Matahari Inara

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Cinta Romantis
Lolos moderasi pada: 13 June 2013

Pernahkah kamu merasakan hidup yang tak sebenarnya hidup? Dimana tubuhmu masih mampu berdiri tegak, dan kakimu masih menapak tanah – tapi sukma entah melayang ke mana. Detak jantungmu berdenting palsu, nadimu tak sungguhan berdenyut, darah hanya pura-pura mengalir, dan sistem pernapasan hanya menjadi teori.
Kemudian tanganmu yang senyatanya sedingin es di kutub utara, harus menyalami tangan-tangan yang berharap mendapat sambutan uluranmu. Bibir pucatmu di tuntut untuk terus tersenyum pada wajah-wajah baru yang pagi ini membuka harimu, pada – sekolah baru.

Papa memisahkanku dari orang-orang yang begitu kucintai dan mencintaiku. Papa telah menghapus separuh dari rajutan mimpiku. Tapi bagaimanapun juga jalan ini sudah terlanjur ku ambil. Aku telah memutuskan mengikutinya ke kota budaya – Surakarta.

Baiklah, aku cukup bahagia karena keputusanku membuahkan senyum manis di bibir beliau.
“Kamu belum mendapat teman?” Tanya seseorang. Suaranya sangat asing di telinga.
“Maksudmu?”
“Ya.. maksudnya… kenapa sendirian gitu di sini? Kamu murid pindahan dari Tangerang, kan?”
“Iya, benar. Aku memang pengen sendiri aja. Membaca berteman kesunyian itu lebih menyenangkan.” Jelasku.
Lelaki itu tersenyum, lalu duduk di kursi depanku.
“Tapi menurutku, kamu tidak sedingin ini sewaktu di Tangerang.” Ungkapnya.
Aku tercekat oleh komentarnya yang sangat tepat. Dia seperti memanah udara namun anak panahnya meluncur dan menancap tepat pada perut kidang emas.
“Kamu terlalu percaya diri melontarkan komentar itu.” Cetusku lalu pergi meninggalkannya.

Sore ini kuputuskan untuk beranjak dari rumah. Sebenarnya Papa melarang karena aku belum hafal daerah ini. Tapi karena kesuntukan yang menimpuk bertubi-tubi akupun nekad untuk keluar rumah. Mumpung Mama sedang reuni dengan sahabat-sahabatnya entah di mana, dan Papa tidak ada di rumah – untuk apa aku berdiam?

Buku gambar tebal seukuran buku tulis, pensil, serta drawing pen telah ku kemas dalam tas, dan handphone kumasukkan ke saku celana. Akupun meluncur dari rumah.

Keasrian Kota Solo sedikit menghidupkanku. Ada sepercik nyawa yang masuk dalam tubuhku. Aku harus percaya, bawa kebahagiaan akan kutemukan di sini. Akan ku jemput cahaya yang kini masih bersembunyi di balik debu-debu memori. Mungkin cahaya itu masih engan menampakkan diri, karena hatiku sendiri masih tertutupi kabut tebal yang belum mampu mencintai cahaya.

Aku berhenti di seberang Pasar Ngarsapura. Kursi yang melingkari pohon asam itu menarik tubuhku untuk mendudukinya. Keunikan Pasar Ngarsapura sukses menyita segenap perhatianku. Pensilpun mulai memanggil-manggil untuk segera kugoreskan pada kertas.
“Kamu hobi menggambar juga?”
Kali ini suara itu tak asing lagi di telingaku. Hanya saja aku lupa – pernah mendengarnya kapan, dan di mana.
“Kamu lagi?” Heranku begitu melihat laki-laki berkalung kamera – yang beberapa waktu lalu mengusik ketenanganku di perpustkaan, kini berada di depanku.
Dia terkekeh mendengarnya. “Ini kotaku. Jadi, ya, wajar kalau kamu terus menemuiku di sini.” Jawabnya santai.
“Tapi Solo kan luas. Kenapa tetep aja aku harus ketemu kamu?” Balasku.
Tanpa permisi, dia langsung duduk di sebelahku. Matanya menyapu seisi jalanan, kemudian melirik buku gambarku.
“Coba aku tanya sama kamu.” Katanya. “Kenapa pensil ini kamu goreskan pertama kali di sini?” Tanyanya sambil menunjuk lengkungan yang baru saja kubuat.
“karena aku pengen mulainya dari sini.” Jawabku.
“Supaya?” Tanyanya lagi.
“Supaya dapet hasil yang baik lah.”
“Nah, mungkin Tuhan juga demikian bila kita tanya, ‘Mengapa detik ini kami harus dipertemukan di sini?’ ” Jelasnya sambil mengangkat kamera.
Senyumkupun akhirnya merekah karenanya. Kali ini bukan senyum pura-pura. Aku suka dengan caranya mengumpamakan. Entah mengapa, kesejukan sorot matanya begitu cepat ku tangkap.
“Kamu suka matahari?” Tanya lelaki itu. Aku tertegun.
“Tau dari mana?” Aku balik bertanya.
“Menebak saja. Setauku, kamu penulis novel ‘Aku dan Matahari’. Dari tulisanmu – bisa dirasain kalau begitu menyukai matahari.” Jelasnya. “Kamu Inara Sabrina, kan?”
Untuk ke-sekian kalinya ia membuatku tertegun. Kali ini ada dua hal sekaligus yang membungkamkan bibirku. Satu, dia membuatku ingat bahwa aku pernah mencintai cahaya. Dua, novel yang hanya kuterbitkan self publishing dengan promosi yang jarang di guris – bisa sampai ke tangannya?
“Kamu jangan gampang bengong gitu dong!” Tegurnya sambil menyikut lenganku.
“Eng, kamu tau novelku? Loh, itukan novel yang langsung terbenam setelah tebit.” Ujarku dengan suara berat.
“Novelmu itu bagus, aku suka dengan caramu bercerita. Kamu kurang berani saja mengirimnya ke penerbit ternama – padahal aku yakin novelmu bakal diterima.” Tuturnya.
“Kamu yakin?” Tanyaku lirih.
“Sangat yakin.”
Laki-laki itu bangkit dari duduknya. Ia memotret sudut-sudut yang memancing perhatiannya.
Kalau di pikir-pikir – dia hebat juga. Selain pandai membuatku terbengong-bengong, di juga paling bisa membuat otakku tak lagi kritis untuk berdebat.
“Pulang yuk, keburu gelap. Oh iya, besok pulang sekolah – kamu ikut aku ya.” Ujarnya.
“Kemana?” Tanyaku.
“Ke suatu tempat. Percaya aja sama aku.”

Sampai sekarang, aku belum tau siapa nama laki-laki pembawa kamera itu. Kami tidak satu kelas, dan aku bertemu dengannya hanya pada saat pulang – dimana aku tidak dapat membaca nama dada yang sudah tertutup jaket.

ADVERTISEMENT

Ternyata dia membawaku ke sanggar melukis milik kakaknya. Seperti yang ia katakan di sekolah – banyak ruang yang dapat di lukis di sini. Sepertinya aku lebih betah berada di sini daripada di rumah, terutama bila dengannya.
“Kenapa kamu suka matahari?” Tanyanya sembari mengajakku duduk di ayunan pinggir sungai.
“Karena matahari selalu memberi tanpa pamrih.” Jawabku dengan menyuguhkan senyum kecil. “Ia berikan sinarnya untuk kehidupan manusia, kemudian ia bagikan pula untuk rembulan.” Tambahku.
“Setuju.” Ucapnya sambil manggut-manggut.
“Oh iya, aku belum tau siapa namamu.” Kataku.
“Namaku sama seperti tokoh laki-laki di novel pertamamu, yang akhirnya mendapakan cinta Ratih.”
“Aditya?” Tanyaku dengan mulut menganga.
“Iya. Matahari.” Jawabnya lalu tertawa renyah – sangat renyah dan sejuk di celah gemuruh aliran air sungai. “Panggil saja Adit.” Lanjutnya dengan senyuman.
Bila detik ini aku diberi kanvas, akan kulukis wajah manisnya. Atau kalau boleh kurampas kameranya, tentu langsung kupotret wajah itu.
“Mau melukis yang sebelah mana?” Tanya Adit.
“Sebelah sana. Pantulan sinar mataharinya bikin jatuh cinta.” Jawabku bersemangat.
“Tidak boleh. Aku juga mau memotret sebelah sana.” Larangnya.
“Ya sudah, silakan di potret. Aku tidak akan mengganggumu.” Ujarku. “Masa sih, seorang Aditya berebut sinar matahari dengan dengan Inara?”
Adit tergelak, kemudian melangkahkan kakinya menjauhiku.

Nama yang dia punya tak jauh berbeda dengan sosoknya. Dia sama seperti matahari. karena tanpa kusadari – dia telah menyinari labirin-labirin hatiku yang telah cukup lama kujauhkan dari cahaya.
Bila suatu hari dirinya utuh menjadi milikku, aku akan memonopoli sinarnya. Sinar terangnya – hanya aku yang boleh mempunyai. Sedangkan berkas-berkas tipis lainnya – kuikhlaskan untuk dimiliki siapapun. Mengapa aku berpikir sampai situ?

Siapa yang mengira bahwa waktu yang selama ini kucaci karena berjalan tertatih-tatih, kini kembali kucaci karena kecepatannya melangkah. Kurasa, kali ini waktu keterlaluan dalam berputar!
Kupikir tidak akan ada lagi bahagia yang kutemukan setelah Papa memindahkanku kemari. Kupikir aku tidak akan bisa lagi melukis apalagi menulis. Tidak ada inspirasi. Kupikir aku akan pensiun dari seorang pemimpi karena ketakutanku sendiri. Kupikir aku tidak mungkin bisa kembali melihat cahaya sebagaimana mestinya. Dan kupikir, tubuhku akan mati dibekukan sang waktu.
Nyatanya? Kenyataan terpapar karena Aditya.
Dialah orang pertama yang mempertemukanku dengan bahagia di tempat ini. Dia kekuatanku dalam melukis dan menulis. Bukan sekedar inspirasi. Dia yang membuatku tak pernah takut untuk bermimpi. Dia pula yang membuatku bisa kembali melihat cahaya – lebih dari sebagaimana mestinya. karena adanya dia dalam alur kisahku – ingin kubekukan waktu.

Kini 6 bulan telah berlalu. Sampailah aku dalam libur semester pertama di sekolah baruku. Selama inilah aku mengenal Adit. Memang baru sebentar, namun udara yang tak nampakpun tau bahwa telah banyak makna yang kudapat dari mengenalnya.
Tapi tetap saja aku tidak tau – apa makna hadirku dalam segi kehidupannya. Sebatas objek yang menarik perhatiannya untuk di potret kemudian di tinggal?
“Tiga puluh menit lagi kita sampai di Jogja.” Ujar Adit memecah kesunyian.
“Jangan ada yang ketinggalan di kereta.” Pesanku, dia mengangguk.
“Ra, kamu tetep punya hati nurani kan?” Tanyanya membuatku tercekat. “Jangan bikin aku kere di Jogja, ya. Ngerjain orang ulang tahun harus tetap menggunakan perikemanusiaan!”
Aku tergelak mendengarnya. Adit memang sedang berulang tahun hari ini. Tepat dengan liburan sekolah. Ketika dia tanya aku minta di kasih pajak ultah apa, aku minta liburan ke Jogja. Dan di luar dugaanku – dia menurutinya.
“Ngga janji, Bos!” Godaku. Adit tersenyum kecut.
“Oiya, Ra. Inara itu artinya apa?” Tanya Adit tiba-tiba.
“Emm, Inara itu gift from heaven.” Jawabku.
“Waw. Kamu tau?”
“Apa?”
“Hadiah dari surga merupakan sesuatu yang benar-benar istimewa, Ra! Dia butuh cahaya matahari untuk menerangi dan menghangatkannya! Dia harus jatuh pada seseorang yang benar-benar berhak memilikinya!” Tutur Adit penuh antusias. Suaranya begitu lantang – membuat seisi kereta menoleh ke arahnya.
Aku tidak menyangka bahwa ia bisa menirukan gaya berceritaku ketika memaparkan setiap imajinasi yang baru saja hinggap. Kupikir hanya orang-orang konslet yang tidak malu memaparkan khayalan di depan umum dengan suara lantang. Rupanya orang normal yang tak lain merupakan idola adik-adik kelas – tak malu melakukannya. Atau mungkin dia sudah tertular kekonsletanku?
“Bagaimana kalau seseorang yang berhak mendapat hadiah itu adalah matahari yang selama ini menyinari dan menghangatkannya?” Tanyaku lirih.
“Memang itu yang kuharapkan.” Jawabnya cepat, tetap lirih dan tenang.
“Lalu?” Tanyaku.
“Kamu harus mau untuk selalu kusinari dan kujaga.”
“Harus mau?”
“Jangan banyak tanya, Inara! Kamu mau kan?”
Aku kembali tergelak melihat rautnya. Tiba-tiba wajah Adit memucat, dan keringat bercucuran. Tangannya mencengkeram kuat sisi kamera.
Kukeluarkan kado berbalut kertas warna merah. Kuangkat perlahan tangan kanannya – kemudian kuserahkan kadoku.
Perlahan ia buka kotak yang kuberikan. Ia kaget begitu melihat novel dengan cover berukir namaku.
“Sejak kapan kamu mulai menulisnya?” Tanya Adit.
“Ah itu ngga penting. Sekarang kamu buka epilognya. Ada dialog yang memang aku sampaiin buat kamu di sana.” Kataku, diapun menuruti.
Ia buka halaman akhir, lalu kutunjuk dialog yang kumaksud.
“Mama bilang, cewek ngga boleh beliin barang macam-macam buat cowok. Jadi aku bikin sendiri hadiah ini buat kamu. Selamat ulang tahun, ya. Selama kamu tetap menjadi dirimu yang sekarang ini, akupun tetap menjadi milikmu. Selalu.”
Adit menutup cepat novel itu. Ia balikkan badannya ke arahku. Jantungku berdegup kencang. Kereta api serasa bergoncang dahsyat. Dia sukses membekukanku detik ini.
“Aku serius dengan ucapanku tadi. Kamu juga serius dengan dialog yang tertulis di sini, kan?” Tanya Adit, matanya terlihat penuh harap.
“Kalau kamu serius, tentu aku juga serius.” Jawabku mencoba tetap tenang.
Mata Adit seketika berbinar. Kali ini sosoknya benar-benar bersinar. Melebihi sinar matahari di luar sana. Dan sinar itu telah menjadi milikku sekarang!
“Nanti begitu sampai di Stasiun Tugu, aku bakal teriak kalau aku berhasil dapetin Inara!” Cetusnya.
“Jangan! Kamu mau bikin malu aku?” Kesalku.
Adit hanya diam memandangku yang sedang bersungut-sungut. Tiba-tiba ia angkat tanganku dan hampir saja menggigitnya. Cubitanku mendarat sempurna di lengannya. Kamipun larut dalam tawa lepas di antara terpaan sinar matahari dari balik jendela kereta.

Cerpen Karangan: Widyadewi Metta
Blog: wdymetta.wordpress.com

Cerpen Matahari Inara merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


In Paris In Love

Oleh:
Mayeka afra canetta, gadis cantik yang menyandang kata “cacat” namun prestasinya luar biasa hebatnya ini sedang berlibur di paris, perancis yang biasa di sebut kota cinta, di sebuah villa

Kesempurnaan Milis

Oleh:
Bukankah kita tahu bahwa kesempurnaan hanya milik sang pencipta. Setidaknya itu yang ada di pikiran orang lain, selain sumbu. Sumbu yang ceroboh telah jatuh cinta pada milis yang sempurna.

Akhir Sebuah Penantian

Oleh:
Semua kejadian itu masih terus berputar dalam ingatanku. Seolah menjadi film, yang dapat kuputar begitu saja. Aku sama sekali belum lupa, sama sekali. Waktu itu mendung menggelanyuti kota dimana

Kenapa Aku?

Oleh:
Sore itu, langit terlihat sangat gelap padahal waktu masih menunjukkan pukul 16:00, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Aku masih berdiri di depan halte, menunggu angkutan umum lewat. Hai

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

21 responses to “Matahari Inara”

  1. imel says:

    aku suka cara kamu bercerita, kata-katanya bagus dan ngak berlebihan. Cerpennya bagus aku suka 🙂

  2. resa sukia says:

    dukung deh kalo dibuat novel sekalian 🙂

  3. Karla Monica says:

    Nice! 🙂 Kata2 bermajas nya bener2 nyambung sm cerita

  4. Humaidi Achmad says:

    Satu kata. Amazing ^O^

  5. Nanda Effelin says:

    ayaa keren bangeet ceritanya!! sukses terus yaa nulisnya 🙂

  6. erika andini says:

    bagus kak 🙂 ditunggu cerpen selanjutnya ya 😀

  7. rasta says:

    best sangat :-$ di tunggu kriman sLanjutnya

  8. Tyasputri says:

    Bgs ceritanya..

  9. DAN says:

    Wah…paling telat nih aku, baru baca sekarang. Tapi bagus sekali ini cerita… Nice!!!

  10. bastilagab says:

    Suka bangeeet sama cerpennya. cara ngelukisin kondisi sekitarnya jagoan. Ceritanya easy reading tapi udah ngena banget. Gimana sih kak cara ngelukisin kondisi.sekitar? Kok bisa sejago itu? 😀

  11. ezza says:

    sudah terlalu banyak yg bilang bagus. nice ajalah….
    Widyadewi Metta; kayaknya kita sering ketemu meski lewat imajinasi.

    *)

Leave a Reply to DAN Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *