Untukku

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Perpisahan
Lolos moderasi pada: 17 July 2017

“Maaf Eva aku harus pergi,” kata-kata itu melesat begitu saja tepat di telingaku, sangat tajam dan kurasa cukup untuk menusuk gendang telingaku.
Aku tercekat, lalu terdiam. Jadi ini alasan kenapa Tristan memintaku untuk bersedia bertemu dengannya.

“Aku tidak mengerti,” ucapku berbohong. Tentu saja itu kebohongan. Beberapa kali ia memang sempat membicarakan perpindahannya dari perusahaan yang telah menaunginya hampir 2 tahun ini.

Ia tersenyum masam padaku kemudian berganti muram. Aku bisa melihat perubahan itu dengan jelas meski langit malam sedikit menyamarkan wajahnya yang selalu membuatku terpesona sepanjang waktu.
“Sudahlah, aku ke sini hanya untuk berpamitan padamu. Kau sangat berharga bagiku,” ucapnya seserius mungkin.

Aku mengalihkan pandanganku ke sudut lain. Aku tak tahan menatap mata Tristan terlalu lama. Itu sangat menusuk hingga mungkin mampu menembus ke hatiku. Membuatku terluka saat itu juga. Aneh, semua tentang Tristan benar-benar membuatku teriris kali ini. Wajahnya, suaranya, tatapannya, dan bahkan senyumnya yang sebelum detik ini masih membuatku terkesima.

“Jaga dirimu baik-baik,” dia berkata. Lalu memacu motornya menjauh dariku tanpa menunggu aku berkata lagi.

Tubuhku sudah hampir ambruk saat itu. Andai saja tak ada pohon di sampingku yang dapat kugapai untuk pegangan mungkin saja hal tersebut bisa terjadi.
Bagaimana bisa aku seperti ini. Kenyataan itu kenapa seakan sangat menghancurkanku. Kepergiaannya harusnya tak memberi efek sebesar itu padaku. Toh dia bukan siapa-siapaku. Aku saja yang terlalu mengharapkannya.

Minggu demi minggu berlalu. Hidupku serasa langit gelap semenjak kepergiannya. Gila. Efek ini melebihi narkoba padaku. Mengenalnya beberapa bulan saja sudah membuatku kecanduan akan segala hal tentangnya. Dan kini asupan itu tak lagi mengalir dalam tubuhku. Membuatku frustasi setengah mati. Aku sama sekali tak memiliki akses untuk mencari keberadaannya. Semua hal yang bisa menyambungkanku dengan pria itu telah terputus. Dari mulai nomor ponsel hingga Facebook. Dan lagi, kampung halamannya sama sekali tak kukenal.

“Hay Eva!” Seseorang menyapaku ketika aku hendak pulang dari kantor. Aku menatapnya. Dia Odi, temanku juga -secara teknis. Aku mengenal dia karena Tristan, dia teman Tristan, jadi entahlah aku bisa menyebutnya temanku juga atau hanya kenalan. Sudahlah, itu tidak penting. Yang penting saat ini untuk apa dia menemuiku? Jenis pekerjaannya di kantor ini tidak memiliki relasi apapun dengan pekerjaanku, jadi tidak mungkin ini dalam konteks pekerjaan.
“Ya?”
“Aku menemukan ini untukmu.” Dia menyerahkan sesuatu padaku. Sebuah amplop biru muda. Itu warna kesukaanku. “Itu dari-”
“TRISTAN,” Aku memotong ucapannya setelah aku membaca tulisan kecil di balik amplop tersebut.
“Aku menemukannya di kamar kos kami. Sungguh aku tak mengerti kenapa surat itu masih di sana padahal dia sudah kembali ke kampung halamannya. Jadi kupikir lebih baik kuserahkan ini padamu karena ada namamu juga di amplop itu,” jelasnya padaku.
“Mungkin dia tak menginginkan aku memiliki surat ini.”
“Atau dia lupa menyerahkannya padamu. Kau tau dia itu terlalu nervous jika harus bertemu denganmu jadi otaknya mungkin tidak bekerja dengan seimbang saat itu.” Odi mengungkapkan teorinya-lebih tepatnya apa yang ia ketahui.
“Benarkah?” Aku masih belum percaya dengan apa yang ia ucapkan. ‘Nervous’, itu sangat tidak mungkin. Aku sama sekali tak melihat itu di wajahnya. Dan untuk apa pula dia nervous, dia sudah terlalu biasa denganku, bahkan hampir tidak peduli atas keberadaanku. Ahh pasti Odi melebih-lebihkan.
“Baiklah, aku akan membacanya. Thanks!” ucapku kemudian berlalu pergi.

Awan hitam terhampar luas malam ini. Sinar rembulan tak cukup mampu menembus pekatnya awan itu. Yang ada hanya remang-remang menghiasi samudera langit-Nya. Kududukkan tubuhku di sebuah kursi kecil yang berada tepat di balkon kamarku. Di tanganku sebuah benda berwarna biru tergenggam erat. Itu amplop yang diserahkan Odi tadi siang. Aku menatap benda itu dengan wajah tidak yakin. Benarkah itu untukku?
Atau, cukup mampukah aku membacanya? Mataku terpejam saat itu juga. Membayangkan apa yang ia tulis sudah cukup melemaskan seluruh jiwa dan ragaku.

Perlahan tanganku akhirnya membuka amplop tersebut. Di dalamnya sebuah kertas putih terlipat rapi. Kupikir dia akan memakai binder warna-warni. Hahaha. Aku akan benar-benar tertawa jika hal itu benar adanya. Untung saja aku salah. Jadi aku tak perlu tertawa dan merusak suasana hatiku yang muram ini. Aku sudah cukup menikmati kegelapan itu, dan entah sampai kapan aku akan menikmatinya.

ADVERTISEMENT

Satu per satu kubuka lipatan-lipatan surat itu. Dan 2 detik kemudian kertas putih tadi sudah tergelar dalam peganganku. Belum sempat aku membaca, mataku tiba-tiba saja sudah berair. Ahh yang benar saja. Sejak kapan aku terlalu cengeng seperti ini. Aku pun menghapusnya agar bisa membaca tulisan yang amburadul itu dengan jelas.

Kutelusuri setiap baris kalimatnya tanpa kubaca. Tulisannya sama. Jelas, ini darinya. Aku yakin. Kumantapkan hatiku untuk membaca surat itu.

“Hay Eva,
Mungkin kepergianku telah menyakitimu saat ini. Yah aku percaya kau pasti sangat tersakiti. Aku bisa merasakannya. Tapi, Eva, aku tak mungkin tinggal. Tetap berada di dekatmu, membiarkan harapan-harapan ‘tentang KITA’ tersirami setiap hari justru akan melukaimu lebih jauh, dan aku tidak bisa.

Eva, aku mencintaimu, sungguh. Sama seperti rasamu padaku yang tak pernah kau lukiskan dengan kata-kata. Tapi Eva, kau sangat berharga untukku, terlalu berharga hingga aku tak sanggup mengorbankan dirimu juga kepercayaanmu demi cinta. Aku tak mampu melihatmu meninggalkan Tuhanmu, Tuhanmu lebih berharga untukmu. Mengertilah…, anggap saja jika pertemuan adalah untuk perpisahan maka perpisahan kita adalah untuk pertemuan kita kelak.

Sekali lagi I LOVE YOU EVA,

Temanmu,
Tristan

Aku menghentak-hentakkan kakiku saat itu juga. Berharap guncangan dari tubuhku dapat menahan air mataku. Tapi nyatanya aku menangis juga. Butiran bening itu menembus pertahananku dan membanjir di area wajahku.

Sakit sekali rasanya membaca setiap rangkaian kata yang Tristan lukiskan dalam lembaran tersebut. Dia pergi untukku. Lalu apa selanjutnya? Sungguh aku berharap tangisku ini mampu meremukkan hatiku saat itu juga hingga benda itu mati rasa dan aku tak perlu lagi merasakan kegetiran yang teramat sangat menyakitkan ini.

End

Cerpen Karangan: Qomariyah Nurjanah
Facebook: Qomariyah Nurjanah

Cerpen Untukku merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Anak Baru Sahabatku

Oleh:
Selamat pagi dunia, aku sangat bahagia karena ini pertama masuk sekolah SMA setelah libur panjang semester 1, semuanya tampak sama, kecuali salah satu dari seorang murid yang duduk di

Dialog Hujan

Oleh:
Tak sengaja aku datang ke kota itu. Tempat pertama kali kita bertemu. Ada senyum dan tatapan tajam matamu. Sadarkah kau? aku rindu. Kota tua ini hujan lagi, tanahnya basah

Nugi dan Tita (Part 2)

Oleh:
Keesokan paginya. Aku merasakan, Ada tangan yang membelai rambutku. “Nugiiiii…” Kupeluk tubuhnya erat, Berpura-pura aku merindukannya. Tapi hatiku salah. Aku memang benar-benar merindukannya! Kulepaskan kemeja yang ia kenakan. Kubaringkan

Tangis di Ufuk Barat

Oleh:
Matahari perlahan terbenam di ufuk barat. Suara azan bersamaan dengan itu bergema di seluruh penjuru dunia. Seorang wanita berkepala empat menaiki tangga menuju lantai tiga rumahnya. Dari tangga lantai

Cherry

Oleh:
Jantungku berdetak semakin tak menentu. Mulai kucoba pejamkan mata namun tak berhasil. Tik tok tik tok suara detak jam terus mengusik ketenanganku. Kringgg alarm handphone ku pun berbunyi. Tepat

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *