk motor scoopy berwarna merah di parkiran.
Vino mengangguk.
Nela meningglkan kafe lebih dulu, dia melambaikan tangan kepada kami. Vino menggenggam tanganku erat dan mengajakku ke salah satu mobil yang terparkir di depan kafe. Vino membukakan pintu untukku, aku dipersilahkan untuk masuk layaknya tuan putri.
“Ini mobil kamu?”
Vino mengangguk sambil tersenyum sombong, kemudian melajukan mesin mobil dengan kecepatan rendah. Ada banyak pertanyaan yang ingin aku tujukan kepada dia.
“Dapat dari mana?”
“Kerja dong.” Katanya sambil tertawa renyah.
Ah… Pertanyaanku tidak bermutu. Kami saling diam. Vino sibuk dengan mengemudi mobil dan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Kenapa rasanya semakin canggung? Tidak seperti saat masih kecil dulu, aku bisa dengan bebas bertanya dan bercerita sesuka hati.
“Tadi habis ditembak ya?”
“Hah?”
Vino tahu kabar itu? Aku menoleh ke arahnya seketika itu juga, mataku membulat. Vino masih bersikap santai, sibuk dengan kemudianya. Kenapa kamu harus bertanya? Bukankah sekarang yang terpenting aku sedang duduk di sampingmu?
“Kenapa ngga diterima?”
“Ihhh….” Aku memukulnya dengan bantal leher di depanku.
Aku tidak suka membahas hal itu. Aku kesal bila mengingat bagaimana malunya ditembak di depan banyak orang, mana aku sedang bertugas sebagai MC. Bagaimana besok menghadapi teman kampus juga belum terpikirkan olehku. Mungkin saat ini namaku sedang menjadi trending topik di akun gosip kampus.
“Kok marah?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Aneh pertanyaannya. Kalo ngga diterima artinya aku ngga suka.”
“Terus sukanya sama siapa? Sama aku?”
Wajahku memanas, aku menjadi salah tingkah. Dia selalu bisa membuat jantungku berdetak lebih kencang daripada biasanya. Aku menggigit bibir bawah, bingung harus menjawab apa. Seharusnya dia sudah tahu jawabannya.
“Kok diem? Siapa hayo? Ayo jawab.” Godanya lagi.
Aku masih enggan untuk menjawab. Bibirku ingin menyebut namamu, tapi terlalu gengsi untuk mengungkapkannya. Masalah klasik seorang perempuan.
“Pake nanya lagi. Udah tahu jawabannya padahal.” Omelku lagi.
Vino memandangku lagi, tersenyum dengan manisnya. Aku tersenyum malu-malu.
Hari itu berakhir dengan bahagia. Cerita penantianku telah usai, kisahnya berakhir dengan ending yang memuaskan. Cinta masa kecilku telah kembali datang, Vinoku sudah pulang. Dia ada di sampingku, duduk dengan tenang sambil menggenggam erat tanganku. Lagu Akad mengudara lewat gelombang radio, menambah romantis suasana ini. Hamparan laut luas dan merahnya langit senja mengiringi perjalanan kita. Aku berharap kebersamaan kita tak akan pernah berakhir, terus begini sampai keriput mulai tumbuh di wajahmu. Terima kasih, Vino.
Cerpen Karangan: Suci Yaliyani Arsyillah
Suci Yaliyani Arsyillah adalah seorang mahasiswa semester akhir di salah satu Universitas Negeri di Jawa Tengah. Menulis adalah hobinya sejak SD. Di sela pusingnya menyelesaikan tugas akhir perkuliahan, dia menyempatkan untuk menulis cerita dengan harapan dapat menghilangkan penat.
Cerpen Kembali merupakan cerita pendek karangan Suci Yaliyani Arsyillah, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Sejuta Rasa Untuknya
Oleh: Dhea ZakiaSemua siswa di sekolahnya mengenal baik gadis pemilik nama Aliya Zaneefa, paras wajahnya yang sangat cantik siapa yang tak jatuh hati pada gadis ini. Langkah kakinya berjalan menelusuri koridor
Anindira Dirgantara (Part 3)
Oleh: Tanty AngelinaAnindira Angelina “I’m here, Nin..” Kata-kata Tara barusan memberiku banyak kekuatan. Cukup terkejut aku mendapatinya disini. Namun jauh dilubuk hatiku, rasa syukurku membuncah dengan sangat. Melihat Tara, aku merasa
Love Street (Part 2)
Oleh: Winne ChintiaDi kelas Lalu aku duduk dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Tak beberapa lama kemudian bel istirahat berbunyi, Aku mengeluarkan novel dari dalam tas dan membacanya. “Hei… lo kenapa?” tanya
Autumn Wish
Oleh: Miming AzminingsihAku ingin menjadi musim gugur Selalu kau harapkan ketika bulan november tiba Menatap daunku berubah warna menjadi kemerahan Sehingga segaris senyum terukir di bibirmu Daun momiji mulai berubah warna
Janji yang Tak Kunjung Ditepati
Oleh: Arlina“Aku pergi sebentar, aku janji akan kembali menemui kamu dan melamarmu, kamu bisa kan menunggu aku?” tanya seorang laki-laki. “Iya aku akan menunggu kamu dan menunggu janjimu” jawab seorang
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply