Marshmallow (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 23 August 2017

“Daaarr!!”. Awas sayang jangan ke sana, kau bisa terluka!”
“Cepat cepat!! carilah tempat sembunyi!”.
Saat itu kulihat ibu berlari memasuki satu ruang bawah tanah, tak salah lagi tempat persembunyian terbaik sekaligus tempat menyimpan barang tak terpakai.
“Hei hentikan! berani kalian menyakiti mereka, aku yang pertama akan memenggal kepalamu. Diam kau, krakkk!”. meja panjang di pojok ruang dekat pintu tepat diarahkan kuat oleh orang itu mengenai tubuh ayah. Tak ada lagi yang bisa kupikirkan hanya bagaimana caraku melindungi ayah. Kostum serba gelap dengan ransel hitam berbahan kulit berhasil meluluhlantakkan semua perabot rumah sekaligus mengacaukan perbincangan hangat kami disore hari.

Samar-samar kudengar isakan tangis ibu dari dalam gudang, aku menuruni tangga untuk memastikan salah satu anggota keluargaku masih cukup kuat jika kubawa lari.
“Kumohon jangan, jangan, aku masih harus melihatnya tumbuh dewasa dan bahagia bersama mimpinya. Biarkan aku melihat putriku untuk yang terakhir kalinya”.
Terdengar walau hanya samar, tawa kecil meremehkan. Aku tak mau lagi melihatnya seperti kakek, aku harus melihatnya walau hanya sebentar. Entah kusadari atau tidak, sejak dari anak tangga pertama sampai hampir sampai, pipiku cukup lembab, perlahan tetesan air ini mengalir hingga leher, aku tak kuasa menjaga mataku dari air yang memenuhi pandanganku.
“Ayah!” terkaku aku dalam beberapa detik, bibirku bergetar, seluruh tubuhku menggigil, tak ada yang bisa menolonngku saat ini. Benar, aku seorang diri, menyaksikan orang yang kucintai terkulai lemah dengan pisau tajam menancap di perutnya.
“Apa kau menangis?, ayah hanya ingin melihat kau tersenyum saja nak, itu sudah cukup”.
“Bagaimana aku bisa tersenyum, sedang kau penuh bersimbah darah”, aku menyayangimu ayah, dan aku ingin melihatmu bangga saat aku tumbuh dewasa, kau tidak ingin melihatku bersanding dengan laki-laki yang akan menggantikanmu menjagaku nantinya …”
“Berjanjilah nak atas ucapanmu, dan tolong jaga ibumu”.
Tampak mereka berlarian kesana kemari, seakan menjauh dari tempatku dan ayah saat ini berada.

“Aw, aahh sakit, ayah tolong aku, aarghhh”. Tiba-tiba saja dari belakang pisau menyobek lengan kiriku, kulihat darah menetes derah jatuh ke kakiku, ini sakit seperti rasanya tanganku mau putus.
“Candy, cepatlah pergi, sebelum …”. Belum selesai ayah memperingatkanku, “BOOMM”, semua di ruangan itu penuh kobaran api, tapi ayah masih terjaga. Sebisa mungkin dengan satu tangan bercucuran darah kuraih dan kugenggam telapak tanganya, sepertinya ia juga mengerti apa yang kulakukan. Kedua telapak tangan kami terulur. Namun tuhan memisahkan kami dengan cara yang tak kusukai. Ia terlalap api, dan menghilang.
“Ayaaahh, hiks hiks hiks …”

“Plakk”, dunia tidak sekejam ini, ya I know pasti karena capek bersih-bersih semalam, aku bertemu pagiku dengan kepentok tepi meja, huftt.
“Minumlah susu hangat itu, lalu ikut ayah mengantar pesanan!”
Tak ada telur mata sapi kah?, okee, sepotong singkong rebus dan segelas susu mungkin cukup mengganjal perutku yang malang ini. Kusambar jaket tipis berwarna krem, sambil kutenteng patung miniatur menyerupai tugu, hasil kerja semalaman ayah. Kadang aku bisa sedikit bangga, mengatakan pada temanku, ayahku adalah seorang seniman ukir, walau kenyataanya ukiran ini hanyalah sambilan, usianya memaksanya untuk berhenti bekerja.

Perjalanan jauh yang melelahkan, memaksaku berteduh sejenak di bawah pohon, menikmati hilir mudik semilir angin, kicau burung yang entah dimana tuannya, dan sebungkus marshmallow rasa strawberry cukup memanjakanku.

“Gadis sepertimu sangatlah langka menyukai tempat seperti ini”, seorang pemuda berkulit sawo matang, dengan kemeja biru flanel kotak-kotak dengan kaos putih polos didalamnya, dan jeans gelap sepadan dengan warna sepatunya tiba-tiba memulai pembicaraan denganku.
“Memang layaknya sepertiku harus berada di mana?”, balasku sedikit sinis.
“Ini tempat dimana petani dan anaknya bercengkrama, bermain, dan …”
“Kau ini siapa? dari mana asalmu? jelas dari penampilanmu kau bukan orang sini. Dan kalaupun turis, pasti nyasar kalau sampai sini”, belum sampai selesai aku sudah menyambar omongannya.

Terdiam bebererapa menit tanpa suara apapun, namun bagi seorang yang sedang menunggu jawaban ini terasa lama. Kami duduk bersampingan, bersandar di pohon yang entah apa namanya ini, cukup rimbun dan teduh, cukup untuk menidurkan para petani yang kelelahan.
“Baru kali ini kulihat laki-laki bawa buku diary ke mana-mana”, aku memulai perbincangan.
“Aku sedang mencari nenekku, apa kau tahu seorang nenek bernama Nimar, yaah usianya sekitar 75 tahun, dan sering menaruh jepitan rambut perak di atas kepalanya?”
“Kau pikir aku ini mata-mata, mengenali ciri-ciri setiap nenek-nenek yang tinggal di sini bahkan hingga umurnya sekalipun. Mereka semua berpenampilan sama di sini, tak ada yang seperti nenekmu itu”
“Cukup katakan tidak tau saja, kenapa musti ngomong seperti itu. Percuma tanya padamu, jawaban yang tak enak didengar”. Mungkin raut mukaku bak singa saat ini, dengan menahan emosiku untuk tidak marah dengan orang asing. Kutinggalkan dia, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“oh No! arghhhh”
Kupalingkan pandanganku dan, oh tidak, ular besar melata setelah meninggalkan dia.
“Tenanglah, kunyah ini, dan diam saat kutempelkan daun ini di lukamu”
“Apa yang kau lakukan, aku tak butuh kau”
“Tak apa tak butuh bantuanku, tapi suatu saat orang lain akan menyesali kepergianmu”
“Apa kau bilang? aku belum mau mati, lagipula aku tak sakit keras, aku sehat dan cuman sedikit luka”
“Bangunlah! Letakkan tanganmu di pundakku, usahakan untuk pegangan kuat”. Dia bengong, menatapku dengan pandangan aneh. “Ayolah aku kita punya waktu lagi, cepat atau ular itu akan menelanmu hidup-hidup”. “Kurasa ini cukup membantu, setidaknya bisa itu tak lagi menyebar ke seluruh tubuhmu”

Baru tiga langkah ku mengarah keluar meninggalkannya, aku teringat dan berbalik. “Oh ya kau harus banyak minum, ini akan sangat membantu penyembuhanmu”
“Apa tempat ini aman untukku”
“Sejauh ini tak ada yang tau tempat ini, kecuali aku dan…, yaa orang yang kukenal lainnya”.

Senja yang menyapaku dengan semburat jingganya, disuguhkan atraksi cantik ombak bertarung dengan karang, membawa ku kemasa dimana kami bisa tertawa, berbagi cerita, dan melakukan hal konyol bersama, yang kini hanya bisa kukenang. Seakan tak pernah datang lagi keceriaan, pelukan kasih sayang, hanyalah segenggam rindu yang kubawa hingga hari ini. Berat menjaga kepercayaan ini terhadap mereka, kesetiaan palsu yang dipamerkan, ketika masih bersama, ego diutamakan tanpa terpikir suatu saat kita harus bersatu kembali.

ADVERTISEMENT

Sebait puisi yang menggambarkan perasaanku saat ini, ibu pergi meninggalkan aku dan ayah, dan “dia” yang kabur tanpa kabar sedikitpkun. Demi cinta pertamanya, ibu khianati ayah dan pergi menjauh memulai hidup barunya, apa dia tak ingat janjinya menjagaku dan ayah jika salah satu dari kami harus pergi meninggalkan semesta ini. Kututup bukuku dan kuselipkan penaku diselanya, ayah pasti mencariku, entah sudah berapa lama aku terdiam disini.

“Hei kauu! Tidak lihat yaa, ada set di sini, dan kau mengacaknya seakan kau ini atasanku haa!”
Ups, aku tak sengaja menginjak daun-daun yang berserakan ini, dan kakiku harus menyampar lilin-lilin ini. Oh tuhan, bagaimana kalau dia marah dan memintaku tanggung jawab, oughh. “Ini apa, kupikir sampah, salah sendiri tak diberi tanda yang mengatakan kalau ini setmu”
“Marshall. Seorang fotografer, dan kakakku seorang pengacara, jadi siapapun yang mengusikku, aku akan ..”
“Menuntutku? Coba saja kalau berani” kurasa tak perlu berlama-lama menanggapi orang ini”
“Braakk..” “deg-deg-deg” “aku tak sempat jatuh menyentuh tanah, orang ini memegang pinggangku. Erat, sangat erat. Nafasnya harum, sejuk, seakan memaksaku memejamkan mata, merasakan sentuhan tangannya. Namun mata ini ditahan oleh tatapan, tatapan apa ini? entahlah, tubuh ini terkaku dengan keadaan tak seimbang, hanya bertopangkan tangannya di pinggangku. Segera saja dia melepaskan begitu tersadar. Ah aku mulai terbawa dalam imajinasi sesaat.. “Apa apaan kau ini, sembarangan saja menyentuhku tanpa ijin”
“Kalau tidak kupegang kau bisa jatuh, kau yang tidak liat ada drum sebesar itu bisa-bisanya kau tabrak”
“Oh, aku tak melihatnya”
“Lalu kenapa kau pejamkan matamu, apa kau kira aku akan menciummu?”
“Aaaa” karung seorang pemulung mendorong tubuhku dari arah belakang, dan aku tersungker ke depan, tepat di pelukannya. Bibir kami hanya berjarak sekitar satu senti, tatapan kami bertemu, entah seperti ada magnet di antara kami, sadar atau tidak di momen ini kami tak bisa keluar. Oh tuhan, jemarinya mulai mengarah ke poniku, dan ..
“Tidak pantas sesama orang asing berpelukan dan berciuman di tengah jalan, dan ini belum tengah malam”
Aku segera melepas tanganku dari lengannya. Apa yang sudah kulakukan barusan. Aku jadi sedikit canggung, gugup, hei candy whats wrong with you?
“Tunggu, jangan lari dulu, kita masih ada urusan, kau harus mengganti kerugianku atas setku, dan”
“kring kring …” , “tetap di sini!”

Raut mukanya saat menerima telepon sepertinya tidak enak, sedikit marah, dan ada semburat kekecewaan di sana.
“Modelku tak jadi datang, beruntungnya kau tak harus mengganti ini semua. Sebagai gaantinya, kau, temani aku minum kopi. Ikuti aku tak jauh dari sini”
“Kenapa aku?” tanganku langsung ditarik mengikutinya.
“Hei, sebenarnya tadi aku memejamkan mata karena kaget saja, tidak ada maksud lain, dan jangan kau kira aku senang kau peluk”
“Aku mencari seseorang, apa kau mau bantu untukku?”
“Apa untungnya aku membantumu?”
“Jika kau membantukku, aku tidak akan pernah menganggap bahwa kau nyaman menikmati hembusan nafasku, ingin lebih lama kupeluk, dan berharap aku menciummu”
Astaga, kenapa dia tau, apa dia bisa baca pikiranku, kalau iya toh dia tak bisa dengan detak jantungku tadi.
“Apa kau tadi deg-deg an?. oh lupakan, jawab saja mau atau tidak?”
Oh tuhan, bahkan orang ini bisa merasakan apa yang kurasakan “ee, oke. Apa yang haarus kulakukan?”
“Cari gadis yang sering lewat sawah di selatan desa, dan cari tau namanya, oh ya dia bahkan tau cara merawat dengan baik orang yang tergigit ular. Beri tau aku alamat atau nomor kontaknya. Maka kujamin kita tidak bakal ketemu lagi” Dia lalu pergi.

Cerpen Karangan: Annisa Larasari
Facebook: Annisa Larasati

Cerpen Marshmallow (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Kita dan Luka

Oleh:
“lalu, bagaimana denganku, masih bisakah aku percaya. Menurutmu masih bisakah aku percaya?” ia diam terpaku di sudut ruang sunyi itu. Sakit, sesak, namun aku berusaha mengendalikan diriku, karena aku

Diary Deskripsiku

Oleh:
Entah siapa dia. Namun indah saja jika menatap wajahnya. Ayu dan menyejukkan pandangan. Entah secerdas apa seniman yang telah membentuk wajahnya. Kedua matanya sendu dan agak sipit, namun sorot

Bukan Keinginanku

Oleh:
Aku mengintip di balik pintu kamar. Kuperhatikan wajah laki laki itu nampaknya dia orang kaya dan terpandang. Aku rasa dia tinggal di perkotaan dari cara berpakaiannya sangat berbeda dengan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *