Bersama Terbenamnya Matahari

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Perpisahan
Lolos moderasi pada: 1 March 2016

Di tepi pantai, aku dan Gibrant sedang berjalan sambil menikmati senja yang indah yang membuat siapa pun pasti takjub melihatnya. Orang-orang yang melihat pemandangan seindah senja hari ini pasti merasa bahagia, namun aku tak benar-benar merasa bahagia. Gibrant mengajakku ke pantai hari ini sebagai tanda perpisahan. Semua orang jelas tak menyukai perpisahan, begitu juga aku.

“Fisca, aku harap kau menikmati hari ini,” ucap Gibrant lembut, walaupun ada sebersit nada kecewa di dalamnya.
“Tentu saja, itu karena kau ada bersamaku,” jawabku. Dengan cepat, aku sudah berada dalam pelukan Gibrant. Ia memelukku seakan tak ingin melepaskannya.
“Aku berjanji padamu, setelah aku kembali, aku akan mengajakmu ke sini lagi,” ucap Gibrant yang masih memelukku.
“Ku pegang janjimu,” aku menenggelamkan kepalaku ke dalam pelukannya, dan menikmati kehangatan yang menjalari tubuhku.

Sudah sebulan sejak perginya Gibrant ke Negeri Paman Sam untuk menimba ilmu. Aku benar-benar merindukannya. Aku rindu senyumnya, aku rindu pelukan hangatnya, aku merindukan semua tentang dirinya. Ponsel milikku yang tergeletak di ranjang, tiba-tiba saja berdering. Terpampang nama orang yang selama ini ku rindukan di layar ponselku. Membuat ujung-ujung bibirku tertarik ke atas membentuk segaris senyum.

“Halo?” aku menjawab telepon dari Gibrant.
“Halo, Fisca, tebak kejutan apa yang akan ku berikan untukmu,” suara Gibrant terdengar riang di ujung sana.
“Um.. aku tidak tahu,” aku merasa bodoh dan tersenyum sendiri karena tahu Gibrant akan memberikan kejutan untukku. “Ingat janji yang ku buat pada hari sebelum aku berangkat ke Amerika?”
“Ya, tentu aku ingat,”
“Aku akan menepati janji itu besok,” ucap Gibrant. Aku mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya sadar maksud ucapan Gibrant.
“Jadi, kau akan kembali ke Indonesia?” ucapku kegirangan.
“Ya, dan sekarang pesawatnya akan Take off, mungkin aku akan sampai di rumahmu sekitar pukul sembilan, sudah dulu ya,” ucap Gibrant mengakhiri sesi teleponan itu.
Aku melompat sambil memekik riang saking senangnya. Aku benar-benar tak sabar. Aku ingin malam ini cepat berlalu, agar aku bisa bertemu dengan Gibrant.

Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela membuatku terbangun. Sayup-sayup ku dengar kicauan burung yang merdu. Aku bangun dengan langkah gontai dan menengok jam, pukul 08.30. Teringat Gibrant akan tiba di Indonesia pagi ini membuatku tersenyum senang. Setidaknya aku punya tiga puluh menit untuk bersiap-siap, ucapku dalam hati. Sekitar tiga puluh lima menit kemudian, aku turun dengan wajah berseri dan pakaian yang rapi.

“Eh, anak Mama sudah cantik dan rapi pagi-pagi begini, mau ke mana?” Tanya mama ketika aku sudah sampai di ruang makan untuk sarapan. “Gibrant hari ini akan tiba di Indonesia, aku ada janji dengannya,” jawabku dengan semangat. Tepat pada saat itu telepon rumah berdering.
“Baiklah, minta dia berkunjung ke sini ya, habiskan sarapanmu dulu, Mama akan menjawab teleponnya,” ucap Mama lalu berjalan ke arah telepon yang tak jauh dari tempatku saat ini. Aku menunduk menatap sarapanku sambil berpikir, kenapa Gibrant belum sampai juga? dan ketika aku hendak melahap sarapanku, aku kaget mendengar mama memekik.

“Kenapa, Ma?” ucapku langsung berjalan mendekati mama. Mama tidak menjawab pertanyaanku. Raut wajahnya berubah menegang dan ia menutup mulut dengan satu tangan menunjukkan kekagetan yang luar biasa. Tanpa sadar ia menjatuhkan telepon yang digenggamnya. Aku mulai panik. “Ma? Ada apa?” tanyaku sambil mengguncangkan tubuhnya.
“Gibrant..,” mama menggantungkan kalimatnya, membuatku makin khawatir, “kecelakaan,” mama menyelesaikan kalimatnya. Aku yakin bahwa jantungku berhenti berdetak saat ini. Rasa dingin menusuk menyelimuti diriku.

“Semua orang di dalam pesawat meninggal, termasuk,”
“Tidak!” aku menyela karena tidak ingin mama menyelesaikan kalimatnya. Tubuhku bergetar hebat. Kakiku tiba-tiba lemas, dan aku jatuh terduduk di lantai. Butiran air mata memenuhi pelupuk mataku dan akhirnya jatuh membasahi pipiku. Dadaku rasanya sakit seperti ditusuk-tusuk hingga aku kesulitan bernapas. “Itu tak mungkin..,” sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku, pandanganku mendadak buyar, lalu semuanya hitam.

Di sini aku sedang berdiri, di pantai yang sama tempat aku menoreh kenangan terakhir bersama Gibrant. Senja mulai mengguratkan warna merahnya. Sudah satu minggu kau pergi meninggalkan dunia ini, kau meninggalkanku, bersama semua kenangan manis kita, aku ingin melihat senyummu walau untuk terakhir kali. Senja di hadapanku mulai buram akibat air mata memenuhi pelupuk mataku. Aku menangis tanpa suara di hadapan senja. Tuhan, kembalikan dia padaku, Gibrant.. Kau bilang akan menepati janjimu? Tapi.. aku di sini… sendirian. Tiba-tiba mataku menangkap siluet seseorang di bibir pantai. Ya, aku mengenalnya.”Gibrant?” gumamku lirih. Seseorang itu makin mendekat, tubuhnya bersinar.

ADVERTISEMENT

“Tuhan mengizinkanku untuk menepati janjiku padamu,” seseorang itu tersenyum. Senyum yang sangat ku kenal.
“Fisca, walau apa pun yang terjadi, percayalah, aku mencintaimu, dan selamanya akan begitu,” ia mulai berjalan mundur. “Sampai bertemu lagi, di surga Tuhan,” ia mengucapkan kalimat terakhirnya. Aku tak mampu berkata-kata. Aku hanya diam, menatapnya yang mulai menghilang bersama terbenamnya matahari.

Cerpen Karangan: Cantika Putri Maharani
Facebook: Cantika Putri Maharani (Cantika Chan-Chan)
Saya hanya pelajar SMP yang baru saja belajar menulis, dan sangat butuh dukungan.

Cerpen Bersama Terbenamnya Matahari merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Kau Punya Luka?

Oleh:
Selalu. Setiap mendung memayungi langit kota ini, aku melihat seorang perempuan menghampiri satu-persatu dari orang-orang yang melintas dan bertanya demikian, Kau punya luka? Aku heran, kenapa hanya setiap mendung

Aku Mencintaimu

Oleh:
Andi tidak begitu memperhatikanku. Aku sedang menulis surat cinta untuknya. Andi terlihat lelah, karena usai bermain basket dengan teman-temannya. Angin baru, angin 17 tahun, Andi terlihat tampan kala itu.

After Hello (Part 2)

Oleh:
Ponsel di genggamannya berdering. “Ada apa?… aku sedang sibuk, jangan ganggu aku… aku tahu, aku tahu, berhenti mengatakan hal menyebalkan itu atau aku akan benar-benar—“ Tut tut. Sambungan telepon

Untuk Kakak Dan Panda

Oleh:
Sikap, sifatnya dan cara dia menatapku berbeda dengan semua orang. Ketika dia marah, dia berusaha menyembunyikan amarah supaya aku dan orang-orang disampingnya tidak tahu apa dia sedang marah atau

Kekecewaanku

Oleh:
Aku mengenalnya sejak aku masuk sekolah di SMK swasta di daerah Purwokerto. Aku masih hafal betul ketika aku pertama bertemu dengannya. Ya sebut saja dia Anissa. Ketika itu Anissa

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *