Karena Mu
Cerpen Karangan: Alfi Nurul AfidaKategori: Cerpen Cinta, Cerpen Islami (Religi)
Lolos moderasi pada: 31 July 2016
Surya tak malu lagi menerangi kerak bumi, diiringi hembusan angin pembawa hawa dingin. Dalam suatu ruang di titik bangunan yang berdiri di tengah persawahan, tak seperti ruang di sekelilingnya dengan barisan murid memperhatikan guru yang menerangkan pelajaran. Siswa kelas satu c tak bertindak selayaknya. Di tengah jam kosong, beberapa siswa membuat forum diskusi tersendiri, entah apa topiknya. Di sisi pojok ruangan itu nampak pemandangan berbeda. Siska malah termenung dengan buku sosiologi yang dipegangnya, mempelajari bab kepribadian. Gadis enam belas tahun itu bukan tak akur dengan penghuni ruangan yang sama dengannya, hanya saja satu permasalahan pelik telah menggerogoti hatinya. “Kamu kenapa, Sis…?”, Rena menghampiri Siska yang murung tak bersemangat. “Ehmm…..”, Siska hanya tersenyum menahan sesak di dadanya. Ia berusaha keras menepis gelisah dalam qalbunya. “Assalamu’alaikkum warahmatu llahi wa bara kaatuh”. Bu Ratna tiba-tiba saja masuk ruangan, membubarkan aktivitas yang sedang berlangsung seru di kelas itu. Tanpa basa basi guru berkaca mata itu menjelaskan secara cepat mengenai logaritma. Siska malah tertegun membayangkan kakak lelaki yang sudah seminggu menghilang.
Beberapa jam menempatkan posisi di gedung sekolahan. Tak sedikit pun membuat Siska berkonsentrasi, yang mengisi benaknya hanya Raka, kakak lelakinya. Melewati trotoar, bola mata gadis malang itu jelalatan kemana-mana. Di kolong jembatan yang tak ia lewati, terdapat sekelompok remaja seusia kakaknya sedang pesta miras, hal itu sering terjadi. Bungsu dua bersaudara itu dilanda gulana. Meski sempat tertangkap lensanya, sesosok pemabuk yang mirip kakanya. Tapi, ia tak percaya dan menganggap halusinasi belaka. Ia putari jalanan kota pinggiran berjam-jam, kewajiban sholat asar, maghrib, isya, ia laksanakan di masjid atau surau pinggir jalan. Ba’da isya gadis itu baru pulang menuju kontrakan yang lebih pantas dijadikan kandang. Rasa lelah dan kantuk yang amat berat menuntutnya mengunjungi alam bawah sadar meski ia belum membersihkan diri. berselimutkan seragam abu_putih ia terlelap. Terombang mimpi kesana kemari.
Jarum jam menunjukkan pukul 22.30, Siska baru tersadar dari tidur nyenyaknya lantaran memimpikan Raka. Gadis mungil itu memang sangat rindu akan kehadiran kakak tunggalnya itu. Ia pun menepis ketakutan yang membara di dada untuk mencari keberadaan kakaknya lagi dan lagi. Gelombang angin malam mengibarkan jilbab putih yang dikenakannya. Ditemani petang malam tak berbintang, Siska menghampiri kumpulan remaja yang beberapa waktu lalu dilihatnya. Bukan menantang bahaya, dia hanya ingin memastikan bahwa tak ada kakaknya disana. Tak disangka, suasana makin mencekam. Gadis yatim piatu itu mamergoki kakaknya tengah dirasuki syaitan. Emosi kekecewaan dilampiaskan Siska dengan menampar kakak kesayangannya itu. “Kakak jahat…..!”, ungkap Siska lantang. Terjadi pertengkaran antara kakak beradik yang biasanya tampil akur itu. Sungguh dalam goresan luka yang ditorehkan lelaki hitam manis itu pada adiknya. Hingga, Siska pulang dengan tangis deras membanjiri pipi.
Air mata tak ada habisnya melinangi kelopak mata Siska. Tak terasa adzan subuh berkumandang di gendang telinga seolah menghibur gadis berlesung pipi itu. Ia bergegas thoharah lantas menunaikan ibadah sholat subuh. Dengan mata bengkak Siska keluar dari persembunyian akibat kegaduhan yang ditimbulkan kerumunan massa di depan rumahnya. “Siska, siska!”, Pak RT mengetuk panik pintu rumah gadis yang terduduk di bangku sekolah menengah atas itu. “Ada apa pak…?”, Hadap Siska pada lelaki beruban yang berdiri terengah di depan rumahnya. Tanpa banyak kata keluar, pak RT membawa Siska menuju segerombol manusia di pinggir jalan, mengerumuni dua anak manusia bersimbah darah. Yang perempuan berbaring tak berdaya, sedangkan yang lelaki lagi duduk memegangi kepalanya yang tak apa. “Astaghfirullah….!”, tangisnya lagi-lagi beraksi. Dipeluknya lelaki yang terduduk itu, tak ingin terlepas. “Kakak, kakak kenapa?”, senggukan air matanya makin menjadi. Masyarakat membawa kedua makhluk Tuhan itu menuju rumah sakit terdekat, mereka pun langsung ditangani pihak yang berwenang di rumah sakit. Lama sekali mereka menunggu tak beranjak dari ruang tunggu, mondar mandir kesana kemari. “Nak, lebih baik kamu pulang dulu, ganti baju terus doakan kakakmu!”, anjur salah seorang tetangga Siska sambil memperhatikan baju gadis itu yang berlumur darah segar. “Baik bu!”. Siska langsung pulang diantar Retno, anak pak RT. “Cepat kau mandi dan ganti baju, lantas kita kembali ke rumah sakit. Kita sholat di musholla sana aja!”, pinta Retno setelah Siska turun dari boncengannya. Sementara menunggu, Retno pulang untuk mangambil mukena dan dompet.
Beberapa menit berlalu kedua gadis itu kembali menuju arena pengobatan yang sempat mereka tinggalkan. “Terima kasih banyak, mbak!”, Siska berkaca menatap wanita yang sempat akan menjadi kakak iparnya itu. “Ndak apa-apa kok. Yuk kita sholat, moga aja Raka masih diberi kesembuhan Allah!”, Tatapnya penuh harap. Kedua gadis berjilbab itu menuju musholla yang dimaksud lantas dengan khusyuk menunaikan ibadah sholat hajat dan dhuha sekaligus. Berlinang air mata yang tulus dari hati mereka mendoakan orang terkasih yang kini berjuang melawan maut di ruang operasi. Cukup lama mereka beri’tikaf. “Assalamu’alaikum”. Andin, adik Retno membuyarkan aktivitas. “Ada apa, Din?”, Retno menatap adik kandungnya bingung. “Ah, anu mbak, bang Raka udah selesai operasi. Sekarang dipindah di ruang rawat”. Andin sumringah menatap keduanya. “Alhamdulillah…”, ungkap mereka bertautan. Betapa bersyukurnya kedua muslimah itu. Bagaimana tidak, Siska tak akan bisa membayangkan hidup sebatang kara di kehidupan yang penuh tipu daya ini. Dia tak akan rela putra sulung kedua orangtuanya itu pergi. Setelah ia ditinggal ayah sebelum mengenalnya, dan ibu yang belum sempat ucapkan selamat tinggal.
Dengan sigap ketiga hamba Allah itu meluncur ke pembaringan Raka. Ditatapnya lelaki yang tengah berbaring lemah dengan kaki didongakkan ke atas, menggantung. “kakak, jangan tinggalin Sisi lagi ya, Sisi ndak mau kehilangan kakak. Kakak satu-satunya keluarga Sisi yang ada di sini kak, apa kakak tega tinggalin Sisi sendiri tanpa ada bapak dan ibu yang menjaga Sisi?”, ungkap Sisi, panggilan akrabnya. Air matanya membuncah tak karuan, perasaan takut kehilangan. “Maafin kakak, Si”. Raka tersenyum menatap adiknya. “Maafin aku ya, Bang?”, Retno menggenggam tangan kanan Raka “Untuk apa? kamu tak salah apa-apa, aku yang salah!”, sergah lelaki berkumis tipis itu. Mereka saling bertatap rindu, jelas saja mereka begitu rindu, bagaimana tidak, Retno pergi dari kehidupan Raka tanpa ada kabar berita. Retno menghilang saat Raka akan melamarnya. Siska tahu betul betapa hancur hati kakaknya kala itu. Tapi, apa sebab berubahnya sikap Raka, Siska yakin bukan karena Retno. Putri tunggal pak RT itu baru saja pulang setelah menyelesaikan studinya di Bandung.
“Kak, kalau aku boleh tahu, kenapa kakak berubah? kakak tak seperti dulu lagi yang sayang sama aku dan tak pernah keluyuran!”. Siska mulai meng interogasi kakaknya. Dan yang ditanyai malah senyam senyum. “Ambilkan dompet kakak disana!”, pinta Raka pada adiknya sambil menunjuk laci bawah televisi. Dengan cekatan adiknya menurut, lantas diserahkan pada kakaknya. Diambilnya uang ratusan ribu rupiah dan diserahkan pada adik semata wayangnya. “Ini, untuk uang sekolah kamu!”, Siska hanya terbengong, pertanyaannya malah dijawab dengan uang. Ada apa ini? “Jangan bingung, ini uang halal kok, seminggu ini kakak diminta untuk mengawasi anak gadis pak lurah yang kabur dari rumah, ya, wanita yang kamu lihat di lokasi kecelakaan tadi.”. Raka meyakinkan. “Tapi, kakak kan mabuk!”, Siska mencoba membantah. “Tidak, kakak tidak mabuk, tapi, kakak hanya menghayati peran, maklum calon artis papan atas”, kelakar Raka tak peduli kepanikan adiknya. Siska hanya cemberut memonyongkan bibirnya. “Menghayati sih menghayati bang, tapi kalau kaki abang patah gini, siapa yang rugi, abang kan?”, Retno angkat bicara melirik tubuh kekasihnya yang terbaring di kasur rumah sakit. “Emangnya kalau aku ndak bisa jalan, kamu ndak mau jadi istri aku?”, tatap lelaki itu merona tak seperti orang sakit. “Tentunya aku mau bang, kan itu saat yang udah lama aku tunggu “, Retno menyinari raut Raka. Siska hanya nyengir menahan malu, malah mendehem. Sontak membuat kakaknya salah tingkah. “Alhamdulillah….”, ungkap mereka bertautan. Retno tak lama kemudian dipersunting kekasih pujaan hatinya, Raka. Bersama, mereka membangun mahligai perkawinan. Dengan telaten dan sabar, wanita salihah itu merawat suaminya yang kemana-mana harus mamboyong tongkat. Begitu pun Raka, sebagai suami salih, keadaan kakinya tak menghalangi semangat lalaki itu untuk mencari nafkah untuk keluarga meski hanya dengan mengabdi di taman pendidikan quran dan di kantor desa, bagian administrasi. Siska yang dulu khawatir hidupnya pontang panting, kini setiap detiknya selalu berucap syukur karena dapat tinggal di tempat yang bisa dikatakan rumah, tak seperti dulu. Dia pun tak perlu bingung jika nanti harus meneruskan pendidikan di perguruan tinggi. Sungguh besar kuasa-Nya dalam mengatur kehidupan dunia. Ya Allah, terima kasih. Tanpa adanya Engkau tidak akan ada kehidupan seindah ini.
Cerpen Karangan: Alfi Nurul Afida
Blog / Facebook: Alshof.wordpress.com / Alfi Nurul (Shofi)
Cerpen Karena Mu merupakan cerita pendek karangan Alfi Nurul Afida, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Kebaya Misterius
Oleh: Windi Aulia PratiwiMalam itu hujan tak berhenti membasahi kota bandung, rintik air hujan semakin deras hingga suasana kota bandung yang memang selalu dingin tambah dingin dengan adanya hujan yang turun menemani
Pacar Dunia Maya
Oleh: Dedi AnggaraJam menunjukan pukul 23.30 wib. Aku masih sibuk memainkan game di smartphoneku… Ughh terasa berat mata ini, setelah melakukan aktifitas rutin seperti biasa dipagi hari yaitu kerja. Perkenalkan namaku
Cinta Terpendam
Oleh: Ai MelaniAwalnya hanya rasa kagum tapi lama kelamaan rasa ini berubah menjadi rasa sayang dan kemudian berkembang menjadi cinta. Hai namaku Ai Melani umurku 15 tahun aku bersekolah di SMAN
Hujanku Matahariku
Oleh: Nabila Utami IrawanSatu, dua, kuhitung tetes demi tetes air dari langit yang mulai berjatuhan.. Lama, semakin lama, semakin banyak, hingga kusadari bahwa sebenarnya aku tidak bisa menghitung banyaknya air yang turun
Amnesia
Oleh: Linda Nur HurinSeorang gadis berjalan sendiri menyusuri jalan. Dengan membawa tas sekolahnya, Luna, nama gadis itu, berangkat menuju ke sekolahnya. Di tengah perjalanannya, dia disapa oleh seorang temannya, Sarah. Sarah menawari
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply