Everlasting Woman

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 5 November 2015

Mengagumi hanyalah sebuah rutinitas, dipikir tak berarti tapi menenangkan hati. Matanya yang selalu tajam dan tak pernah menatap, mungkin sebuah prinsip. “Apakah dia tak pernah jatuh cinta?” pertanyaan yang sering terbesit dalam pikiranku sampai membuat ubun-ubun panas. Bibir mungilnya pun, sekali tersenyum berhasil menerobos segenap kegundahan. Sayang, untuk melihatnya tersenyum adalah hal yang sangatlah jarang. Apalagi untuk sekadar mengobrol, dia sering sekali memalingkan pandangannya, respon kecil pun jarang terluahkan, lalu melangkahkan kaki-kakinya pergi meninggalkan lawan bicaranya. Laki-laki yang mengenaskan walau selalu mengesankan.

Sudah sejak pukul tiga sore aku sudah berdiri di sini, depan gerbang sekolah. Digitalku sekarang menunjukkan pukul tujuh belas dua puluh dua menit, sudah jelas bel isyarat pulang sekolah sudah berdendang hampir tiga jam lalu, namun Ayah tak kunjung menjemputku. Handphone yang nyawanya dari dua bar tiba-tiba low dan sekarang sudah tak dapat hidup lagi. Sekolahku mulai sunyi, tak bergeming, matahari yang sudah pulang ke tempat ternyamannya, bulan yang mulai tampak temaram, dihiasi hujan gerimis, airnya sangat tajam mengena kulit. Terasa bulu-bulu sudah menggigil kaku menelan pahit-pahit rasa kedinginan.

Memang, hujan selalu berhasil mengubah begitu banyak segi kehidupan manusia, segala suasana dan begitu cepat, begitu bingung, bahkan panik. Jalanan pun tak terdengar bergeming, hanya terdengar air hujan yang saling bertabrakan dengan air hujan yang sudah berhasil menenggelamkan jalanan. Terasa jelas, perasaan kesal, kecewa, marah, takut sudah berhasil menguasai diriku. Tiba-tiba terdengar deru knalpot CB dari belakang yang cerdasnya mengubah suasana lebih berubah lagi dua puluh dua ribu derajat lebih mengacaukanku. Hatiku pun tak menentu, perasaan cemas, takut yang dari tadi sudah mengganggu pikiranku kini sudah berubah pada tingkat di atas klimaks.

“Jangan-jangan itu setan, jangan-jangan aku diculik, siapa yang akan menolongku? Orang siapa yang masih berada di sekolah jam sekian ini?” pertanyaan dalam hatiku yang sudah membuat instan tubuhku panas setelah berjam-jam sudah menggigil beku kedinginan.

“Alila, kamu masih pakai pakaian seragam? Masih berdiri sendiri dari tadi?”
Aku pun menyalakan nyali untuk menolehkan ke belakang, spontannya aku. Wajahku yang sudah membiru drastisnya berubah biru kemerah-merahan tetapi lebih dominan merah.
“Hulam, mengapa kamu belum pulang sekolah?” Tangkasku spontan.
“Aku bisa merasakannya sekarang, Lil.” Jawabnya yang disambi mencopot helmnya dengan kilatnya dan mendirikan jagang CB-nya yang bergegas mendekati aku.

Sukmaku yang terasa melayang di alam mimpi, merasuk perlahan menghangatkan jiwaku. Terasa dimanjakan oleh rasa-rasa ini. Dia mengajakku mengobrol.
“Aku ndak tahu maksud perkataanmu tadi, Hulam. Tumben kamu bicara seperti ini padaku?” Jawabku gugup kaku, tapi bersemangat dan terasa tak ku biarkan memutuskan pembicaraannya denganku.
“Kamu aku antar pulang ya, aku ingin banyak bercerita denganmu. Kita bisa mengobrol di jalan atau aku ajak sekadar makan dan minuman hangat, kamu pasti sudah lapar dan kedinginan kan?” Ajakkannya halus tetapi sangat bersemangat.

Hal ini adalah hal yang paling pertama ku lihat dari laki-laki ini, laki-laki yang membuatku penasaran yang jarang sekali bahkan nyaris dikatakan tidak pernah mengajak mengobrol. Apalagi mengobrol dengan seorang perempuan, sampai aku dapat menyimpulkan “Anti”.
“Jangan repot, mungkin Ayah habis ini menjemputku, Lam. Kamu pulang saja, Ibumu mungkin sekarang sudah khawatir.” Jawabku yang sebenarnya tak ingin dia meninggalkanku.
“Ibuku akan lebih khawatir melihat perempuan kehujanan, sendirian. Silahkan naik, putri! Aku akan mengantarkanmu pulang.” Balasnya dengan senyuman legit yang tak pernah terlihat sebelum-sebelumnya.

Aku pun terasa terselimuti hangat oleh perasaan entah bernama apa ini. Apa masih disebut kagum lagi atau sekarang sudah berubah menjadi lebih dari kata itu. Ini lebih asyik dan bombastis daripada hari-hari lain. Hulam terasa bukan yang aku kenal untuk hari ini, walau terasa menjadi orang asing. Di perjalanan dengan perlahan dia memboncengku menaiki tubuh CB-nya, dia sekarang sudah banyak bercerita. Laki-laki itu, ternyata memang benar dengan wajah yang serius dan sangat teorematis dengan teramat pantas menjadi seorang dosen dalam hipotesa yang ku lantunkan dalam lamunanku, memang benar dia ingin menjadi seorang dosen kimia murni. Perjuangannya makin menggelora tepat setelah ditinggal Ayahnya setelah dipanggil oleh Sang Penguasa Raya.

“Ibuku adalah Everlasting Woman,” kalimat itu sempat terselipkan dalam rangkaian cerita yang terlontarkan padaku. “Setelah menerima gaji pertamaku nanti, Ibu adalah perempuan pertama yang akan ku manjakan setelah itu adalah istriku.” Obrolannya pun makin sangat dalam serius dan terasa tulus. Pikiranku yang terasa bermain tebak-tebakan, menebak sebuah alasan yang dari dulu belum tersirat pada pikiranku, laki-laki ini belum pernah jatuh cinta, tetapi mimpinya untuk senyum Ibunya, untuk selama ini yang aku kenal diam, dingin dan sedikit sekali kata yang terluah darinya, apalagi obrolan pada seorang perempuan. Mungkin karena tak ingin menjatuhkan hatinya dulu sebelum mimpi termakbulkan. Tubuhku pun terasa terbawa oleh angin, lepas melayang sesukaku mendengarkan alunan halus cerita laki-laki itu.

Perlu tiga puluh menit memang ke sekolah dan rumah, terkadang juga lebih walau sedikit. Baru kali ini sampai rumah perjalanan makan satu jam lebih sepuluh menit, mungkin karena dia teliti dan sangatlah hati-hati ditambah jalanan yang sudah ditenggelamkan air hujan yang kira-kira sekarang tingginya sudah berhasil meraih kurang lebih 10 cm, hujan pun terasa sangat nyaman menemaniku dari tadi, dari pulang sekolah. Ditambah sekarang dia menjadi saksi antara aku dan Hulam.

ADVERTISEMENT

Sampai di rumah, hujan memang sangatlah cerdas, aku tahu pelangi pasti sudah berada di balik awan-awan itu karena tertutup mendung dan tergantikan kerlipnya bintang yang juga tak kalah menawan. Hujan telah reda, dan mungkin sekarang sudah tersenyum. Rasa kesal pada Ayah drastisnya teredam karena laki-laki itu. Pukul delapan malam lebih dua menit aku sampai di rumah. Ternyata Ayah ke luar kota mengirimkan barang-barang, Ayah tidak bisa menjemputku. Ayah hanya karyawan pabrik swasta. Sudah berkali-kali mencoba menghubungi tetapi handphone juga rasanya marah padaku. Tak kuasa menahan rasa pegal dan kesan berlebihan yang mengelabuhi aku, aku pun pulas.

Di sekolah suasananya sangat berbeda, bahkan meleset jauh sekali seperti yang sudah diotak-atik sebelumnya di otak. Bahkan untuk sekedar menatapku, tak ada sama sekali yang terlaksana dalam pikiranku. Lebih dingin bahkan lebih beku dari hari sebelum kemarin. Aku pun sontak, “Hulam, kamu marah? Maaf aku kemarin membuatmu hujan-hujan, dan terimakasih untuk hari itu” Lagi-lagi dia mengabaikan. Otakku yang sudah penuh olehnya. Lebih baik jika aku tak perlu lihat dia terus.

Hari wisuda pun datang, 15 Mei 2005, terlihat dia dengan seorang laki-laki, masih muda dan kumisnya tipis, rambutnya sedikit gondrong, kulitnya tak secerah Hulam, anak dari pakde Hulam. Ibunya yang sudah hampir lima bulan di rumah sakit, kanker neurofaring, opname. Setelah terbacanya dia sudah diterima di universitas ternama di luar kota dengan membawa sesuai citanya, ya, kimia murni, sejenak tepuk tangan meramaikan suasana tegang di aula sekolah. Perjuangannya sekarang sudah terlihat hasil buahnya yang sangat manis setelah menanam benih.

Kembali hening dan sudah nyaris tegang kembali, tiba-tiba nada dering lagu Sajadah Panjang–Bimbo lagi-lagi memecahkan keheningan. Yang sangat membuat suasana makin mendramatis ketika lafal “Innanilahi Wainnailaihi Rajiun” yang awalnya tersendat di bibir Hulam sekarang telontar jelas. Tubuhku yang sudah mulai memanas, air mata yang masih tersangkut pada sudut-sudut mataku. Ibu sudah pergi, teringat jelas kalimat malam itu, kira-kira setahun lalu, kelas sebelas.
“Ibuku adalah Everlasting Woman. Setelah menerima gaji pertamaku nanti, Ibu adalah perempuan pertama yang akan ku manjakan setelah itu adalah istriku.” Rasa kesal semulaku padanya instannya berubah seperti malam itu.

Suasana aula pun sekarang tampak mengharu biru. Ingin sekali meluahkan yang masih tersendat di lidah, karena saatnya. Aku pun segera menyelesaikannya sekarang pikirku tadi pagi, entah aku harus mengurungkannya karena mendadak saatnya berubah tidak tepat. Beberapa saat kemudian, namaku yang sepertinya terdengar terpanggil oleh Pak Markus merusak lamunanku yang sudah dari tadi melihat haru wajah Hulam, aku tak menghiraukan. Ayah yang tiba-tiba mengagetkanku, “Selamat wahai anakku calon sarjana matematika.” Aku hanya terdiam syahdu, aku pun mengalihkan pandanganku pada Ayah yang sudah terlihat bangga mempunyai aku. Hingga siang itu, acara wisuda telah mencapai akhir. Aku pun menyalakan nyaliku untuk berbicara dengannya untuk yang terakhir kali.

“Maaf untuk selama ini, Hulam Aku tahu hari ini adalah hari yang menyebalkan untukmu. Tak sempat terkabulkan permintaanmu, tetapi istrimu akan menunggu gaji pertamamu. Selamat, cita-citamu sudah di pelupuk mata. Sedikit lagi”
Lagi-lagi laki-laki itu mengabaikanku, dan kali ini langkahnya begitu cepat meninggalkanku. Membuatku kali ini lebih menyerah dari biasanya. Apalagi, di kampus barunya dia akan menemukan kehidupan baru pikirku, dengan perempuan-perempuan baru. Aku memang harus menyelesaikan sekarang, ya menemukan hidup baru juga, di kampus baru, dengan perasaan baru, warna baru.

Tiga tahun memang waktu yang terasa singkat jika telah berlalu, memang benar aku menemukan seorang Rayhan di tempat baruku. Sudah tiga bulan lalu kami resmi bertunangan. Skripsi pun kami harus menghadapi bersama, satu fakultas dan satu jurusan. Tiba-tiba terbesit lagi-lagi tentang laki-laki itu, terasa hasrat sudah di pucuk ubun-ubun ingin bertemu dengannya sudah menggelora.
“Apa kabarnya, jadi apa dia sekarang, dosenkah?” Rayhan memang berbeda bagai bumi dan langit urutan paling jauh dari bumi dengannya, Rayhan adalah orang yang sangat grapyak. Ya, sangatlah berbeda dengan yang sangat dingin dan yang tak selalu bisa tertebak dan tersirat pada pikiran.

Tapi memang, aku tetap harus menggundangnya di acara pernikahanku, aku harus mengundang teman-teman sekolah menengah terakhirku, untuk melihatnya lagi, reuni dan perubahan baik pada mereka yang sudah aku tunggu.

Sekarang, 21 Februari 2010, di Masjid Manarul Ilmi, aku menunaikan ijab kabulku. Umurku yang sudah kepala dua lebih lima tahun, sudah tak muda lagi bagiku dan sudah pantas rasanya menjabat posisi dengan nama belakangku nama belakang suamiku, sudah sangat pas. Ya, Alila Kamil, dari Rayhan Kamil. Aku merasa wanita terbahagia sekarang, sudah lengkap.

Sudah 22 Februari 2010, resepsi itu pun di gedung lumayan megah. Gedung terasa sesak, baju pengantin yang berat ini harus aku pakai dengan manik-manik yang serba berkilauan ini sebenarnya sangat mengusikku, panas dan sungguh tak nyaman. Bola mataku yang sudah tak tertahan ingin belari, terbelalak ke sana, ke mari tak kunjung juga aku melihat sosok yang sudah lima tahun ini aku tunggu tanpa terdengar kabarnya.
“Jadi dosenkah dia? Ya, mungkin dia sudah lupa denganku, aku paham dengannya sekarang. Laki-laki dingin dan sangat aneh.”

“Alila Kamil, Halo.”
“Oh halo”
“Selamat ya”
“Thankful Syarifah, makasih sudah datang.”
“Aku tak melihatnya lagi, Hulam. Kamu lihat?”
“Ini dua bulan lalu, untukmu” Menyodorkan amplop cokelat ukuran tanggung, tangannya yang gerak-geriknya sudah seperti copet, membereskan dengan kilat.

Perlahanku membuka amplop itu, dalam amplop masih terdapat lagi dua amplop berwarna putih dan satu buah cincin. Ku buka amplop yang pertama sesukaku, di dalamnya terdapat selembar carikan seperti sebuah sajak, aku pun membacanya

“Dear, future permaisuri,
Aku cinta, Bukan soal nafsu, tapi hati. Hati yang akan berbicara, aku cinta Bukan nafsu. Memandang diam-diam sebenarnya maling. Berdoa diam-diam apalagi. Aku melihat ketangguhan perempuan bahkan kesetiaan. Tetapi masih ada yang lebih setia menunggu. Andai kau cerdas memahami kata yang selalu tersendat di lidah. Andai kau pandai menelaah hal yang selalu ku diami. Mendengar sebuah kabar acara yang sangat membahagiakan. Aku mencoba menelan pahit-pahit rasa berisi luka. Biar hati yang berbicara tentang segalanya, saatnya tiba
Ini hatiku, bukan sebuah napasu. Saat nama itu dibacakan, yaa, matematika oleh Alila Nina.

Aku berterima kasih, kau menghiburku di kala hari itu. Seperti malam itu, gaji pertama ini untukmu. Hari itu sangat pas berbicara, tapi aku tak bisa. Takut pengungkapan sia-sia. Ibu yang saat dipanggil Sang Kuasa. Mungkin setelah berhasil atau sukses nanti. Ternyata engkau lebih sangat sukses, ya itu engkau, Alila Kamil, sekarang. Tapi di sini aku bahagia, hatiku sudah lama berbicara sekarang terbaca.
Hulam Hasan.”

Cerpen Karangan: Fibrina Audia Safitri

Cerpen Everlasting Woman merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Happy Ending

Oleh:
“kamu mau kemana, flo?” tanya sarah saat didalam kelas. “aku mau ke perpus bentar cari buku.” “iya aku tau kamu pasti cari buku. Mangnya buku apa..” “hehe.. sejarah.” Jawabnya

Hanya Berpisah Sementara

Oleh:
Masa-masa SMA sepertinya sangat melekat dengan kisah percintaan, seperti yang diaalami oleh Arfin yang sedang mencitai wanita bernama Adira. Ya, Aliando Arfin Alfaro seorang siswa tampan yang pintar serta

Happy Ngulon

Oleh:
Orang bilang, self reward itu perlu. Hal itu perlu dilakukan sebagai hadiah kepada diri sendiri atas perjuangan keras nan pahit yang telah dilakukan. Katanya, Self reward adalah obat paling

Haluku Menjadi Candu

Oleh:
Sembilan tahun aku menjalani pernikahan, Panggil aku Raya. Dan suamiku Wicak hidup dengan bahagia. Aku bekerja sebagai arsitek dan Wicak bekerja sebagai perwira abdi negara. Tak banyak waktu bagi

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *