The Past Memories
Cerpen Karangan: Nofy Tri LestariKategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Fiksi Penggemar (Fanfiction)
Lolos moderasi pada: 11 November 2017
Tidak terasa, hari sudah semakin gelap. Awan hitam telah menyelimuti, menemani lelaki yang sedang duduk di salah satu bangku taman itu sembari menundukkan kepalanya.
Terlihat sesekali ia menghela napas. Menutup kedua matanya sejenak lalu kembali mengangkat kepalanya. Ia menatap jauh ke depan dengan pandangan menerawang. Seolah-olah mencari tahu, kiranya apa yang akan terjadi pada dirinya di hari yang akan datang.
Tetapi, nyatanya bukan pikiran itu yang saat ini sedang bersarang di kepalanya. Bukan teka-teka hidup yang biasanya selalu menjadi pertanyaan setiap orang yang beterbangan di kepalanya.
Melainkan, memori satu tahun lalu… yang saat ini begitu mengusik dirinya. Memori dimana dirinya bisa mengungkapkan perasaannya. Memori dimana dirinya menerima cinta tulus darinya.
Dan, memori… dimana pada akhirnya, dirinya bisa merengkuh gadis yang begitu ia cinta tepat di tempat saat ini dia berada.
Ia kembali menghela napas, kali ini lebih keras. Berharap rasa sesak yang begitu menghimpit dadanya bisa menghilang segera. Ia tak mengerti. Harusnya ini adalah hari yang membahagiakan buat dirinya. Tapi nyatanya, sungguh berbanding terbalik. Hari ini dirinya benar-benar kalut. Hatinya benar-benar diselimuti oleh rasa bersalah yang tak kunjung ada habisnya.
Tak lama, dering ponsel membuyarkan lamunannya. Ia tersenyum miris begitu melihat banyak sekali ucapan selamat untuk dirinya. Yah, memang dirinya harus bersenang-senang.
Karena hari ini, ia baru saja berhasil menjuarai Indonesia Open. Entah sudah gelar superseries ke berapa. Tapi yang pasti, kemenangan di negara yang satu ini selalu membuat dirinya begitu spesial. Dan semua itu karena…
“Hah, sudahlah… tidak seharusnya aku mengingatnya..” gumam lelaki itu sembari beranjak berdiri hendak pergi dari taman itu. Namun, baru saja ia hendak pergi, seketika langkahnya terhenti begitu melihat gadis yang saat ini sedang berdiri mematung tak jauh darinya.
Entah mengapa, ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi. Yang ia tahu, saat ini ia tidak mampu mengendalikan dirinya. Seolah-olah seluruh otot dan sendinya kaku sehingga ia tak mampu berjalan barang satu langkah sekalipun.
Dan tanpa diaba-aba, dirinya menahan napas seiring dengan langkah gadis itu yang mendekat ke arah dirinya. Hingga tersisa tiga langkah jarak yang memisahkan keduanya.
Suara lembut gadis itu menyapa, “Lee Yongdae?”.
Lelaki yang ternyata adalah Lee Yongdae itu terlihat kebingungan, tak mampu berkata-kata, hingga beberapa saat kemudian akhirnya lelaki itu mampu menguasai dirinya. “Ya, Liliyana?” jawab lelaki itu. “Ada apa kau ke mari?” tanyanya kemudian.
Gadis bernama lengkap Liliyana Natsir itu tersenyum kecut begitu mendengar sapaan dari Yongdae. Apa? Liliyana? Sebegitu asing-kah dirinya hingga Yongdae harus memanggilnya dengan sebutan “Liliyana”? Dan itu, satu lagi. “Ada apa kau kemari”? Apa Yongdae benar-benar tidak tahu mengapa Yana datang ke tampat ini. Entahlah, Yana pun tidak ingin ambil pusing.
Yana berdehem singkat sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan Yongdae, “Hmm, tidak ada alasan khusus. Aku ke sini hanya karena aku ingin ke sini. Ke taman ini.” ucapnya lugas.
Mendengar jawaban dari gadis itu, Yongdae hanya mampu mengedikkan bahunya. “Yah, sudah pasti seperti itu. Tidak mungkin kau ke sini karena ada alasan yang begitu spesial. Benar begitu, bukan?”
Yana mengangguk, lalu melangkah menuju bangku taman yang sebelumnya ditempati oleh Yongdae. Ia segera duduk di bangku itu sebelum akhirnya kembali menatap Yongdae yang saat ini masih berdiri di hadapannya. “Lalu, bagaimana dengan dirimu? Sedang apa kau di sini? Kulihat sepertinya tadi kau sudah mau pulang.”
Yongdae kembali terlihat kebingungan, namun ia langsung kembali duduk di bangku itu dan kini dirinya sudah berada tepat di sebelah Yana. “Siapa bilang aku sudah mau pulang. Aku baru saja sampai..” ucap Yongdae.
Sontak hal itu membuat Yana terkejut. Entah mengapa, kembali berada dalam jarak sedekat ini dengan Yongdae, mampu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Dan ia benar-benar tidak mengerti, sungguh… ia tidak mengerti mengapa dirinya bisa menjadi seperti ini.
Yongdae yang melihat Yana terdiam, mengangkat sebelah tangannya lalu menggoyang-goyangkannya tepat di depan wajah Yana. Hingga membuyarkan lamunan gadis itu. “Hei, kau melamun?”
“Oh, tidak..” Gadis itu terlihat salah tingkah sebelum akhirnya ia kembali mampu menguasai dirinya. “Oh, iya. Selamat ya atas kemenanganmu.” Kata Yana sembari tersenyum pada Yongdae.
Melihat senyuman itu, Yongdae merasa seperti ia kembali ke masa-masa satu tahun yang lalu. Saat dimana ia bisa melihat senyuman tulus dari gadis yang saat ini berada tepat di sampingnya. Yah, walaupun tidak selalu. Setidaknya setiap kali tournament, ia akan selalu bisa melihat senyuman itu bahkan walau dari jauh sekalipun.
Dan, saat ini hanya satu permintaannya pada Tuhan. Ia ingin Tuhan menghentikan waktu, berharap ia bisa terus melihat senyuman tulus dari gadis itu. Karena dirinya sendiri pun tidak yakin, apakah setelah ini Yana masih akan tersenyum seperti ini padanya. Ataukah sebaliknya, apakah Yana akan kembali seperti sebelum-sebelumnya. Berusaha menghindar dari dirinya, seolah-olah tidak mau lagi bertemu dengannya.
Oh tidak, bahkan Yongdae sudah tidak sanggup membayangkan bagaimana kelanjutannya. Ia benar-benar tidak sanggup.
“Hmm, terima kasih, Liliyana.” ujar Yongdae sembari tersenyum tipis.
Yana mengernyit setelah mendengar Yongdae kembali memanggilnya dengan panggilan “Liliyana”. Entah apa alasannya, yang pasti tiap kali ia mendengar Yongdae memanggilnya seperti itu. Dadanya serasa terhimpit oleh batu yang besar. Ia merasa sesak, hatinya sakit karena mengetahui Yongdae sudah tidak lagi menganggap dirinya seperti yang dulu. Seperti di saat satu tahun yang lalu.
Tapi, sejurus kemudian ia segera menampik semua perasaan itu. Perasaan yang saat ini dirasakannya, memori yang selalu berada di ingatannya. Ia benar-benar tidak ingin terus berlarut di dalamnya.
“Karena kau berhasil juara lagi, kukira kau akan pesta dengan rekan-rekanmu.” ucap Yana sembari memandang jauh ke depan.
Yongdae yang sebelumnya juga menghadap ke depan, kini menoleh menghadap Yana. Menatap lekat-lekat wajah gadis itu, walaupun ia tak membalas tatapannya. “Hmm, aku selalu merasa spesial tiap kali menjadi juara di negaramu. Tapi, entah mengapa. Tahun ini terasa berbeda. Seperti ada yang kurang.”
Yana pun tergelak mendengar penuturan Yongdae. Tiba-tiba, ia merasa khawatir. Ada apa dengan laki-laki itu? Apakah dia sedang ada masalah?
“Yongdae, kau… sedang tidak ada masalah, kan?” tanya Yana yang kini sudah membalas tatapan Yongdae.
Lelaki itu mengangguk.
“Kau baik-baik saja, kan?”
Lelaki itu kembali mengangguk.
“Apa kau sakit?” tanya Yana yang kini sudah menempelkan punggung tangannya ke dahi lelaki itu.
Sontak, Yongdae pun tertegun melihat perlakuan Yana padanya. Kali ini dirinya bisa melihat wajah Yana dalam jarak yang cukup dekat. Wajah gadis itu terlihat serius, dan… “Oh, apa Yana khawatir padaku?” tanyanya dalam hati.
“Iya, aku sakit, Yana.” jawab Yongdae sebelum akhirnya meraih dan menggenggam tangan Yana dan menempelkannya tepat di bagian dadanya. “Aku merasa sangat sakit, di sini…”
“Yongdae…” lirih Yana. Ia pun tidak bisa lagi berkata-kata. Hanya itu yang mampu terucap dari bibirnya.
“Dan kau tahu? Ketika bisa bersamamu seperti ini, apa yang aku rasakan?” Yongdae menggeser tangan Yana yang sebelumnya berada di atas dadanya, ke dada bagian kiri-nya.
Yana begitu tergelak merasakan apa yang saat ini dirasakan oleh tangannya. Detakkan itu… seperti sebuah drum (read : dram) yang berdentam-dentam dengan tempo yang begitu cepat.
Menyadari apa yang tengah terjadi, Yana segera melepas tangannya dari genggaman Yongdae. Ia melirik sekilas jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya sebelum akhirnya berkata, “Sepertinya aku harus segera kembali ke asrama. Kak Richard sudah menunggu.”
Dan dengan tanpa memandang Yongdae, ia segera beranjak dari bangku berniat hendak pergi meninggalkan lelaki itu. Namun, baru saja ia hendak melangkah, suara itu mampu menghentikan dirinya.
“Yana…” ucap Yongdae. “Yana…” ucapnya kembali.
Mendengar panggilan itu, hati Yana terasa terenyuh. Jantungnya kembali berdegup kencang, bahkan berdegup dua kali lebih cepat. Ia merasa seperti tidak lagi menapak di bumi. Ia hanya mampu terdiam mematung, tanpa tahu apa yang harus ia lakukan.
Hingga pada akhirnya, ia merasakan lelaki itu memeluknya dari belakang. Merengkuh dirinya seerat mungkin, seakan melarang dirinya pergi.
“Kali ini, aku sudah tidak mampu bertahan lagi, Yana. Aku… sudah tidak sanggup lagi. Kali ini, aku tidak akan membiarkanmu pergi seperti sebelumnya. Aku tidak akan rela melepas dirimu.” ucap Yongdae dengan lembut sembari masih memeluk Yana dengan erat. “Jadi, kumohon, Yana. Kumohon… jangan tinggalkan aku. Tetaplah bersamaku. Tetaplah, berada di sisiku…”
Yana memejamkan kedua matanya, ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia begitu bimbang. Entah mengapa, ia merasa dirinya saat ini menjadi wanita bodoh. Yang sama sekali tidak bisa memutuskan apa yang harus dirinya lakukan.
Hingga beberapa saat kemudian, ia menggenggam tangan Yongdae yang melingkari tubuhnya. Lalu dengan perlahan, mencoba melepaskan pelukan lelaki itu padanya.
Yongdae sangat terkejut. Seketika ia begitu was-was. Apakah Yana akan pergi meninggalkan dirinya, bahkan ketika dirinya meminta untuk tetap tinggal?
Setelah berhasil membebaskan dirinya dari pelukan Yongdae, dengan perlahan Yana berbalik menghadap lelaki itu. Ia memandang lekat-lekat wajah lelaki itu, lalu beralih menatap jauh ke dalam kedua manik coklat itu. Mencoba mencari-cari kebohongan di sana. Namun, usahanya sia-sia. Sama sekali tidak ada kebohongan di sana, selain kejujuran dan ketulusan yang terpancar jelas dari kedua bola mata lelaki itu.
“Aku mencintaimu, Yana.” ucap Yongdae dengan lembut sambil terus membalas tatapan Yana. “Aku… masih mencintaimu. Seperti dulu. Kumohon, tetaplah berada di sisiku, hmm.”
Ketulusan Yongdae mampu meloloskan air mata yang sejak tadi sudah menggenang di pelupuk mata Yana. Gadis itu pun sudah tidak mampu menahan air mata itu lagi. Saat ini dirinya benar-benar bahagia. Hatinya menjadi terasa ringan setelah mendengar kata-kata itu lagi.
“Aku… aku juga mencintaimu, Yongdae. Aku mencintaimu…”
Tanpa menunggu lebih lama, Yongdae segera merengkuh kembali tubuh Yana ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat gadis itu yang saat ini juga membalas pelukannya, seakan tidak ingin membiarkannya pergi barang satu detik sekalipun.
Dalam hati ia berjanji, bahwa ia akan selalu mencintai dan menjaga gadis ini. Bahwa mereka akan selalu bersama dalam suka maupun duka. Bahwa mereka akan tetap bertahan menghadapi bersama lika-liku perjalanan yang akan kembali menghadang mereka seperti sebelum-sebelumnya.
Yongdae melepas pelukannya dan menatap dalam kedua manik hitam Yana. Dengan perlahan ia mendekatkan wajahnya pada Yana dan sukses membuat gadis itu memejamkan kedua matanya rapat-rapat.
Melihat itu, Yongdae tersenyum. Dan dengan perlahan, ia mengecup lembut bibir Yana yang selama ini belum pernah sama sekali ia sentuh.
Yana hanya mampu terdiam menahan detakkan jantungnya yang terus berdentam-dentam karena merasakan hangat dan lembutnya bibir Yongdae yang menyapa bibirnya. Ini… pertama kali dalam hidupnya ia merasakan getaran-getaran aneh yang sama sekali belum pernah ia rasakan sebelumnya. Yah, ini adalah ciuman pertamanya. Dan hanya Yongdae, satu-satunya lelaki yang bisa mendapatkan ciuman pertama seorang Liliyana Natsir.
The End
Cerpen Karangan: Nofy Tri Lestari
Facebook: Nofy Tri Lestari
Cerpen The Past Memories merupakan cerita pendek karangan Nofy Tri Lestari, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Bunga Semanis Coklat
Oleh: Pratiwi Nur ZamzaniAwan berkabut menyelimuti langit waktu itu. Pagi serasa seperti sore. Tanah basah akibat guyuran hujan menjadi jejak kaki bagi setapak kaki. Embun berderet bagai semut berjalan dan menetesi bunga-bunga
When I Miss You
Oleh: Hilda Sicylia SafitriJari-jari kokoh itu terus menekan setiap tuts piano di depannya. Mengalunkan sebuah nada indah yang siapa saja mendengarnya akan terhipnotis. Aku berjalan mengikuti alunan suara indah itu, yang aku
Pengkhianatan Seorang Lelaki
Oleh: LalaSore ini aku mengunjungi kuburan Kakak lelakiku. Kak Pras meninggal dua minggu yang lalu karena overdosis obat. Ya, Kak Pras memang seorang fans berat nark*ba. Aku menaburkan bunga ke
Tidak Boleh Pelukan
Oleh: Adelia SHari dan Via sudah lama berpacaran. Mejalani hubungan asmaranya semenjak smp. Memasuki SMK, Hari pindah ke sekolah barunya dan mereka berpisah sementara. Menjalani hubungan Long Distance Relationship (LDR) Karena
Love And Equatorial
Oleh: Muhammad RuliansyahHari ini cuacanya masih tetap panas, memang selalu panas di kota ini. Aku berjalan di sepanjang trotoar yang menuju ke kompleks perumahan tempatku mengontrak sebuah rumah kecil. Hanya aku
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply