Fatamorgana
Cerpen Karangan: Zahra Nur ShafiraKategori: Cerpen Cinta, Cerpen Sastra
Lolos moderasi pada: 11 June 2023
KUAS MENARI DI ATAS KANVAS. Cat menoreh indah sebuah gambar. Terbentuklah sudah. Akan senyum pula rona dalam sana. Insan muda menarik kurva, untuk setelahnya menurunkan tangan. Taruna rasakan degupnya berpacu cepat. Menatap kagum mahakarya, labium membuka celahnya. Berujar begitu lembut. Perihal gadis manis yang bersemayam. Amerta dalam ingatan.
“Bagus.”
Mengerjap. Satu detik tak cukup baginya. Untuk pandangi laksmi dalam lukis. Bersenandung laksana syaulam. Bagaikan bait sihir, tempo merdu saling bersatu. Menciptakan harmoni syahdu. Pula menghantarkan hangat dalam diri, abai akan sakit.
Tersenyum. Merah muda. Lentiknya bulu mata, pula indahnya durja. Mengunci atensi orang dalam ruang. Lepasnya panah batara, entah kemana ujungnya. Mungkin, pada alun-alun neraka. Dimana ia berada. Terjebak.
Abai akan jerit semesta. Harsa berkuasa, raib sudah seluruh akal.
Perihal gadisnya, yang telah dibawa pergi semesta. Bersama sang penguasa, menuliskan kisah dalam perkamen takdir. Menoreh tinta dengan pena.
Bertanya dalam senyap yang singgah, melalui perantara desir angin. Tangis berbalut merdu terdengar. Meminta sua. Akan jawab. Perihal kemanakah, rindunya kini bermuara.
—
Durja tuan enggan berpaling angan. Ramai raib sudah. Sepi singgah begitu lama. Nyenyat kuasai ruang. Pintu tak pernah dibuka lagi oleh sang adam. Terkunci. Menyimpan seribu satu rahasia pula derita di dalam. Merindu, akan kejadian yang berlalu. Kenangan. Bersama cinta dalam angan. Buat ia terbuai. Kasih dari tuan pada puan. Cita dan lara. Nyata dan khayal. Bak mawar dan tangkai, daun dan kelopak. Bersama.
“Isinya pasti sudah berdebu. Tak pernah sekalipun kubuka lagi.”
Miris. Tersenyum tipis. Untuk setelahnya membalik daksa. Pejamkan mata. Bayangan sepasang kekasih dalam jalinan asmaraloka, di bawah biru payoda, hamparan bunga. Paripurna. Begitu juita rupa, kurva sempurna yang terlukis megah pada wajah, membuatnya lengkara lupa. Memesona. Entah kutukan ataukah berkah.
Bibir dikulum. Deretan gigi laksana jeruji yang mengurung lidah, kini beraksi. Tanpa sadar menekan begitu dalam serta kasar. Amis terasa, tuan menghela. Kening mengerut dengan mata yang memandang sayu. Bayangan diri, terdistorsi merah dari bibir. Menodai ubin putih.
Lengan kembali mengepal. Urung membuka pintu, melainkan melangkah maju. Berbisik lirih, perihal pesan yang teredam oleh detik waktu.
“Maaf.”
—
Sendu kentara dalam mata. Jelas, menatap sosok tak asing yang berkuasa. Dalam angan, pikiran. Berkecamuk rasa kala pandangi ia di sana. Tersenyum, menghirup aroma yang menguar. Dari mawar. Luasnya alun-alun tanpa ujung. Biru yang dilukis hingga cakrawala. Payoda putih. Kelopak yang dikecup. Sayu yang menatap. Nayam. Mengangkat pandang, timbulkan sentakan kala atensi berganti tuan.
“Mengapa kamu ada di sini?”
Senyap, tak ada balasan dari sang tuan. Larik tanya retorik. Tampaknya sang nona pun sesungguhnya tahu, alasan apakah yang membuatnya terikat. Mereka. Benang yang entah kapan telah kusut. Tonil nurani pada insan lain. Lengkung semanis madu yang memerdaya. Tak apa, ujarnya. Kendati tangis luruh kala ruang sunyi merengkuh.
“Tidak bisa merelakanku, ya?” tanya sang laksmi. Merdu suaranya. Entah sudah berapa lama, rindu yang tak tertahankan, kini tumpah. Lutut membentur hijaunya rumput. Tak ada rasa. Seolah lumpuh.
Saat itu, tanpa kata, tuan pun sadar. Bahwa ini tidak nyata.
Memelas. Dagu terangkat. Memandang sayu nona yang dicinta. Tatapan yang begitu menyakitkan menusuk. Berasal dari sang adam. Angan yang membawa masuk, gagal sudah buat ia lupa. Akan gadisnya.
Kali ini, helaan napas terdengar. Tak ada yang lain selain angin, kala rohani puan menyentuh sang tuan. Mengelus pipi penuh akan kasih. Berbisik, bertepatan dengan jarum yang kembali tegak. Mengingatkan akan batas. Timbulkan jerit dalam hati, sementara bibir membungkam bisu.
Kembali berujar maaf, untuk setelahnya mata terbuka. Menatap langit kamar. Samar. Satu kalimat nona barusan kembali terngiang.
“Tapi ini sudah saatnya.”
—
Bumi akan terus berputar. Semesta bergerak benar. Hadirnya suar, dan padamnya pelita. Siklus alam yang berjujai datang lalu pergi. Bahkan apabila salah satu penghuninya telah tiada. Atau, bila ada yang terjebak dalam masa lalu. Perkataan bahwa luka akan sembuh seiring berjalannya waktu, entah apakah benar atau salah. Pilihannya ada pada mereka. Tuan tak ingin melawan karsa sang penguasa pula nona. Memilih untuk membuka mata. Hadapi realita.
Gadis yang didamba telah singgah begitu lama. Dalam angan, dalam ruang, pula dalam diri sang tuan.
Mungkin, sudah waktunya bagi tuan untuk merelakan. Bukan lara yang ingin nona saksikan, ataupun sampaikan. Namun kebahagiaan, dengan atau tanpanya. Sebab, dalam pertemuan pasti ada perpisahan. Salah takdir kah, atau cinta. Nyatanya tak ada. Buku berisi kisah mereka telah ditulis hingga titik halaman terakhir. Dan mungkin, hanya perpisahan mereka sajalah yang terjadi lebih cepat.
Kala lengan memutar kenop. Melangkah guna dekati vas berisi setangkai mawar. Renjana akan adiratna yang dicinta, kembali hadir dalam ia. Kendati sesak masih ada, bibirnya mengukir kurva tipis. Memejamkan mata, setelahnya mengeratkan genggaman pada tangkai hijau pula merah yang kini layu.
“Kamu benar. Ini sudah saatnya.”
Untuk terlepas dari bayangmu.
—
Benak memutar kembali kejadian lawas. Hari pada warsa terkutuk. Mengharuskannya untuk melepas pergi gadis yang disayang. Renjana akan janabijana tak terbendung. Belum satu detik nona pergi, rindu telah singgah di hati. Enggan melepas diri. Suasana hangat merengkuh, kala nona meminta peluk. Memamerkan kurva hangat, mata ikut menyipit. Menimbulkan rona serta hangat yang merengkuh.
“Aku pergi ya. Nanti pas pulang, kamu harus jemput aku juga!”
Masih diingatnya, lambai serta kerumunan orang menelan gadisnya. Hanya dapat mengangguk serta mengeratkan genggam pada sebuah surat. Hati terus berbisik, untuk berlari. Menggenggam pergelangan tangan lalu menariknya dalam pelukan. Mencegahnya. Mengurungnya. Tuan ingin bersamanya. Apakah egois, apakah salah? Dan apakah bila, skenario dalam benak tersebut benar terjadi … kau akan masih berdiri di sisiku?
Bersirobok netra. Lakon drama dalam kepala, mungkin benar hanyalah khayal. Pandang berkabut, kala senyum tipis dari bibir gadis terukir.
“Oh iya, surat tadi … ” telunjuk terpajang manis di depan labium. “Kamu buka kalau sendiri, ya?”
Dan seandainya tuan tahu itu adalah kali terakhir bersua, mungkin ia akan memelukmu lebih lama.
Maka, sudahlah. Permohonan nona di atas sana, meminta sang penguasa untuk melepasnya. Maka titah pada batara tak terhindarkan. Untuk mencabut kembali panahnya. Membiarkan tuan untuk berlapang dada. Ikhlas.
—
Kelopak mata tak kunjung terpejam. Lantas terbuka dan mengikuti suara hati. Angan memecah akal bagai fraksi di tengah malam. Mengundang insan berjalan tanpa sadar, menuju ruang berisi kenang. Remang. Kala sayu menyapu pandang. Tekadnya telah kuat. Percaya diri, untuk tidak runtuh dindingnya meski pemandangan menyayat hati ia temui. Hanya lukisan, hanya mawar, hanya kertas. Bisikkan pada diri sendiri tampak menyedihkan. Nyatanya, merelakan tak semudah yang ia kira.
Tangan kanan menggenggam surat. Tirta merembes secarik kertas. Basah. Setelahnya kembali berjatuhan, bagai rinai. Di atas perkamen berisi tinta bertajuk cinta. Oh, nona. Bahkan ketika kau dan semesta telah bersatu, bumi tak lagi bisa dipijak olehmu, mengapa jejak yang tertinggal meninggalkan luka yang menganga lebar?
“Ini sudah berlalu begitu lama … ”
Suara serak berujar lirih. Berbeda. Pudar sudah temaram lara. Suar menguar, pelita perlahan nyala. Mengisi kosongnya binar dalam mata. Menghidupkan kembali ia, yang telah lama hilang dari raganya. Imajinasi sampai pada ujungnya, akhir bahagia yang menanti, pula senyum menghangatkan hati. Tuan jua yang dapat merela, untuk melepas.
Rayuan bintang di samping bulan mengundang rekah. Akan kurva pada wajah. Indah. Sepasang manik menatap langit dengan kaca tembus pandang sebagai penghalang. Selepas karantala kiri menyentuh dinginnya material. Temaram pucat menyorot durja. Terang. Tirai yang selalu terbuka, membuka jalan pandang.
Pada dunia luar.
“Malam ini, setelah ini … aku akan terlepas dari bayangmu,” kali ini ia berbisik dengan suara lebih pelan. Menyampaikan kembali, perihal akhir yang menanti. “Dan tidak terikat lagi.”
—
Suasana damai menghantarkan cita harsa. Nestapa telah pulang, kala rela merengkuh sang tuan. Sadar. Bahwa mengikat pula terjebak dalam satu waktu, di masa lalu, bukan hal yang benar. Nona maupun manusia, pada nyatanya memang berjujai pergi. Mengikhlaskan, merelakan. Meski susah namun tak lengkara. Waktu akan menyembuhkannya, semesta pula sang penguasa, akan membantu. Mungkin, bukan takdirnya.
Maka senyum merekah. Setelahnya mendaratkan kecup manis, menghirup aroma kertas untuk setelahnya disimpan baik-baik. Dalam sebuah kotak, tersembunyi di antara remangnya cahaya ruang. Berisi kenangan. Punggung bersandar pada kursi putih. Nuansa ruang tampak menenangkan. Kala ujung jari mengetuk permukaan meja. Ikuti irama senandung. Barisan pipit yang melintasi payoda mengundang rekah. Merayakan akhir, mentari menyambut durja bermandikan hangat.
Sebuah kisah perihal benang yang terjalin. Ujung yang ditemukan, mengantarkan mereka pada halaman penutup.
“Begini … adalah akhir yang terbaik. Baik untukmu, maupun aku.”
Pandang beralih. Rentan hati hilang. Remang dalam ruang kamar, menghantarkan harsa. Kini, raib sudah lara. Ayun temayun nelangsa, memandang damai akan pigura.
Cerpen Karangan: Zahra Nur Shafira
Instagram: @nah_iniara
Zahra Nur Shafira, seorang gadis asal Bandung yang hobinya menuangkan imajinasi ke dalam kata-kata. Usianya masih 16, namun jumlah impiannya ada 100 kali umurnya.
Cerpen Fatamorgana merupakan cerita pendek karangan Zahra Nur Shafira, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Zeitmaschine For Love (Part 1)
Oleh: Deanata.SWaktu aku masih di sekolah menengah pertama, sekolahku kedatangan murid baru. Aku tidak menyangka bahwa murid tersebut pindahan dari jepang, seketika aku langsung jatuh cinta kepada perempuan asal jepang
Empat Kata Yang Terlambat
Oleh: Ainnul Rofiq Al HanifSeperti biasa, suara tertawa ibuku terdengar nyaring di telinga. Aku pun mulai tak nyaman disertai konsentrasi yang semakin memudar. Sejenak aku berpikir, “Apa sih serunya sebuah sinetron di televisi?
Because You My Dream
Oleh: Pratiwi Nur Zamzani“Hah? Lo serius, Fel?,” tanya Bram tersentak tidak percaya setelah mengetahui berita yang ada di majalah mingguan remaja adalah fakta. Felly hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan dari Bram.
Kutunggu di Pintu Akhirat (Part 1)
Oleh: Ari IrawanPagi itu langit cerah. Gumpalan awan putih nampak bertebar membentuk suatu formasi yang indah jika dilihat lebih seksama. Namun tidak seperti kemarin, jika pandangan diarahkan jauh ke utara, puncak
Dalam Ingatanku
Oleh: Mohammad Syarif HidayatKu masuki kelas yang berbau cat ketika ku hirup udara dalam kelas ini. Ku putar mataku dan memperhatikan tembok kelas yang dipenuhi dengan karya tulis dan curahan hati anak-anak
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply