Heart Sounds (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Perpisahan
Lolos moderasi pada: 21 May 2016

Aku bosan dengan keadaan ini. Ku letakkan ponselku dengan posisi terbalik seolah muak dengan apa yang tersimpan di dalamnya. Tak lama kemudian, hasrat ingin membalikkannya pun muncul lagi setelah melihat teknologi kecil itu mulai bergetar. Sial. Memang ini yang ku tunggu. Ku buka pesan utama yang sudah ku nantikan. Dia. Begitu nama yang tertera dari kontak yang mengirimkan pesan tersebut.

“Aku sudah di depan.” Begitu singkat namun dengan dahsyatnya menghipnotisku untuk segera bergerak.
Ku segerakan langkahku ke depan gerbang. Ku lihat sesosok pria yang yang sangat ku kenal duduk manis di atas motornya menantiku membukakan pintu. “Masuklah.” Ucapku dengan senyum lebar tak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahku. Ku suguhkan ia minuman hangat di ruang tamu. Dengan sigapnya ia melepas jaket yang dikenakan dan merebahkan dirinya di atas sofa.

“Cape banget ya hari ini?” Tanyaku merasa khawatir.
“Iya. Aku mau resign aja.” Jawabnya dengan asal.
“Jangaaan!!” ucapku spontan membantah kalimatnya.
Ya, jangan. Kalau kamu resign, aku tak bisa menatapmu sesering ini. Aku harus repot mengirimu pesan menanyakan ‘kamu sedang apa?’ tiap kali kau tak terlihat di depan mataku. Batinku merasa cemas memikirkan bagaimana hubungan ini jika kami bukan lagi rekan-kerja.

Satu bulan sebelumnya. Bolak-balik aku melihat isi dari laci meja kerjaku. Aku ragu untuk melakukannya.
“Apa aku harus melakukan ini?” kataku meminta saran.
“Terserah. Kau yang merasakan akibatnya sendiri nanti. Kau sudah siap dengan penolakan?” jawab Wulan, teman terdekatku.
“Aku siap dengan petualangan.” Kataku dengan cengiran lebar, membuat Wulan menjadi sedikit kesal dengan tingkahku yang terlalu nekat ini. Setelah mengatakan itu, aku pergi meninggalkan Wulan dan kembali ke meja kerjaku. Kini, target telah berada pada jarak pandangku. Tapi aku tidak bisa langsung memberikan ini padanya. Apa yang harus ku lakukan? Batinku merasa cemas.

“Aku punya cokelat. Kau mau menerimanya?” ku putuskan untuk mengiriminya pesan singkat terlebih dahulu.
“Dalam rangka apa?” tanyanya merasa penasaran.
“Aku hanya ingin memberinya,” jawabku dengan tidak jelas.
Tidak ada balasan. Aku melirik ke arahnya. Ia sudah mengenakan tas dan bersiap untuk pulang. Ia bahkan melewatiku tanpa berkata apa pun. Seketika aku berpikir bahwa aku sudah ditolak pada percobaan pertamaku. Aku menunduk dan mengambil napas panjang. Berusaha menenangkan diri. Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar.

“Aku tunggu di bawah.” Balasnya dengan singkat.
Senyumku kembali mengembang. Ku genggam cokelat yang telah ku siapkan. Berlari menuju ‘bawah’ yang ia maksud.
“Ini untukmu,” kataku dengan sedikit malu.
“Dalam rangka apa?” pertanyaan yang sama kembali ia lontarkan.
“Aku hanya ingin memberinya,” jawaban yang sama pun kembali ku berikan.
Kami terdiam beberapa saat. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia mulai membuka mulut untuk bertanya. Tapi aku memotongnya dengan sebuah kalimat.

“Aku dan Bela akan pergi menonton. Kau mau ikut?”
“Di mana?”
“Di daerah Kuningan.”
“Itu terlalu jauh. Kalau di dekat kantor aku mau.”
“Oh ya sudah kalau begitu. Lain kali saja.” Ada rasa sedikit kecewa di raut wajahku.
“Terima kasih untuk cokelatnya.”
Dan kami pun berpisah.

“Kau masih menonton?” tanyanya di pesan singkat pada saat aku dengan Bela serius menonton.
“Masih. Kau sudah sampai rumah?”
“Sudah. Apakah filmnya seru?”
“Ya. Lumayan. Sayang sekali kau tidak ada di sini. Lain kali saja ya kita nonton di dekat kantor.”
“Maksudmu hanya kita berdua?”
Berdua? Ia bilang berdua? Apa aku tidak salah baca? Akan ku pastikan lagi dengan pertanyaan.
“Kalau hanya berdua apa kau mau?” tanyaku memastikan.

ADVERTISEMENT

“Kau mau kalau hanya berdua?” jawabnya.
Stop. Di sini aku tahu bahwa ia adalah orang yang tidak berani mengambil resiko. Pertanyaanku selalu dijawab dengan pertanyaan.
“Kalau diajak ya aku mau saja,” jawabku menantangnya.
“Ya aku juga, kalau diajak aku juga mau saja,” jawabnya merasa aman.
“Hahaha.. kalau saling menunggu diajak seperti ini kapan kita jadi menontonnya?”
“Kalau gitu kita tunggu ada film seru aja.”
“Baiklah.”

Aku tersenyum membayangkan kenangan manis sebulan yang lalu. Di saat pertama kalinya aku memberanikan diri untuk memberikan kode keras padanya bahwa aku tertarik dengannya.

Kini ia hanya berjarak beberapa senti dari hadapanku. Aku bisa menyentuhnya. Ku belai rambutnya yang hitam di tengah-tengah istirahatnya dalam diam. Ia hanya menggamit jemariku sambil memejamkan matanya. Sayup ku dengar ia sedikit bersenandung lagu yang entah apa judulnya. Saat itu terlintas di pikiranku pertanyaan, ‘Sejak kapan aku jatuh cinta padanya?’ Satu jam berlalu tanpa pembicaraan yang berarti di antara kami. Seperti biasanya dia hanya ‘numpang’ beristirahat sejenak di tempat tinggalku yang tak jauh dari kantor. Bergegas dengan perlengkapannya untuk pulang, aku bangun dari dudukku. Menatap cermin untuk menyisir rambutku dengan jari yang agak sedikit berantakan. Tiba-tiba ku rasakan ada lengan yang melingkar di pingganggku. Ku lihat cermin, terlihat bayangannya yang sedang memelukku dengan senyuman.

“Kamu kenapa? Sakit?” Begitu isi pesan singkat pertamaku pagi ini untuknya.
“Ngantuuuk.” Jawabnya yang juga tak kalah singkat. Aku harus merasa puas hanya dengan memberinya perhatian lewat pesan singkat selama kami berada di lingkungan kantor. Ku teringat sesuatu yang sudah ku siapkan pagi ini untuknya. Segera ku langkahkan kakiku ke pantry dan membuka kulkas untuk menemukan apa yang ku cari.
“Naah.. udah dingin nih,” kataku dengan pelan.

Kembali ke meja kerjaku, dia tidak ada di meja kerjanya. Melihat situasi sekitar aman, diam-diam ku letakkan sesuatu yang ku pegang di atas meja kerjanya. Ia datang. Melihat minuman dingin yang terlihat segar di atas meja kerjanya ia langsung tahu siapa yang meletakkannya. “Waah… makasih ya Cassandra.” Huh. Setengah mati aku diam-diam meletakkan itu di sana, ia malah menyebut namaku terang-terangan. Tapi ya sudahlah, untungnya tidak ada yang memperhatikan. Aku hanya tersenyum ikut senang melihat ia senang menerimanya.

Pagi ini ku terbangun. Mengejapkan mataku yang masih sangat mengantuk. Kepalaku terasa berat. Aku berjalan sempoyongan menuju lemari baju untuk bersiap-siap ke kantor. Sekilas ku lihat bayanganku di cermin yang masih sangat buram. Oh bukan, bukan cerminnya yang buram. Itu pandanganku yang masih belum jernih. Ku dekatkan wajahku ke cermin. Akhirnya dapat terlihat jelas. Pagi ini terasa berat. Berat sekali kepalaku. Leherku terasa sangat pegal. Aku menggelung rambutku ke atas bersiap untuk mandi pagi. Masih di depan cermin, ku lihat ada yang aneh pada leherku. Terdapat benjolan kecil di salah satu sisi leher bagian bawah telinga. Mungkin seperti yang kebanyakan orang bilang, “Salah bantal?”

“Leher aku ada benjolan kecil. Kenapa ya?” setibanya di kantor mengadu ke Zack yang sedang menyeruput kopi panasnya. Ya, namanya Zack. Dia tambatan hatiku. Yang duduk di seberang meja kerjaku. “Kamu masuk angin kali. Atau salah bantal.” Jawabnya setelah meneguk kopi panasnya. Ya kan, apa aku bilang. Pasti salah bantal.

“Huhh.. akhirnya sampai. Kenapa hari ini terasa sangat dingin?” keluhku suatu ketika pulang dari kantor. Ingin rasanya mandi, ku langkahkan kakiku ke kamar mandi. Baru saja aku ingin membuka baju, sekujur tubuhku terasa menggigil mendadak. Gigiku gemetar. Tubuhku lemas bahkan hanya untuk sekedar melangkah. Ku rebahkan tubuhku perlahan ke tempat tidur. Ku tarik selimut. Ya Tuhan, masih saja terasa dingin. Ku ambil jaket yang paling tebal. Ku kenakan di balik selimut. Aku masih gemetar. Aku gemetaran hingga mataku terpejam. Hari itu. Untuk pertama kalinya. Gejala itu muncul.

Sudah seminggu sejak kejadian menggigil itu. Benjolan di leher sebelah kiriku semakin membesar dan tak kunjung hilang. Aku panik dan segera mencari informasi mengenai hal ini di internet. Tumor, kanker, TB, dan sederet penyakit kronis lainnya terpampang di layar laptop. Aku terkejut sampai sekujur badanku terasa lemas. Gggrrrr…gr…. getaran ponselku membuatku tersadar dari keterkejutanku. Ku lihat nama “Dia” di layar ponsel menanyakan, “Kamu kapan pulang?” Kini bukan senyum yang terpancar dari wajahku. Aku hanya diam dan perlahan menangis.

Bersambung

Cerpen Karangan: Sandra Auliana
Facebook: https://www.facebook.com/sandra.auliana

Cerpen Heart Sounds (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Masih Terngiang

Oleh:
Rembulan malam menemani hati yang rindu cahaya gemerlap terang, kukecup air dingin menyembangkan kenangan langit bintang terang. Suara hirup angin menghembus kesunyian hati dalam bayangan diri. Cuma hati yang

Hujan di Bulan Desember

Oleh:
Setelah hampir satu tahun ku berjalan bersisian dengannya, baru ku sadari bahwa cintanya tak kan pernah untukku. Meski ia selalu bilang tak ada yang lain, namun selalu ada kehangatan

Kenangan Di Atas Bukit

Oleh:
Di suatu hari yang cerah, aku duduk termenung sendiri di atas bukit dan hamparan rumput yang hijau. Menatap langit luas, memandangi pohon hijau yang indah mewarnai bumi, mendengar burung

When You Love Someone

Oleh:
When you love someone Just be brave to say That you want him to be with you Mengakulah hal yang tersulit dalam cinta adalah sebuah pengakuan. Pengakuan tentang perasaan

Lewat Tulisan

Oleh:
Aku hanya bisa menemukan nya lewat tulisan nya. Aku hanya bisa merasakan nya lewat tulisan nya. Aku hanya bisa mengetahui apa yang ingin dia sampaikan kepadaku lewat tulisan nya.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *