Meraih Salma, Terkaparlah Vladimir

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Sastra
Lolos moderasi pada: 27 March 2022

Di ruangan itu hanya ada aku dan Salma. Lima menit sudah gadis berlesung pipit itu menumpahkan butiran air mata. Badannya sedikit membungkuk, seperti ada beban yang menekuk.

“Dia datang dengan gagah”. Parasnya mendung. Tak ada kerlip mentari. “…memberi kabar”
“Kabar?”
“Ya, kabar pernikahan”. Cairan matanya menderas akibat dipasak duka. Sedu sedannya merayap. Warnanya yang bening berubah menjadi merah. Wajahnya mengguratkan kengerian.

“Dia bukan menikah denganku”. Aku sebenarnya sudah tahu, apa yang akan terlontar dari bibirnya. Parasnya mencekam memberi peringatan akan jerit kesedihan. “Semua laki-laki penipu!” Gelombang amarahnya mendebur. Sungguh menghantam. Statementnya menohok, mencincang hati. Aku tahu kau kecewa. Kepolosan merubahmu menjadi budak emosi. Tarian asmaramu terhenti di ombak waktu. Itu karena kau terlalu berharap. Ksatriamu terlalu kau beri hati. Kau gadang-gadang hingga tercipta tangga benang. Dan akhirnya, kau tersungkur jelang.

“Betapa busuk tabiatnya. Mirip setan yang mencabik jantung persembahan”. Nada suaranya dingin menggantang seperti malam pekat. Mataku melirik. Rahangnya mengering membentuk palagan perang. Kudengar gemelutuk gerahamnya bak lonceng kematian.
“Hatiku sakit”
“Sudahlah, Salma. Lupakanlah semua itu”
“Tidak!”. Tisu tergeletak berserak akibat menyesap hujan air mata. Lantai kotor, tapi pasrah.
“Dia bedebah ke tiga yang menipuku”

Perempuan ini terlalu naif. Jenis cinta apa yang bersemayam di sanubarinya hingga bertindak tanpa ukur. Cinta, hantu gunung yang datang tanpa kita undang. Meremas, menelikung, mencabik insan-insan bumi. Membuat bahagia, sakit, tertawa, gila, terkapar…
Masih kutatap paras jelita Salma. Paras yang membuat aku tergetar sempurna.

Decah ombak menari. Membuncah, memercik mata kaki. Melenting, menampar pasir serta karang.
“Vladimir! Kesinilah!”. Salma berteriak menyuruhku mendekat. Dari jauh kulihat dia sedang memunguti sesuatu.
Aku berlari meyongsong panggilannya.
“Banyak sekali. Mau dijual?”. Salma tergelak, “Nggaklah”. Tangannya membentuk mangkok. Binatang bercangkang bergerak-gerak mencoba keluar dari tangkupan. Kepompong laut merupakan binatang sejenis kelomang. Ukuran kecil.
Salma sibuk oleh kenakalan himpunan binatang itu sampai tak sadar kalau mataku bebas menjelajahi lekuk tubuhnya.

“Sudah yuk”
“Sebentar…”
“Ayolah…, Nanti kulitmu hitam”
Ia menepuk-nepuk jeansnya. Tangkapannya dimasukkan ke botol kosong air mineral. Berjalan bersisian denganku menuju jejeran cemara laut. Dibawah rerimbunan, kami duduk.

“Salma, lihat camar itu”
Tiada reaksi. Ucapanku hangus. Aku tak digubris. Bedebah! Binatang bercangkang mengambil peran atas sosokku. Aku mirip bayangan yang tak butuh perhatian.
“Salma?” Sikutku beraksi. Kusenggol tubuhnya. Rasa aneh menjalar menuju jantung. Memompa lebih cepat. Persinggungan antar kulit meletupkan desir. Darah lelakiku meletup. Salma kaget. Lebar matanya membekuk jiwaku.
“Burung laut itu mentertawakan kita”
“Mana?”
Telunjukku membimbing. Bicaraku asal supaya Salma terpecah. Dia cemberut.
Terawang menarikku untuk menanam daya ledak. Akhir dari pengejaran yang tiada henti, Salma berhasil aku culik dua bulan setelah tangisan darah.

Penyembuhan jiwa menyeretnya ke pantai Jawadwipa. Sebenarnya, aku ingin mengajak dia ke Santorin, sebuah pulau kecil di selatan Yunani. Keindahan alamnya begitu memukau tidak beda dengan keayuan wajahnya. Aroma romantis sudah membayang. Dari arah jendela penginapan, panorama luar biasa terpatri di pandangan. Berdua melihat matahari tenggelam dari depan kincir angin kota Oia. Kamu akan kusuguhi Ousa, minuman khas yang bisa membangkitkan nafsu makanmu. Aku ingin tubuhmu padat seperti dulu waktu kali pertama kelebatmu menyisir. Pipimu mengkapas dengan semburat cahaya kunang-kunang hutan Borneo. Elemen-elemen dirimu memaksa aku bertekuk lutut tanpa jawab. Hatiku terpontang-panting lugas, goblokku kegirangan mengapung deras. Aku didera cinta, sungguh.

ADVERTISEMENT

Senyummu mengganggu. Bahkan sengat rindu membakarku hingga terkapar berjelaga. Hatiku mengelupas teriris buluh ayumu. Menjambak haru biru asmara jati. Dadaku berdegup tiada henti laksana tabuhan gendang suku Masai. Mistik membetot, menghantui urat langkah.

Kepak sayapku hanya mampu membawamu ke pesisir Jawadwipa. Pantai ini, laut ini. Tapi aku janji, jika asmaramu aku raih, akan kuajak kau ke Santorin. Tapi aku masih ragu, apakah dua bulan cukup untuk membakar mantan bajingan-bajinganmu? Tangisan darah masih membayang jelas di memoriku.

“Heh!” Aku kaget. Sikut Salma menyodok rusukku.
“Melamun?” Aku tergagap mendapat pijaran darinya.
“Iya”, jawabku
“Apa yang kau lamunkan?”
“Kamu”
Wajah Salma memerah. Dia tersedak.

Salma bercerita, kenapa dirinya selalu berusaha mencari pendamping hidup seorang tentara. Itu sebuah kebanggaan diri baginya. Pernah suatu ketika aku ditelepon untuk mengantarkannya di lembah para ksatria. Kutinggalkan dirinya didepan gerbang.
“Yakin?”
Dia mengangguk seraya tebarkan senyum.

Semua yang dia harapkan tak ada satupun yang tergapai. Kau hanya dimanfaatkan. Ketenaranmu tak cukup untuk meraih asa. Manusia mempunyai sisi lemah tertentu. Cinta tulusmu dipermainkan. Pisau komando hanya kenang-kenangan, bahwa pernah disuatu masa ada banjir air mata mengukir jalan hidup seorang gadis lugu.

Sore yang basah. Hujan tiada ampun merontokkan dedaunan, membuyarkan kumpulan burung yang singgah. Dalam kamar aku berdiam. Salma mengangguku. Sosoknya meloncat-loncat di kepala. Adegan itu tiada akhir hingga jantungku bergetar.
“Sengat rindu muncul lagi”. Aku terengah-engah. Keringat dingin membasahi kaos. Tubuhku nungging mencoba menetralisir.
“Dasar lelaki pecundang!” Suara itu bersumber dari dadaku bak gelegar guntur. “Pengecut sejati! Lebih baik potong linggamu” Suara provokatif menghantam tak berkesudahan. “Kalau cinta berat ungkapkan. Jangan meniru tingkah tikus-tikus padang pasir”
Aku merasa suara itu benar. Bergegas kupakai jas hujan. Motor kupacu kencang menembus sisiran rintik. Apapun yang terjadi nanti yang penting Salma tahu takaran asmaraku.

Halaman kos sepi. Kuparkir pada jarak interval. Kamar berpintu biru tosca kuketuk. Suara musik terdengar lembut.
“Vladimir?” Salma kaget. Dia mempersilahkan aku masuk. Jas hujan aku copot dan segera tubuhku berpindah, duduk bersila berhadapan. Lampu kamar yang sangat terang membuat mataku dihidangkan setiap bagian lekuknya.

“Tumben hujan nekat kemari”. Salma bergumam.
Tabuhan gendang suku Masai membahana membetot urat dada. Butiran hujan menempeli wajah. Kukibaskan. Lantai kamar tepercik. Masa bodoh!.
“Salma” kata pertama menguap dari mulutku. Ketika akan kulanjutkan, kerongkonganku laksana dijepit kawat barikade. Gadis ayu itu menatapku. Menunggu kelanjutan kata-kataku. Tapi lidahku kelu.
“Ooo…, Mau mangga? Ini aku kupasin” Salma menguliti buah itu dengan pisau komando. Dari awal aku datang, beberapa butir mangga tergeletak didekat meja rendah.
“Ini manis, Vladimir. Mangga paling enak”
“Dan itu berasal dari desamu”, batinku menyala.
“Salma”
“Sabarlah, Vladimir”
“Bukan mangga yang aku butuhkan. Aku ingin ngomong”
“Bolehlah kau ngomong. Ayo bicaralah” potongan mangga terbentuk. Salma menikmati setiap kunyahannya.

“Salma, sejak lama aku sudah memendam rasa kepadamu. Aku berharap kau mau menjadi isteriku”
Keyakinan akan terujudnya kebahagiaan bila Aku dan Salma menjalin ikatan perkawinan, berangkat dari nama. Salma, dalam khasanah jenama berarti damai. Orangtuanya ingin dia menjadi gadis pembawa kedamaian. Begitupun denganku, Vladimir mempunyai arti penguasa kedamaian. Jadi, aku rasa akan cocok bila menyanding.

Wajahnya kutatap dengan sorot tajam. Ia menunduk luruh. Pandangan dibenturkan ke lantai. Ujung pisau ia ketuk-ketukkan.
“Berani sekali kau ungkap itu, Vladimir”
“Sebenarnya, aku sudah menyukaimu. Jauh sebelum kau menjadi selebriti di ajang chef”. Hujan belum reda. Guyurannya malah tambah tebal. “Waktu itu kau masih bersama dia”
“Jangan sebut bajingan itu”
“Salma, ayolah…”

Suasana dingin membeku. Salma membisu. Suara musik mengalun sendu. Akhirnya Ia bersuara, “Kau mengujiku, Vladimir. Tapi baiklah. Tutup matamu. Andai bibirmu kucium itu tanda aku terima cintamu. Kalau tamparan menerpa, itu sebaliknya. Kuharap kau mengerti”

Segera kuturuti syaratnya. Ketegangan mengeliat bercampur senang. Tabuhan gendang suku Masai kembali bertalu. Telingaku menangkap gerakan kearahku. Ya, Salma mendekat. Khayalanku melenggang ke Santorin. Tiba-tiba tubuhku terdorong telentang. Rasa perih meraba. Kubuka mataku dan kulihat Salma menindihku. Pisau pengupas mangga menancap tepat di jantungku.

“Salma… kkkkkaaauuu…” Dia makin membenamkan pisau itu. Memutar-mutar bagai kincir angin kota Oia. Urat daging hancur tercabik-cabik. Aku tak berdaya. Tenagaku susut. Darah melumuri tangannya. Aku coba pegang, tapi licin. Kulihat cairan bening membuncah dari kelopak mata. Salma menangis.
“Sssaaalmmmaaa…” Mulutku dibekap. Tatapanku masih berpijar. Aku melayang, terbang mengitari menembus benda apapun. Kulihat tubuhku dipeluk Salma.

“Aku tidak ingin kau menjadi bajingan ke empat yang mengkhianatiku. Tidurlah Vladimir”. Suaranya bergetar. Salma mencium bibirku. Bibir jasadku

Cerpen Karangan: Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Facebook: facebook.com/Romdhoni.Kuncoro
Buruh freeland tanpa paspor. Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang

Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 27 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com

Cerpen Meraih Salma, Terkaparlah Vladimir merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Sepercik Senyum Sejuta Luka

Oleh:
Jogja belum bangun. Sayup-sayup dari celah jendela hembusan nafas masih terdengar. Detak jantung masih berdenting. Tangan itu masih berdenyut. Perlahan aku membuka mata. Sama seperti kemarin. Aku masih melihat

Dia Bukan Kakakku

Oleh:
“Masih belum mau cerita siapa dia?” Kinan terkejut mendengar suara ayahnya. Buru-buru dia mematikan ponselnya. “Apaan sih, Papa? Bikin kaget aja!” “Walaupun cuma namanya?” tanya ayahnya sekali lagi. Kinan

Sebuah Rahasia

Oleh:
Amara bahagia sekali. Hari ini dia akan menyusul Adit, tunangannya ke Bali. Ini adalah mimpi yang dinantikan kenyataannya sejak lama. Sejak Adit memutuskan untuk kuliah di sana. “Saat aku

Verbotene Liebe

Oleh:
Di sebuah danau yang terletak di dalam hutan. Seorang wanita berparas cantik sedang berdiri mematung di pinggiran danau. Dengan mengenakan gaun putih yang cantik, entah apa yang sedang ia

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *