Kesetiaan Hujan (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih
Lolos moderasi pada: 19 July 2014

“Jika kau tahu. Menunggu adalah hal yang amat menyebalkan bagi pria. Tapi akan terasa indah jika kau menunggu cinta. Namun bagaimana jika nantinya penantianmu itu sia-sia? Apa yang kau rasakan? Disakiti oleh orang yang menguntai kata cinta padamu. Sungguh akan menyiksa batin, tapi apalah artinya ini?” by Rain

KESETIAAN HUJAN

Senja begitu indah di ufuk barat. Membuat pemuda itu termenung menikmati. Angin merayu manja padanya, berhembus lembut menerpa wajah yang penuh kepedihan. Memainkan rambut yang kadang menutupi mata, tapi sekarang seperti melambai-lambai. Memperlihatkan semua bagian wajahnya. Daun-daun kering berterbangan, terbawa angin di udara sesaat sebelum jatuh ke bawah. Tempat itu adalah tempat terpencil di tepi danau yang begitu indah. Ada satu pohon yang sangat besar dan rindang. Kebiasaannya adalah santai bersandar di bawah pohon itu sambil bersenandung dengan petikan gitarnya.

Senjanya semakin indah dengan warna jingga yang mulai merkah merah merona. Sunyi menjadi semakin terasa saat Rain berhenti memetik gitarnya. Hanya terdengar suara gesekan antara daun dan ranting pohon.
“Apalah artinya ini?” katanya hampir berbisik.
Ia tidak hanya menyendiri dan menenangkan pikiran, tetapi ia juga sedang menunggu seorang wanita yang membuatnya duduk berjam-jam bersandar di batang pohon. Ia tidak akan pergi dari tempat itu sebelum wanita yang ditunggu datang dan tersenyum padanya. Sebenarnya saat tadi ia menerima telepon dari wanita itu ada keraguan untuk menemuinya, tapi saat ia teringat janjinya dengan cepat ia tepis keraguannya. Sebuah janji yang dulu pernah terucap indah dan tulus dari hatinya. Namun, ‘apalah artinya ini?’ katanya yang mewakili semua keputus asa-an yang ia rasa. Begitu pedih cerita cinta pertamanya. Bagaimana tidak? Bayangkan saja jika kamu tengah jatuh cinta, tapi wanita yang kamu suka tak kunjung memberikan jawaban pasti atas perasaanmu dan pada saat kau setia menunggunya, dia begitu tega mengkhianati cinta tulus darimu. Mungkin hanya akan menjadi cerita klasik saja jika belum pernah mengalaminya. Tapi mungkin akan memunculkan kepedihan tersendiri pada kalian yang pernah mengalaminya. Seperti itulah cerita cinta pertama Rain. Sesal ia rasakan karena dulu telah mengucapkan janji cinta itu.
“Tak perlu kau jawab sekarang. Aku sudah bahagia dengan perasaanku ini. Aku akan menunggu jawabanmu Rama dan aku berjanji akan selalu mencintaimu apa adanya walau apa pun yang akan terjadi. Percayalah bahwa hatiku akan selalu menjadi milikmu.” kata Rain berjanji kepada wanita itu satu tahun yang lalu di tempat yang sama saat ini ia berada. Satu tahun yang lalu saat mereka masih merajut kebahagiaan putih abu-abu bersama. Sungguh begitu indah masa itu, kenangan demi kenangan mereka rajut bersama dan disimpan dalam bingkai-bingkai hati yang indah.

Mencoba tersenyum dia, walau sebenarnya bukan senyuman, melainkan tangisan dan jeritan hati yang memaksanya untuk tersenyum mendustai dunia. Ia melihat arloji di tangan kirinya. Sebentar lagi petang, pikirnya. Tapi mengapa wanita itu tak kunjung datang juga. Bukankah dia sendiri yang membuat janji? Pikirannya mulai kacau. Kecewa ia, sakit hati juga, dan kekhawatiran mulai merasuki pikiran dan hatinya. Langit senja semakin memperlihatkan pesonanya dan sang raja siang hampir tenggelam setengah lingkaran. Jingganya langit sore yang kemilau memantul indah di permukaan air danau. Sungguh begitu indah. Detik demi detik terasa sangat lama, karena inilah yang ia tunggu-tunggu, bukan wanita itu melainkan pergerakan lambat sang raja siang yang perlahan-lahan seperti meninggalkannya seorang diri. Dia bagai melambai-lambai dengan cahaya jingga memerah yang semakin menyusut dan hilang kembali ke peraduannya. Betapa bahagianya dia jika wanita itu ada di sampingnya. Walau kebahagiaan akan terasa sesaat, tapi Rain sangat mengharapkannya.

Dengan malas ia lihat lagi arlojinya. Sudah hampir pukul enam petang, tapi ia mengurungkan niat untuk pergi dari tempat itu. Ia masih ingin setia menunggu seperti janji yang telah ia katakan setahun silam. Kantuk yang ia rasakan membuatnya beberapa kali terlelap dan tersadar lagi. Sudah tiada sisa tenaga untuk sekedar bersenandung memetik gitar, mungkin karena syaraf tubuhnya lumpuh dengan semua rasa sakit yang ia rasa. Siang tadi saat ia akan pulang dari kampus, wanita itu menelponya. Namun hanya menjadi percakapan singkat yang menyimpulkan sebuah pertemuan di tempat terpencil ini pada pukul tiga sore. Tapi kini dimana sosok cantik dan anggunnya yang sedang ia rindukan. Sejak pulang dari kampus ia berada di tempat ini. Berjam-jam bosan menunggu, tapi wanita itu tak kunjung datang. Dia pun tiada menahu jika wanita yang dinantinya barangkali membatalkan pertemuan ini lewat pesan singkat yang dikirim ke ponselnya. Sayang jika hal itu benar, sebab ponselnya mati. Baterainya habis.

Sungguh begitu besar rasa rindu dan cintanya pada wanita itu, hingga dirinya masih bertahan menanti yang tak pasti hingga pukul sembilan malam. Sungguh setia dia. Baginya tak mengapa harus seperti ini, bukannya berlebihan. Tapi ini adalah sebagian dari janji sucinya pada seorang wanita yang telah menghancurkan setengah hatinya. Hancur berkeping-keping tanpa bekas, dan meninggalkan luka yang abadi. Dialah Rain. Seperti hujan namanya dan memang benar artikulasi itu, karena di hidupnya selalu saja seperti hujan. Begitu dingin hidup yang ia jalani. Setahun silam ia menemukan pelangi yang indah di hatinya, tapi apalah artinya ini? Semua kembali seperti dulu, bahkan kini hidupnya bagai hujan badai. Sekuat hati ia mencoba selalu bertahan.

Malam yang kelam semakin menyapa sunyi bersama terpaan angin yang menggigil. Sejauh ia memandang, menoleh kesana kemari, hanya gelap yang ia lihat. Angin malam terus mengusiknya, mempermainkan rambut dan membekukan badan yang menggigil. Ia bergetar Kedinginan sambil memeluk lututnya. Gesekan daun dan ranting pohon berbisik lirih menjadi nyanyian indah kekelaman malam. Nyanyian itu membuat ia merasa tak sendiri, walau hanya sebuah khayalan. Andai saja wanita itu berada di sisinya, pasti sudah dipeluknya dari tadi, sebab dinginnya angin malam semakin jadi. Namun apa yang saat ini dikhayalkan oleh Rain untuk memeluk tubuh hangat wanita itu hanya akan menjadi mimpi dalam mimpi. Mustahil sekali. Karena tiada pantas aku mendapatkan rangkuhan hangatnya, pikir Rain mempererat pelukannya pada lutut dan ransel.
“Apakah aku cuma dipermainkan olehnya?” katanya dengan tubuh bergetar.

Sepinya malam semakin sunyi, tiada lagi nyanyian indah para daun-daun pohon. Walau hawa dingin mulai bisa bersahabat dengannya, tapi tak bisa ia pungkiri, detik demi detik semakin menyiksanya. Hatinya semakin sakit dengan penantian yang tak pasti ini. Ia memandang langit yang kelam, terlihat setitik cahaya harapan di mata sendunya. Tiada bintang dan purnama untuk diajaknya menangis bersama. Hanya ada gumpalan-gumpalan awan hitam yang meriuk melikuk, memenuhi langit malam. Mungkin akan turun hujan. Namun apalah artinya ini? Dia telah kehilangan dua sayap hatinya, menyebabkan ia Tak sanggup untuk sekedar mengkhayal terbang ke atas sana dan menyingkirkannya agar purnama bisa ia lihat dan bisa diajaknya menangis bersama. Tapi tiada bisa ia lakukan walau hanya sekedar mengkhayal, sebab pikiran dan hatinya kini dipenuhi kekhawatiran, kekecewaan, dan kesakitan. Bercampur menjadi satu, membuat kepingan hatinya semakin hancur menjadi serpihan-serpihan kecil.
“Apalah artinya ini?” katanya bergetar dengan mata sembab menahan tangis.

ADVERTISEMENT

Restauran sea food itu tampak ramai malam ini. Di meja delapan terlihat Rama bersama Irfan berserta keluarga, yang Tak lain ialah Ayah dan Ibunya. Mereka duduk menunggu pesanan masing-masing. Saat beberapa hidangan yang dipesan datang. Mereka mulai menyatapnya, kecuali Rama yang sembari tadi terlihat seperti mengkhawatirkan sesuatu. Khayalannya melayang jauh di angan. Terlintas wajah polos seorang pemuda. Ia berfikir apakah dia masih menunggunya. Entah apa yang ia bisa kini. Menyalahkan diri sendiri? Mungkin! Sebab siang tadi ia sudah membuat janji dengan seorang pemuda. Tapi ternyata ada beberapa kegiatan mendadak dari sekolah, sehingga ia membatalkan pertemuan yang tadi ia tentukan pada jam tiga sore menjadi jam lima sore. Ia memberitahukannya melalui pesan singkat. Sayang ponsel pemuda itu tidak aktif. Entah sudah berapa kali ia memanggil nomornya, tapi selalu saja gagal dan akhirnya Ia cuma pasrah. Mungkin ponselnya memang tidak aktif, pikirnya sambil menghela nafas panjang dan menyandarkan punggungnya di kursi.

Ia akui Irfan memang penuh kejutan dan selalu romantis, tapi sungguh Tidak tepat hari ini untuk menerima kejutannya. Apalagi makan malam seperti ini. Sungguh membuatnya serba bersalah. Rama hanya terdiam sambil sesekali terpaksa mengembangkan senyum, karena beberapa kali Irfan menceritakan tentang Rama pada orangtuanya. Ayah dan Ibunya Irfan kadang memuji dan tertawa bercanda, meramaikan suasana.
“Maafkan aku Rain.” batin Rama tertunduk hampir menitihkan air mata. Ia terus memandang arloji di tangan kirinya. Perasaannya kacau tak menentu. Ingin sekali ia pergi dari tempat itu dan menemui pemuda yang telah menunggunya. Tapi tak enak ia pada irfan dan keluarganya. Setelah beberapa kali menimbang-nimbang keputusan, akhirnya ia membulatkan niat untuk menepati apa yang telah dikatakannya siang tadi.
“Maaf menyela sebentar.” ia tampak ragu.
“Iya, silahkan saja.” sahut Irfan sambil tersenyum kepadanya.
“Sebelumnya saya meminta maaf kepada Om, Tante, dan Irfan. Saya juga berterimakasih atas makan malam yang indah ini, tapi waktu yang saya punya hanya terbatas. Ada beberapa tugas dari sekolah yang belum saya selesaikan. Jadi maaf jika saya pamit duluan.” kata Rama menjelaskan dengan hati-hati, walau itu hanya dusta. Irfan dan kedua orangtuanya hanya tersenyum sebagai tanda mengerti.
“Tidak apa-apa. Memang harus profesional seperti itu dalam membagi waktu.” kata Ayah Irfan tersenyum bangga.
“Tuh Fan. Contoh itu Rama, dia on time dalam masalah sekolah. Nggak kayak kamu yang hobi tidur mulu!” sahut Ibu Irfan meramaikan suasana. Mereka semua tertawa, tak terkecuali Rama dan kali ini merkah sebesit senyum tulus di wajahnya.
“Nggak gitu juga kali Ma!” Kata Irfan membela diri.”Yuk, aku anter.” tambahnya bangkit dari kursi.
“Ah, nggak usah Fan. Aku pulang sendiri saja, jam segini masih ada bus kota kok.” jawab Rama.
“Aku khawatir kalau kamu pulang sendiri. Banyak hal yang bisa terjadi pada seorang gadis yang berjalan sendirian di malam hari.”
“Irfan. Kamu tau aku kan?” sahut Rama. “Aku sudah biasa kok pulang sendirian.”
“Em, iya deh!” kata Irfan pasrah. “Tapi kamu hati-hati ya.”
“Pastinya!” jawab Rama tersenyum menyakinkan kekasihnya.
“Tuh! Contoh itu Rama. Dia berani. Nggak kayak kamu, sama kecoak saja takut. Makasih ya Rama udah mau makan malam bersama keluarga sederhana ini.” kata Ayahnya Irfan setelah Rama berpamitan untuk kedua kalinya. Ia mencium tangan kedua orangtua Irfan, ada sebesit tatapan haru dan bangga pada mata mereka yang tak muda lagi.
“Assalamu’alaikum.” kata Rama sambil tersenyum.
“Wa’alaikum salam.” jawab ketiganya serempak. Rama menoleh ke arah mereka saat tangannya meraih daun pintu. Ia tersenyum manis pada mereka sebelum melanjutkan langkahnya untuk keluar dari restaurant. Irfan dan kedua orangtuanya juga tersenyum. Mereka keluarga yang baik dan bahagia, pikir Rama saat melangkah keluar dari restaurant itu.

Cerpen Karangan: Garin Afranddi
Facebook: Garin Afranddi

Email: garinafranddi[-at-]gmail.com
Twitter: @GarinAfranddi
Alamat: Jiworagan, Kalangan, Pedan, Klaten, Jawa Tengah, Indonesia

Cerpen Kesetiaan Hujan (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Dua Detik Terakhir

Oleh:
Ahad 16 maret 2013.. Hp ku berbunyi aneh dari dalam kamar.. Tiritt.. Tiritt.. Tiritt.. Itu nada apa ya..? Nada sms bukan, nada alarm bukan, nada telpon juga bukan.. Aku

Your Lies

Oleh:
“Oh ayolah, sudah tiga kali aku mencobanya dan tidak ada yang berhasil.” “Tetap saja, paling tidak seharusnya kau sudah bisa membuat simpul dasimu sendiri, Adam,” gerutu Kara. Ini sudah

Maaf

Oleh:
Namaku Anggita, kini aku duduk di bangku SMK, kini aku sudah dewasa. Entah mengapa aku baru merasakan penyesalan sekarang, setelah bertemu salah seorang anak kecil (anak indigo) yang berbicara

Kisah Arloji Retak

Oleh:
Kenangan, kata petuah, kadang mengesankan tetapi juga seringkali menggenaskan. Sementara musim beranjak menua, tahun-tahun terus berlalu, Ndung, sahabatku itu, masih juga terpekur, mendengkur. Dengkulnya melengkung, membentuk busur dengan jidat

Tangis Wanita Bisu (Part 1)

Oleh:
Alisa gadis 20 tahun yang bekerja sebagai penjaga toko buku. Setiap jam delapan pagi Alisa membuka toko bukunya bersama Ayu dan Ali. Sudah dua tahun ia bekerja di “Book

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *