Kisah Di Mushola Nurul Iman Lungsir

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Dalam Hati (Terpendam), Cerpen Cinta Romantis
Lolos moderasi pada: 14 October 2017

Anak lelaki itu…
Pertama kali aku melihatnya di beranda mushola. Dia berdiri di sana, dengan sarung yang digulung di pinggang, peci hitam, kemeja yang sedikit kebesaran membalut badannya yang kecil. Dia tersenyum, menatapku, aku melewatinya melihat ke arahnya sesaat lalu berjalan lurus menuju tempat sholat bagian wanita. Anak laki-laki itu lalu pergi ke tempat wudhu, membasuh seluruh wajah, kaki dan tangan. Lalu dia berdiri di sana, di belakang mimbar, menggemakan adzan.

Selesai sholat, biasanya aku mengaji bersama guru ngaji kami, Pak Ali. Wajahnya ramah, dan sangat baik. Pak Ali sering memberikan wejangan kepada kami, murid mengajinya. Dan aku duduk di sana mendengarkan nasihatnya. Bila sudah selesai, ia akan kembali ke rumah. Sedangkan kami akan tetap di mushola menunggu waktu isya. Seringkali kami mengobrol, tapi kali ini lain… anak laki-laki yang baru kulihat itu tersenyum menatapku, aku balas senyumannya dengan malu-malu. Entah bagaimana pastinya tapi akhirnya kami berbicara bersama. tidak, kami tidak benar-benar berbicara bersama, kami hanya berdiri bersama di beranda musola menatap langit malam yang gelap. Dan semenjak saat itu kami lebih sering bersama lagi. Berdiri di beranda musola setelah mengaji, selepas isya. Bila aku ingin pulang dia selalu menahanku. Sehingga kami lebih lama lagi menatap langit malam serta jalan kelam di beranda musola.

Tapi malam ini berbeda, aku melihatnya jalan sempoyongan, mata memerah, seperti tak sadarkan diri. Aku menatapnya sesekali, meyakinkan diri untuk melihat keadaannya. Ada apa ini, dia tidak seperti biasa, tidak seperti orang yang sadar. Selesai solat magrib, dia menghilang. Ekor mataku mencari-cari ketika mengaji, hatiku tak tenang ada apa dengannya. Saat isya datang, dia kembali kulihat. Kali ini dirinya sudah lebih baik. Air wudhu yang membasahi wajahnya memberikan efek segar. Tapi aku masih bisa melihat matanya yang merah. Selesai kami solat, dia mencegahku pulang. Berdiri di pintu dan mengajakku bersandar di serambi musola…

“ada apa?” tanyaku gusar. Matanya masih merah, jalannya hampir limbung.
“Ehm… di sini saja dulu.”
“aku mau pulang…”
“nanti…” dia menahanku, menggenggam tangan dan menariknya untuk berdiri di sebelahnya.
“Kamu mabuk ya?”
“enggak.”
“Bohong!” aku lihat wajah tirusnya, hidungnya yang kecil itu mengempis, dan keningnya berkerut.
“enggak…” dia berkilah, tapi gerakan bahunya goyah. Aku tahu dia mabuk… dia berbohong. Tapi aku tak bisa melakukan apapun, senyumannya selalu menggodaku. Dia mabuk, tapi tetap ingin bersamaku. Apa dia ingin ditemani dalam keadaaan tidak sadarnya itu. Benar-benar aneh anak laki-laki ini. Namun aku tidak berkata apa-apa, hatiku sedih. Kami berdiri dalam diam. Ada apa dengannya, apa yang bisa kulakukan, gadis 17 tahun yang tidak tahu apa-apa. Tapi aku tak bisa mengadukan ini kepada siapapun. Karena bila aku menceritakan kepada pamannya, dia pasti akan dimarahi, dipulangkan kepada orangtuanya di kampung dan aku tidak mau itu terjadi.

Dia meracau… badannya bergoyang ke kanan ke kiri. Dan tetap tidak mau mengakui mabuknya itu. Menjengkelkan sekali… tapi aku memutuskan berdiri di sampingnya, sampai dia tahu dirinya lagi.

Anak laki-laki ini cukup tampan, tapi kenapa dia meletakkan kehidupannya kepada hal-hal buruk. Aku suka sekali mencuri-curi pandang untuk menatap wajahnya, aku suka bibirnya yang tipis itu… tapi aku tidak suka dirinya yang mabuk.

“sudah malam aku mau pulang…” aku berkata sambil lalu, dia memandangku kosong. Matanya mulai kembali normal, kesadarannya pun perlahan kembali. Dibasuhnya wajahnya dengan air.
“aku antar pulang ya…” dia menawarkan diri.. aku menganguk lemah sebagai jawabnya. Kami berjalan pulang. Dia berjalan di belakangku. Membisu… hanya itu, kami jarang bicara tapi kami sering melangkah bersama. kadang dia berjalan di sebelahku, di belakangku atau di depanku terkadang berputar menghalangi langkah kakiku. Dan tersenyum menggoda bila aku terganggu dengan tingkahnya itu. Sebagai balasannya aku hanya mencubit pinggang atau memukuli punggungnya.

Setelah sampai di depan rumahku. Dia melangkah menjauh dan berkata akan menjemputku besok pagi untuk sekolah bersama. Aku tak menjawab, setelah itu tubuhnya berlalu, menghilang dalam kegelapan. Aku tahu dia tak langsung pulang. Ada sebuah gardu di dekat musola kami, biasanya anak-anak muda sering duduk berkumpul di sana. Hampir setiap malam mereka bergitaran bernyanyi bersama, dan aku tahu bila malam semakin larut mereka mulai bermain kartu dan menenggak minuman. Anak laki-laki yang kusayang itu selalu ikut dengan mereka. Aku tahu dia akan mabuk lagi… apa kerennya dengan hal itu.

Semalaman aku berdoa semoga dia langsung pulang.
Keesokan paginya dia datang menjemputku dengan mata yang kembali merah. Aku marah, sepanjang perjalanan itu aku diam saja. Dia menggoda, berusaha memegang tanganku, menarik tas dan menghalangi jalan.
“mbak, kenapa? Marah ya?”
“semalam kamu mabuk ya?”
“enggak.” Merasa tak berdosa.
“bohong matamu merah.” Kutatap matanya yang merah, dia terkesiap tak bisa mengelak.
“Kurang tidur..”
“Alasan!” aku melewatinya.
“ehmmm… ya semalam aku mabuk. Gak enaklah sama teman-teman..” mengaku juga akhirnya.
“Teman yang mana? Kalau gitu gak usah nongkrong di sana. Jangan sampai malam. Kan kamu masih sekolah, kalau yang lain sudah tidak sekolah lagi.”
“Ya gak enaklah mbak. Kan anak laki disangkanya pengecut nanti.”
“Yang suka minum-minum itu yang pengecut!”
“sedikit aja kok.”
“sama saja. Males main sama kamu, suka minum begitu.”
“mbak, jangan begitu dong, jangan marah ya. Nanti diusahain gak minum lagi.”
“Kapan?”
“yah nanti.” Dia menjawab asal.

SMA ku sudah dekat. Aku berbelok arah meninggalkannya. Dan dia melangkah lurus, menyebrangi jalan menuju sekolahnya yang lebih jauh. Namun, sebelum itu dirinya menatap ke arahku. Aku masih marah jadi kuperlihatkan wajah kesal. Tapi dia tak terganggu olehnya, tetap tersenyum menggoda seperti biasa. Dan hatiku mulai luluh.

ADVERTISEMENT

Seusai sekolah, dirinya sudah muncul lagi di dekat gerbang sekolah. Ya ampun anak laki-laki ini. aku berpura-pura tak melihatnya, dia mengejar langkahku. Matanya sudah kembali normal dan jalannya pun ringan. Efek alkohol sudah hilang, bau mulutnya pun telah pudar. Aku pura-pura marah tak menatapnya. Dia menarik tasku, aku tak bisa bergerak maju. Lalu menggenggam tanganku, hatiku berdetak kencang, dia pintar memainkannya. Sedetik dibuat kesal, sedetik kemudian dibuatnya melayang. Aku tak dapat mengelak. Kami berjalan bersama lagi.

“Maaf ya.”
“Maaf kenapa?” aku pura-pura tak tahu.
“Aku gak mau minum lagi.”
“tidak ada urusannya denganku. Hidupmu ini.” aku berpura-pura acuh. Dia menghentikan langkahnya, berdiri di hadapanku.
“Tapi aku ingin kamu marah kalau aku minum lagi. Aku ingin kamu peduli denganku, mbak.”

Ditatapnya mataku, hatiku berdetak lebih kencang dari sebelumnya, lalu ditarik tanganku kembali untuk melangkah bersamanya di sepanjang trotoar. Dia mengambil jalan pulang yang lebih jauh dari yang biasa kulewati. Kami terus berjalan dalam diam. Melihat kendaraan yang lalu lalang. Mudah sekali dia berkata seperti itu, apa dia memikirkan rasa hatiku yang dibolak-balik olehnya. Dia pikir aku ibunya? kakaknya atau bibinya? Apa dia tak sadar usia kami yang hampir sama, walaupun aku ini kakak kelas dan aku hanya gadis biasa yang bisa jatuh cinta dengannya karena hal ini. apa yang dia harapkan dariku.

Malamnya kami bertemu lagi di musola, tetap berdiri bersama dalam diam menatap kelamnya lagit. Entah apa yang ada di pikirannya, terkadang dia berbicara dan bertanya macam-macam. Menceritakan sedikit hidupnya, sedikit sekali dalam hidupnya. Pernah dia memamerkan foto dirinya dengan anak gadis yang lain. Pacarnya yang dulu katanya. Aku cemberut saja mendengarnya, tapi dasar tidak peka dia tetap cuek memperlihatkan foto itu. Apa dia pikir aku ini batu!

Kadang-kadang kami duduk di depan tangga musola, dia akan meletakkan pundaknya di sebelahku lalu menggoyangkannya sehingga tubuhku bergerak kedepan. Dan aku mendorongnya sebagai balasan. Atau memukulnya, tapi dia seringkali berhasil menangkap tanganku sebelum sempat kulakukan, lalu tertawa-tawa senang karena itu. Hatiku berdesir, genggaman tangannya terasa manis dan kami bertatap lagi. Dia senang menatapku, dan aku selalu kalah, aku tak mampu menatapnya lama-lama. Jantungku terasa jatuh ke lambung. kadang dia membiarkan pukulan atau cubitanku mendarat di pinggangnya. Meringis kesakitan namun tertawa senang setelah itu. Aku pun sering berpura-pura marah, cemberut dan memasang muka masam. Tapi dia tahu aku tak pernah benar-benar bisa marah. Dia terlalu mempesona, dan aku tertarik luluh tak berdaya.

Suatu malam dia datang lagi dengan sempoyongan, kali ini matanya benar-benar lain. Dia tak datang ketika maghrib tadi, juga isya. Aku mencari-cari di dalam hati. Ketika aku hampir pulang tiba-tiba dia muncul, mata merah melangkah sempoyongan dan meracau tak jelas. Tapi dia masih ingat untuk menahanku pulang. Aku melihatnya tak mengerti, ada apa dengannya. Apakah dia minum lagi, minum lagi disaat malam masih terlalu dini. Begitu tersiksakah hidupnya. Dia tak tahu bagaimana kehidupan juga sangat sulit bagiku. Tapi aku tak mau alkohol mennguasai diriku. Aku tak tahu harus bagaimana. Dia dalam keadaan seperti itu dan ingin tetap denganku. Dia pikir aku ini apa? Kenapa dia menyiksaku dengan hal ini. aku tidak tahu apapun tentang menghadapi orang yang sedang mabuk. Dia berkata macam-macam. Dia bukan dirinya lagi. Setiap kali ditariknya tanganku untuk tetap di dekatnya. Aku tidak mencium bau alkohol. Sedetik kemudian, kulihat sesuatu di dalam kantong bajunya. Kuambil ketika dia lengah, dan aku benar-benar terkejut 2 pil berwarna putih di dalam plastik kecil. Aku menatapnya tak percaya. Dia ngobat! Aku benar-benar marah, dia pun terkejut karena aku mengetahui rahasia ini. Berusaha dia ambil kembali pil itu sekuat tenaga dan berhasil. Matanya terpejam dan membuka, seperti ikan kehabisan oksigen. Reflek, aku tampar pipinya. “Plakk!!”
Kami berdua terkejut terlebih lagi dirinya. Matanya terbuka lebar menatap tak percaya, aku pun tidak. Warna merah lima jariku terceplak di pipinya. Aku sudah melakukannya, aku sangat sayang padanya kuambil kembali pil itu, dia memyembunyikannya ke belakang tubuh, kami saling berebut, karena dia dalam keadaaan setengah sadar aku mampu mengambil kembali pil itu, lalu kubuang jauh-jauh. Dia menahan tanganku. Bibirnya mengatup rapat, aku tak peduli lagi, bila dia ingin marah aku akan menerimanya. Ditatapnya mataku lama sekali, hatiku berdegup kuat dan kencang, dadaku naik turun menahan kesal. Begitupun dirinya. Lalu genggamannnya mengendur, dia memejamkan matanya sesaat, dan berkata…
“Maaf…” Hanya itu yang keluar dari bibirnya yang tipis. Aku menangis tertahan, kenapa dia meletakkanku dalam keadaan ini, hidupku saja sudah terasa sulit. Aku tak mampu menolongnya lebih jauh, aku hanya gadis bodoh.
“Maaf… aku takkan melakukannya lagi. Aku janji.”
“Dulu kau berjanji untuk tidak minum, sekarang ngobat. Aku benci kau…”
“Kalau begitu tampar lagi pipiku yang satu ini.” dia menawarkan pipinya yang sebelah lagi. Aku tak percaya dia melakukan itu. Aku menggeleng.
“tampar lagi pipiku, mbak!”
“Enggak mau!
“Ayo mbak!”
Karena aku memang sedang kesal sekali, akhirnya kutampar lagi pipinya yang sebelah.
“Itu karena telah membuatku kesal!” Dia tersenyum, mungkin kesadarannya sudah perlahan kembali. Dan tanpa kusadari dia mencium pipi dan dahiku. Semua terasa membeku, sekarang aku yang tak sadarkan diri.
“Terimakasih ya mbakku!” senyum nakalnya kembali datang. Sejak saat itu aku memang tidak pernah melihat matanya memerah dan jalan bagai tak menginjak bumi.

Hari-hari berlalu, kami masih sering berjalan bersama pergi sekolah, pulang sekolah, sepulang mengaji. Berdiri dalam diam menatap langit malam di serambi musola. Aku tak pernah mengerti apa maunya. Semua mengira kami berpacaran, kenyataannya kami hanya berjalan bersama saja. Tak ada kata-kata manis, tak juga pengakuan cinta. Itu saja. Sampai akhirnya dia mengenalkanku pada seorang temannya. Temannya yang menyatakan perasaan kepadaku. Aku benar-benar kecewa. Apakah dia tak pernah menyadari bahwa aku menunggunya. Bahwa selama ini aku bersedia berjalan lebih jauh karena ingin bersamanya lebih lama. Mengabaikan waktuku sendiri, untuk menemaninya menatap langit di beranda musola. Mengacuhkan kata-kata orang di sekitarku yang terus menggodaku dengan dirinya. Bersabar dengan keburukannya.

Dia terlalu egois, dia terlalu menganggap dirinya mampu. dia lebih mengutamakan perasaan orang lain daripada rasanya sendiri. Dan dia tak pernah sedikitpun menanyakan perasaanku. Tapi untuk apa? Karena baginya aku hanya seorang kakak. Semua sudah berlalu anak laki-laki itu kini menjelma menjadi pria dewasa yang kuat, mandiri dan tangguh. Dia jauh lebih baik daripada yang dulu. Dia mampu mengatasi segala hal yang terjadi di kehidupannya. Tapi dia masih sama bagiku, anak laki-laki yang mencuri perhatianku. Dan selalu kudoakan limpahan kebaikan untuk dirinya dan keluarganya…

Bandar Lampung, 2001-2002…

Cerpen Karangan: Ambar Puspita Rini
Facebook: ambar puspita rini

Cerpen Kisah Di Mushola Nurul Iman Lungsir merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Menolak Rasa (Part 1)

Oleh:
Namamu siapa? Belakangan ini pertanyaan konyol itu selalu memenuhi pikiranku. Konyol karena baru kali ini aku ngerasa penasaran dengan nama seseorang, dan itu laki-laki. Padahal untuk tahu namamu semudah

Tegarnya Nuna

Oleh:
Hai, namaku Nuna. Tadi, aku sempat melamun. Entah memikirkan apa. Hanya saja tatapanku kosong. Lampu dari kendaraan bermotor pun menyorotiku tapi ku hanya diam, tak menghiraukan. Tatapanku masih kosong,

Seindah Edelweis

Oleh:
Saat turun dari bus, Bu Rini mendapat kabar dari pihak Lion, bahwa penerbangan harus ditunda selama dua hari dikarenakan ada beberapa masalah yang melanda maskapainya. Dan kami harus dialihkan

Aku dan Dia

Oleh:
Aku mencintainya. Bukan atas dasar ‘karena’ tapi ‘walaupun’. Aku adik kelasnya. Dan dia, kakak kelasku. Aku kelas 1 SMA, dan dia kelas 2 SMA. Aku berada di sekolah yang

Kotak Cokelat

Oleh:
“Sakit?” Aku menggeleng. Menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Rio lalu melanjutkan mengoleskan betadine pada lututku yang lecet. “Aww!” Aku langsung menepis tangan Rio dari sana. “Pelan-pelan.” Rio tertawa. Manis sekali.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *