Hujan di Bulan Desember

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Perpisahan
Lolos moderasi pada: 9 June 2014

‘Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam…’

Sisi lembut menyerangku di saat aku sedang memikirkanmu. Cukup kusyukuri bahwa perasaan tak tegaku muncul terlambat. Jika sedari tadi, pasti aku takkan ada di sini.
Aku menyandarkan kepala ke jendela. Mengamati rintik hujan di luar sana menabrakkan diri pada kaca hingga terlihatlah anak sungai kecil terasa layaknya lukisan abstrak yang indah namun mampu mengiris hati.

Aku seperti melihat lelehan air matamu yang beberapa saat lalu kutinggalkan tanpa perasaan. Akankah kau masih di sana? Menangis tersedu-sedu seraya menatap punggungku yang perlahan menjauh lalu menghilang. Tak mungkin kan kau masih di sana di saat hujan lebat seperti ini?

Perlahan, semakin aku menatap langit gelap serta rintik hujan yang kian deras, aku semakin mengkawatirkanmu. Karena aku tahu kau gadis yang begitu nekat sekaligus rapuh.
Maafkan aku… Meskipun mungkin kau masih di sana, aku tetap tak mampu menghampirimu. Perpisahan ini adalah jalan satu-satunya bagi kita. Layaknya awan kelabu yang menjatuhkan hujan hingga ke dasar tanah lalu sosoknya perlahan menghilang agar pelangi dapat menampilkan keindahannya. Seperti itulah kita. Demi kau aku rela menghilang agar kau terus ada di sana terlihat indah nan memukau seperti pelangi.

‘Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini.
Menanti…
Seperti pelangi, setia menunggu hujan reda…’

“Lihatlah, awan mendung di langit itu! Sebentar lagi hujan akan tiba tapi tunggulah selalu ada pelangi sehabis hujan. Meski kau tak selalu tahu dan melihat kemunculannya. Namun percayalah seperti pelangi yang akan tetap membiaskan warna-warna indahnya di langit cerah setelah kegelapan yang disebabkan oleh awan mendung menyelimuti bumi. Seperti itulah kesedihan yang kau derita, suatu saat pasti akan berganti dengan kebahagiaan yang terasa indah,” ujar seorang lelaki berperawakan kecil namun terlihat manis.
Dia memang bukanlah lelaki gagah perkasa yang bisa melindungi gadisnya dengan kekuatan fisik yang hebat. Dia juga bukan tipe lelaki yang dapat dijadikan bahan pamer dengan berjuta kelebihan luar yang mampu memukau mata. namun sikapnya yang selalu sukses menghasilkan rasa nyaman nan hangat bagi yang berada di dekatnya, senyumnya yang terlihat tulus, mata polosnya yang memancarkan kesungguhan merupakan anugerah tersendiri yang dia miliki. Dialah Nathan. Pria lembut yang berperasaan halus.
Gadis yang berdiri di hadapannya, yang tadi ikut serempak mendongak ke langit bersama Nathan beralih menatap lekat lelaki yang berhasil mencuri hatinya. Ada sesuatu yang mengusik benaknya setelah dengan tiba-tiba lelakinya berucap dengan nada rendah nan berat. Belum sempat dia berucap Nathan sudah bersuara.
“Kau akan bahagia. Itu pasti! Percayalah luka yang aku torehkan sekarang takkan berlangsung lama. Selanjutnya hidupmu akan menjadi cemerlang tanpa aku.
Kau adalah Dessy yang hebat dan akan lebih hebat lagi tanpa aku di sisimu karena aku hanyalah menjadi batu sandungan bagi kesuksesanmu. Aku ini awan mendung kelabu yang gemar menghalangi keindahan langit Dessy. Bukan kah awan kelabu ini harus menyingkir agar pelangi bisa muncul?”
Gadis ini mengernyit tak mengerti. Kata-kata Nathan adalah sesuatu yang terasa sulit dia cerna. Apalagi ketika matanya mengamati ekspresi lelakinya yang sendu. Rasa was-was yang muncul di benaknya sedari tadi semakin membesar menjadi rasa takut. Takut akan kehilangan.
“Ap-apa maksudmu, Nath?” Dessy sudah mampu mencerna akan tetapi kini rasa tak percayalah yang menghadangnya untuk bisa mengerti tiap-tiap kata yang terlontar dari bibir Nathan.
Nathan menghela nafas berat, tatapan matanya beralih menyorot hamparan dedaunan pohon Maple yang berayun-ayun terhempas oleh angin lembap nan dingin. Pertanda hujan akan segera datang.
“Pergilah! Ikutlah dengan Mamamu ke Jepang. Di sana kau akan bisa meraih apa yang kau ingini. Segalanya ada untukmu. Jangan bertahan di sini. Di sampingku dan tinggal bersama Papamu yang pemabuk itu. Kami hanyalah pria tak bertanggung jawab yang akan menjadi penghalang bagimu. Kami hanyalah awan gelap yang akan menghalangi keindahan warna-warna pelangimu.”

Suara tenor seorang Pria yang sudah lewat beberapa jam lalu kudengar masih saja terngiang-ngiang dengan jelas. Seolah seperti hantu yang tanpa wujud namun tak juga berhenti bicara. Terus saja mengkumandangkan kata-kata ‘manis’ nan menusuk, membuatku yang menangis di bawah rintik hujan ini semakin merasakan sesak yang amat sangat beserta perih di hati.
Tahu apa kau tentang kebahagiaanku? Bersama Mama memanglah membuat segala yang kuingini terwujud. Aku tak lagi tersiksa oleh hujaman-hujaman pukulan dari Papaku ketika dia mabuk namun dengan aku pergi, aku juga takkan lagi melihatmu, Nath!
“AKU TAK MAMPU JAUH DARIMU NATHAN BODOH!!!” teriakku mengumbar segala yang yang menyesaki dada. Aku kembali mendongak sambil menitikkan air mata yang tak nampak karena dengan cepat terhapus oleh rintik hujan. “Nath… Aku tak mau pergi,” gumamku. Percuma memang aku berucap demikian. Toh, dia takkan mendengarnya.
“Tapi kau tetap harus pergi. Kalau kau tak pergi, aku akan membencimu!”
Kata-katanya kembali terngiang. Begitu nyata dan menusuk. Seolah Dia masih ada di sini. Lama dia bergulat dengan pikirannya sendiri seraya terus saja me-review setiap kata yang meluncur tulus namun dingin dari Nathan. Akhirnya hingga pada satu titik dia mulai mengerti.
“Kau bukan awan gelap Nath. Kau adalah matahari. Meski hujan turun namun jika tak ada matahari yang bersinar terik di atas sana, pelangi takkan muncul. Ketahuilah itu.” Seulas senyum meski getir terukir di bibirku. Aku memejamkan mata. Merasai tiap tetep hujan yang mengenaiku. Tak sakit… Sekarang setelah aku memahami apa yang dia inginkan. Aku tak lagi merasakan sakit.

ADVERTISEMENT

‘Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka, menetas luka.
Sampai hujan memulihkan luka…
Aku…
Selalu suka sehabis hujan di bulan Desember.’

“Selamat tinggal,” gumam Nathan yang mengintip dari jendela ruang tamu. Menatap gadisnya yang di luar sana tepat di depan rumah mungilnya terlihat menyeret koper besar. Gadis itu berhenti melangkah ketika dia sampai di ambang pintu Taxi yang akan mengantarnya ke Bandara. Nathan yang merasakan bahwa gadisnya akan menatap ke rumahnya menutup tabir cepat. Dia takut bertemu pandang. Dia takut jika melihat mata Dessy, maka dia akan berlari ke sana dan menghalangi kepergiannya.
“Nath…,” gumam Dessy ketika matanya menatap ke arah rumah tetangga sejak kecil, orang yang selalu melindunginya layaknya seorang Kakak dan perlahan berubah menjadi kekasihnya. Kakinya melangkah perlahan. Menyeberang bermaksud menyambangi rumah yang tertutup itu. Sepucuk surat dia ambil dari dalam tas kecil yang menggantung di bahunya.
Tepat di depan pintu yang pastinya terkunci rapat itu, dia tak ingin mengetuk. Meski sangat ingin dirinya bertemu dan memeluk lelakinya untuk yang terakhir sebelum dia pergi tapi dia tahu dia tak boleh bertemu. Dia takut kakinya terpaku tak mampu meninggalkan tempat ini.
Setelah hembusan nafas berat dan air mata itu dia usap kasar. Dia membungkuk. Berjongkok. Menyelipkan amplop berisi isi hatinya untuk Nathan dari sela-sela daun pintu. Medorong amplop itu kuat-kuat hingga berhasil masuk ke dalam sana. Seraya berdoa dalam hati agar lelakinya mau membaca isi surat itu. “Kuharap kau mau menungguku, Nath.” Dessy berbisik. Selanjutnya dia melangkah pergi dengan langkah terseret tak rela.

Teruntuk Nathan bodoh…

Meski kau ucapkan selamat tinggal padaku, namun bagiku tak ada kata selamat tinggal bagi kisah kita. Yakinlah, tak hanya sampai di sini pertemuan kita. Kelak kita akan bertemu lagi di bawah rintik hujan bulan Desember. Tidak dengan isak tangis sedih, namun pertemuan dengan isak tangis bahagia.

Nath, kau bukanlah seperti yang ada di pikiranmu. Kau bukan awan mendung yang menutupi keindahanku tapi kau adalah matahari yang bersinar cerah. Komponen penting selain hujan yang membuat munculnya pelangi yang indah. Ingatlah selalu! Kau Matahariku.

Sampai jumpa… Tunggu kedatanganku…

Dessy~

Sehabis membaca secarik kertas hasil goresan pena Dessy. Sisi rapuhnya muncul tanpa bisa ditahan. Di balik Pintu kokoh ini dia menangis tersedu-sedu. Kakinya melemas hingga duduk tersungkur di lantai rumahnya.
“Entah kapan kau akan datang, aku akan menunggumu, Dessy. Sampai jumpa,” ucapnya disertai dengan isakan pilu. Kertas yang digenggamnya sudah tak berbentuk lagi. Kusut dan basah seolah kertas itu adalah visualisasi hatinya yang remuk dan sedih oleh kepergian kekasihnya.

~TAMAT~

Cerpen Karangan: Cuncun
Facebook: https://www.facebook.com/hanacuncun

Cerpen Hujan di Bulan Desember merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Shadow

Oleh:
Libur panjang telah tiba. Aku membuka jendela kamarku lebar-lebar dan menikmati aroma pagi yang kesegarannya merasuk ke seluruh tubuhku. Aku merebahkan tubuhku ke kasur seraya menikmati cahaya mentari yang

Bahagia Bertepuk Sebelah Tangan

Oleh:
Salahkah jika aku mencintaimu? Meskipun ini hanya perjodohan, tapi hatiku telah seutuhnya untukmu! Namaku adalah Anisa, lengkapnya Anisa Hayu Lestari, baru-baru ini ayah dan ibuku menjodohkanku dengan seorang pria

Cinta Harus Terpisah (Part 2)

Oleh:
Genggaman tangan Mama Bisma langsung melepas pelan tangan Christy. Wanita itu menatap tak percaya dan tak mampu menahan rasa kagetnya. Bisma membuang napasnya pelan. “Ma.. Pa, biar Christy nungguin

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *