Hingga Akhir Waktu (Part 2)
Cerpen Karangan: ShollinaKategori: Cerpen Cinta, Cerpen Keluarga, Cerpen Persahabatan
Lolos moderasi pada: 20 January 2016
“Kasihan Naaa Kak Ramly, aku melihat sendiri mukanya babbak belur dan darah mengucur deras di mulutnya.”
“Liiin, sudah jangan menangis lagi. Mulai sekarang aku tak akan mengungkitnya di hadapanmu. Dan kita akan mencoba kembali bangkit untuk mencari Kak Ramly ada di mana sekarang setelah sebulan yang lalu kita tak dapat menemukannya.” ujar Lina berusaha menghiburku.
Ya aku sangat berhutang budi pada Kak Ramly yang telah 6 tahun mengurusiku sejak masih SMP. Dulu umurnya 25 Tahun ketika menolongku dari kecelakaan maut itu. Aku tidak merasa takut padanya ketika menggapaiku saat terjepit di sela-sela kursi mobil. Ibu sempat ku lihat telah berlumuran darah dari kepala dan Ayah tertutup oleh kursi yang terbalik dan semuanya bersimbah darah. Seakan aku berada dalam lautan darah.
Aku pun tak bisa berkutik dan sakit yang ku rasakan akibat himpitan mobil dan truk yang saling bertubrukan. Aku yang tengah duduk sendirian di belakang sangat lelah terhimpit dan darah segar pun mulai mengucur dari kaki dan tanganku yang kepanasan akibat mesin-mesin mobil telah mengeluarkan asap. Aku segera diraih oleh Kak Ramly dengan susah payah, semua orang bergerak membantuku. Aku hanya bisa menangis dalam melihat pemandangan kedua orangtuaku.
Aku sempat mendengar bisik-bisik Ayah padaku. “siapa yang menolongmu pertama, itulah yang kau ajak tinggal di rumah.” yah, dari situlah aku menyampaikan amanat Ayah untuk mengizinkan Kak Ramly tinggal di rumah. Kak Ramly sedang menyelesaikan S2-nya waktu itu. Aslinya dari Nusa Tenggara Barat dan menjadi pegawai di salah satu proyek untuk biaya kos dan kuliahnya serta kehidupannya sehari-hari. Setelah ia tinggal di rumahku, ia tak lagi membayar kos namun kini biaya hidup ia tambahkan karena ada aku. Kak Ramly dikenal orangnya baik dan sangat suka menolong hingga mereka percaya kalau dia tinggal di rumahku.
Lamunanku langsung buyar terkena percikan air segar dari Lina. Dia selalu saja mengagetkanku saat melamun seperti ini. Dan anehnya dia tahu cara-cara jitu untuk membuyarkan lamunan orang atau khayalan yang mungkin tingkat tinggi. Misalnya seperti cara meniup mata orang yang sedang melamun dan kadang juga dia menyemburkan air ke mata orang hingga akhirnya orang yang sedang melamun jadi benar-benar sadar.
“kau ini yah Na, gak tahu apa orang lagi seneng-seneng bayangin Kak Ramly akan datang menjemput.”
“hahaha kau cocoknya dijemput pakai Delman, terus kalian berdua nyanyi sama-sama tuk, tik, tak, tik, tuk, tik, tak, yeee so sweeeet.” ledeknya.
“kau ini becandanya overdosis. Mending pakai mobil atau pesawat. Ini pakai Delman. Hmm…”
“ya sudaaah. Sekarang tuan putri gak usah bersedih. Ada aku di sini yang selalu menemanimu setiap saat.” ujarnya sambil memelukku. Aku pun membalas pelukan itu dengan riang gembira. “terima kasih yaa Naaa. Kelak aku akan membalas jasamu kawan.”
—
Aku terbangun di seper tiga malam dengan penuh rasa kemalasan. Namun setidaknya aku bisa melawan syetan yang menggodaku untuk tidur. “Alhamdulillah.” ucapku. Setiap saat dan malam mini aku selalu berharap pada yang maha kuasa untuk mempertemukanku lagi pada orang yang telah berjasa selama 6 tahun mengurusku, yaitu Kak Ramly. Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu dalam bentangan sajadah ini.
Aku tak bisa apa-apa dan hanya manusia lemah yang tak memiliki siapa-siapa lagi. Namun aku percaya Allah pasti memberi kemudahan bagi hamba-hambanya yang kesulitan. Aku semakin menangis saat kata-kata Kak Ramly berjelanak lagi pada celah-celah syaraf otakku. “menangislah jika itu akan meringankan bebanmu. Namun jangan lupa untuk mencari solusi dari tangismu itu.”
Pagi-pagi sekali aku sudah dipanggil oleh teman karib Ayah yang bertugas memegang surat wasiat sekaligus warisan Ayah. Aku segera berangkat ke kota dari desa tempatku menenangkan diri. Pak Brata memilih rumahku menjadi tempat pertemuan kami. Aku tak sendiri. Ibu dan Lina menemaniku di pertemuan itu. Tiba di halaman rumah depan, Lina dan Ibu terperangah dan berdecak kagum dengan sikap Pak Brata yang setia menunggu dan menyambut kami. Pak Brata langsung mempersilahkan kami masuk. Ruangan ini mengingatkanku lagi akan peristiwa itu.
“baiklah dek Na, kita mulaikan saja pembicaraan kita hari ini.” ucapnya membuka percakapan.
Aku kaget dengan panggilan yang ditujukan kepadaku. Aku Olin mengapa di panggil Na?
“Olin Pak Brataaa.” balas Lina seakan tahu apa yang ada dalam benakku.
“oh maaf. Yaah Oliiin. Tapikan namanya Shollina. Kan bisa saja toh dipanggil Na. Sesuai huruf akhirnya? Hehe.” balasnya lagi. “hehehe iya Pak Brata, apa saja yang penting Pak Brata senang.” balasku.
Pak Brata hanya tersenyum dan memulai serius membicarakan tentang hak waris yang ku miliki.
“jadi begini Nak Olin. Sesuai hukum waris secara agama. Keluargamu terdiri dari Bibi dan Nenekmu yang hanya tersisa. Jadi kau berhak mendapatkan setengah dari harta orangtuamu. Bibi dan Nenekmu hanya mendapatkan 1/6 dari harta orangtuamu..”
“lalu bagaimana dengan Kak Ramly Pak? dia sudah sangat berjasa sekali merawat dan membesarkanku sejak SMP. Apa dia tidak dapat bagian harta?”
“dia akan dapat harta jika hartamu kau sumbangkan untuknya.”
“kalau begitu aku akan membagi hartaku sebesar seper empat untuk Kak Ramly.”
“ide yang bagus anak manis.” puji Pak Brata. “rumah ini sudah termasuk setengah dari harta Ayahmu Olin.” lanjut Pak Brata. “kalau begitu aku akan mengambil rumah ini saja agar bisa tinggal bersama Kak Ramly.”
Pak Brata memunculkan wajah tak senang pada dirinya. Dia sepertinya tak setuju jika Kak Ramly tinggal di sini lagi. “Pak Brata keberatan dengan pendapatku?”
“bukan keberatan Nak, tapi jika kau tinggal bersama dengan Kak Ramly kau harus halal dulu agar tidak terulang lagi kejadian satu bulan lalu.”
Dengan tegas aku langsung menjawab tantangan Pak Brata. “aku sanggup, aku ingin menjadi istri Kak Ramly. Aku tidak ingin ia menjauh lagi dariku setelah wujudku seperti putri ini.”
Lina kelihatannya menertawaiku dengan ucapanku tadi. Namun aku tetap menjaga keseriusanku dalam mengungkapkan semuanya. Dan memang benar sekarang aku tak cacat lagi. Tidak adil jika aku bersama Kak Ramly dalam kepahitan dan setelah aku Normal Kak Ramly tidak merasakan kebahagiaan bersamaku.
Aku melanjutkan ucapanku. “hanya ini yang dapat ku berikan pada Kak Ramly. Aku ingin hidup bersamanya untuk membalas budi baiknya. Bukankah kita harus mengingat kebaikan-kebaikan kecil yang kita terima dari orang lain. Dan jangan kita mengingat kesalahan kecil orang lain terhadapa kita. Itu kata Aporisma Cina Pak. Jadi menurutku aku telah berhutang budi pada Kak Ramly, aku harus membayarnya dan melunasinya secepat mungkin.” tandasku.
“tapi Nak. Kita tidak tahu Ramly ada di mana?” ketus Pak Brata.
“kalau begitu mari kita cari bersama-sama.” tegasku lagi.
“kita harus cari ke mana Nak?” Ketika aku mulai berbicara rancangan untuk mencari Kak Ramly. Tiba-tiba terdengar suara mobil dari halaman. Aku berharap itu adalah Kak Ramly.
“Nah itu pasti Kak Ramly Pak Brata.” ujarku meyakinkan Pak Brata.
Semuanya hening tak bergeming dengan ucapanku, mungkin mereka juga berharap Kak Ramly akan datang di saat yang tepat ini. Aku menutup mata dan berharap dalam hatiku yang paling dalam bahwa itu benar-benar Kak Ramly. Pintu itu sudah mulai didorong dan aku semakin menutup mataku rapat-rapat lalu setelah lama orang pada bungkam, aku membuka mataku perlahan-lahan. Tepat di depan mataku, aku menerima bentakan yang sangat keras.
“Rumah ini milikku wahai keponakan.” ujarnya sambil berteriak.
Dalam hati aku merasa miris dan membiarkan dulu Bibiku berlagak seperti seorang penguasa di pertemuan ini. Aku mengambil napas kemudian menarik tangan Bibi hingga terjatuh di sofa.
“kau pikir kau siapa haaah?! Rumah ini nilainya setengah dari harta Ayah, sedangkan kamu hanya mendapat 1/6. Mana mungkin dapat memiliki rumah ini.” Rupanya Bibi mulai tidak menerima ucapanku. “aku ini saudara Ayahmu, jadi aku dong yang paling berhak, bener kan Pak Brata?”
Dengan sedikit teriak aku berucap. “bodooooh sekali Bibi, ya jelaslah yang paling berhak itu anaknya. Dalam ilmu faraidl saudara Ayah itu bisa sukut, Bibi tahu arti sukut apa? haha.” aku lagi-lagi menekan suaraku. “bodoh lagi, sangat bodoh. Sudah besar, salaaah pula. Hahaha gak tahu maluuu.” Bibi kelihatannya mulai sangat marah padaku. Dan tak ku sangka-sangka.
“banyak omong kamuuu.” sambil menyerang perutku dengan tusukan benda tajam. Bibi langsung pergi, namun dapat ku lihat Pak Brata menelepon seseorang dan langsung mengejar Bibiku. Kemudian aku tak sadarkan diri. Penglihatanku hitam pekat tak ada cahaya. Sakit yang ku rasakan sangat terasa pada bagian lambungku.
—
Itu seperti sosok Ibu dan Ayah yang menantiku di pangkuannya. Aku berlari namun mereka berdua semakin menjauh. Aku kembali lagi mengejarnya namun mereka berdua tetap menjauh. Dan begitu seterusnya, hingga aku merasa putus asa untuk memeluk mereka berdua. Aku menangis dan berteriak memanggil kedua orangtuaku. Mereka tetap saja melambaikan tangan dan tersenyum melihatku. “Ayaaahhh, Ibuuu, aku merindukanmuu hiks.. hiks.. hiks.” isak tangisku semakin merebak di atas dunia putih ini.
Selang beberapa jam kemudian, sosok yang sangat ingin ku miliki kembali hadir dalam duniaku yang penuh putih ini. Dia terlihat duduk santai di atas kursi yang memanjang dengan balutan warna suci dan bersih. Ia mulai tersenyum sangat manis padaku. Dia melakukan hal yang sama seperti kedua orangtuaku. Memberikan senyum dan lambaian tangan, kemudian ketika aku mendekat dia selalu menjauh. Aku memanggil Kak Ramly dengan berteriak seperti yang ku lakukan pada kedua orangtuaku. “Kak Ramlyy… aku ingin bersamamu selamanya hingga akhir waktuu. Hiks, hiks, hiks…”
Aku mulai kesepian dan sangat sendiri di dunia yang penuh dengan suasana putih ini. Tak ada teman yang menemani, tak ada orang yang membuatkan masakan dan tak ada pula tumbuhan atau mahluk lainnya yang hidup di alam ini. Aku hanya bisa menangis dan menangis di atas tanah putih ini. Aku sama sekali tak merasakan lapar pada tubuhku. Aku hanya bisa menangis merindukan orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku.
Aku mulai mengenang masa-masa kecilku bersama Ayah dan Ibu, juga masa-masa remajaku bersama Kak Ramly. Mereka semuua tak ada di sini dan tidak mempedulikanku lagi. Saat ku terhenti terisak dari tangis ini, suara nasyid yang syahdu dan gema shalawat bersahutan di gendang telingaku. Aku terharu mendengar lantunan lagunya. Aku hanya bisa mendengarkan getaran suara ini.
Aku beranjak dari tempat keterpurukanku dan mencari tahu dengan jelas dari mana asal bunyi suara ini. Aku terus melangkah dan akhirnya semua Nasyid dan shalawat itu berhenti namun segera terdengar dentuman piano yang sangat ku kenal sekali. Ya lagu ini sering sekali diputarkan oleh Kak Ramly sebelum dia hilang entah ke mana. Aku semakin menangis mendengarnya, mungkin tak ada lagi harapan untuk bisa bersama Kak Ramly.
Tak ku sangka Kak Ramly mendekatiku mengikuti alunan lagu ini. Dia menyanyikan bait terakhir lagu ini, “Tak kan pernah ada yang lain di sisi segenap jiwa hanya untukmu. Dan tak akan mungkin ada yang lain di sisi ku ingin kau di sini tepiskan sepiku bersamamu. Hingga akhir waktu..” Ia juga seakan tak mau lagi meninggalkanku. Ia membelai kepalaku yang terbalut dengan jilbab syar’i. Aku hanya bisa merunduk pilu dengan semua retorika jalan hidupku. Kak Ramly bangkit hendak pergi lagi meninggalkanku, namun dengan sekejap aku meraih tangannya.
Ia tak menoleh dan tetap berjalan meninggalkanku. “Kak Ramlyy!!!” aku berlari. “Kak Ramly jangan pergiiii, jangan tinggalkan aku. Kak Ramlyy!!!” aku terperanjat bangun dengan keringat yang mengucur deras. Lina yang menjagaku terlihat kaget dan dia langsung tersenyum lalu pergi sambil berteriak memanggil dokter. Aku tak bisa berkata apa-apa, aku tak tahu apa yang sudah terjadi.
—
“kau terlalu banyak tiidur Olin, aku dan Ibu giliran menjagamu di sini.”
“berapa hari aku tidur?”
“mm, 3 hari Olin, makanya kami semua panik padamu setelah operasi pada perutmu.”
Ya, aku ingat sekali saat bibi dengan ganasnya menancapkan benda tajam itu di perutku. Ternyata selama ini aku sudah koma selama tiga hari. Lina menceritakanku semua kejadian saat aku masih koma.
“Olin.” ujarnya memanggilku setelah habis bercerita. Seperti nampak pada raut wajahnya aura kesedihan yang mendalam. Dia langsung memelukku dan menangis. “Dia sudah ada yang punya Oliinn hiks.. hiks. Dia sudah ada yang punyaa.” isak tangis Lina terus merebak, namun aku masih terpaku tak mengerti.
Samar-samar dari kejauhan tampak sosok yang sangat ku kenali bergandeng tangan dengan wanita lain. Tanpa ku sadari air mataku ikut meleleh juga dengan iringan tangis Lina yang tertumpah. Lina sangat merasakan apa yang tengah aku rasakan ini. Dia semakin memelukku dengan erat. Aku yang lemah tak bisa berkata apa-apa di taman rumah sakit ini. Dia masih melihatku memejamkan mata dengan tangisku yang tak pernah terhenti. Aku sangat kecewa dan sangat tersakiti. Namun aku berpikir dan sebisa mungkin menerima kenyataan.
“inget Olin, kau ini hanya wanita yang lemah dan tak ada apa-apanya dibandingkan gadis itu.” ujar batinku. Ya sebisa mungkin aku membuka mataku dan siap menerima kenyataan.
“udah Naaa, aku gak apa-apa. Mari kita ucapkan selamat padanya. Bawa kursi rodaku ke hadapannya.” pintaku sambil melepaskan pelukan Lina.
“tapi kamu gak apa-apakan Olin?” ujarnya memastikan.
“tenang saja Na, aku akan berusaha menerima apa yang sudah terjadi.”
Lina membawaku ke arah Kak Ramly yang tengah berdiri mematung bersama istrinya melihat apa yang kami berdua lakukan. Dia seakan tak terima juga sikapku yang cengeng di depannya. Seakan dia tak mengerti apa yang telah ku rasakan.
Bersambung
Cerpen Karangan: Shollina
Facebook: Sholli Wasallim
Cerpen Hingga Akhir Waktu (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Shollina, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Ketika Hati Bicara
Oleh: Lestari HandayaniMatahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur. Awan-awan putih bergeser mengikuti gerak angin. Alunan angin menggoyangkan ranting-ranting pohon, ke kanan, ke kiri. Hembusan udara pagi menerpa wajah Dinda yang
Coffee Shop Euroline
Oleh: Latania RokhimGeorgia City, 1967. Winter Day 15°c Seperti biasanya, tepat pukul 4 sore aku selalu beli kopi di salah satu kedai kopi di kotaku. Coffee Shop Euroline adalah kedai kopi
Cintaku Semanis Coklat (Part 1)
Oleh: Gesta Farera“coklat… coklat… coklat” itulah kata yang selalu terucap dari mulutku tiap hari, sambil berkeliling dengan sepeda kecilku mengayuh dari desa tempatku tinggal hingga ke desa tetangga. Teriknya matahari yang
Sahabat Terbaik
Oleh: Enia Helga PratiwiHay guys perkenalkan namaku adalah Avril. aku akan menceritakan tentang sahabat baikku. Orang di dunia ini pasti mempunyai sahabat. Bila orang di dunia ini tidak mempunyai sahabat. pasti hidupnya
Broken Home
Oleh: Nadya DasatzhaNia seorang gadis yang berumur 14 tahun ini mempunyai seorang adik yang berumur 5 tahun, keseharian nia memang tak terlalu sibuk sehingga dia lebih sering di rumah. Memang hubungan
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply