Jingga Yang Mencintai Senja (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Patah Hati
Lolos moderasi pada: 30 December 2020

Panggil aku Jingga. Namaku memang berarti sebuah warna. Warnaku segar namun kadang membakar. Saat pergantian antara siang dan malam di jembatan sore, warnaku terlihat amat memikat karena ia merupakan perpaduan antara kuning yang ceria dan merah yang membara. Kadang mereka menyebutku lembayung, warna yang membawa kedamaian bagi siapapun yang melihatnya.

Aku amat gemar menatap senja. Kunamai dia Suryasta. Aku bahkan dengan lancang menyebut bahwa senja adalah kekasihku, saat ini. Aku selalu menemuinya, mulai pukul 18.00. Kami bertemu di pantai dekat tempatku bekerja atau di pantai tempat aku biasa menghabiskan waktuku di akhir pekan. Sebenarnya aku ingin hidup hanya di kala senja karena waktu lain dalam satu hari bagiku serasa tak memberi nyawa, aku merasa ada namun tiada. Ada berbentuk raga, namun hampa dalam jiwa. Gairah hidupku hanya timbul di saat senja. Hidup yang paling hidup kurasa hanya di kala senja.

Sering Ibu memarahiku perihal aku yang telah beranjak dewasa, bahkan terlampau dewasa (bila tak ingin menyebut diriku tua) namun belum juga menunjukkan perilaku normalnya wanita seusiaku. Ulang tahunku yang ke 30 lewatlah sudah. 2 bulan yang berarti 61 senja telah aku lewati di usiaku yang baru.

“Jingga, apalagi yang kamu cari?”, begitu ibu sering memulai percakapan. “Ibu hanya ingin melihat kamu menikah dan membangun keluarga seperti teman-teman kamu yang lainnya”. Begitu terus hingga rasanya aku hapal tiap kata yang diucapkan ibu. Aku hanya tersenyum sambil berusaha menenangkan ibu. Ibuku yang menjadi satu-satunya orangtuaku saat ini setelah kepergian ayah. Dalam hatiku berkecamuk, bagaimana aku mengatakan pada ibu bahwa sebenarnya aku sudah punya kekasih. Kekasihku bernama Suryasta. Dan ia selalu ada di kala senja. Tapi siapa yang akan percaya? Dunia ini penuh ilusi. Bahkan untuk sekadar percaya pun butuh waktu yang lama. Justru lebih mudah berpura-pura, mengatakan yang tak ada menjadi ada atau memaksa mengadakan yang seharusnya tak ada.

Sebenarnya aku adalah jiwa yang bebas, seperti senja yang selalu ada walau kadang bila mendung tebal menggelayuti langit cahayanya tak nampak oleh mata. Ia berganti wujud menjadi semburat kekuningan yang mencoba menerobos kumpulan awan hitam. Dan aku mencintai Suryasta apa adanya, bukan pura-pura. Jadi aku tak akan marah bila kedua mataku ini tak mampu tangkap sinarnya. Yang penting ia selalu ada dalam putaran roda waktu. Ia berputar mengikuti rotasi bumi, karenanya ia selalu hadir tepat waktu. Tak pernah lebih awal apalagi terlambat. Maka dari itu aku begitu mencintai Suryasta.

Kurelakan waktuku selepas bekerja untuk menatapnya, melempar senyuman ke arahnya atau kadang mengambil gambarnya. Kebebasan aku wujudkan melalui perjalanan. Aku penggila travelling. Banyak daerah di Indonesia telah kujelajahi. Kadang bersama teman, teman yang sangat istimewa, namun kadang juga sendiri. Tepatnya lebih sering sendiri, terlebih selama lima tahun terakhir. Tahun ini aku berniat untuk menjelajahi Indonesia timur. Pulau Sumbawa dan Flores terlihat begitu menggiurkan dalam benakku. Bagaimana dengan Bali? Ah, tempat itu serasa rumah bagiku. Kini aku ingin menggeser langkah ke pulau sebelah. Mengapa tak sampai Papua? Aku mengernyit memperkirakan dana dan juga waktu yang tak akan cukup bila aku berlibur kesana. Mungkin lain kali.

Aku tersentak dari lamunanku. Terlihat buku Lonely Planet dan brosur-brosur wisata berserakan. Kopiku bahkan telah dingin tanpa sempat kuteguk. Benar-benar dingin sedingin hatiku saat ini. Hati yang tanpa terasa telah kubiarkan kosong selama enam puluh bulan. Pikiranku melayang jauh, bahkan suara derak pintu terbuka pun tak mampu mengembalikanku ke dunia nyata. Ibuku mendongakkan kepalanya, “Jingga berapa kali ibu bilang, rapikan kamarmu!”, kata-kata itu juga amat kuhapal bahkan di luar kepala. Tak mendapat jawaban, ibuku menutup pintu.

Sering ibu berkata bahwa dunia ini hanya memiliki ragaku saja. Sementara jiwaku, melayang entah kemana. Sebenarnya bukan seperti itu, hanya saja orang-orang selalu muncul tepat di saat aku sedang melamun. Jadi jangan hanya menyalahkanku, salahkan juga sesuatu yang bernama momentum. Pikiranku masih melayang, terlebih ketika kulihat fotoku di Boscha tertempel di lemari dengan bekas robekan. Gedung berwarna putih pucat dengan teropong bintang di dalamnya dan di bagian luar terdapat kebun rindang yang sangat asri. Hujan rintik kala itu dan aku bahkan masih ingat aroma tanahnya yang basah tersiram air dari langit. Aku kesana bersamanya, menakup dingin setelah bermandi uap sulfur di kawah Ciwidey. Ya, aku dan dia. Aku dan Samkya.

Kami berpacaran dari SMP. Kala itu usiaku 13 tahun. Angka sial bagi kebanyakan orang, tapi hari itu bukanlah hari yang sepenuhnya sial bagiku. Aku sedang berada di perpustakaan, temanku berkata perpustakaan di sekolah kami menambah koleksi komik terbaru Topeng Kaca karya Suzue Miuchi. Aku senang sekali membaca komik, tak jarang aku menghabiskan seluruh jam istirahat di perpustakaan demi dapat membaca komik favoritku. Bila waktu tak mencukupi kadang kupinjam dan kubaca di rumah.

Dan siang itu sama seperti siang-siang sebelumnya. Aku di perpustakaan dengan rok biru dan rambut hitam yang dijalin dua. Aku tidak memakai pita hari itu, sepertinya pitaku terlepas saat di kantin atau memang aku tidak memakai pita dari rumah? entahlah, aku lupa. Lalu datanglah dia dengan berlari, ribut sekali. Suasana mendadak riuh. “Jangan ribut!”, seru ibu penjaga perpustakaan. Sebenarnya ibu penjaga tidak galak, hanya ia akan menjadi galak bila ada siswa yang ribut di perpustakaan. Dan memang kenyataannya dia berisik sekali waktu itu. Napasnya terengah-engah, ia terlihat seperti ikan kehabisan oksigen. Dan aku tidak bertanya apapun padanya meskipun aku mengenalnya. Dia adalah murid kelas 2D, kelasnya tepat di sebelah kelasku.

ADVERTISEMENT

Aku melanjutkan bacaanku, membaca sekaligus melihat gambar tokoh utama di komik itu yang bernama Maya Kitamaji. “Hai…”, ujarnya. Napasnya masih tak beraturan. Aku hanya melihatnya, tak menggubris. Waktu itu aku benar-benar tidak berniat bicara padanya, aku hanya melirik sekilas lalu mengembalikan pandanganku pada komik yang kubaca. Merasa tak diindahkan, ia mendekatkan tubuhnya ke arahku. Bau keringat dan aku sangat tidak suka. Tapi ia sepertinya tidak mau tahu, semakin lama tubuhnya semakin mendekat dan plak! kulesatkan komik yang kubaca tepat di wajahnya. Aku tahu itu menyakitkan tapi aku melakukannya untuk melindungi diriku. Tanpa kata kukembalikan komik itu ke rak dan berlari keluar perpustakaan. Jantungku berdegup kencang. Berani-beraninya dia! dia pikir dia itu siapa! kata-kata itu berkecamuk di kepalaku.

Selama jam pelajaran terakhir aku diam saja, tak kuperhatikan sedikitpun penjelasan guruku. Waktu itu kalau tidak salah guruku sedang menjelaskan tentang bagaimana cara mencangkok tanaman nanas atau mungkin menjelaskan bagaimana cara mencangkok hati, aku benar-benar tidak memperhatikan. Saat bel pulang berbunyi, teman-temanku bersorak kegirangan. Bunyi bel itu amat sangat tidak merdu bagiku, bunyinya memekakkan telinga. Namun entah apa yang membuat teman-temanku begitu bahagia mendengarnya. Apakah mungkin karena mereka merasa terbebas dari perangkap kepura-puraan dengan hanya duduk diam dan mendengarkan guru kami mengoceh sementara kaki mereka begitu gatal dan ingin berlari bebas di tanah lapang yang luas? Mengertikah mereka bahwa pada saat itu kurikulum 1994 telah berganti menjadi kurikulum berbasis kompetensi? Sempatkah mereka memikirkan itu? Aku menghela napas setelah mendengar bunyi bel dan sorak-sorai teman-temanku. Aku menggendong tasku dan berjalan keluar kelas.

Langkahku tiba-tiba terhenti setelah mendengar suara, “Jingga…”. Aku menoleh dan kulihat dia berdiri di belakangku. Aku begitu malas untuk membalas sapaannya, terlebih bila ia memintaku untuk minta maaf atas kejadian tadi di perpustakaan maaf saja aku tak akan sudi. Aku tak akan mau melakukannya. Rupanya ia tetap melanjutkan ucapannya dengan atau tanpa responku. “Aku minta maaf atas kejadian di perpustakaan tadi. Sebenarnya aku mau bilang kalau aku suka sama kamu”. Aku terperangah mendengar kata-katanya. Suara cicit burung dan suara pepohonan yang tertiup angin mendadak sirna, suasana terasa begitu lengang seperti hatiku. Perasaanku kosong, aku hanya diam tak tahu harus menjawab apa.

Ia melanjutkan perkataannya, “Aku suka kamu, aku sering lihat kamu di jalan depan rumahku. Aku senang kita satu sekolah dan aku semakin suka sama kamu. Aku harap kamu mau menjadi pacarku”. Aku semakin terkejut mendengar perkataannya. Lidahku kelu, bibirku tercekat tak bisa bicara, wajahku pucat pasi. Ia terlihat bingung melihat ekspresi wajahku, ia ingin bicara lagi tapi ditahannya. Akhirnya aku melihat kearahnya dan berkata, “Aku jawab besok, bisa?”. Ia tersenyum dan mengangguk, “Iya, kamu pikir dulu ya. Besok aku tunggu di sini pulang sekolah”. Aku mengangguk dan melanjutkan langkah.

“Eh Jingga…”, ia kembali mencegat langkahku. Aku berbalik dan melihat kearahnya, ia berkata sambil tersenyum, “Pulang bareng yuk!”. Dan kami pun berjalan kaki menuju rumah, sebenarnya lumayan jauh terlebih di siang hari yang terik, namun entah kenapa hari itu sinar matahari terasa begitu menyejukkan. Bunga-bunga terasa bermekaran dan aku ingat sekali ia membelikanku gula kapas sebagai pelengkap rasa manis di hari itu, aku juga ingat bahwa dalam sisa hari itu aku hanya tersenyum dan tersenyum.

Dan senyum itu masih senyum yang sama, terukir di wajahku bahkan saat aku telah tersadar dari lamunan dan kembali ke masa kini, masa dimana 17 tahun telah berlalu. Terlalu cepat bila kuingat dimana dia sekarang. Sungguh aku ingin mengenangnya sesuai urutan waktu. Kenangan yang sebenarnya bagai membunuhku perlahan namun aku begitu menikmatinya.

Aku mengambil cokelat batangan di atas meja. Kurebahkan diri di atas tempat tidur lalu kupandangi langit-langit kamarku. Kamarku yang sekarang sangat jauh berbeda dari kamarku di masa itu. Ketika ayahku pergi meninggalkan aku dan ibuku untuk selamanya, aku baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertamaku. Dengan alasan tak sanggup melawan rasa kehilangan yang membelit batin ibuku, rumah lama kami dijual dan ibu membeli rumah di kampung halamannya dan tinggal berdekatan dengan kedua saudaranya. Kampung halaman ibu sangat jauh dari kota tempat tinggalku, maka aku pun harus rela berpisah dengan Latri, sahabat karibku. Tapi kami berjanji untuk tetap menjaga komunikasi dengan saling berkirim pesan singkat atau menelepon. Kepada Samkya yang saat itu telah menjadi kekasihku, kami juga mengikat janji yang sama. Jangankan pindah rumah, bahkan perpindahan dunia pun tak akan menggentarkan jalinan cinta kami di masa itu.

Hubungan kami pun masih terus terjalin meski kami tidak lagi tinggal di kota yang sama. Beruntung waktu itu telah tercipta teknologi bernama telepon genggam yang meskipun belum dilengkapi dengan aplikasi macam youtube, facebook, instagram dan hanya mampu menampung kartu memori berkapasitas maksimal 256 MB namun benda itu terasa amat sangat berguna bagi kami berdua. Waktu itu kartu teleponku adalah nama salah satu jari dan aku membelinya dengan harga lima puluh ribu rupiah. Kini betapa murahnya kartu telepon diperjual-belikan. Seakan berganti nomor telepon sama mudahnya dengan berganti baju. Tapi walaupun telah memiliki telepon genggam, aku tetap meneleponnya dengan menggunakan telepon rumah yang membuat tagihan membengkak sehingga ibuku selalu mengeluh sakit kepala. Kadang ia juga menghubungiku lewat wartel.

Pertemuan kami pun terbilang jarang, kadang sekali dalam tiga bulan atau bahkan dua kali dalam setahun. Jaraklah yang menjadi penyebabnya, namun api cinta di hatiku tak pernah padam, bahkan hingga saat ini. Setelah aku menyelesaikan pendidikan di bangku SMA, aku kembali lagi ke kota tempat tinggalku terdahulu untuk masuk perguruan tinggi. Ibuku melepas kepergianku dengan air mata. Aku membayangkan seandainya aku punya saudara, kakak atau adik, mungkin mereka juga akan memelukku erat dengan linangan air mata atau justru mereka bersuka cita atas kepergianku yang memakan waktu cukup lama. Dan orang pertama yang amat sangat gembira mengetahui kedatanganku kembali ke kota itu adalah sahabatku Latri. Orang kedua tentu saja Samkya, kekasihku.

Latri, aku tersadar dari lamunan saat menyebut namanya. Kuraih handphoneku dan kubuka aplikasi instagram. Kubuka akun @Latri08 miliknya, terlihat ia telah membagi 300-an gambar di laman instagram-nya. Gambar-gambar itu adalah rekam jejak kehidupannya selama empat tahun terakhir. Foto masa lajangnya, foto masa berpacaran dengan Fadli, foto pernikahannya, foto kelahiran Gea buah hatinya, dan juga banyak foto bersamaku. Rata-rata captionnya adalah my best friend forever. Kubuka juga laman instagramku sendiri yang kuberi nama @JinggaBercerita dimana aku hanya membagi dua gambar. Pertama gambar bunga mawar, itupun berhasil aku unggah berkat bantuan keponakanku Amanda, yang baru berusia 10 tahun. Gambar kedua adalah gambarku dengan gadis cilik itu, kuberi kata-kata manis sebagai pelengkap, “kesayangan Tante Jingga”. Tidak ada yang berkomentar di fotoku, hanya banyak yang menyukai. Mungkin sekitar 25 atau 26 likes aku tidak melihat dengan begitu jelas.

Cerpen Karangan: Safitri Saraswati
Blog / Facebook: facebook.com/igasafitrisaraswati
Kelahiran Denpasar, 17 Juni 1989. Menulis puisi dan artikel. Puisi-puisi saya dimuat dalam antologi Puisi – makna dalam kata (Nahlu Media, 2017), Puisi Untuk Rohingya (2017), dan Mengunyah Geram Melawan Korupsi (2017). Aktif menulis artikel untuk portal kamantara.id

Cerpen Jingga Yang Mencintai Senja (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


HTB (Hanya Teman Biasa)

Oleh:
Ini aku, Nana. Perempuan yang sederhana tak memikirkan ataupun mempedulikan tentang kecantikan dan aku pun bisa dibilang sangat cuek tentang penampilan. Aku hidup sederhana, barang-barangku pun bukan dari luar

Istri Yang Tersakiti

Oleh:
Hay namaku Eka aku berusia 22 tahun saat ini aku sudah menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Saat ini hidupku memang berkecukupan tapi kurasa kebahagiaan ini kurang

Rasa Terindah

Oleh:
Namaku Reyna, aku punya temen cowok yang sangat aku kagumi. Dia bernama Ryan. Yang membuat aku kagum sama dia adalah karena dia orangnya santun, bijak, asyik, baik dan yang

Aku dan Kamu

Oleh:
Hari ini aku datang mengunjungimu. Aku hapus beberapa daun yang mencoba menghalangi pembaringanmu. Ah aku tak bisa melupakan itu, kenangan yang kita torehkan bersama. Kenangan yang dimulai di tempat

Bidadari Tak Bersayap

Oleh:
‘Koridor itu, mempertemukan aku dengannya, sesosok bidadari cantik yang mungkin sengaja turun ke bumi’ Masih jelas ku ingat saat pertama kali kami bertemu. Di sebuah koridor gelap, dan masih

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *