Cinta Untuk Sugiyem

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Cinta Sejati
Lolos moderasi pada: 20 August 2023

Sugiyem seorang janda. Suaminya meninggal puluhan tahun yang lalu. Menghidupi empat anak seorang diri dari sepetak sawah yang jelas tidak cukup. Masih ditambah buruh tani dan menjadi pembantu harian. Kadang menjelang lebaran Sugiyem menjadi pembantu pengganti ke kota. Menjadi pembantu sementara karena para pembantu di kota pada mudik. Berangkat lewat seorang koordinator pembantu jelang lebaran dan balik lagi sesudah lebaran. Biasanya dua minggu dengan gaji setara tiga bulan. Karena dia harus rela meninggalkan keluarga saat semua orang merayakan lebaran. Itulah sebabnya saya jarang bertemu dengannya setiap kali mudik lebaran di kampung.

Ya, dia satu kampung daerah asal saya. Di lereng gunung kapur di pantai selatan. Teman masa kecil. Teman SD. Teman bermain. Sekaligus teman dalam mimpi.

Dia tidak cantik. Biasa saja. Sejak masih muda dulu apalagi kini. Beban hidup yang berat apalagi semenjak ditinggal suaminya membuat wajahnya sedemikian cepat menua. Dia sudah seperti emak-emak berkulit kasar, legam karena sering mandi matahari dan wajahnya yang tidak pernah terpercik skin care.
Tetapi saya pernah cinta padanya.

Saya seorang pengusaha lulusan kampus ternama di Jakarta. Anak seorang Demang di desa. Sejak kecil semua orang memanggil mas. Sebagai penghormatan tertinggi. Pintar dan melanjutkan sekolah ke kota. Terpandang, sukses, memiliki warisan tak terhitung yang sebagian diantaranya saya pakai membuat usaha di kota dan sukses pula. Itulah kenapa ketika lulus sarjana, orang tua menjodohkan dengan Anggraini, kembang desa anak juragan kelapa. Tetapi saya tidak mau, karena hati sudah terpaut dengan Sugiyem. Seorang gadis sederhana jauh dari gebyar dunia yang unfortunately sudah menikah dengan kang Parmo, seorang petani lugu dan sudah beranak dua saat itu. Saat saya lulus sarjana.

Masih ingat sesaat setelah pernikahannya, waktu itu saya kelas satu SMA. Saya temui dia di sawah etan tempat biasa bermain saat kecil. Dia baru saja buruh di sana.

“Kenapa kau menikah?”
“Aku dijodohkan”
“Apakah kau cinta?”
“Tidak. Tidak sama sekali. Tetapi kang Parmo orang baik. Saya akan belajar mencintainya”
“Apakah kau akan melupakan aku?”
“Pasti. Aku akan melupakanmu. Kau terlalu tinggi bahkan tidak mungkin terlintas dalam mimpiku yang paling liar. Lupakanlah aku selamanya”

Saya meninggalkan sawah etan dengan hati gundah. Seorang abege SMA yang sedang dilanda asmara walaupun belum terucap secara langsung. Harus merelakan orang yang ada di hati untuk menikah dengan kang Parmo.

Saya sedang menelepon ibu saat itu ketika diberitahu kang Parmo meninggal. Dia kecelakaan kerja jatuh dari pohon kelapa ketika sedang menjadi buruh petik. Segera saya pulang ke desa dengan mobil terbaru. Ada rasa gundah di hati. Ada rasa sedih tak tertahan. Apalagi ketika diantar lik Giran nyolawat di rumah Sugiyem, melihat empat anak yang masih kecil sudah ditinggal bapaknya. Sementara Sugiyem hanyalah wanita buruh tani dengan hasil tidak tetap. Hati ini sedih. Kesedihan Sugiyem adalah kesedihan saya. Duka lara di hati Sugiyem adalah duka lara saya. Saya benar-benar sedih. Walaupun ada cinta tetapi bukan berarti saya gembira dengan kematian suaminya.

Setahun berlalu. Usia saya sudah sangat matang. Bahkan termasuk terlambat menikah. Ketika harta benda dan kehormatan sudah ada di tangan. Tetapi saya tidak beruntung dalam hal perjodohan. Sudah berkali kali mencoba mencari istri. Berkali kali mencoba menautkan hati. Dengan Dina yang lembut, dengan Amanda yang sedikit centil atau dengan Mawar yang keibuan. Tetapi semua kandas karena cintaku sudah dibawa Sugiyem. Seseorang yang sudah menjadi milik orang. Kebetulan sekarang sudah janda.

“Itu tidak mungkin. Pernikahan kita tidak akan sekufu. Tidak akan mudah ke depannya. Saya tahu kau mencintaiku mas tetapi aku sudah pernah menjadi milik orang”, demikian kata Sugiyem ketika saya berniat melamar setahun sesudah suaminya meninggal.
“Tidak ada masalah. Aku akan menerimamu sepenuhnya. Termasuk keempat anakmu. Aku akan menyekolahkan dan menganggap anakmu dari kang Parmo sebagai anakku sendiri. Menikahlah denganku dan ikut ke kota”
“Tidak semudah itu mas. Aku punya keluarga besar, mas juga. Kehidupan perghibahan di desa itu juga tidak mudah. Aku khawatir keluarga saya, ibu dan bapakku yang tua tidak sanggup berinteraksi dengan keluarga mas.”

ADVERTISEMENT

Saya termenung. Benar juga. Pernikahan tidak sesederhana membawa Sugiyem dan anak-anaknya ke kota. Tetapi harus mempertimbangkan semuanya. Sepertinya keluarga Sugiyem tidak sanggup.

“Apakah kau mencintaiku?” Tanya saya penuh harap.
Sugiyem tertawa hampa. Memandang pagar rumahnya yang reot. Kemudian ‘ngunandiko’,
“Sudah lama aku memendam rasa itu mas. Mungkin sejak mulai puber. Perhatianmu sangat aku rasakan. Benar, aku pernah jatuh cinta padamu. Tetapi aku sadar siapa diri ini. Aku tepis jauh-jauh walaupun tidak pernah mampu menatap matamu yang memandangku penuh cinta”
“Terus”

“Kedatangan kang Parmo membawa perubahan baru. Walaupun kami dijodohkan, walaupun kami baru kenal dan tidak ada rasa cinta, ternyata cinta tulus kang Parmo meluluhkan hatiku. Itulah wanita, makhluk yang bisa belajar mencintai. Berbeda dengan laki-laki yang seringkali egois atas rasa cintanya. Kang Parmo telaten mengajariku cinta. Kang Parmo adalah kekasih halalku. Sedikit demi sedikit beliau mengajari cinta. Tidak hanya sebagai pasangan suami istri tetapi cinta sebagai hamba kepada Khaliknnya. Walaupun bukan orang alim kang Parmo rajin ibadah. Rajin mengaji sampai suatu saat aku berhijab. Kang Parmo adalah imamku yang nyata. Yang ingin aku ikuti dunia akherat. Karena menurut yang saya yakini seorang istri akan di akherat bersama suami terakhirnya. Kecuali suami istri itu berbeda nasib di sana”

“Jadi kau tolak lamaranku?”

“Pergilah mas kembali ke kota. Raih impianmu bukan denganku. Carilah wanita sekufu yang penuh cinta. Biarkan aku di sini bersama anak-anak dan menunggu saat bersama kang Parmo nanti,” Sugiyem berkata dengan berkaca-kaca.

Kutinggalkan desa itu dengan hati galau. Kembali ke kota dengan segala aktifitas. Menikahi Aisyah sekretaris yang baru saja saya terima kerja di perusahaan saya. Dan berusaha melupakan Sugiyem selamanya. Namun sebagai bukti cintaku yang tanpa pamrih lagi, sebagaimana tekadku, aku kirimkan beasiswa untuk semua anak Sugiyem. Beasiswa ini saya kirim ke Baitul mal masjid setempat sehingga Sugiyem tidak tahu kalau semua itu dari saya.

Beberapa tahun kemudian, sebuah pesan di aplikasi hijau datang dari kang Bardi. Teman main bersama saat kecil.

[Sugiyem sakit keras sudah seminggu]
[Sakit apa?]
[Tidak tahu juga wong belum dibawa ke Rumah Sakit]
[Baik, aku segera datang]

Saya mengajak Aisyah dan anak-anak ke desa. Anak-anak sangat gembira karena ingin bertemu kakek neneknya. Aisyah bertanya-tanya.

[Ada apa kok pulang mendadak bi?]
[Kerabat abi ada yang sakit]
[Kerabat yang mana? Sampai abi harus cuti mendadak?]
[Kerabat dekat sih, cuma jarang bertemu karena kalau lebaran dia selalu kerja ke kota]

Aisyah segera berbenah. Istriku yang super cantik ini tidak terlalu banyak bertanya. Dia seorang wanita penurut yang berhasil menawan hatiku. Yang sudah memberi saya dua anak balita. Termasuk terlambat bagi saya. Tetapi Aisyah masih sangat muda dan mau dengan saya yang sudah jelang om om.

Sesampai di desa, atas jaminan saya, Sugiyem segera dibawa ke rumah sakit. Anak-anaknya membawa ibunya masuk ambulans yang saya sewa. Ternyata sakitnya bertambah parah.

Beban kehidupan yang ditanggungnya sendirian sebagai orangtua tunggal terlalu berat baginya. Tubuhnya lelah. Seluruh organ badannya sudah terpakai secara maksimal. Dia jarang sakit jadi ketika sakit kondisi langsung drop.

Hari ketiga di rumah sakit, ketika saya bezuk bersama Aisyah, dia sudah sangat parah. Beberapa orang termasuk anaknya menuntunnya mengucap nama Allah.
Ternyata dia masih mengenali saya. Meminta saya untuk mendekat.

“Bagaimana keadaanmu Sugiyem?”
Sambil tersenyum dan menahan rasa sakit dia berkata, “beginilah, sepertinya saatku sudah dekat. Terimakasih mas telah memberikan beasiswa untuk anak-anakku. Belum lama aku diberitahu pengurus masjid”
“Lupakanlah semuanya. Segeralah sembuh”

“Apakah mas masih mencintaiku?”
“Masih, cinta itu masih ada dan tetap akan ada.”
“Tidak perlu. Cintaku pada mas sudah aku padamkan. Cintaku hanya untuk kang Parmo yang saat ini sudah menungguku. Cintailah wanita baik dan cantik di sebelahmu itu. Hanya itu yang membuatku tenang. Cintamu kepadaku hanyalah fatamorgana. Cinta yang nyata ya ummi Aisyah itu. Demikian juga cintaku yang nyata ya hanya kang Parmo”.

Sugiyem mengulurkan tangan. Saya kaget apakah itu untukku padahal selama ini kami tidak pernah berpegang walau ganya sekedar salaman. Ternyata istriku yang mengulurkan tangan menyambut dengan senyum.

“Ummi?” seruku kaget.
“Iya, sejak tadi ummi di sini”
“Ummi mendengarkan semuanya?”
“Benar. Tapi abi tidak perlu khawatir. Ummi sudah lama membaca diary diary abi yang tidak sengaja ummi temukan di tumpukan buku semasa kuliah”

Kedua wanita itu berpelukan. Keduanya menangis. Kedua wanita yang saya cintai dalam suatu waktu.

Setelah itu Sugiyem minta didekatkan anak-anaknya. Di depan mereka semua Sugiyem menutup mata selama-lamanya. Diiringi isak tangis keempat anaknya. Sugiyem menyusul kang Parmo. Cinta sejatinya.

Hari ini musim gugur di Korea. Bersama pepohonan merah dan kuning indah merona, kami berempat berlibur dengan gembira. Di restoran halal yang kami pesan, tetiba saya teringat Sugiyem. Ketika bermain bersama di sawah etan dekat bukit.

“Sudah melamunkan mbak Sugiyem. Inilah di depan abi, cinta abi yang nyata,” tiba-tiba Aisyah seperti menebak fikiranku.
“Eh, siapa juga yang melamunkan”
“Sejak tadi Aisy panggil diam saja,” sahutnya cemberut.
“Ih, cembulu ni ye, cembulu ya,” goda saya.
“Siapa pula yang cemburu”, sahut Aisyah sambil mencubit saya. Cubitan keras yang sudah terkontaminasi kecemburuan.

Kami segera berpelukan. Menuntaskan cinta dan kasih kami. Dengan cinta kami yang nyata. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Sugiyem kepada kami.

Kekuatan himmah tidak akan mampu mengoyak tirai qadar.”
(Al Hikam pasal 3)

Ternate Utara, 20 Juni 2023
HW

Cerpen Karangan: Hardi Witono
Blog / Facebook: Hardi Witono
Seorang dosen Teknik Mesin yang mencintai sastra

Cerpen Cinta Untuk Sugiyem merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Aku Bukan Untukmu

Oleh:
Pagi Yang cerah, aku berjalan menyelusuri koridor sekolah, pagi ini hatiku sangat senang, Karena aku baru saja jadian sama orang yang aku sayangi dan aku cintai namanya Iqbaal Dhiafakhri

Love You More

Oleh:
Saat ini aku sedang tengkurap di atas kasur sambil membaca novel karena hari ini adalah hari libur. Aku sangat menyukai novel dan tak jarang aku dibuat menangis oleh ceritanya.

Cinta Monyet Bersemi Kembali

Oleh:
Sinar matahari mulai meninggi, embun masih belum beranjak dari tempatnya. Suasana kelas pagi ini masih terlihat sepi. Hanya terlihat beberapa anak petugas piket yang datang lebih awal dari biasanya.

Apakah ini Cinta? (Part 3)

Oleh:
Sasa menatap ke depan, perasaannya terasa hampa dan berbagai perasaan sesal menghantui hatinya. Persiapan untuk pesta ulang tahunnya nanti malam sudah selesai semua, terlihat pembantunya dan juga Ibu serta

L.O.V.E

Oleh:
Marc tengah duduk di bangku taman yang sepi ini. Awan mendung menghiasi langit seolah mengerti perasaan Marc yang dilanda rasa cemas. Seorang wanita yang ia cintai terbaring di Rumah

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *