Love In Mars

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Fantasi (Fiksi)
Lolos moderasi pada: 22 December 2015

Mentari mulai menyapaku di balik jendela kaca. Dingin yang semalam tidur bersamaku telah beranjak. Tubuhku masih terbaring tak mau bangkit dari ranjang. Hari ini hari libur dan aku akan tidur sampai Mama datang membangunkanku. PLAK!! Terdengar seperti sebuah benda jatuh tepat di luar kamarku. Tidak lama kemudian sebuah tangan mengetuk pintu kamarku.
“Siapa?”
“Ini mbok Sri, Non.”
“Masuk aja mbok, gak dikunci kok.”

Mbok Sri perlahan masuk sambil membawa sebuah buku.
“Non, kok masih belum bangun? Anak gadis seperti non mestinya suka merawat diri. Ini juga bukunya Non mbok temukan di depan kamar non.” Sambil menyerahkan buku di tangannya.
“Hehehe, iya mbok entar aku bangun. Hehe.. Tapi ini bukan bukuku mbok.” Aku hanya terkekeh agar dapat melunakkan hati mbok Sri.

“lihat dulu non! Masa bukan bukunya non? Di dalamnya saja ada nama non. Apa mungkin itu baru dikirim? Tapi siapa yang ngirim?” mbok Sri terlihat bingung sedangkan aku terkejut.
“Namaku?” ku buka halaman pertama buku itu. Tertulis “For the beautiful star. Puteri.” Batinku bertanya-tanya tentang pengirim buku ini. Ku buka halaman berikutnya, di dalamnya hanya ada bacaan dengan huruf-huruf aneh. Semacam huruf kuno. Namun, yang aku herankan adalah namaku selalu ada di tiap halaman buku ini.

“Siapa yang ngirim buku ini mbok?” tanyaku keheranan.
“Mbok tidak tahu Non. Bukunya mau dibuang aja?”
“Gak usah Mbok. Mbok lanjut aja kerjanya.”
“Baik Non.” Melangkah ke luar. “Oh ya Non. Bukunya aneh non.”

Kemudian berlalu setelah tersenyum tanpa arti. Pagi-pagi gini aku udah dapat kejutan aneh. huftt.. Sekarang tinggal aku sendiri bersama buku di tanganku. Ku perhatikan luar dan dalamnya, baru ku sadari buku ini berat. Ternyata sampulnya terbuat dari logam tembaga. “Giilaa, siapa lagi yang ngirim buku aneh kayak gini.” Lalu aku kembali ke rutinitasku dan tertidur pulas di samping buku aneh itu. Dug, Dug, Dug, Dug.. BRug. Dug, Dug, Dug, Crakk..

“Mbok. Gempa” aku berlari ke luar kamar setelah menyadari sebuah guncangan besar menjatuhkan benda-benda yang berdiri dan tergantung di kamarku.
“Mbok?”
“Mbok? Mbok Sri? Mbok di mana?” aku berlari mencari mbok yang sudah tua itu. Hatiku meronta menyisir rumah yang sebentar lagi luluh lantak terguncang.
“Mbok?” Langkahku terhenti ketika melihat sosok seorang gadis seusiaku.
“Hei? Kamu? A..naknya mbok Sri kan?” tebakku.

Reruntuhan bangunan rumahku berjatuhan di sana-sini. Telingaku seakan hanya berisi teriakan-teriakan manusia yang berlari pontang-panting ketakutan. Namun seakan mematung, Kalsum anaknya mbok Sri hanya terdiam tanpa mimik. Namun bagiku jelas, di sana ada kesedihan yang mendalam dan ku tarik kesimpulan bahwa mbok Sri telah tiada. Segera ku seret Kalsum ke jalan menjauhi bangunan rumah kami.

Sesaat aku terdiam menunggu Gempa berhenti. Hatiku kacau. Kini mataku dapat menembus hingga bermil-mil jauhnya. Aku menerawang Tanah Bandung dari tempatku duduk. Tak ada bangunan lagi. Tak ada apapun yang berhasil berdiri kokoh di atas tanah. Pohon-pohon besar dan kecil tumbang memenuhi jalan bahkan rumput mengering. “Mama.. Papa.. cepat pulang!!” hatiku merintih. Ku dengar suara isak di sampingku. Kalsum menangis.

“Sum, hidup memang tidak abadi. Tidak sekarang, boleh saja besok. Semua orang pasti akan menemui akhir hidupnya.” Aku pun memeluk Kalsum, mencoba memberi kekuatan baginya. Tak sadar aku pun terhanyut dan menangis bersamanya.
Drug. Drug. Drug. Drug. “Hidup Mars! Hidup Mars! Hidup Mars!”
“Siapa?” Kalsum ketakutan. Kami sama sama terkejut oleh kehadiran pasukan aneh itu.
“Sstt. Diamlah!” kataku sambil menutup mulut Kalsum.

Ku seret dia untuk bersembunyi di balik reruntuhan. Dari celah-celah reruntuhan dapat ku intai apa yang mereka lakukan. Aku benar kaget. Apa yang ku lihat membuatku tertekan. Aku tak tahan dan membungkam mulutku sendiri. Betapa kejamnya orang-orang aneh itu. Mereka menindas warga sekitar dan membunuh dengan keji bagi mereka yang melawan. Tanpa ku sadari Kalsum juga ikut menyaksikan. Dia terlihat syok dan tak tertahan ia berteriak histeris.

ADVERTISEMENT

“oh tidak. Kalsum” ku coba menariknya namun ia berlari menjauhiku.
“Sstt.” seperti suara nyala kembang api, sebuah peluru melesat kencang menjatuhkan Kalsum. Aku hampir sama dengannya beberapa saat lalu. Namun tiba-tiba ku rasa sebuah tangan dengan cepat membekap mulutku.
“Bawa dia ke mari!” perintah suara keras yang ku yakin mempimpin pasukan tersebut.
“Sstt. Diamlah!” Bisik pria di belakangku. Lalu dunia tiba-tiba gelap.

Perih ku rasa di kakiku. Ku ingat saat aku ke luar dari kamarku, aku menginjak pecahan kaca dari cermin. Namun yang membuatku terjaga adalah benda berat yang menyelimutiku. Dunia benar-benar gelap. Apa aku sudah mati? Atau tidak sadarkan diri. Apa mungkin yang tadi itu kiamat? Lalu di mana aku? Di mana pria tadi?
“Sudah bangun?” sapa seorang pria yang menarik sebuah jubah berat yang sedari tadi menyelimutiku.
“Siapa? Kamu Siapa?” berontakku dan berdiri. Samar samar ku lihat wajah pria itu. Mataku masih beradaptasi karena selama sadar aku hanya melihat gelap.
Tak jelas ku lihat ia mendekat. Ku rasakan tangannya menempel di pipiku. Hangat sekali.

“Kamu masih hidup. Aku akan menjagamu.” Ia berbisik di telingaku. Suaranya lembut. Namun cepat-cepat aku mendorongnya. Aku terpaku melihatnya. Bola matanya berlensa merah. Kulit sawo matang yang terlihat sedikit lebih merah. Bibir tipis merah muda. Hidungnya mancung tajam sangat gagah. Rambutnya tertata dengan baik memberi kesan macho. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Tegap, kokoh berotot. Dia tersenyum padaku. Sangat manis.
“Aku juga menyukaimu.” Katanya dan tersipu.
“Apa-apaan? Kok bilang suka?” aku heran dengan orang ini. Ia seakan tahu isi pikiranku.
“Duduklah! Akan ku jelaskan.”

Aku hanya bisa menurut. Lalu kami berbincang dan yang ku dapat darinya bahwa ia adalah salah satu dari anggota pasukan tadi. Mereka berasal dari Mars. Datang dan bermaksud untuk menjadikan bumi rumah lain mereka. Mereka ingin tinggal di berbagai bintang yang baik untuk ditinggali. “Tadi kamu bilang kamu suka sama aku. Apa maksudnya? Kita kan belum saling kenal.” Aku mencoba mencari penjelasan tentang banyak keanehannya.

“Aku sudah mengenalimu. Kami memperhatikan Bumi sejak lama. Mereka memperhatikan Bumi, aku memperhatikan kamu, Puteri. Aku membaca pikiranmu dan aku tahu kamu wanita yang indah bahkan dari dalam hatimu. Kamu cantik. Aku suka mata cokelatmu, rambut panjangmu, kulit putihmu, hidung mungilmu. Bibir tipis kita juga mirip. Dan, senyummu sangat manis.”
Aku memang mengakui kata-kata gombalnya sering diucapkan pria lain. Namun pria ini berbeda, ia terlihat tulus dengan semua ini. Tapi kenapa harus dengan cara ini kami bertemu?

“oh ya, aku suka melihatmu tertidur setiap malam.” Lanjutnya polos.
PRAK! Aku terkejut dan menamparnya dengan refleks mendengar kata-katanya.
“Kamu kurang ajar. Apa semua yang aku lakuin kamu lihat?” volume suaraku tak tertahan membentaknya.
“Maaf, aku hanya melihatmu tidur. Aku tahu kamu tidak ingin dilihat pada keadaan tertentu. Jadi aku hanya berani melihat tidurmu.”
“Aku minta maaf.” ia kembali membuatku merasa bersalah meski itu memang salahnya. “Kamu tidurlah.” sambungnya menjauh.

“Hey tunggu. Bagaimana dengan kami? Apa yang akan dilakukan oleh pasukanmu terhadap kami?”
“Mereka sedang mencari pangeran mereka yang hilang. Mereka sedang mencari manusia yang dicintai pangeran. Mereka ingin pangeran kembali dengan menjadikan manusia sebagai umpan. Wanita dan pria yang tak dibutuhkan akan dijadikan budak dan yang melawan akan dibunuh.”

“Lalu bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan di sini? Kembali jelaskan dan duduklah. Aku belum bisa tidur.” Ia pun kembali dan duduk di depanku.
“Aku tidak ingin pangeran terbunuh. Aku tahu dia sangat baik. Karena itulah aku tidak akan memberitahukan siapa pun di mana dia sekarang. Cukup Ayahnya yang menjadi korban.”
“Kamu memang prajurit sejati. Lalu bolehkah aku bertanya?”
“Apa? Bertanyalah.”
“Bukankah kamu bisa membaca pikiranku? Bacalah!”

Ia lalu tersenyum dan membaca pikiranku. “Aku tak pernah dengar tentang perang Mars. Jadi aku tidak tahu jawabannya.” Aku kecewa mendengar jawabannya. Hatiku benar-benar putus asa. Aku berpikir keras. Ku lihat sebuah pedang di sampingnya. Secepat gerakanku saat berlatih silat ku ambil pedangnya.
“Cepat katakan di mana pangeran berada. Kamu tidak bisa mengorbankan kami hanya demi seorang pangeran.”

“Baiklah. Aku tahu kamu tak akan melakukannya. Jadi simpanlah pedang itu. Tapi kamu mungkin saja berubah pikiran dan menebasku. Bila itu maumu, bunuh aku! Ketika pangeran mati kau tak akan punya apa-apa lagi untuk mengembalikkan Bumi yang damai.” Kata-katanya benar-benar membuat aku terdiam. Ia benar tentang segalanya. Aku hanya bisa menjatuhkan tubuhku dan pedangnya. “Tenanglah.” Ia memelukku dan menenangkanku. Mencoba memberi kekuatan untukku.

“Sudah malam, tidurlah! Agar besok kita bisa berpikir jernih dan mencari jalan ke luar.” Meski aku tahu itu sia-sia, namun aku tak bisa membantah. Malam itu sangat panjang bagiku.

Pagi ini benar-benar berbeda dengan pagi sebelumnya. Aku tak lagi melihat kota besar. Tak ada pepohonan, nampak gersang dan sangat hancur. Aku merasa tubuhku terguncang lagi. Aku seperti tak menyadarinya. Pria ini berlari dengan menggendongku. “Ada apa? Kenapa berlari seperti ini?” pertanyaanku tak dijawabnya. Ku lihat ke arah jauh di belakang ada sebuah pesawat besar. Keringat pria ini jatuh sederas gerimis embun.

“Turunkan aku. Aku ingin berlari sendiri.” Bahkan protesku pun tak ia hiraukan lagi.
“Kita istirahat di sini dulu yah.” katanya terengah-engah. Aku hanya diam ketika menyadari ini adalah bekas rumahku.
“Hey, orangtuamu belum pulang. Tak ada penerbangan yang boleh ke mari. Seluruh Jawa sedang diEvakuasi. Evakuasi jalur darat. Karena jalur Udara dan Laut telah dikuasai oleh kami. Tenanglah.”

Perasaan di hatiku saat itu campur aduk. Hening, sepi, rindu, bahagia karena mereka masih hidup, marah pada prajurit Mars, lelah. Air mataku mulai membasahi kelopak mataku. Mereka siap jatuh dan aku menangis. “Cup. Jangan nangis. Hatiku hancur melihatmu menangis.” Suaranya terdengar ikut parau. Tapi aku tak kuasa mengangkat wajahku. Aku hanya membenamkan kepalaku dalam peluknya. Tak lama ia melepaskan pelukannya. Aku lihat ia menuju arah sebuah cahaya yang ke luar di balik reruntuhan. Ia membersihkan reruntuhan itu dan mengambil sesuatu.

“Buku itu,” kataku terpotong.
“Aku ingat.” ia berlari ke arahku dan tersenyum mencium keningku.
“Kenapa?” tanyaku tanpa mimik padanya. Aku hanya kaget mendapat ciuman dari seorang yang baru ku kenal.
“Duduklah.” aku menurutinya.

“Dulu Kakekku pernah menceritakan sebuah dongeng legenda. Buku yang ia baca adalah buku ini.” Aku sejenak berpikir dan mulai sedikit bingung.
“Jawaban dari pertanyaanmu sekarang dan kemarin ada di dalamnya. Aku akan membacakannya.” Aku hanya mengangguk dan mulai mendengarkan.
“Pada era sebelum kerajaan Mars berdiri. Seorang gadis perkasa yang bekerja sebagai tukang pandai besi nan rupawan pergi berburu sendirian di padang pasir.”
“Apa yang ia buru di padang pasir?” potongku.
“Entahlah.” jawabnya.

“Ia hampir mati kelaparan dan tersesat. Ia terjatuh tepat di bawah kumpulan rasi bintang. Ia bermimpi dewi menemuinya bersama dayang-dayangnya. Sang dewi memanggilnya dengan nama ‘Puteri’ dan memberikan buku ini untuk menulis cerita tentang perjalanannya. Puteri diberi perbekalan juga harta dan bibit-bibit serta dianugerahi kecerdasan. Ketika ia kembali ia membuat mimbar dengan kemampuan pandai besinya.”

“Puteri mengumumkan bahwa ia mencari seorang pangeran. Dari seluruh laki-laki yang melamarnya, seorang petani yang sangat ia sukai ia jadikan pangerannya. Lalu dengan hartanya ia mengundang semua kaum Mars saat itu dalam pesta pernikahan mereka. Puteri dan pangeran menikah di depan mimbar suci buatannya sendiri. Jadilah mereka Ratu dan Raja yang dihormati seluruh Mars.”

“Selesai.”
“Kamu siap?” Aku berdiri dan menariknya berdiri.
“Mereka datang, aku siap ‘Pangeran’. Kamu Pangeran Mars, bukan?”
“Ya, aku tahu kamu memang cerdas Puteriku.”
“Pangeran buang senjatamu! Aku tak ingin kamu mati sebelum menikah dengan Puterimu.” Dengan angkuh pemimpin prajurit dari Mars itu menyudutkan pangeran.

“Oh. Hohoho. Di sini rupanya ada satu gadis lagi.” aku terkejut mendengar suara gadis yang ku kenal. Kalsum belum mati?
“Mengapa tidak kalian bunuh saja dia!”
“Kka..Kalsum? B..b..bagaimanaa bisa?” suaraku seakan tertahan terbata-bata.
“Maaf Puteri, kami juga butuh gadis. Tahan dia! Bawa pangeran ke dalam.”

Aku tak memberontak, mereka membawa kami masuk kapal mereka. Pemandangan di dalam kapal benar-benar menakjubkan. Tiap sisi terowongan dan dinding lampu-lampu putih menyala sangat terang menyinari pernak-pernik ruangan yang bernuansa kristal itu. Sampai kami melewati ruang utama, aku melihat mimbar suci yang pangeran ceritakan. Terbuat dari logam merah yang belum pernah ku temui di Bumi. Ratu Mars membuatnya dengan desain batik yang rumit namun rapi dan elegan. Di atasnya aku melihat sebuah kalung cincin mengambang. Kalung itu serasa pernah ku lihat. Namun aku tak mungkin benar, karena itu milik Mars.

“Aku membawakan teman untuk kalian.” kata salah seorang prajurit yang membawaku kepada para gadis di ruang bawah tanah lalu ia pergi.
“Kemarilah!” sambut seorang wanita setengah baya. “Siapa namamu?”
“Puteri. Sebenarnya orang yang dicintai oleh pangeran adalah aku.” Sejenak pernyataanku membuat kesibukan para wanita lain terhenti dan memandangiku.

“Yah, orang yang mereka cari adalah aku. Bukan Kalsum.” Mereka mendadak riuh.
“Tenaang!” aku mencoba yang terbaik demi pangeran. “Sesegera mungkin Pangeran akan dinikahkan dengan Kalsum. Dan jika mereka menikah, kaum Mars akan tunduk pada Kalsum, kecuali orang yang berdiri di belakang upacara pernikahan itu. Jadi bantu aku, aku punya rencana dan segera kita akan kembalikan kota kita.”
“Setuju?” tanya wanita di sampingku meyakinkan.

Malam pernikahan pun tiba. Para budak gadis termasuk aku membantu mempersiapkan pesta dan beberapa orang menjadi perias pengantin. “Pangeran, anda sudah selesai.” Kata seorang perias.
“Baiklah, Terima kasih. Apa kalian dari ruang bawah? Apa kalian mengenal Puteri?”
“Ya, Pangeran. Puteri mengirimkan ini untuk Pangeran. Bacalah! Kami akan pergi.”
Sementara itu di kamar Puteri, Kalsum didandani dengan sangat buruk.

“Apa-apaan ini? Penjaga. Seret mereka keluar!!” dengan kesal ia menyuruh mereka ke luar. Dilihatnya wajahnya dari cermin. “Haah, bagaimana ini? Dasar budak sialan.”
“Saya pelayan Puteri, saya harus mengantar air minumnya dan membantu meriasnya. Tolong buka pintu.” Penjaga pun berhasil dikelabui.
“Puteri, silahkan minum dulu. Suara anda akan hilang kalau sering teriak.” Tanpa memperhatikan pelayan yang memberi minumnya, Kalsum meneguk minuman itu hingga habis.
“Maaf Kalsum, aku harus melakukannya. Aku tahu kamu khilaf. Tidurlah!” Tak berapa lama Kalsum tertidur.

“Wahai Rakyatku, Hari ini aku akan menikah dengan gadis yang ku cintai. Dengar dan Saksikanlah! Upacara suci ini. Demi Mars yang Agung, demi Mars yang Damai!”
“Ya!” serentak sorak prajurit dan rakyat Mars yang hadir saat itu menyambut pidato sang Pangeran.
“Kini, Sambutlah Tuan Puteriku. Puteri Mars.” Seorang gadis cantik yang mengenakan busana batik merah yang anggun dan elegan melangkah mendekat pada Pangeran. Wajah asli sang Puteri tak terlihat oleh riasan tato wajah yang ia kenakan.

“Kamu tampak cantik malam ini Puteri.” Pangeran mengecup tangan sang puteri dengan lembut membimbingnya menuju mimbar. Pangeran mengambil kalung cincin suci dari mimbar. Cincin itu kini telah ada di tangan sang Puteri.
“Penjaga Tangkap para pengkhianat ini.” Puteri yang menyamar jadi Kalsum pun berhasil menjadi ratu dan membuat Prajurit tunduk setunduknya. Ia memerintahkan agar komandan parajurit mars untuk ditahan seumur hidup dan membebaskan semua budak. Lalu menggunakan Bibit-bibit suci, ia tanam kembali pohon-pohon.

“Puteri, aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu Pangeran.”
“Sesuai Peraturan Mars, Raja dan Ratu yang menikah harus berciuman di depan rakyatnya.” Bujuk Pangeran.
“Aku malu Pangeran”
“Tidak apa-apa. Tutup saja matamu.” Lalu dengan disaksikan rakyat Planet Mars, pangeran semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat, dekat, dekat lagi, semakin dekat.

“Puteri, ayo bangun.”
“Yah Mama kok bangunin Puteri sih?”
“Tuh kan kebiasaan deh. Ayo bangun! Di luar ada tamu. Cuci muka terus keluar Oke? Mama tunggu di luar.”
“Iyah.” waah, sayang banget. ternyata cuma mimpi. Hatiku seakan hilang gairah pas Mama bangunin. Tumben lagi Mama bawa tamu. Huft.

Setelah cuci muka aku ke luar menemui Mama dan teman-temannya. Namun, saat aku berjalan. Aku tak melihat Mama dan tamunya. Aku menggerutu sendiri.
“Puteri?” tiba-tiba seorang pria seusiaku bangkit dari balik sofa.
“Hah? Iyah? Aduuh aku kaget” aku berusaha tenang tapi tetap saja dadaku berdegup kencang. Bukan hanya karena kaget. Aku juga gugup karena pria ini sangat tampan dan gagah.
“Kamu? Apa aku lagi mimpi?”
“Nggak kok. Coba ku cubit pipimu. Kerasa kan?” katanya mencubit, tapi ia hanya menyentuh pipiku dengan lembut. Tangannya terasa hangat. Ya Tuhan. dia pangeran di mimpiku.
“Muka ka..mu sa..ma.” aku hanya jadi gugup dibuatnya. “Oh ya, aku lupa kenalan sama kamu ta..” kata-kataku terpotong karena mengingat itu hanyalah mimpi. Pangeran tanpa namaku ada di depanku sekarang.

“Aku teman kecilmu Rian. Masa kamu lupa?” ia terkekeh melihat tingkah anehku.
“Oh ya? Aku lupa, kamu harus ingetin aku.” Jawabku kesenengan.
“Tapi sebelumnya, kamu harus jadian dulu sama aku. Kamu udah janji.”
Kemudian ia memberikanku sebuah kalung cincin. Dan aku mulai ingat semuanya. Kalung cincin ini sama dengan kalung dalam mimpiku. Kalung ini dulu ku berikan pada pangeran kecil dalam dongengku, Rian sebelum ia pindah ke Singapura.

“I love You Rian.” kataku sambil memeluknya erat.

THE END.

Cerpen Karangan: Alif Mahfud
Blog: http://bukuceritta.blogspot.co.id

Cerpen Love In Mars merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


My Dream

Oleh:
Aku selalu mendengar suara hembusan angin dari luar jendela kamarku. Tapi sudah lama aku tidak mendengar suara lembut seseorang. Dia yang biasanya membangunkanku di saat pagi hari. Yup… dia

Sahabat Jadi Pacar

Oleh:
Nama gue Mita. Gue wanita yang sering disebut teman teman gue cewek tajir. Ya maklumlah gue berkehidupan lebih dari cukup. Gue punya banyak teman, terutama teman cowok. Tapi ada

Semoga Berjodoh

Oleh:
Tria Yolanda, dia adalah wanita remaja yang sangat pintar. Dia selalu menjadi kebanggaan semua orang mulai dari orang tuanya, guru di sekolahnya pun sama bangganya karana ria selalu mendapatkan

Expelled

Oleh:
Semua yang ada di sekelilingku hanyalah warna hitam. Ruangan yang hampa dan tanpa ujung. Hanya ada aku. Waktu pun juga tidak jelas. Siang kah? Atau malam? Pukul berapa sekarang?

Nino’s Story

Oleh:
Seperti biasa, Nino menyapa siapa saja yang dia lihat saat akan menuju kelas dengan senyum yang lebar. Dia memang sosok yang ceria dan ramah. Idola di sekolahnya. Sangat sempurna,

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *