Dimensi

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 20 August 2023

Di 5 meter, 12 langkah, 10 detik, ada dimensi yang cuma jadi milikku. Dimensi yang sempit dan terbatas, namun membuka cerita. Cerita tentang kekaguman sejati. Cerita yang hanya dia dan aku yang tahu.

Ruangan tempat kerjaku lumayan. Kursi empuk, dikelilingi sekat hijau muda dengan komputer di sudutnya, nyamannya mirip rumah-rumahan pohon yang waktu kecil sering kubuat. Ditambah dekorasi action-figure zaman bocah, mejaku benar-benar terasa rumah sendiri.

Kebetulan, mejaku sering dilalui orang karena memang terletak di depan pintu. Mau tidak mau, aku jadi memperhatikan tiap orang yang lewat. Nah, setelah melakukan beberapa pengamatan, aku menyimpulkan hal berikut: Tiap orang yang melewati mejaku rata-rata akan melalui jarak 5 meter atau sekitar 12 langkah dan menghabiskan waktu sekitar 10 detik sebelum menghilang dari pandanganku.

Lima meter. Itu jarak tempuh yang cukup untuk mengagumi seseorang. Dari cara berjalannya yang anggun, gayanya melirik-lirikkan mata, atau bahkan dari caranya memegang mug. Kuakui, aku terpesona kepadanya. Tanpa sadar, aku telah menjadi pengagum rahasianya.

Dua belas langkah. Itulah yang kukenal dari sosok belakangnya. Rambut lurus sebahu terselip di balik telinganya, menjuntai-juntai manis. Terkadang ia menoleh ke samping dan memperlihatkan wajahnya yang ayu dan cool. Terkadang ia berhenti ketika ada yang menyapa. Ketika pulang kantor, selalu ia menggunakan aksesori favoritku, kacamata. Sungguh, kacamata itu membuatnya jadi makin menggemaskan.

Dia berjalan melewatiku, dan dimensiku pun tercipta.

Sepuluh detik. Itulah durasi pelepas dahagaku di antara kesibukan pekerjaan. Dimensi penuh kekaguman yang membuatku damai, tenang, tranquil. Tanpa beban. Saat sepuluh detik itu, dunia serasa berjalan dalam ultraslow motion. Napasku pun berembus sangat, sangat, SANGAT lambat hingga aku bisa mendengar merdu detak jantungnya, guratan-guratan pergerakan otot kaki langsingnya, bahkan detail terkecil dari kerling bola mata kehijauannya.

She’s so gorgeous.

Lantas, apa yang kulakukan di sini?
Hanya memandanginya? Mengaguminya selama 10 detik? Tidak punya nyali untuk berkata-kata atau bahkan memberi tanda?

Ya. Itulah yang kulakukan.

ADVERTISEMENT

Menyedihkan? Boleh jadi. Namun, begini pikirku: Ia telah menyuguhiku sebuah dimensi 12 langkah yang luar biasa. Dimensi 5 meter yang mengkrayoni rutinitas hitam-putihku. Dimensi 10 detik yang membawaku kembali kepada realita sang waktu dan kehidupan.

Aku tidak akan merusak dimensi seberharga itu dengan kata picisan semacam “cinta”. Lagi pula, sesuai nama dirinya yang berarti ‘penglihatan’, aku tidak mau mencemarinya dengan sesuatu yang membutakan semacam (lagi-lagi) “cinta”. Gemuruh dalam rongga dada ini mungkin bahkan belum ada namanya. “Cinta” itu terlalu remeh untuk dapat dikatakan menggambarkan getar ini.

Jadi, inilah dimensi milikku seorang. Tempatku memadu kasih tanpa saling menatap. Tempatku merindukan tanpa pernah berkenalan. Tempatku terbebas dari “cinta” yang membelenggu.

Dan selamanya aku ingin tetap begitu.

Kecuali, …

Kecuali bukan begitu yang terjadi. Kecuali Tuhan berkehendak lain. Deus ex machina. I Ching. Atau mungkin Ia hanya tidak ingin mengijabah keinginanku yang mendamba dimensi abadi mahasempurna itu.

Entahlah. Siapa yang bisa menebak rencana Sang Perencana? Siapa pula yang bisa tahu Sang Mahatahu?

“Kamu lewat Keong, ga?” suara halus sekonyong-konyong menyapa.

Aku mendongak, tetapi tidak menoleh. Tanganku yang tadinya sibuk mengambil helm terhenti. Aku mengenal suara ini.
Aku menelan ludah dan memberanikan diri untuk menoleh.

Benar saja. Ia berdiri di sana, menatapku dengan pandangan cemas. Beberapa bulir keringat membasahi keningnya yang elok.

Aku berdiri tegak dengan perlahan. Mempelajari pandangannya. Gelagatnya. Wajahnya. Jemarinya.

Sang Ratu dalam dimensi. Ia berdiri tepat di hadapanku. Berbicara denganku. Menatap mataku. Mengunci pandangannya kepadaku.

“Ma… maaf. Aku buru-buru sekali. Apa kamu lewat Keong? Aku ikut, ya, sampai sana?” suara lembutnya mengalun seperti simfoni.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Rasanya seperti bertemu idola yang tiba-tiba melompat keluar dari televisi.

Aku memberikannya helm yang sejak tadi kupegang.

Ia menatap helm itu, lalu kembali menatapku. “Makasih, ya. Maaf, ngerepotin,” ujarnya sambil meraih helm dan memakainya.

Sayang sekali jarak dari kantor ke Keong sangat dekat… atau mungkin terasa sangat dekat. Ia hanya diam sepanjang jalan. Tangannya ia jauh-jauhkan dariku, lebih memilih handle jok motor. Aku tahu ia mengenalku, meski hanya sebatas wajah dan nama. Itulah sebabnya ia berani meminta tolong. Namun, aku bisa merasakan gelagat ganjil yang memancar dari pesonanya. Aku tahu ia menjaga jarak.

Aku tahu ia terluka.

“Aku … sebenarnya hari ini aku mengajar privat. Tapi sebelum pulang tadi, orang tua muridku menelepon. Jadwalnya diganti besok,” aku berteriak-teriak untuk mengatasi deru suara motor dan menoleh sekilas ke arahnya. Ia tampak bingung.
Aku tersenyum tipis. “Jadi, aku bisa ke mana saja hari ini.”
Ia tampak ragu sebelum akhirnya menjawab, “Aku harus sampai di Cibubur 20 menit lagi.”
Kalimat itu laksana titah Sang Ratu.

“Aku bisa 15 menit!” aku mengegas motorku sampai maksimal, berkelit-kelit dari angkot dan bus.

Olipp: gile. Lo serius mau ngelamar dia??
Me: Makanya gue tanya pendapat lo.
Kalo gue serius, gmn?
Olipp: dia Katolik atau protestan??
Me: Protestan.
Olipp: trus beda umurnya berapa? 14 taon?
Me: 15.
Olipp: bufett deh yaa. Emang dia cantik yak?
Apa ga keliatan tua gitu dgn umur segitu?
Me: Ga tau deh ya. Yg jelas cuma dia
yang paling bisa narik perhatian gue.
Olipp: Waduuh, men. Kan masih banyak cewek laen
yang seagama, seumuran, ga sekantor, blablabla.
Me: Ga ngerti gue juga.
Cuma gue emang ga bisa ngeboongin perasaan gue aja.

Dhifa: Hoo. Yaudh gue sih dukung2 aja,
asal awas lo jangan maenin perasaan dia.
Dia itu udah kayak mbak gue sendiri.
Me: Iya, iya.
Dhifa: Tapi kok lo tiba2 serius pengen nikah gini sih?
Lo tau konsekuensinya?
Kalo dia ga mau ikut agama lo, gimana?
Me: Yaa, gue rasa gue udah mulai capek.
Gue pengen ngejalanin sisa idup gue
sama pendamping yang gue sayangin.
Masalah agama … kami bisa nikah diem2.

Magno: Yaaay! Semangat! Ayo!!!
Me: bener lo dukung?
Magno: Yaiyalah. Dukung.
Me: Lo yakin, dengan semua perbedaan kami, kami masih tetep bisa bahagia?
Magno: kalo ngeliat dari karakter lo dan dia, gue rasa ga akan ada masalah sihh. Semangattt!

Semua sahabat mendukung. Tapi …

“Lebih baik kita seperti dulu aja. Jangan aneh-aneh,” suara halusnya kini terdengar seolah-olah menggelegar. Mataku tak berkedip. Sembilu dan ngilu menari-nari dalam hati. Aku sampai harus menahan napas saking sakitnya.
Sakit. Tak terperikan. Bahkan tak tersentuh air mata.

Sakit.

Aku tak tahu masa lalu apa. Tapi ia terluka. Hingga kini lukanya belum sembuh. Aku hanya berusaha mengerti. Toh, awalnya ia memang hanyalah Sang Ratu dalam dimensi yang memberikanku kedamaian batin. Melangkahi itu, berarti aku sudah tidak tahu diri dan pantas dihukum.

Dimensi 10 detikku pun kembali. Lima meterku yang sangat berharga. Dua belas langkah ultraslow motion yang sangat kunikmati. Langkah ketiga belas, aku bangkit. Dimensiku melebar menjadi 11 detik, 12 detik, dan aku terus mengikutinya.

Dia berhenti. Aku berhenti. Ia menoleh sekilas, “Aku ikut sampai Keong, ya?”

Kini, dimensi adalah milik kami. Tempat kami memadu kasih tanpa saling menatap. Tempat kami saling merindukan tanpa pernah berkenalan. Tempat kami terbebas dari kebutaan dan belenggu yang mereka sebut “cinta”.

Dan selamanya kami ingin tetap begitu.

People create their own “peace dimension” when feel tired of their own routine.
So many occasions that the dimension is a result from unconscious mutualism between others.

Cerpen Karangan: Haqi K.
Blog / Facebook: Haqi Kusanagi

Cerpen Dimensi merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Mutiara Penyatu Hati

Oleh:
Pagi yang melelahkan. Rasanya aku males berangkat ke kantor. Tapi apa daya. Kerjaan lagi numpuk. Menunggu untuk segera dibereskan. Sesampainya di kantor aku melihat beberapa memo menempel di layar

Jangan Lupa Setia

Oleh:
Sekolah masih sepi, hanya ada beberapa motor yang terparkir di parkiran belakang yang biasanya dipenuhi dengan motor yang berserakan dari sudut ke sudut. Namun itu semua tak berlaku di

Menangis Dibalik Kesenyuman

Oleh:
Siang ini guru menyuruh kami untuk membuat sebuah lagu untuk sebagai pentas seni kami pun berbagi tugas untuk kelompok kami. Di kelompok kami ada silmi, dewi dan intan sedangkan

Kupercayakan Pada Udara

Oleh:
“Felly!,” seru seseorang yang tidak asing lagi bagi Felly. Yang tengah berlari menuju Felly dengan nafas yang terengah-rengah. “Bram!” “Hufffttt, lu tuh ya, kocek banget jadi cewek. Cantik-cantik kocek!”

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *