Lia

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Cinta Sejati, Cerpen Thriller (Aksi)
Lolos moderasi pada: 1 July 2017

Udara malam terasa begitu dingin di atas atap gedung tua ini, begitu pula tatapan Lia kepadaku. Mata birunya yang indah seolah menusuk seperti bunga es yang tajam, wajahnya cantiknya tidak menunjukkan ekspresi apapun, dan aura yang ia berikan seolah ia tidak menerima kehadiranku. Lia berdiri di sudut atap, sebagian tumitnya bahkan sudah tidak menapak dan menyentuh udara bebas, dan ia terlihat tidak takut jatuh. Atau mungkin ia justru berniat untuk melompat

Banyak hal yang ingin aku katakan pada Lia saat ini. Aku ingin bertanya apa yang terjadi padanya. Aku ingin memeluknya, menenangkannya dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa aku akan selalu ada untuknya. Aku ingin mengatakan pada Lia bahwa aku benar-benar mencintainya. Namun semua perkataan itu tersangkut di mulutku, dan seluruh tubuhku kaku sehingga aku tidak bisa menggapainya. Aku hanya bisa menatapnya.

Rambut Lia bergelombang diterpa angin malam. Kini sebuah senyuman terbersit di bibirnya yang tipis, namun senyuman itu tidak hangat seperti biasanya, senyuman itu sedingin tatapan matanya. Kemudian dengan gerakan kecil ia menjatuhnya tubuhnya ke belakang, membuatnya terjun ke bawah. Aku begitu kaget hingga seluruh otot leher dan kepalaku menegang, namun sekali lagi seluruh tubuhku kaku dan yang bisa kulakukan hanyalah melihatnya. Aku tidak bisa menyelamatkannya …

Suara nyaring kereta api membuatku tersentak bangun. Sinar matahari siang menyelinap masuk melalui sela-sela jendela yang kututup rapat. Aku duduk di kasur sambil menunggu suara kereta api yang memekakkan telinga itu berlalu, dan rasanya seolah lama sekali. Ketika akhirnya suara itu berlalu aku menghembuskan napas lega.

Keringat keluar melalui rambut dan seluruh tubuhku hingga membasahi kaus dan celana tiga perempat longgar yang kukenakan. Namun meski berkeringat aku merasa kedinginan, tidak, aku kegerahan, aku hanya merasakan sesuatu yang dingin dan entah dari mana datangnya. Aku mengapitkan kedua tanganku di ketiak lalu beberapa saat kemudian aku merasakan sesuatu yang aneh di mataku.

Aku menangis.

Tidak salah lagi, aku merasakan air mata keluar dari mataku. Apa yang salah denganku? Megapa aku menangis? Aku adalah lelaki yang tahan banting dan tidak mungkin aku menangis. Aku bahkan tidak menangis ketika ayah memukulku lalu mengusirku dari rumah. Aku juga tidak menangis ketika ibu memanggilku anak haram dan tidak mengakuiku sebagai anaknya. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku menangis dan aku sudah lupa bagaimana rasanya.

Namun entah bagaimana sekarang aku menemukan diriku menangis, dan rapuh, dan ketakutan. Aku ingin melawan semua perasaan itu —perasaan yang aku sendiri tidak tahu darimana munculnya— namun aku tidak tidak bisa. Aku lemah, aku tidak sekuat yang aku kira. Jadi kubiarkan air mata itu mengalir semakin deras, dan semakin deras, dan tangisanku mulai pecah hingga tersedu-sedu.

Lalu aku ingat mimpiku sebelumnya. Aku ingat mimpiku tentang Lia yang bunuh diri. Ya, itulah membuatku menjadi begini, itulah yang membuatku menangis. Segera aku turun dari kasur dan mengambil handphoneku di laci yang berantakan, lalu menghubungi Lia. Aku harus mendengar suaranya, setidaknya beberapa detik saja, supaya aku bisa tenang kembali. Setelah tiga kali dering Lia mengangkat telepon.
“Halo,” Jawab Lia dari balik telpon, “kenapa, Sayang?”
Aku tidak menjawab. Aku terlalu bahagia mendengar suaranya, seolah sudah sekian lama aku tidak mendengarnya. Kini aku bisa tersenyum, dan tangis sedihku seketika itu juga berubah menjadi tangis bahagia.

“Sayang? Andra?” Lia mengulanginya lagi karena aku tidak menjawab. “Andra kamu di sana? Kalo nggak aku tutup telponnya ya…”
“Iya, iya, Lia, aku disini,” Jawabku dengan kikuk. “Tolong jangan tutup telponnya.”
“Iya, ada apa?” Tanya Lia. Suaranya terdengar begitu lembut dan menenangkan.
Aku bahkan tidak tahu ingin bicara apa, aku hanya ingin mendengar suaranya, dan tidak ada salahnya jika aku mengatakan hal yang sebenarnya. “Aku … aku cuma mau dengar suara kamu, itu aja.”

ADVERTISEMENT

Hening sesaat, Lia pasti kaget dan bingung mendengarnya. “Ih, kamu aneh banget deh.” Jawabnya. Aku bisa membayangkan wajah Lia yang tersenyum dan tersipu malu.
“Sebenarnya … aku khawatir sama kamu, soalnya tadi malam aku mimpi …” Aku membiarkan perkataanku menggantung.
“Mimpi apa?”
Aku menghembuskan napas panjang. Sedikit rasa takut langsung menyergap begitu aku mencoba mengingat kembali mimpi itu. “Aku mimpi kamu bunuh diri. Aku mimpi kamu lompat dari atas gedung tua …”
Lia tertawa mendengarnya bahkan sebelum aku menyelesaikan cerita mimpiku. “Aku nggak bunuh diri, Andra, kan kamu tahu sendiri gimana kejadiannya.”
“Maksud kamu?” Tanyaku bingung.
Lia kembali tertawa. “Kamu lucu deh. Udah dulu ah, aku lagi ketemu banyak orang di sini.”
“Oh, iya, iya,” Aku merasa begitu kikuk dan aneh. “Lia, aku … aku cinta kamu,” Ini pertama kalinya aku mengucapkan hal itu pada Lia, meskipun sudah hampir setahun kami berpacaran. “Jaga diri kamu baik-baik ya.”
“Aku juga cinta kamu,” Jawab Lia, “dan harusnya aku yang bilang ‘jaga diri kamu baik-baik’.”
Aku dan Lia tertawa, lalu mengakhiri kami mengakhiri obrolan.

Untuk sesaat aku tidak beranjak dari tempatku berdiri. Sambil tersenyum kuperhatikan wallpaper di layar handphone yang menampilkan foto selfie aku dan Lia, dengan latar belakang awan dan puncak pegunungan. Kami terlihat sangat bahagia. Aku ingat foto itu diambil setelah tiga bulan kami berpacaran, dan kami merayakannya dengan menaklukkan Gunung Merbabu.

Lia sangat menyukai keindahan alam, lingkungan bersih, dan hal-hal semacamnya. Ia bahkan aktif dalam organisasi pecinta alam. Lia pernah bercerita bahwa di masa tuanya ia ingin memiliki rumah di daerah pegunungan, dengan pemandangan alam yang membentang luas dan udara dingin yang sejuk ketika ia membuka jendela. Aku bertekad untuk mewujudkan harapannya. Aku akan menikahinya dan aku akan membawanya tinggal di rumah impiannya, dan bukannya kontrakan kumuh di pinggiran rel kereta api seperti yang aku tempati saat ini.
Aku ingin melihatnya bahagia, dan akan kukorbankan apapun untuk itu.

Aku hendak berjalan ke kamar mandi ketika kakiku menginjak sebuah kaleng minuman, lalu aku melihat sekitar ruang tidurku, yang ternyata dipenuhi oleh kaleng bir kosong. Yah, kuakui aku terlalu banyak minum belakangan ini. Mungkin aku akan membereskannya akhir pekan nanti. Mungkin.

Aku menanggalkan semua pakaian begitu sampai di kamar madi, lalu berdiri di depan wastafel. Pada pantulan cermin yang kotor dan retak kuperhatikan diriku sendiri. Aku ternyata lebih kurus dari yang kukira, dan wajahku terlihat seolah aku berusia lebih dari 25 tahun, dengan rambut yang sedikit panjang dan kumis janggut yang mulai terlihat. Mataku merah dan kantung mataku juga terlihat jelas. Kemudian kualihkan mataku ke bawah melihat tubuhku sendiri. Meskipun aku terbilang kurus tapi sedikit otot-otot di perut dan pahaku masih terlihat kencang. Entah bagaimana aku merasa yakin bahwa aku tidak akan mengecewakan Lia ketika kami menikah nanti, setidaknya dalam satu hal.

Setelah hampir 30 menit di kamar mandi akhirnya aku selesai dan kembali ke kamar tidur. Alih-alih merasa segar tiba-tiba justru aku merasa pusing. Ini pasti efek dari bir yang aku minum tadi malam, dan bahkan aku tidak ingat berapa banyak kaleng yang kuhabiskan. Tanpa sempat mengenakan pakaian aku kembali merebah ke kasur, membungkus tubuh dengan selimut, lalu memejamkan mata. Sesaat muncul wajah Lia di kegelapan mataku, namun aku terlalu pusing, jadi beberapa detik kemudian aku kembali terlelap.

Kali ini terbangun karena ketukan di pintu depan. Kamar tidurku gelap jadi sekarang pasti sudah malam. Setelah menyalakan lampu kulihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11:30 lebih sedikit. Aku sedikit berharap yang mengetuk pintu adalah Lia. Mungkin ia ingin mampir sebentar, atau mungkin ia menginginkan hal lain. Dengan sedikit lambat aku mengenakan celana jeans dan kaus oblong berwarna abu-abu lalu menyalakan lampu ruang depan sebelum membukakan pintu.

Ternyata yang berdiri di depan pintu adalah Ben. Lelaki itu seumuran denganku. Tubuhnya sedikit gemuk dan kulitnya cenderung berwarna putih, dengan janggut tipis di wajahnya. Ia mengenakan celana jeans yang sengaja disobek di bagian lutut, kaus oblong bergambar logo grup band Avenged Sevenfold berlengan tiga perempat, kupluk hitam yang menutupi rambutnya, dan tidak lupa tindik di bawah bibirnya.

“Hey,” Ucap Ben canggung, seolah ia tidak mengira aku akan membukakan pintu dan sudah hendak pergi. “Udah dua minggu gue nggak ngeliat lu dan gue mulai khawatir,” Ben berdehem, tidak mudah bagi seorang lelaki untuk menunjukkan kepeduliannya kepada teman lelakinya, meskipun jauh dalam hatinya ia benar-benar tulus peduli. ”Serius, gue kira lu udah mati di dalam.”
Aku tertawa kecil. “Lu harusnya tau kalo gue susah dibunuh.”
Ben tersenyum, lalu hening sejenak. Ia seolah terlihat bingung ingin bicara apa padaku. “Oh iya gue hampir lupa,” Ben merogoh kantung belakang celananya, lalu menunjukkan padaku sebuah klip plastik kecil berisi bongkahan berwarna biru, yang terlihat cukup familiar bagiku.
“Itu meth?” Tanyaku setelah melihat dengan teliti. Meth, atau Methamphetamine, atau sh*bu, adalah nark*ba yang cukup sering kami gunakan. Biasanya meth berwarna bening atau keruh kekuningan namun yang satu ini berwarna biru.
“Ini bukan meth biasa,” Ben menjelaskan dengan penuh semangat. “Orang-orang di luar sana menyebutnya Blue Sky atau Blue Magic atau Fring’s Blue. Alex baru pulang dari Albuqurque kemarin dan dia bawa oleh-oleh ini. Rumornya meth ini dimasak oleh hantu bernama Heisenberg dan …”
“Um … Ben?” Tanyaku untuk menghentikan Ben yang bicaranya mulai melantur. Biasanya aku sanggup mendengar ocehannya namun tidak kali ini. “Lu mau mampir dulu atau langsung pulang?”
“Ya, ayo kita coba meth ini bareng-bareng.” Ben langsung masuk ke dalam. Ia menumpahkan sedikit kristal meth ke atas meja lalu menumbuk kristal itu dengan punggung jarinya hingga menjadi bubuk kasar. Gumpalan bubuk meth itu kemudian ia pisahkan menjadi dua. “Ayo, Cuy, lu harus coba ini.”
Dengan enggan aku menunduk mendekati meja. Sejujurnya aku ingin Ben segera pergi dari sini, dan aku merasa jahat karena itu. Hanya Ben peduli padaku ketika kedua orangtuaku mengusirku dari rumah. Ia bahkan membolehkanku menumpang di kontrakannya selama beberapa bulan, hingga aku mengumpulkan cukup uang untuk menyewa kontrakanku sendiri. Bagiku Ben sudah seperti saudara.

Ben menutup satu lubang hidung dengan telunjuknya, bersiap untuk menghisap serbuk meth di atas meja. “Kita hisap bareng-bareng.” Ucapnya. Kemudian aku melakukan hal yang sama dengan Ben, dan setelah tiga hitungan aba-aba darinya kami menghirup meth itu bersama-sama.

Kepalaku tersentak ke atas dan seketika aku merasakan sensasi seperti terbang di udara, lalu muncul sebuah kilatan-kilatan mengerikan dalam pikiranku. Dalam kilatan itu aku melihat tubuh Lia terbujur kaku, matanya tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kehidupan dan darah menggenang di sekitarnya. Kilatan-kilatan itu hanya muncul selama sedetik, setelahnya aku kembali merasakan sensasi terbang di udara. Mimpi sialan itu ternyata masih menghantuiku.

“Nendang banget kan, Cuy,” Ucap Ben sedikit berteriak, lalu meninju bahuku pelan dan teriak kegirangan. Aku setuju, itu adalah meth terbaik yang pernah aku rasakan seumur hidup, dan aku ingin menghirupnya lagi. “Masih ada 10 gram Blue Sky di rumah Alex yang dia siapkan buat … ‘pesta’,” Ben membuat tanda kutip dengan tangannya ketika mengatakan ‘pesta’. “Pestanya udah mulai sejam yang lalu di rumahnya, dan bakal lanjut sampai besok pagi. Kalau lu mau ayo kita berangkat bareng.”
“Pesta?” Tanyaku bingung, sambil membuat tanda kutip seperti yang Ben lakukan.
Ben membentuk lekukan tubuh wanita dengan dengan kedua tangannya. “High quality bit*hes.” Katanya, kemudian tertawa. “Lu inget Bella? Dia juga dateng, bersama sepuluh pel*cur terbaik. Semua untuk kita dan Alex yang bayar semuanya.”
“Bella?” Tanyaku lagi. Entah mengapa aku merasa seperti orang asing bahkan ketika berbicara dengan Ben. Aku benar-benar tidak ingat seorang pun perempuan bernama Bella. Lagipula aku sudah bertekad untuk menikahi Lia, aku tidak mungkin mengikuti ‘pesta’ semacam itu.

Ben terlihat bingung dengan pertanyaanku. “Jangan bilang lu nggak ingat Bella. Lu pernah satu malam sama dia, dan lu bilang itu malam terbaik dalam hidup lu.” Jawabnya. Aku masih tidak ingat. “Hah … dasar playboy. By the way, pestanya udah menunggu kita sekarang, jadi ayo kita cabut atau gue seret kaki lu ke pesta sampai pantat lu melepuh.”
“Ben, kayaknya … kayaknya gue nggak ikut,” Ben langsung menghentikan langkahnya menuju pintu.
Ia berbalik, wajahnya terlihat bingung. “Ayolah, Cuy. Bella. Blue Sky,” Ben menyentil-nyentil klip plastik meth. “Nggak mungkin lu nolak semua itu, kan?”
“Um … sebenernya gua mau menikah,” Jawabku jujur. “Dan gue harus ninggalin semua kehidupan bobrok gue di belakang. Gue akan berhenti minum, berhenti menghisap nark*ba, berhenti main cewek. Gue akan mencari perkerjaan baik-baik, punya dua anak. Tapi itu bukan berarti kita nggak temenan lagi. Gue cuma … gue cuma mau menjalani kehidupan yang lebih baik.”
Sesaat Ben terlihat bingung mendengarnya, lalu ia tersenyum lebar. “Gila, kesurupan apa lu?” Sindirnya. Ia pasti mengerti, kami bukan anak kecil lagi dan kami mengerti kehidupan takkan berubah menjadi lebih baik sebelum kita merubah diri kita sendiri.

Ben kembali duduk di kursi, mengurungkan niatnya untuk keluar. “Siapa ceweknya, Cuy? Siapa cewek yang bisa merubah lu sampai sejauh itu?”
“Lia,” Jawabku. Kali ini aku tersenyum. “Lia orangnya, Ben.”
Seketika senyum menghilang dan wajah Ben, ia menatapku dengan tajam seolah aku telah salah bicara kepadanya. Setelah mengucapkan satu kata kasar ia bertanya padaku, “Lu nggak serius kan?”
“Gue serius, Ben, besok bahkan gue niat beli cincin buat …”
Ben bangkit berdiri, lalu memukul wajahku dengan keras, membuatku berhenti bicara. Aku terjatuh ke belakang bersama kursi plastik yang aku duduki. Wajah Ben terlihat marah, aku tidak mengerti mengapa ia bertingkah seperti ini. “Ben, apa-apaan?”
“Gue masih mau temenan sama lu bahkan setelah lu bunuh dia!” Kata Ben sambil menunjuk wajahku. “Tapi ketika lu pura-pura nggak inget perbuatan lu di depan gue, itu yang bikin gue jijik sama lu.”
Aku semakin bingung. “Ben, maksud lo apa?”
Ben menatap mataku dengan ekspresi marah bercampur jijik. “Lia udah meninggal,” Ucapnya pelan. “Dan lu yang ngebunuh dia, bajingan.”
Aku ingin tertawa, tapi sulit untuk tertawa ketika aku melihat cara Ben menatapku. “Ben, omongan lu mulai ngelantur. Mendingan sekarang gue anter lu pulang dan …”
Ben menendang perutku, “Lu masih aja bersandiwara.”

Amarahku mulai muncul. Aku menendang kaki Ben, membuatnya tersungkur, lalu menghajar wajahnya dengan keras, hingga membuat tanganku nyeri. Aku hendak memukulnya lagi, ketika dia berkata, “Gue tahu lu inget, Andra. Gue tahu sebenernya lu inget ketika lu ngedorong dia dari atas gedung itu, tepat di hadapan gue dan teman-teman kita. Lu cuma terlalu pengecut mengakui kesalahan dan menerima kenyataan, lu justru berusaha ngelupain semua itu.”
“Ben, diam, Ben!” Aku berteriak. “Lu gila. Lu kebanyakan ngehisap meth. Nggak mungkin gue ngebunuh dia, Ben, dia orang yang paling gue sayang di dunia.” Air mataku menetes di wajah Ben.
“Lu mabuk saat itu, Andra. Lia dateng, mengajak lu pulang, dan lu malah ngebentak dia lalu ngedorong perempuan malang itu.” Ben meludahkan darah ke samping. “Lu yang gila, Andra, bukan gue.”
“Nggak mungkin.” Ucapku. Aku langsung berlari ke luar rumah, bingung yang mana kenyataan yang harus kupercaya. Pikiranku berputar-putar, dan perasaan gelisah, takut dan dingin kembali menyergapku. Aku meneleponnya tadi pagi, aku mendengar suaranya. Aku mengatakan aku mencintainya dan ia mengatakan ia mencintaiku, tidak mungkin itu semua terjadi jika Lia sudah meniggal.

Aku kira aku berlari tanpa arah, namun kini kulihat sebuah gedung tua yang kukenal berada tepat di hadapanku. Lumut dan akar-akar menyelimuti gedung itu, kaca-kaca jendelanya sudah pecah semua, dan pada beberapa bagian bangunnya sudah runtuh. Pada puncak gedung aku melihat seorang perempuan berdiri di sana, tepat pada pinggiran atap gedung.

Lia.

Aku tahu itu Lia. Si Tolol Ben itu ternyata hanya melantur. Aku melihat Lia di atas sana, begitu jelas dan nyata. Keindahan perempuan itu begitu sempurna. Hanya dengan menatapnya aku sudah merasa sangat bahagia. Aku seolah ingin menatapnya untuk selamanya. Aku berdoa dalam hati semoga tidak ada yang menganggu saat bahagiaku ini.

“Andra!” Teriak Ben sambil berelari ke arahku, lalu mencengkram bahuku.
Aku tidak mengalihkan pandanganku dari Lia. “Lu salah, Ben. Lia ada di sana, lihat dia!” Aku menunjuk ke atas gedung, dimana Lia berdiri. “Dia sangat cantik, kan?”
“Andra, lihat gue!” Ben memegang daguku dengan kasar, memaksaku untuk melihat wajahnya. Kulihat mata Ben berkaca-kaca. “Lia nggak ada di sana, Andra,” Ucapnya dengan suara gemetar, mencoba berbicara selembut yang ia bisa. “Di sini cuma ada lu dan gue, nggak ada siapa-siapa di sana, nggak ada siapa-siapa di sekitar kita. Lu dengar gue?”

Ya, aku mendengarnya, tapi pikiranku sangat kacau. Pandangan mataku kosong, yang bisa kulihat hanyalah kenyataan pahit bahwa ternyata aku mendorong Lia jatuh, aku bisa membayangkan suara teriakkan Lia ketika tubuhnya terjun bebas di udara malam yang dingin. Air mataku kembali menetes.

Ben juga terlihat sedih dan ketakutan, tangannya gemetar hebat di bahuku. “Andra?” Ucapnya dengan gemetar. “Sekarang kita pulang yah, gue anterin lu …”
“Nggak” Ucapku pelan, lalu mengulanginya dengan keras. Tidak mungkin Lia sudah meninggal. Aku jelas-jelas melihatnya di atas sana. Aku hendak menyusul Lia namun Ben mencengkram bahuku semakin keras. Dengan lutut aku menandang bagian bawah perut Ben, membuat cengkramannya lepas. Ben terjatuh sambil menjerit. Aku segera berlari ke dalam gedung namun Ben mengikuti dengan lari yang terpincang-pincang.

Aku hendak menuju atap, di sana Lia berada. Aku menaiki tangga dengan melompati dua hingga tiga anak tangga sekaligus. Ben masih mengikutiku di belakang. Begitu aku sampai di atap setelah melewati tangga besi, aku langsung menutup akses jalan di ujung tangga dengan menutup pintu besi lalu mengganjalnya dengan kayu sehingga tidak bisa dibuka dari bawah. Sesaat kemudian Ben muncul namun kini pintu besi menghalangiku darinya.
“Andra! Buka pintunya! Andra!” Teriak Ben dari bawah.

Aku berpaling untuk menghadap Lia. Ia masih berada di ujung atap, berdiri menghadap ke arahku. Mata birunya yang indah seolah menusuk seperti bunga es yang tajam, wajahnya cantiknya tidak menunjukkan ekspresi apapun, dan aura yang ia berikan seolah ia tidak menerima kehadiranku. Ini terasa seperti déjà vu.

“Andra, Lia nggak ada di sana, Andra!” Terdengar suara Ben. Aku mencoba menghiraukannya.
“Akui dosa kamu, Andra,” Ucap Lia dengan pelan dan lembut. Aku gemetar mendengar suaranya. “Lalu aku mohon tolong ingat aku, jangan lupain aku.”
“Lia, sayang … buat apa aku ingat kamu? Kamu berdiri tepat di depan aku sekarang. Kamu nyata Lia, aku nggak mungkin lagi mimpi.”
“Tolong, Andra, jangan lagi ada sandiwara.” Lia memohon dengan lirih.

Air mataku kini tak terbendung, lalu tangisku mulai terisak-isak. Aku ingat sekarang, dan aku mengakui. Aku telah membunuh Lia dengan tanganku sendiri. Aku yang mendorongnya dari sini. Aku sendiri yang telah membunuh orang paling aku cintai di dunia ini. Setiap hari, setiap detik, aku mencoba melupakan kejadian itu, hingga akhirnya muncul sebuah realitas palsu dalam pikiranku yang mengatakan bahwa Lia masih hidup. Sebenarnya jauh di dalam hati aku tahu, bahwa Lia sudah meniggal dan aku takkan melihatnya lagi.

“Lia … apa kamu benci sama aku?”
Lia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Demi Tuhan itu adalah senyuman paling manis yang pernah kulihat, senyuman yang sangat kurindukan. Aku berjalan mendekatinya. Aku ingin memeluknya, menenangkannya dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa aku akan selalu ada untuknya. Aku ingin mengatakan pada Lia bahwa aku benar-benar mencintainya.

“Andra!” Ben mulai menggedor-gedor pintu besi dengan putus asa. “Berhenti Andra! Berhenti! Lia nggak ada di sana!”
Ben terus berteriak tanpa henti dan aku menghiraukannya. Aku tetap berjalan mendekati Lia dan ketika aku semakin dengan Lia suara Ben seolah tenggelam. Bahkan kenyataannya aku tidak mendengar suara apapun. Di sini hanya ada aku dan Lia.

Aku memeluk Lia dengan lembut, tanganku membelai rambutnya. Aku bisa merasakan detak jantung dan napasnya. Kehangatan tubuhnya membuatku lupa akan udara malam yang dingin. Aku membisikkan dengan lembut di telinganya, bahwa aku mencintainya dan aku akan selalu ada untuknya. Kemudian dengan gerakan kecil Lia menjatuhkan tubuhnya ke belakang, tapi aku tidak peduli, aku tetap memeluknya dan kami jatuh bersama-sama. Aku memejamkan mataku, tenggelam dalam kehangatan tubuh Lia, untuk selamanya.

Cerpen Karangan: Hamzah Syahid Abdillah
Facebook: Hamzah S. Abdillah

Cerpen Lia merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Love Isn’t Perfect (Part 2)

Oleh:
Aku tahu siapa orang ini dan pikiranku selalu memunculkan pertanyaan-pertanyan. Dia terlihat keren dan tampan malam ini dengan kemeja panjang kotak-kotak berwarna biru muda yang sengaja keseluruhan kancing depannya

Senyummu Adalah Semangatku

Oleh:
Bagas bertemu dengannya saat ia sedang Terapi di rumah sakit. Ia gadis bernama Gloria Chindai Lagio. Bagas memanggilnya Cindai. Cindai mengidap penyakit Leukemia atau yang berarti Kanker Darah. Kehidupannya

Mantan Terindah

Oleh:
Liburan pun tiba… “Pagi yang cerah untuk hati yang cerah pula” Teriak Icha menyambut hari pertama liburnya. Hari itu ia akan brangkat ke kampung halamannya di daerah yang jaraknya

Bella

Oleh:
Glaukoma. Kata itu yang memenuhi otakku sedari tadi. Aku sedang di perjalanan menuju rumah, dengan tatapan kosong mengarah ke jalanan. Aku sedang di dalam bis. Sendirian. Dengan perasaan takut,

The Black Basketball

Oleh:
Jakarta, 16 februari 2000. Hari itu cuaca sedang tidak bersahabat, langit ditutupi awan gelap dan bunyi petir pun saling bersahutan seperti pertanda bahwa akan terjadinya hujan deras. Benar saja,

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

4 responses to “Lia”

  1. Konsep yang baik, begitu pula eksekusinya.
    Terimakasih atas kisahnya.
    Aku bersyukur aku berusaha memencet judul yg hanya ada tulisan ‘Lia’.
    Hehe.

  2. yuni says:

    suka. ceritanya asyik dan tak terduga

  3. Septy Aisah says:

    Cerpennya menarik…
    Sangat terbawa oleh alurnya,, menegangkan banget…

  4. Nanda Insadani says:

    Horee, akhirnya Andra mati deh!
    Bagus sebagai cerpen. Walaupun aku udah sering nonton film yang berbau demikian. Cocok!

Leave a Reply to Septy Aisah Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *