The Last Destination (Part 1)
Cerpen Karangan: Chyntia PerdaniKategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Penantian
Lolos moderasi pada: 3 November 2017
Kini purnama malam telah singgah di peraduan
Sedang aku termenung di sudut kamar
Membiarkan kenagan mengusik ingatan
Dan membiarkan bayangmu masuk
Melalui celah jendela bersama angin malam
Aku merindu
Aku relakanmu, karena aku tau cara ini salah
Aku lepaskan kenangan, karena aku tau Tuhan tidak setuju
Kubiarkan kau pergi karena aku tau
Jika kau takdirku kelak Tuhan akan persatukan
Tapi kini, ketakutan merasuki jiwaku
Membuat goyah keyakinanku. Aku khawatir
Akankah kelak kita bisa bersatu?
Akakankah Tuhan mengizinkannya?
Apakah kau masih mengharapkan hal yang sama?
Atau, justru hanya aku yang mengharapkannya
Mungkinkah kau telah menemukan rumah yang lain?
Atau, justru kau sedang membina keluarga kecilmu saat ini. Aku takut
“Aaaaaaa…” aku hanya mampu berteriak dan memukul-mukul kepalaku, memaksa agar semua yang sedang kupikirkan keluar dan berjatuhan di lantai. Dan aku juga mencoret kalimat terakhir pada diary itu, lalu memandanginya sekilas dan mencoret seluruh tulisan yang kutulis sejak 10 menit yang lalu.
Aku terus menatap langit, mengamati sang rembulan yang terlihat cantik di antara jutaan bintang, yang juga bersama-sama menerangi gelapnya langit. Aku juga merasakan dinginnya angin malam yang menerpa pipiku dan membelai lembut rambutku.
“Fia…” panggil papa sambil membuka pintu kamarku
“Iya pa?” jawabku tarsentak kaget.
“Ada apa, kenapa teriak-teriak?” tanya papa khawatir.
“Tidak ada apa-apa pa, kepalaku hanya sedikit pusing karena tugas-tugas ini.” keluhku terpaksa berbohong sambil menunjuk buku-buku di hadapanku.
“Ya sudah jangan terlalu memaksakan diri ini sudah malam, tidurlah lanjutkan besok kau juga perlu istirahat.”
“Baik pa” jawabku singkat, sambil menoleh ke arah jam dinding yang memang sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB.
Keesokan harinya…
“Fia, kau akan pulang?” tanya Tasya sambil memasukkan buku-buku dihadapannya.
“Yeah… tapi aku mungkin akan mampir ke toko buku, ada beberapa buku yang ingin kubeli.” Jelasku.
“Ohh… baiklah Azkayra Nafia Putri yang tidak pernah berhenti membaca, kalau begitu aku pulang dulu. Assalamu’alaikum” ucapnya dengan wajah jahilnya.
“Wa’alaikumssalam” balasku sambil sedikit terkekeh. Aku memang senang membaca hingga mendapat julukan “putri yang tak pernah berhenti membaca”, aku lebih senang menghabiskan waktuku dengan membaca dan membahas beberapa bacaan bersama Tasya dibanding harus bergosip yang hanya akan menambah dosa.
Hari ini setelah jam kuliah selesai aku memang berencana pergi ke toko buku karena ada 1 buku sastra, dan 2 novel yang sudah kuincar sejak 2 minggu yang lalu. Walaupun aku mengambil jurusan sastra Indonesia dan aku suka membaca bukan berarti aku sering mengoleksi novel, karena aku bukan tipe orang yang senang memenuhi rak lemariku dengan buku-buku. Aku lebih sering membaca e-book karena lebih simple hanya dengan membawa 1 laptop saja sudah cukup. Sesampai di toko buku aku langsung menuju rak dimana terdapat novel yang kuincar, baru saja aku melangkahkan kaki beberapa langkah “Brruukkkk…” tubuhku terjatuh ke lantai ketika merasa ada seseorang yang menabrakku.
“Maaf… maaf… aku benar-benar tidak melihat, aku sedang terburu-buru” kata suara yang terasa tidak asing di hadapanku.
“Ahh… iya tidak apa-a…” kata-kata ku terhenti saat aku melihat sosok yang berada di depanku, seorang pria tampan dengan rambut hitam kecoklat-coklatan, mata coklat, hidung mancung, kulit putih pucat, dan tatapan yang selalu aku rindukan. Tanpa sadar aku meneteskan air mataku di hadapannya.
Dia adalah sosok yang sangat tidak asing bagiku, sosok yang telah lama ingin kulihat, sosok yang sangat ingin ku tau kabarnya, sosok yang selalu aku rindukan, sosok yang tak pernah alfa dari doa-doaku di setiap sujud. Justin Adrian Keynes atau biasa dipanggil Justin Keynes seorang mualaf berdarah campuran Inggris-Indonesia yang sudah kukenal sejak aku pertama kuliah 3 tahun yang lalu. Justin adalah salah satu peserta seminar bahasa di universitasku, aku bertemu dengannya saat menghadiri seminar basaha untuk orang-orang asing yang diadakan di universitasku pada tahun pertama aku kuliah.
“Ayra kau tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?” ulang Justin dengan nada khawatir.
“A…aku tidak apa-apa” jawabku sambil menahan beberapa nyeri di lutut dan pergelangan tangan.
“Biar kubantu” ucap Justin kemudian sambil membantuku berdiri.
Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar dan merebahkan tubuhku di tempat tidur sambil merenungi apa yang baru saja aku lihat, “Apa aku bermimpi? Atau aku hanya berkhayal? Apa tadi itu benar-benar dirimu?” aku terus memikirkannya hingga air mataku mengalir dengan derasnya.
Sudah 2 minggu sejak aku bertemu dengan Justin untuk pertama kalinya setelah 3 tahun, aku masih terus memikirkannya, masih terus bertanya bagaimana kabarnya, dan masih terus menatap ponselku karena saat di toko buku dia sedang terburu-buru dan aku tidak sempat menanyakan apapun padanya, dia hanya berkata akan menghubungiku. Tak lama ponselku berdering yang seketika membuatku tersenyum, dan tanpa sabar aku melihat nama di ponsel “Huhh… ternyata Tasya, Assalamu’alaikum” jawabku setelah menempelkan ponsel di telinga.
“Wa’alaikumssalam, kenapa jawabanmu tidak semangat? hari ini pasti jadi kan mampir ke kedai coklat di seberang toko buku? Kalau jadi nanti setelah aku selesai kelas langsung ke taman tunggu aku di sana ya?” ucap Tasya sangat bersemangat tanpa membiarkanku menjawab pertanyaannya.
Hari ini setelah selesai kuliah aku dan Tasya akan mengerjakan tugas bersama, dan karena aku dan Tasya sangat menyukai coklat kami pun berencana untuk pergi ke kedai coklat yang baru saja buka di seberang toko buku langgananku. “Iya, baiklah aku akan menunggu di taman” jawabku masih dengan nada putus harapan.
Setelah Tasya menutup ponsel aku pun melanjutkan langkahku menuju taman di belakang kampus, namun baru beberapa langkah aku berjalan ponselku berdering lagi, aku kembali tersenyum saat mendengar deringan tersebut dan kembali cemberut saat melihat nama di ponsel “Ada apa lagi Ta?” jawabku kali ini benar-benar dengan nada putus asa.
“Fi, kau tidak lupa membawa novel yang ingin kupinjam kan?” tanya Tasya di seberang ponsel.
“Huufftt… tenanglah aku tidak lupa”
“Baiklah, aku hanya memastikan saja. Ok tunggu aku di taman, Bye” jawab Tasya dan langsung memutuskan hubungan.
“Gadis itu tidak pernah berubah sejak pertama kali aku mengenalnya, dia selalu saja tidak pernah tuntas jika bertanya.” Gerutuku dalam hati.
Aku bersahabat dengan Tasya sejak pertama aku kuliah, karena saat hari pertama aku dan Tasya duduk bersebelahan dan akhirnya aku selalu bersamanya hingga saat ini. Dia yang menemani perjuanganku selama 3 tahun terakhir ini, dan karena rumah kita pun tidak terlalu jauh, maka kami selalu menghabiskan waktu tidak hanya di kampus tapi di rumah pun kamu sudah seperti saudara. Keluargaku dan keluarga Tasya pun sudah sangat akrab.
Sesaat setelah aku duduk di bangku taman ponselku berdering lagi, dan kali ini langsung kuangkat tanpa melihat nama di layar ponsel “Ohh… ayolah Tasya, aku tidak lupa membawa novel dan aku juga sudah menunggu di taman, jadi cepatlah selesaikan pekerjaanmu dan berlari ke taman.” Ucapku tanpa sadar kali ini menggunakan nada sedikit tinggi.
“Ehemm… well, sepertinya kau sangat sibuk hari ini” aku terkejut saat mendengar suara dari seberang ponsel, tanpa mengatakan apa-apa aku hanya menegang untuk beberapa menit.
“Hello… Assalamu’alaikum?, Ayra do you hear me?” ulang suara dari seberang ponsel.
“W… wa… wa’alaikumssalam” jawabku terbata masih dengan jantung yang berdebar begitu keras. Setelah sedikit tersadar aku melihat nama di ponsel, dan ternyata benar itu Justin.
“Apa aku mengganggumu Ayra?” tanyanya kemudian.
“Ti… tidak… tidak sama sekali” jawabku masih terbata.
“Bisa kita bertemu?”
“Sure” jawabku kali ini dengan tersenyum.
“So… jam berapa aku bisa menemuimu?” tanya Justin kemudian.
“Sekarang aku bisa” jawabku begitu bersemangat. Yang di jawab dengan tawa Justin. “Ada apa? Kenapa tertawa? Apa ada yang lucu?” jawabku kali ini sedikit bingung.
“Bukankah kau baru saja mengadakan janji dengan Tasya?” jawab Justin masih dengan sedikit terkekeh.
Astagfirullah… benar juga aku sedang menunggu Tasya jawabku dalam hati sambil memukul kecil kepalaku. “Ah kau benar… hhmm kalau begitu bagaimana jika sore ini setelah aku bertemu Tasya di kedai coklat seberang toko buku.” jawabku.
“Baiklah, aku akan menemuimu nanti sore.” Jawab Justin, lalu menutup ponselnya.
Setelah urusanku bersama Tasya selesai, dan tak lama setelah Tasya pergi Justin pun datang.
“Assalamu’alaikum” salam Justin ketika menghampiriku.
“Wa’alaikumssalam” jawabku kali ini tidak dapat menahan senyumku lagi.
“Kau masih sama seperti dulu, masih sangat manis saat tersenyum.” Ucap Justin sesaat setelah duduk di hadapanku.
“Kau juga, masih saja menggodaku seperti dulu.” Jawabku masih sambil tersenyum.
“So, How are you?” tanya Justin
“Like what you see, i’m fine and very busy. And what ‘bout you?”
“Same like you, fine and busy.”
“I got you, you are always busy.” ucapku dan diikuti tawa kami.
Dan akhirnya sore itu ditengah alunan musik “New Empire yang berjudul A little Braver”, diantara coklat panas dan suasana rintik hujan, aku dan Justin saling bertukar kabar, bertukar cerita, berbagi tawa dan menggugurkan ridu.
Justin adalah seseorang yang tidak pernah bisa kuusir dari pikiranku karena dia sangat berpengaruh dalam hidupku, hubunganku dengannya masih sebatas teman dan tidak pernah berubah meskipun mungkin aku memiliki perasaan lebih padanya. Tapi aku tau hukumnya, karena itu aku selalu berusaha menjaga hatiku sambil terus membicarakannya dalam setiap doaku agar kelak Tuhan izinkan aku untuk bersatu dengannya. Ketika Justin telah menyelesaikan kuliahnya di Oxford University dia pindah ke Indonesia bersama kedua orangtuanya untuk mengembangkan perusahaan ayahnya di Indonesia, sedangkan Jeslyn Westi Keynes kakak Justin tetap tinggal di London karena sudah berkeluarga. Ayah Justin adalah keturunan Amerika-Inggris dan Ibu Justin berasal dari Indonesia tepatnya dari Yogyakarta Jawa Tengah.
Saat aku pertama mengenalnya, Justin adalah pria yang ramah, ramah, dan begitu sopan. Walaupun Justin besar di tengah-tengah kebudayaan barat tapi dia tidak terlena dengan kebudayaan barat, karena ibu Justin selalu memberikan pendidikan terbaik yang dia teladani sebagai seorang warga negara Indonesia kepada anak-anaknya, itulah mengapa Justin begitu berbeda dengan kebanyakan warga asing. Jeslyn dan Justin juga sangat mahir berbicara bahasa Indonesia, karena ibu Justin memang membiasakan anak-anaknya untuk berbicara bahasa Indonesia kepadanya sejak mereka masih kecil, dan bahasa Inggris saat berbicara dengan ayahnya. Meskipun kedua orangtua Justin bukan beragama islam, tapi mereka tidak pernah membatasi hak anak-anaknya untuk memilih kepercayaannya masing-masing. Justin menjadi mualaf saat dia sudah berada di Indonesia selama 6 bulan tepatnya 3 tahun yang lalu. Aku tidak terlalu yakin apa yang membuatnya memeluk agama islam, tapi saat itu aku benar-benar senang sekaligus kaget dengan pernyataan Justin.
“Jus, can i ask you something?” tanyaku di tengah perjalanan menuju rumah setelah menemani Justin menyelesaikan beberapa prosedur menjadi seorang mualaf.
“Sure” jawabnya masih sambil fokus memegang setir mobil.
“Sebenarnya apa alasanmu, ingin menjadi seorang mualaf?” tanyaku memberanikan diri.
“Saat aku menunggumu sholat di masjid, dan ketika itu aku mendengar suara seorang anak laki-laki yang sedang membaca kitab Al-Qur’an dengan sangat merdu, dan entah kenapa saat itu aku meneteskan air mataku. Dan setelah itu aku ingin terus mendengar bacaan itu setiap hari, rasanya tenang…”
“Lalu hanya karena alasan itu?” tanyaku memotong pembicaraannya.
“Tidak, bukan hanya karena alasan itu, aku menjadi mualaf karena aku ingin menikahi seorang gadis yang telah mengubah hidupku, dia seorang muslim dan katanya dia tidak bisa pacaran, dan juga tidak ingin menikah dengan lelaki yang berbeda kepercayaan.” Jelas Justin masih terus fokus pada jalanan di depannya.
Mendengar pernyataannya entah kenapa hatiku terasa sakit. Entah apa arti perasaanku saat itu, tapi yang jelas kebahagiaan dan rasa syukurku saat itu mengalahkan rasa sakitnya. Aku bahagia melihat salah satu makhluk ciptaan-Nya telah kembali ke jalan-Nya. Dan aku sangat bersyukur karena makhluk itu adalah Justin. Dan sejak saat itulah Justin menjadi seseorang yang begitu berharga bagi hidupku.
Selama 1 Tahun Justin berada di Indonesia dan kurang lebih baru sekitar 6 bulan Justin menjalani kehidupannya sebagai seorang muslim, dia sudah harus pindah ke Canada karena harus mengurus salah satu perusahaan Ayahnya yang sedang mengalami masalah di sana. Dan tentu saja kabar itu cukup membuatku terkejut.
“Ayra, i have to go.” Ucapnya sore itu.
“Kau sudah benar-benar memikirkannya” tanyaku dengan nada khawtir.
“Yes.” jawabnya singkat.
“Lalu… how about your believer?” tanyaku kembali khawatir.
“Tenanglah… aku sudah menghubungi teman muslimku di sana, dan aku akan tinggal bersamanya.” jawabnya kali ini membuat hatiku sedikit tenang.
“Jus… hhmm… kau pernah mengatakan bahwa tujuanmu menjadi seorang mualaf karena kau ingin menikahi seorang gadis, apa sampai saat ini tujuan itu masih sama?” tanyaku berusaha memberanikan diri.
“Setelah 6 bulan aku mempelajari tentang islam, aku tau tujuanku salah. Seharusnya semua yang kulakukan adalah karena Allah, tapi aku ingin membenarkan itu untuk diriku sendiri. Aku tetap ingin mencapai tujuan itu.” jelasnya.
“Can i know?… Siapa gadis itu?’ Tanyaku lagi dengan rasa sangat penasaran bercampur khawatir.
“You… Azkayra Nafia Putri gadis yang telah banyak merubah hidupku hanya dalam waktu singkat.” jelasnya kali ini benar-benar membuat jantungku seakan berhenti berdetak, membuat semua rasa khawatirku gugur seketika.
“Can you waiting for me?” tanyaya kembali. Dan ku jawab dengan anggukkan dan senyuman bahagia.
Dan perpisahan bahagia itu tidak pernah bisa kulupakan, hingga detik dimana Justin telah kembali, dimana Tuhan kabulkan doa-doa ku untuk terus menjaganya. Aku bahagia saat ini, itulah yang kurasakan.
Justin adalah pria yang sangat sibuk, meskipun dia telah kembali ke Indonesia dia tetap masih sama seperti dulu. Aku masih tetap jarang bertemu dengannya, karena aku juga sudah mulai disibukkan dengan persiapan semester akhir. Sudah hampir 3 bulan sejak kembalinya Justin ke Indonesia tapi aku masih saja tidak mendengar hal apapun mengenai obrolan terkahir kami sebelum dia terbang ke Canada. Aku tidak ingin memulai percakapan tentang hal itu karena aku tidak ingin mengganggunya. Walau kadang aku merasa khawatir, jika ternyata Justin telah merubah tujuannya. Meski begitu aku tetap berusaha untuk selalu berpikir positif terhadapnya.
“Assalamu’alaikum” salamku ketika memasuki rumah
“Wa’alaikumssalam” jawab mama dari ruang tamu.
“Tante Nindy…” panggilku saat memasuki ruang tamu, dan melihat tante Nindy sudah duduk di sana.
“Halo Fia apa kabar?” tanyanya yang langsung memelukku.
“Alhamdulillah aku baik tante, tante bagimana? Sehat? Tante kapan datang?”
“Tante baru saja sampai pagi ini, dan tante sengaja mampir karena ingin mengunjungi kau dan keluargamu.”
“Lalu di mana om Alex?” tanyaku kembali.
“Dia sudah mampir tadi, dan tidak bisa terlalu lama karena harus cek perusahaan.” jelasnya singkat.
“Oh… baiklah aku mengerti, Justin dan Ayahnya memang selalu sibuk.” Balasku. Om Alex dan tante Nindy adalah orang tua Justin, yah… orangtuaku dan orangtua Justin memang sudah dekat sejak aku dan Justin memulai hubungan pertemanan, dan karena ibuku dan tante Nindy berasal dari kota yang sama, Yogyakarta maka mereka bisa cepat akrab. Meskipun Justin dan keluarganya pindah ke Indonesia, tapi kedua orangtua Justin tidak tinggal bersama Justin. Kedua orangtua Justin tinggal di Bali karena om Alex sedang ada project di bali, sedangkan Justin diberikan tanggung jawab untuk mengurus perusahaan yang berada di Jakarta.
“Fia, bisa tante minta tolong padamu?” ucap tante Nindy sebelum pergi.
“Apa tante?” jawabku antusias.
“Tante benar-benar minta tolong, tante titip Justin. Karena tante tidak selalu bisa mengawasinya.” katanya kali ini dengan wajah serius bercampur khawatr dan sedikit membuatku bingung.
“Tenanglah tante, aku pasti akan mengawasinya.” Jawabku dengan tersenyum.
Cerpen Karangan: Chyntia Perdani
Facebook: chyntiaperdani07[-at-]gmail.com / Chyntia Perdani
Penulis yang sering disapa Chyntia memiliki nama lengkap Chyntia Putri Perdani ini lahir pada 07 Juni 1996 silam. Gadis yang sudah hidup selama 20 tahun di kota Bogor ini memiliki motivasi menulis karena gemar membaca novel dan beberapa cerpen. Penulis juga memiliki berbagai macam akun sosmed yang bisa dijadikan wadah untuk menerima kritik dan saran agar lebih baik dimasa yang akan datang, seperti:
Email: chyntiaperdani07{-at-]gmail.com,
Instagram: @chyntiaperdani,
Facebook: Chyntia Perdani,
Path: Chyntia Perdani,
Dan masih banyak lagi, hehehe……
Sekian dan terima kasih
Cerpen The Last Destination (Part 1) merupakan cerita pendek karangan Chyntia Perdani, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Playgirl Tobat
Oleh: Zulaikha Ditya Kharisma“Kita putus..” Kata-kata itu masih terngiang dalam benakku. Begitu mudahnya Cindy mengatakan itu padaku. Tanpa rasa bersalah dia mengucapkan kalimat itu. Aku begitu menyayanginya, tapi dia begitu tega padaku.
Dear Friend, Forgive Me (Part 2)
Oleh: Fauzi MaulanaSuasana sore hari yang indah. Di kota, sedang ada karnaval yang ramai dipadati orang-orang. Doni dan Luna berjalan jalan dengan bahagia di sana. Melihat-lihat kemeriahan dan euforia yang menghangatkan
Benang Tersembunyi
Oleh: Eka WahyuniKedua orangtuaku sudah bercerai sewaktu aku masih berumur 5 tahun. Dulu sewaktu SD, terkadang aku sangat iri melihat teman-temanku yang mempunyai orangtua lengkap dan mereka hidup bahagia. Tidak sepertiku
Mika
Oleh: Reiza PrabandanaDia menampar saya, dan mengatakan pada saya dengan lantang “Kalau memang kamu sayang sama aku, tunjukan! Kamu bukan laki laki! Dasar pecundang!” saya hanya menatap wajahnya seperti pada hari
Kutunggu Lagi Cintamu
Oleh: Fika Deaputri“Pangeran! Pangeran! Pangeran!” Di mana-mana kudengar namanya, di setiap langkahku selalu aku dengar namanya, sering kali aku pernasaran akan sosok Pangeran yang kerap orang bicarakan. “iyaa, Pangeran itu orangnya
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply