Menepis Rindu di Leicester Square
Cerpen Karangan: Amarta ShandyKategori: Cerpen Cinta, Cerpen Romantis
Lolos moderasi pada: 23 May 2017
“Kau tidak pergi?”
Clare menggeleng sebagai jawaban. Dominic mendesah pelan. Clare sudah berada di jendela terbuka Ruang Duduk sejak 2 jam lalu. Dia tidak memperhatikan apapun. Juga tidak menunggu siapapun. Lebih bodoh lagi dia tidak melakukan apapun.
“Aku akan berbelanja sedikit. Kau tak apa di rumah sendirian?” Tegur Dominic lagi.
Clare menganggukkan kepalanya.
“Kau ingin sesuatu? Aku akan membawakannya untukmu.”
Kali ini gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Kau mau aku menyuruh Wyath menemanimu di sini?”
Clare menggeleng lagi.
“Bagaimana jika Skyler yang kuminta datang?”
“Mr. Wincles, aku tak apa di sini.” Sahut Clare tanpa menoleh. Sahutan pertama yang didengar Dominic sejak 2 jam lalu.
“Bagus. Sekarang aku yakin kau memang baik-baik saja. Apa aku masih harus mengkhawatirkanmu untuk hal lainnya?”
Clare menoleh langsung menatap Dominic. Sorotan matanya terkesan mengatakan “kau ingin bertanya apa lagi?”. Atau mungkin ingin mengatakan “apa aku terlihat seburuk itu?”.
Dominic mengulum senyum melihat Clare menatapnya lekat. Seolah-olah si pirang itu sedang mengawasi rute perjalanan seekor semut yang tak sengaja berkeliling di pakaian Dominic.
“Baiklah, baiklah. Kau memang baik-baik saja. Haruskah aku mengunci pintu dan semua jendela sebelum pergi?”
Clare menghela napas panjang lalu kembali menumpukan dagunya di bibir jendela.
“Kecuali jendela itu, kurasa aku memang harus menutup semuanya.” Kata Dominic menyimpulkan sendiri. “Aku tak akan lama. Jika kau membutuhkan sesuatu, katakan sekarang atau tidak sama sekali.” Kata Dominic sambil mengenakan mantelnya.
“Aku ingin Derrick.” Ucap Clare pelan.
“Ya, aku tahu. Kau sudah mengatakannya ratusan kali sejak pagi ini.” Sahut Dominic cepat. “Ada yang lain?”
Clare tidak menyahut. Dia sudah tahu jika yang diinginkannya tak mungkin akan terpenuhi. Derrick tak akan kembali. Laki-laki itu sudah mengatakannya sebelum keluar dari daratan Inggris akhir musim lalu. Inggris adalah bencana bagi Derrick. Seharusnya bagi Clare pula namun Clare memilih bertahan.
“Kenapa kau tidak kembali ke kamarmu dan belajar untuk ujianmu? Kau tak akan punya banyak waktu belajar saat musim dingin.” Bujuk Dominic sedikit melembut.
Clare diam sejenak. Matanya tidak terarah kemanapun. Di depan matanya hanya ada dinding pembatas rumah keluarga Spencer. Sejujurnya tidak ada yang bisa diperhatikan. Atau setidaknya menarik untuk diamati. Clare menundukkan kepalanya menyembunyikan matanya yang berair.
“Aku merindukan Derrick.” Keluh Clare berat.
“Tidak. Kau kehilangan Derrick.” Sahut Dominic.
“Aku merindukannya!”
“Clare, kau…”
“Mr. Wincles, bukankah kau harus berbelanja untuk persiapan musim dingin? Kau tak mungkin berjalan dengan mata berkabut karena gelap.” Potong Clare.
Dominic tidak menyahut. Dipandanginya punggung gadis yang membelakanginya. Dia iba dengan Clare namun juga tak bisa menyalahkannya. Clare bersikap sangat tenang dan sedikit bicara sejak Derrick pergi ke Rusia. Kepergian Derrick bukan satu-satunya alasan keterdiaman Clare. Dia sakit hati karena hubungannya dengan laki-laki berdarah Rusia itu harus berakhir dengan cara yang tidak menyenangkan. Bukan salah Clare, juga bukan salah Derrick. Dominic tahu perpisahan mereka adalah salah keduanya, bukan salah satu dari keduanya.
Dominic meraih mantel yang tergantung di dinding. Jika Dominic belum keluar, Clare tidak pernah berani meneteskan satu saja buliran air matanya. Dia tidak ingin dianggap lemah karena menangis. Clare adalah gadis paling membingungkan bagi Dominic. Sikapnya yang dingin seakan-akan lebih dingin dibanding cuaca akhir musim gugur ini. Dia kaku, di depan Dominic, namun juga rapuh seperti kayu, terlebih lagi saat dia tak menyadari Dominic mengintipnya dari celah pintu.
“Menangislah atau ikut denganku.” Kata Dominic melemparkan mantel menutupi kepala Clare.
“Boleh kulakukan keduanya?”
“Tidak.”
Clare memilih menangis. Dengan tangisan pilu seolah hidupnya harus berakhir beberapa detik ke depan.
Clare memasukkan lotion ke dalam keranjang. Shower gel menyusul masuk sedetik kemudian. Masih ada pasta gigi dan mouth wash. Ketika dia akan melemparkan sabun pencuci piring ke dalam keranjang, tangan Dominic menahannya. Entah gadis itu sadar atau tidak dengan apa yang dimasukkannya ke dalam keranjang, tapi Dominic tahu semua barang yang dibawa keluar dari swalayan harus dibayar!
“Kau tidak membutuhkan shower gel. Aku tahu ada 5 jenis sabun dengan aroma berbeda di kamar mandimu. Kau juga tidak membutuhkan lotion untuk waktu yang lama. Kau tahu musim panas baru akan datang tahun depan. Dan pasta gigi ini…” Ucap Dominic meneliti pasta gigi yang dipilih oleh Clare, “…benda ini jelas tertulis untuk anak-anak usia 5 tahun.”
Clare menghela napas sejenak. Dominic membantunya mengembalikan barang-barang yang tak dibutuhkannya. Jika tidak ada Dominic, mungkin Clare pun akan lupa membawa barang belanjaan ke kasir.
Clare hanya bisa terdiam. Rasanya matanya mulai basah kembali tapi Clare bersikeras untuk tidak menangis. Dia memang sudah terlihat menangis di depan Dominic 2 jam yang lalu tapi kali ini Clare tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan publik.
“Aku membenci ibuku.” Cetus Clare mengiringi Dominic menuju kasir.
“Karena Derrick pergi?”
“Karena kau juga, Mr. Wincles.” Sahut Clare cepat.
“Aku memang bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris untuk pendatang asing. Tapi kau tak perlu memanggilku demikian. Terlebih lagi kau bukan salah satu muridku.”
Clare tidak menyahut. Masih ada seorang pria seusia Mathew, ayah Clare, yang berdiri di depan kasir. Tanpa terasa Clare meneteskan air matanya yang segera dihapus dengan cepat. Dominic merengkuh bahu gadis itu berusaha menyalurkan sedikit saja kekuatan.
“Kuharap kau tak keberatan sebentar saja kita pergi ke Leicester Square.” Ucap Dominic sambil melangkah maju ke depan meja kasir.
Angin berhembus semilir. Senja musim gugur menebarkan hawa dingin yang sanggup membekukan darah. Ramalan cuaca pagi tadi sepertinya salah lagi. Dikatakan suhu tak akan jauh dari 56 derajat Fahrenheit. Tapi hidung kaku Clare membuktikan bahwa temperatur udara sangat jauh di bawah itu.
Dominic memasangkan topinya di kepala Clare, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. Seulas senyum menenangkan tersungging di wajah Dominic tapi Clare tidak ingin terpengaruh. Dia kembali memalingkan wajahnya ke arah patung William Shakespeare yang semakin didekatinya.
Leicester Square senja itu tidak lebih menarik dibanding saat musim semi. Mungkin karena musim gugur nyaris berakhir dan akan segera berganti dengan musim dingin hingga kebanyakan orang lebih menyukai bergelung di depan perapian sepanjang hari. Meski demikian, London Hippodrome senantiasa penuh sesak dengan pengunjung. Restoran itu memang yang paling terkenal di Leicester. Melihat gedung itu, Clare menundukkan kepala menatap kakinya yang terus melangkah bergantian. Dulu Clare sering berkunjung ke tempat itu bersama Derrick. Sangat sering.
“Mr. Wincles, kau pernah menyakiti ibumu?” Tanya Clare tiba-tiba memecah kebisuan di antara mereka.
“Ya. Ketika beliau melahirkanku.” Jawab Dominic.
Clare termangu mendengarnya. Keduanya saling diam sejenak sampai Clare kembali bersuara.
“Derrick buta. Jika Ibu tidak mengusirnya dari rumah, kecelakaan itu tak akan terjadi. Jika ayah mengatakan ‘ya’ saat Derrick meminangku, kami akan hidup bahagia saat ini. Dan jika ayah tidak membentak Derrick dengan berbagai macam tuduhan maka pikiran Derrick tidak akan terganggu yang membuatnya…”
Clare tidak meneruskan ucapannya. Matanya kembali berair. Sekeras apapun dia berusaha menahan air matanya, Dominic sudah melihatnya. Udara dingin di penghujung musim gugur ini tak terlalu dirasakan oleh Clare. Rasa rindunya pada orang yang dikasihinya membuat hatinya hangat, memanas, tak perlu tungku api di Ruang Duduk.
“Seharusnya aku menikah dengan Derrick hari ini. Itu janji Derrick. Dia menyukai suasana di akhir musim gugur.”
“Umurmu masih 18, Clare.” Ingat Dominic pelan.
“Apa masalahnya? Aku sudah siap untuk itu.”
“Itulah sebabnya orangtuamu melarang kau berhubungan dengan Derrick. Selain karena umur kalian berbeda jauh, dia belum resmi bercerai dengan istrinya. Dan lagi anaknya…”
“Dia sudah berjanji bahwa dia akan segera menceraikan istrinya!” Potong Clare tegas.
Dominic menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya lewat mulut.
“Jadi kau merasa sudah melakukan hal yang benar dengan merindukannya saat ini?” Tanya Dominic berat.
Clare tidak menyahut. Langkahnya terhenti di dekat patung Charlie Chaplin. Dominic juga ikut menghentikan langkahnya, menduga gadis itu tersinggung dengan ucapannya.
“Ibu menangis saat aku memilih tetap di sini sementara Ibu kembali ke West Wickham. West Wickham tidak terlalu jauh, bukan? Dan lagi Derrick sudah pergi. Apa yang Ibu takutkan sebenarnya?” Ucap Clare seperti menggerutu.
“Ibumu sendirian.” Sahut Dominic. Lembut. Tenang.
“Aku juga sendirian.”
Dominic menggetarkan bibirnya hingga terdengar seperti penyanyi rap dengan suara vibra untuk lengkingan nadanya.
“Baiklah. Aku memang bersamamu sekarang. Tapi kau pun hanya mengunjungiku setiap akhir pekan.” Kata Clare meralat ucapannya.
“Karena aku tak mungkin menginap di bawah atap rumahmu.”
“Kau bisa!” Tukas Clare.
“Kau menyuruhku?” Tanya Dominic sedikit heran.
“Tidak. Tapi seharusnya demikian.”
“Kau kira mudah bagiku bertahan untuk tidak melakukan sesuatu padamu? Apalagi jika aku harus berada di atap yang sama denganmu selama sekian lama.”
“Kau menyebalkan, Mr. Wincles.” Dengus Clare. Dia menghampiri salah satu kursi taman yang kebetulan kosong setelah sepasang suami istri meninggalkan tempat itu.
“Kau mengatakan rindu pada Derrick setiap kali aku datang. Kau memanggilku Mr. Wincles sekalipun kau bukan salah satu dari murid asingku. Kau terus diam selama di rumah. Kau mengacuhkanku jika aku tidak memaksamu pergi. Kau membuatku berada di posisi sulit untuk melakukan sesuatu yang seharusnya bisa kulakukan. Kau menangisi laki-laki yang tak akan menunjukkan sehelai rambutnya padamu lagi. Bahkan kau melakukannya di depanku sepanjang hari. Siapa yang seharusnya berkata ‘kau menyebalkan’?”
Clare tidak menyahut. Dia menengadahkan kepalanya ke langit yang semakin gelap. Ramalan cuaca bodoh. Menurut ramalan, seharian akan cerah tapi kenapa awan hitam bergelayut di atas sana? Ataukah mata Clare yang bermasalah karena hanya ada Derrick saja yang terbayang di pelupuk matanya?
“Tempatmu di West Wickham. Oxford hanya menjanjikan kenangan buruk untukmu.”
Suara Dominic hanya terdengar seperti desau angin saja di telinga Clare. Dalam benak Clare sedang ramai oleh suara Derrick sejauh yang diingatnya sejak pertemuan mereka 2 tahun yang lalu. Dia telah melakukan banyak hal bersama laki-laki 38 tahun itu. Sayang sekali kedua orangtua Clare yang sudah bercerai tak pernah merestui hubungan kedua insan itu. Bahkan Mathew menyempatkan datang dari Indonesia hanya untuk menghujat kekasih Clare.
Clare merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Salju telah turun yang menjadi penanda musim gugur tahun ini benar-benar berakhir. Clare justru menangis mendapati musim gugur favoritnya sudah berakhir. Dia memang tak akan pernah memiliki kesempatan untuk bersatu dengan Derrick. Tak akan pernah ada pernikahan dengan laki-laki Rusia itu di penghujung musim gugur. Percuma saja menunggu musim gugur berikutnya karena Derrick tak akan pernah datang. Clare sudah tahu itu dan tangisannya semakin berderai. Dia ingin bertemu dengan Derrick. Bertemu saja. Seandainya bisa.
“Aku tidak ingin menghabiskan waktuku hanya untuk merindukan laki-laki yang tak akan pernah lagi memenuhi bayangan di retina mataku. Ini salahmu, Mr. Wincles.” Isak Clare saat Dominic berlutut di depannya dan memeluknya hangat.
“Maafkan aku.”
“Aku tidak butuh kata maaf darimu. Derrick mengucapkan maaf jutaan kali tapi dia tetap pergi.” Tukas Clare
“Rindukan aku saja mulai saat ini. Aku tidak akan meninggalkanmu seperti Derrick meninggalkanmu. Kau juga tak perlu menunggu pergantian musim gugur dan musim dingin. Aku akan menemanimu sepanjang musim berganti.”
“Kau yakin?” Tanya Clare sambil menghapus air matanya.
Dominic melepas pelukannya lalu menatap wajah Clare lekat.
“Kita sudah bertunangan. Apa yang kau takutkan?”
“Aku melepas cincin itu.”
“Aku masih memakainya. Itu artinya sudah 6 bulan aku selalu menahan rindu setiap sepekan karena berjauhan darimu. Seandainya kau tinggal di West Wickham dengan ibumu, aku yakin aku tidak akan terlalu susah menahan rindu hingga akhir pekan.”
“Kau sedang merayuku?” Tanya Clare meskipun dia sudah mulai luluh.
“Tidak. Aku selalu merindukanmu sekalipun kau merindukan lelaki lain. Aku tahu kau menerima pertunangan kita karena ibumu yang meminta. Tapi aku bertunangan denganmu karena aku memang menginginkannya.”
“Kau memang menyebalkan.”
“Kau tak bisa kabur dari rumah karena menjauhiku. Aku masih punya kaki untuk mengejarmu.” Ucap Dominic lagi.
“Mr. Wincles, kubilang kau menyebalkan.” Tukas Clare lagi.
“Kau harus memakai cincin tunangan kita. Buatlah hatimu hanya merindukanku saja dengan menatap cincin itu. Itu yang kau inginkan, bukan?”
Clare diam sejenak seperti berpikir. Diliriknya mata hijau Dominic yang menyorot lembut padanya. Laki-laki itu selalu berusaha menenangkan hatinya. Setiap kali gelisah, Clare menginginkan mata itu. Bayangan wajahnya tampak serasi di mata hijau Dominic dan hal itu membuatnya luluh. Hanya saja, Clare lebih sering mengingkarinya. Dia malu jika dia mudah diluluhkan oleh laki-laki berlesung pipi itu.
“Aku akan memakainya.” Ucap Clare membuat Dominic tersenyum lebar dan puas. Dipalingkannya wajah Clare kembali menatapnya.
“Kau akan disibukkan oleh kerinduan kepadaku mulai hari ini.”
“Kau menyebalkan, Mr. Wincles.” Ulang Clare berusaha menyembunyikan wajahnya yang tersipu.
“Terserah kau saja. Hanya saja, aku merasa sangat dingin saat ini. Aku ingin meminjam perapian di rumahmu untuk beberapa lama sebelum kembali ke West Wickham.”
“Lihat? Kau baru saja mengatakan tak akan pergi tapi kini kau…”
“Aku akan selalu kembali.” Sela Dominic sambil mencium kening Clare tiba-tiba, cara paling sopan untuk menutup mulut wanita.
Clare menghindar saat matanya beradu dengan mata Dominic. Wajahnya memerah karena malu, cukup untuk menghangatkan hidung yang nyaris membeku karena cuaca. Dominic membenarkan letak topi penahan dingin di kepala Clare lalu membimbingnya berdiri. Tidak ada penolakan berarti saat Dominic merengkuh bahu Clare dan membawanya berjalan cepat di bawah hujan salju. Mereka masih harus berjalan kaki selama 10 menit untuk tiba di Maddox Street, meninggalkan Leicester Square dengan salju pertamanya.
“Semoga Skyler segera datang untuk membuyarkan mimpi burukku. Aku tak akan keberatan dia membangunkanku dengan seember air dingin.” Desah Clare sembari menyandarkan kepala di bahu Dominic.
Dominic tersenyum. Rengkuhannya semakin rapat dan hangat, berusaha membuat gadisnya merasa tenang. Namun di sisi lain, Clare merasa lebih dari sekedar tenang dan nyaman. Kerinduannya sudah terbayar sempurna. Rindu pada seseorang yang menenangkannya di saat hati sedang resah.
Cerpen Karangan: Amarta Shandy
Facebook: /amarta.shaddy
Cerpen Menepis Rindu di Leicester Square merupakan cerita pendek karangan Amarta Shandy, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
An Apple In The Morning
Oleh: Agus PurnamasariSeperti biasa, setiap pagi aku duduk di depan kelas sambil sarapan sebuah apel. Orang tuaku adalah penjual buah-buahan. Setiap pagi aku harus membantu orang tuaku untuk membuka kios kecil
Lorong Thania
Oleh: Ilean FebiolaRintik hujan menemaniku.. Ya, perlahan aku berjalan di lorong ini.. Lorong cintaku bersama Thania.. Lorong yang mempertemukan kami, merajut kisah kami menjadi hubungan cinta dua orang remaja.. Dulu kami
28 Maret
Oleh: Fakta Putra B.Aku memang hanyalah seorang cowok yang tak bernyali besar untuk menatap matamu. Melihat wajahmu. Merasakan keindahan yang terpancar dari dirimu saat ini. Dan di sini, aku hanya bisa memandangi
Ketakutanku
Oleh: Alif Nur HidayatiAda ketakutan seiring harapan yang kubangun untuk bisa bersamamu Keraguan akan sempurnamu mampu memeluk kurangnya aku Karena cinta tak bersyarat tak kuyakini dalam sebuah realita Hakikatnya keberadaannya hanya dalam
Mencintaimu, Pilihan Yang Tepat
Oleh: Aventus Purnama DepDi hamparan bukit Sylvia sembari menatapi cakrawala, tubuhku bersandar di dekat bebatuan. Ku menanti senja di hamparan bukit itu, sambil menikmati panorama yang menghiasi bukit itu. Kucoba alihkan tatapan
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Leave a Reply