Always Happy Ending

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 16 January 2015

Alarm ponsel telah berbunyi, pertanda pagi akan menyapa. Pelan-pelan kubuka kelopak mata yang masih lelah ini. 5 menit telah berlalu, dan aku masih berada di atas ranjangku. Ku paksakan badan ini untuk bangun, ku henyakkan kaki ini untuk berdiri dan segera mengambil wudhu untuk sembahyang subuh. Waktu berlalu dengan cepat, seolah-olah tidak ingin membiarkanku duduk terlalu lama di depan televisi. Jam dinding telah menunjukkan pukul 11.00, saatnya aku untuk mandi dan bergegas pergi ke sekolah. Yah jadwalku hari ini adalah sekolah siang. Jarak dari rumah ke sekolahku cukup jauh, aku biasa menggunakan bus untuk menuju ke sekolah.

Hari ini gerbang sekolah menyapaku ramah, membisikkan bahwa akan banyak kebahagiaan yang akan aku dapat. “Tessa, kenapa masih berdiri di depan gerbang? Ayo masuk.” Sapa Wira yang membuyarkan lamunanku. “Iya Ra, bawel banget sih kamu, nggak tahu apa kalau sahabatnya ini lagi seneng hari ini.” Sahutku. “Seneng kenapa? Dapat pacar baru? Duit banyak? atau dapat hadiah mewah, ya?” Pertanyaan Wira yang semakin ngelantur membuatku kesal dan segera menarik tangannya untuk memasuki kelas karena bel masuk akan berkumandang. Hehe.

“Kamu tadi belum cerita Tessa, kamu senengnya kenapa?” Tanya Wira yang masih penasaran. “Ya, aku seneng karena bisa ketemu kamu Wiora Magdanetta sayang, hehe.” Ucapku dengan wajah melucu. “Uhh, nggak lucu.” Timpal Wira. Tett tett tett, bel masuk berbunyi membuyarkan perdebatan singkatku dengan Wira sahabatku.

“Theressa Oktavia!” Panggil Pak Gunawan yang sedang mengabsen murid-muridnya. “Iya hadir Pak.” Sahutku tanpa berlama-lama.

Saat bel istirahat berbunyi semua siswa berhamburan keluar kelas menuju tempat sakral mereka yaitu kantin. Hehe.

“Tessa, ke kantin yuk, laper nih.” Tanpa mengatakan apapun aku segera berdiri dan berjalan ke luar kelas diikuti Wira yang tadi mengajakku. “Tumben banget Sa kamu mau ikut aku ke kantin, biasanya diem di kelas atau nggak nongkrong di perpustakaan.” Perkataan Wira barusan membuatku tertawa geli dan segera menyahuti, “Emang siapa yang mau ikut kamu ke kantin, aku mau ke perpus kok.” Dengan wajah tanpa dosa aku berbelok dengan cepat ke arah perpus sedangkan arah kantin hanya lurus, aku tahu pasti Wira menatapku dengan tatapan bengong manyunnya itu. Haha.

Sudah 3 minggu ini aku selalu merasa diikuti oleh seseorang dan memang benar, saat aku membalikkan badan secara tiba-tiba orang itu tersentak kaget dan terlihat salah tingkah. “Apa yang kau lakukan, membuntutiku? Kau pikir selama ini aku tidak tahu kalau kau selalu mengikutiku kemanapun aku pergi?” Pertanyaan yang selalu menghiasi mimpi burukku pun telah berhasil membuatnya kaget. Namun anehnya dia sekarang malah tersenyum lembut padaku, senyum yang membuatku terpaku dan menghilangkan sejenak kekesalanku padanya.

Aku tidak habis pikir sebenarnya apa yang ada di otaknya itu, dengan tampang sok polos dan wajah tanpa dosa itu dia membalikkan badannya dan meninggalkanku tanpa ada sepatah kata pun. Semenjak kejadian itu aku semakin penasaran siapa laki-laki yang memiliki senyum menawan itu, wajahnya yang putih bersih itu terlihat berseri saat mata kami beradu.

“Sudahlah Tessa, mungkin dia hanya penggemar rahasiamu. Selama ini mungkin dia ingin selalu berada di dekatmu, makanya dia mengikutimu.” Pendapat Wira sama sekali tidak masuk ke otakku. “Kalau dia penggemarku mengapa dia tidak mengatakan apapun padaku, dia hanya tersenyum dan meninggalkanku waktu itu.” Ucapku gemas.

“Kenapa Wira lama sekali, katanya janjian di sini jam 09.00 ini sudah jam 09.30 dan dia masih belum juga menampakkan batang hidungnya.” Gerutuku dalam hati. Tiba-tiba seorang laki-laki yang sepertinya pernah aku lihat tanpa permisi duduk di sebelahku. Mataku terbelalak saat ingat kalau dia adalah laki-laki yang pernah membuntutiku beberapa tahun yang lalu saat aku masih SMA. “Bukankah kau laki-laki yang pernah mengikutiku waktu itu, sebenarnya siapa dirimu dan mau apa kau di sini?” Pertanyaanku sama sekali tidak digubrisnya, dia hanya tersenyum sambil memejamkan matanya. “Hei, apa kau tuli atau kau bisu? Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku?” Ucapku geram, meskipun sebenarnya aku tidak ingin melontarkan kata-kata sekasar itu.
Mendengar itu laki-laki itu langsung membuka matanya dan menoleh padaku tanpa senyum yang selalu menghiasi bibirnya. Aku takut dia marah padaku dan ketika mata kami bertatapan kulihat ada sinar lembut dan teduh di sana. Aku tak berkutik di hadapannya, dan sepertinya dia mengerti ketakutanku dan mulai memberikan senyum khasnya untukku. Dan lagi tanpa ada kata-kata yang terucap dia bangkit berdiri dan ingin segera pergi meninggalkan aku dengan rasa penasaran yang sampai sekarang belum terpecahkan. Sebelum dia melangkah dengan cepat kuraih tangan kanannya dan menggenggamnya erat, supaya dia tidak bisa melangkahkan kakinya lebih jauh lagi. Namun saat tangan kita berpegangan erat aku merasakan ada yang salah, jantungku serasa berpacu lebih cepat dan nadiku mengalir deras.
“Apa kau ingin selalu menghantuiku dengan kedatangan dan kepergianmu yang selalu tiba-tiba? Apa kau tahu selama ini aku selalu mimpi buruk karenamu? Aku mohon bicaralah padaku dan jelaskan tentang semua ini.” Ucapku lembut dan sepertinya meluluhkan sedikit keteguhannya untuk tidak bicara padaku. “Maaf.” Itu adalah kata-kata yang keluar dari bibirnya setelah bertahun-tahun lamanya aku menunggu jawaban atas semua tindakannya. Dia menatapku tulus yang membuatku semakin tak berdaya di hadapannya. “Aku tidak bermaksud membawa mimpi buruk untukmu sayang, aku rindu padamu tapi aku tidak tahu aku harus berbuat apa setelah 10 tahun lalu aku membuat sebuah jejak yang sulit untuk kamu hapus. Kamu tak ingat padaku? Pangeran kecil yang selalu menghiasi mimpi indahmu, itu katamu dulu kan peri hatiku? Ya aku tahu kamu akan mencoba melupakanku tapi aku tak pernah menyangka sekarang kamu benar-benar tak mengingatku. Begitukah caramu membalas semua rasa sakit hatimu dulu?”
Aku tertegun mendengar ucapannya yang begitu banyak, tapi aku sama sekali tak dapat mengingat memori 16 tahun silam saat usiaku masih sekitar 5 tahun tentunya. Aku menarik napas dalam dan mulai melepaskan tangannya yang sedari tadi kugenggam erat, namun dia malah balik menggenggam tanganku dan menarikku untuk jatuh ke dalam pelukannya. Begitu hangat dan nyaman, tapi tunggu sepertinya aku kenal aroma tubuhnya namun semakin aku mencoba mengingat semakin kepalaku terasa sakit yang luar biasa. Dari arah depan kulihat Wira berjalan cepat menghampiriku dengan wajah yang khawatir melihat ku yang mulai pucat. “Hei maaf kau siapa, apa kau bisa melepaskan pelukanmu dari sahabatku karena kulihat dia mulai lemah dan pucat.” Kata Wira pada lelaki itu. Segera saja lelaki ini melepaskan aku hati-hati dan mendudukkanku pada bangku yang ku duduki tadi. Dia melihat ke arahku dengan perasaan bersalah, dan seketika pandanganku gelap.

ADVERTISEMENT

Kini semua pandangan tertuju padaku, seakan semua menungguku untuk berucap. Tapi anehnya, laki-laki itu ada di sini, di tengah-tengah keluargaku. Entah apa yang dia lakukan, yang jelas dia tidak sendiri. Dia bersama orang-orang yang tak kukenal dan keluarga besarku. “Hai sayang, gimana badan kamu, sudah merasa baikan?” Tanya bundaku sambil mengelus rambutku. “Emm.” Gumamku sambil mengangguk pelan. Pandanganku tak bisa lepas dari orang-orang yang sama sekali tidak kukenali, dan sepertinya bundaku tahu perasaanku. “Mereka sengaja datang kesini untuk melihat keadaanmu sayang, mungkin kamu sudah lupa pada mereka. Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan. Sepulang dari sini Geovixso akan menjelaskan semua rasa penasaran kamu.” Ucap Bunda sambil menunjuk laki-laki misterius itu.

Kini aku berjalan tanpa beban, semua yang mengganjal di hatiku terasa ringan. Rasa penasaran yang mengganjal di hatiku pun hilang tak berbekas, namun dia selalu bilang bahwa dia telah membuat sebuah jejak yang sulit untuk kuhapus. Saat kutanyakan maksudnya dia sama sekali tidak pernah mau menjawab dan segera mengalihkan pembicaraan kami. Aku sama sekali tidak bisa mengingat dengan jelas awal kami mulai dekat, lagi, menurut ceritanya.

Setahun berjalan setelah aku mengetahui semua masa laluku, masa lalu yang sulit untuk kuingat kurasa. “Hai cuby cubis, kamu uda lama nungguin aku disini?” Ucap sebuah suara yang sangat kukenali. “Hai kruby kibi, masih 5 menit kok. Ngapain aja sih kok lama?” Ucapku sedikit manyun. “Haha, maaf-maaf cubyku. Hari ini banyak pasien jadi ya sedikit terlambat nggak masalah kan?”. “Masalah banget, kamu kan tahu aku paling nggak bisa yang namanya nunggu. Uda aku mau pulang aja, ngapain lama-lama disini, nggak penting juga kan buat kamu.” Ujarku bercanda namun sok bertampang serius, haha. “Mulai deh bercandanya, nggak lucu ah.” Dia mulai sedikit takut kalau aku marah, padahal dia tahu kalau aku paling nggak bisa marah dalam hal apapun. Lama aku diam untuk tidak membuka sandiwaraku, dan dia juga tidak berani membuka pembicaraan.

30 menit sudah kita berdiam diri dan akhirnya aku tidak tahan lagi untuk tertawa. “Surprise, happy 7 month anniversary my Kruby Kibi. Haha.” Sepertinya aku mengagetkan lamunannya yang entah apa itu. “Jadi kamu nggak bener-bener marah sama aku? Oke, sekarang aku bisa terjebak dalam sandiwara kamu tapi nanti awas aja, aku bakal balas.” Komentarnya sambil mengacak-acak rambutku.

Dunia yang aku jalani memang tidak semudah dengan apa yang dulu pernah aku bayangkan semasa kecil, namun yang tetap sama adalah sang tokoh utama yang ceritanya happy ending meskipun berbalut rintihan perih. Semua seakan menuntunku untuk melupakan masa lalu yang begitu sulit untuk kuingat kembali. Ya, memang semua berawal dari 17 tahun yang lalu. Saat aku kehilangan seorang sahabat baik yang meninggalkanku karena dia harus pergi ke Jerman untuk melakukan operasi penyakitnya. Aku mengantarkannya sampai dia memasuki mobil. Mungkin waktu itu aku tidak ingin kehilangannya jadi aku mengejar mobilnya yang mulai meninggalkan aku. Mobil warna merah itu melaju dengan cepat dari arah yang berlawanan dengan mobil yang membawa sahabatku itu pergi.

Seketika aku terhempas dan jatuh di tanah dan kepalaku terantuk batu yang cukup besar. Setelah kejadian itu aku koma selama beberapa minggu di rumah sakit dengan kesempatan hidup yang hanya tinggal beberapa persen, itu pun harus dibantu dengan segala alat bantu yang tengah menempel di tubuhku. Dan pada akhirnya aku semakin menampakkan kemajuan yang positif. Ketika aku tersadar aku begitu heran karena tidak satu orang pun dari mereka yang kukenali. “Hai sayang, gimana badannya sudah agak enakan? Mama khawatir sama kamu.” Sapa seorang wanita paruh baya yang mengaku mamaku.
“Ma.. ma?” kataku lemah. “Kamu kenapa sayang? Kamu tidak ingat siapa mama?” Katanya lagi dengan suara parau menahan tangis. Wanita itu pun memanggil dokter untuk segera memeriksaku. “Bisa kita bicara di luar?” Kata dokter setelah memeriksaku. Kulihat wanita iu hanya mengangguk pelan. Kata dokter aku mengalami amnesia yang cukup berat akibat benturan itu. Untungnya saat itu aku masih kecil, jadi hanya sedikit kenangan yang aku punya dan tidak terlalu penting untuk aku ingat.

Setelah aku keluar dari rumah sakit, mama memberitahuku banyak hal. Dulu namaku Tianesta Okia, namun karena beberapa hal akhirnya namaku diubah menjadi Theressa Oktavia. Itu adalah sedikit memori yang diberikan mama.
Baiklah dunia, kini aku adalah aku yang baru, aku yang baru mengetahui dunia, aku yang baru menjadi aku yang sekarang, aku yang baru melakukun segala hal luar biasa, aku yang baru mengalami kejadian luar biasa, aku adalah aku, Theressa Oktavia..

Langkah yang harus melangkah lebih jauh. Mata yang harus melihat indahnya dunia. Hidung yang harus mencium wangi sugawi Nusantara. Mulut yang harus mampu mengucapkan sebuah bukti bukan hanya janji. Telinga yang harus medengar melodi rintihan dunia. Tangan yang harus selalu berdo’a. Dan ingatan yang selalu mengingat kebaikan dunia.
Itu adalah janji untuk diriku sendiri. Janji untuk kehidupan yang lebih baik. Yuup, aku akan memandang masa depanku sejak dini bersama Stavine Greg, seorang dokter muda yang akan segera menjadi pendamping hidupku.

“Gimana Cuby Cubis uda siap?” ucap my Kruby Kibi yang membuyarkan lamunanku. “Siap boss.” Ucapku meyakinkan. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku, hari dimana aku tidak akan sendiri. Aku akan memandang hidupku dengan Stavine Greg yang kini telah resmi menjadi suamiku setelah akad nikah tadi.
Ceritaku kini benar-benar Happy Ending.

Cerpen Karangan: Adinda Citra
Facebook: Acha Zeezeemzee

Cerpen Always Happy Ending merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Kepastian

Oleh:
“Apa arti sebuah kepastian untukmu? Jika kepastian hanya sebatas keragu-raguanmu, berarti kau suka membuat orang lain menunggu.” Di beranda cafe yang sering kami kunjungi ini, aku menunggu Dimas dengan

Menunggu Mentari Bersinar

Oleh:
Aku bersikap cuek karena aku menganggap dia hanyalah junior ku dan aku adalah seniornya, wajahnya yang begitu polos membuat aku selalu ingin ngerjainnya, kami sering bertemu dalam suatu perkumpulan,

Berat Sahabat

Oleh:
Suara alarm di handphonenya tak mampu kalahkan udara dingin pagi ini. Seharusnya remaja yang baru duduk di bangku 2 SMA ini sudah harus bangun 10 menit yang lalu, tapi

Seamin Tidak Seiman

Oleh:
Rembulan malam begitu indah apalagi ditemani bintang-bintang bertaburan di langit malam, menambah keindahan malam ini. Aku melihat kearah mereka yang bercanda ria diatas sana, sedangkan diriku hanya menangis sendu

Kejutan

Oleh:
Ku buka satu per satu lembar buku harian di tangan. Mencoba membaca dan mengingat-ngingat berbagai kenangan yang telah ku tulis di buku ini. “Ya Tuhan, apa ini yang dinamakan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *