Modus Tipis

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 6 June 2014

“Nik, aku denger-denger dari temen-temenku, Arga kemarin kecelakaan lho,” beritahuku kepada Nikka, sahabatku yang menyukai Arga.
“Hah? Apa? Kapan? Di mana? Kok bisa?” tanya Nikka dengan segala kekhawatirannya.
“Kemarin. Di jalan lah. Jalan mana aku nggak tahu. Katanya sih tabrakan motor sama motor.”
“Lukanya parah nggak?”
“Nggak tahu, Nik. Gimana kalau kita jenguk?”
“Ayo! Kapan?”
“Nah, giliran jenguk-jengukan Nikka semangat nih!” Sabrina yang dari tadi terdiam akhirnya angkat bicara.
“Iya lah. Namanya juga gebetan lagi sakit. Eh, kantin dulu yuk!” ajakku.

Aku, Nikka, dan Sabrina ke kantin. Sabrina membeli nasi teri di kantin kedua dari sebelah kiri. Aku membeli es susu coklat di kantin pojok kanan. Nikka hanya menungguku di sebelah tempat es batu. Sayup-sayup terdengar suara dari kejauhan.
“Kapan nih pada mau jenguk Arga?” tanya Diko, yang sempat menjadi gebetanku setahun yang lalu.
“Terserah sih, tapi berangkatnya naik busway aja. Pulang sekolah langsung ke halte di jalan raya sana ya?” usul Allam, yang kini sudah menjadi mantan kekasihku.
“Oke, kalau begitu besok aja gimana?” tanya Fajri.
“Oke siap!” seru Diko, Allam, Babas, Anto dan Husni serempak.

“Nah, Nik, kamu tahu, kan? Kita harus jenguk Arga kapan?”
“Iya, Dhe. Tahu kok. Dasar modusers! Kapan kamu bisa move on kalau kamu gini terus?”
Move on itu nggak segampang beli cireng. Butuh waktu untuk mencapainya. Tapi, aku pengen sih move on secepatnya. Daripada terus-terusan sakit hati kalau ngeliat Allam sayang-sayangan sama Anita di facebook.”
“Nah, itu tahu. Lagian kamu udah punya Iman, kan?”
“Iman itu nggak kayak Allam, Nik. Nggak seru kalau diajak bercanda.”
“Udahlah, Dhe. Nggak baik banding-bandingin pacar sama mantan,” ucap Sabrina nimbrung.
“Yeee.. Maklumin aja temenmu yang satu ini, Sab. Besok pada bisa kan?”
“Iya deh iya. Demi Dheaku tersayang apa sih yang enggak?” gombal Sabrina.

Hari esok telah tiba. Hari yang sejak kemarin kutunggu-tunggu. Kami mengajak Anisa, Rahma dan Tuti untuk menjenguk Arga supaya modusnya tidak terlalu terbaca oleh komplotan Allam.

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Setelah menyapu kelas ala kadarnya, aku segera menghampiri kelas-kelas mereka yang ikut komplotanku. Setelah semuanya terkumpul, kami bergegas untuk menuju halte terdekat dengan jalan kaki.
Setibanya kami di halte, ternyata komplotan Allam sudah tiba terlebih dahulu. Aku merogoh saku dan mengambil uang tiga ribu dari sana. Aku segera duduk di ujung kiri dari tempat duduk besi yang disediakan di halte itu. Kulihat Nikka dan Sabrina sedang berbisik-bisik. Ah, aku sedang tidak kepo. Mungkin Nikka tidak sabar bertemu Arga di rumah sakit nanti, meskipun dengan keadaan Arga yang bonyok karena kecelakaan. Perasaanku mulai bertanya-tanya ketika Sabrina berbisik kepada Rahma, Rahma kepada Anisa dan Anisa kepada Tuti. Mengapa aku tidak diberitahu tentang apa yang sedang mereka bicarakan? Toh ulang tahunku sudah lewat, apa masih ada yang tega menjahiliku?
“Dhe, aku sama Nikka mau di pojok dong. Boleh nggak?” tanya Sabrina dengan wajah yang mencurigakan bagiku.
“Emang kenapa sih?”
“Yaaa, please dong, Dhe,” pinta Nikka dengan wajah seakan memelas. Tanpa menjawab, aku pun langsung beranjak dari pojok itu. Dan aku baru sadar kalau Allam duduk di ujung kanan. Yah, jadi nggak sehati lagi dong.

Tiba-tiba semua anggota komplotanku dan komplotan Allam berdiri. Hanya aku dan Allam yang duduk di kursi besi itu. Allam menoleh ke arahku. Aku pura-pura tidak melihat dan aku mengeluarkan handphone dari tasku untuk melarikan diri dari situasi ini.
“Cieee Alam sama Dhea! Cieee…” teriak teman-teman.
“Udahlah, Dhe. Nggak usah sok ngalihin perhatian! Sok-sokan SMSan sama pacar baru, padahal masih sayang kan sama Allam?” kata Diko. Dik, please deh, jangan bongkar aibku. Walaupun kamu nggak tahu kalau sebenarnya yang kamu katakan itu benar.
“Apaan sih, Dik? Nggak usah sok tahu, deh! Aku emang SMSan kali!”
Busway yang kami tunggu pun sudah hampir datang, seakan menyelamatkanku dari ledekan komplotan Allam. Aku takut pipiku memerah saat diledek tentang Allam, karena sebenarnya itulah yang kurasakan.

Setibanya di rumah sakit, Diko yang mungkin selaku ketua komplotan Allam menanyakan kepada resepsionis di mana ruangan Arga. Setelah mengetahuinya, kami pun naik menggunakan lift yang ada di sebelah meja resepsionis. Aku segera memencet tombol dengan panah ke atas, dan… Tangan Allam pun lebih dulu mendarat di tombol lift itu. Kami bertemu dalam pandangan beberapa detik. Aku menyingkirkan tanganku dari sana. Jantungku berdegup kencang dan bibirku terbungkam. Tak tahu apa yang Allam rasakan, apakah sama dengan yang kurasakan?

Nikka mengetuk pintu kamar Arga dan mengucapkan salam. Kakak Arga yang bernama Kak Roni membukakan pintu untuk kami.
“Hai, Ga,” sapa Anisa.
“Eh, hai,” balas Arga dengan lirih.
“Ga, kok bisa gini sih? Kejadian kronologisnya gimana?” tanya Fajri. Saat Arga menceritakan kejadian itu, saat Nikka serius mendengarkan cerita itu, tiba-tiba panggilan alam memanggilku untuk segera ke kamar mandi. Aku pamit kepada teman-teman, Arga, dan Kak Roni.
Huh, ternyata kamar mandinya jauh dengan kamar Arga. Kamar mandi itu berdiri sendiri. Tak ada gambar yang menunjukkan apakah kamar mandi itu khusus untuk laki-laki atau perempuan. Kamar mandi itu tertutup. Mungkin sedang ada yang memakainya. Aku berdiri di depan kamar mandi itu sambil bersenandung kecil. Tiba-tiba ada sekelebat bayangan lelaki. Lelaki itu berdiri di belakangku.
“Elo? Lo ngapain di sini, ya?” tanyaku kepada mantan kekasihku. Tak sadar aku telah menyebut dia dengan “lo”, bukan “kamu”. Seperti sebelum jadian.
“Gue? Ya nungguin kamar mandi lah! Ngapain lo tanya-tanya? Naksir?”
“Idih, penyakit GR lo udah stadium berapa? Jangan-jangan lo ngikutin gue ya? Gue kan yang lebih dulu ke sini!”
“PD lo tuh yang udah kelewat stadium empat! Ngapain gue ngikutin lo? Kalau nggak ada panggilan alam ngapain gue ke sini? Enakan ngumpul sama temen-temen di kamarnya Arga!”
“PD itu baik kali! Daripada minder, iya kan? Eh, lo ngapain ikut-ikutan bahasa gue? Pake isitilah panggilan alam segala lagi!”
“Emang yang bikin istilah panggilan alam itu elo hah?”
“Iya! Kenapa? Masbulo?”
“Lo kan orangnya nggak kreatif, mana bisa lo nyiptain yang kayak gituan?”
“Yeee, lo belum tahu Dhea Vinesya Elvira, ya? Cewek terkreatif of the year!”
“Emang penting buat gue tahu elo?”
“Hmm, terserah lo, deh, Lam!”
“Lo masih inget nama gue? Hahaha.. Ternyata gue ini terkenal, ya?”
“Bukannya terkenal, ya. Kalau nggak tahu nama temen sekelas sendiri itu namanya kuper, Allam!”
“Oh, iya ya! Emm, lo ngapain ke sini?”
“Tuh kan penyakit kepo lo kambuh lagi! Gue mau meeting! Puas?”
“Meeting kan artinya pertemuan, ya. Berarti pertemuan antara …”
“Heh, lo nggak usah mulai yadong!”
“Hahaha..” Allam tertawa terbahak-bahak. “Ternyata lo masih benci sama yang namanya yadong, ya? Kalau gini terus, lo kapan mau majunya?”
“Bukan urusan lo!”
Pintu kamar mandi itu pun terbuka. Baru saja aku hendak melangkahkan kaki sebelum Allam mencurangiku, ternyata ada yang lebih gesit dariku.
“Nikkaaaa! Kamu ngapain ke sini?” tanyaku geram.
“Ya ke kamar mandi! Lha, tak kirain kamu udah selesai. Ternyata masih nunggu ya? Kasihan!” kata Nikka lalu mengunci pintu kamar mandinya.
“Sialan si Nikka!” eluhku.
“Elo sih!” Allam nimbrung lagi.
“Apa lo ikut-ikut?”
“Boleh nggak? Ya udah kalau nggak boleh.”
Aku terdiam mendengar jawaban itu. Dulu, aku pasti jawab, “Boleh kok say, apa sih yang nggak boleh buat Allam?” Sekarang? Kalau aku jawab gitu sama aja bunuh diri.
“Kok diem? Nyesel, ya, udah nggak ngebolehin? Cieeee,” goda Allam dengan senyum manisnya. Ini pertama kalinya dia tersenyum padaku setelah hari terakhir hubungan kami dulu.
“Nggak, yeeee!” elakku lalu menjulurkan lidah.

Nikka pun keluar. Aku segera masuk. Aku heran, mengapa Allam tidak memaksa mendahuluiku? Hmm, ya sudahlah. Mungkin tidak selalu persis dengan apa yang ada di sinetron.
“Udah yang meeting? Apa hasil meetingnya?” tanya Allam ketika aku keluar dari kamar mandi.
“Apa, ya? Penting buat kamu tahu?”
“Penting, dong.”
“Mungkin semacem tisu bekas kali, ya. Hehehe.. Mau? Nih,” aku mengulurkan tanganku yang memegang tisu
“Hiiii.. Jadi cewek kok jorok banget, sih!”
“Cuma buat ngelap muka kok.”
“Ah masak?”
“Iya, serius.”
“Miapah?”
“Mi Allam.” Hah? Keceplosan..
“Mi aku? Beneran?”
“Ih, apa banget, deh! Nggak, bukan demi kamu! GR lagi!” Bahasa kembali seperti saat jadian. Aku-kamu.
“Kamu udah punya pacar ya?”
“Iya. Kenapa? Cemburu?”
“Ngapain? Aku juga udah punya pacar kok.”
“Oh,” jawabku singkat dan menundukkan kepala.
“Dhe?”
“Ya?” kuberanikan diri menatap Allam.
“Kamu kenapa?”
“Nggak papa.”
“Kok kelihatannya…”
“Cieeeee…” teriak teman-teman dari belakang.
“Lha? Temen-temen, udah mau pulang?” tanyaku dengan muka sangat kaget.
“Iya, lah. Udah satu jam lebih, lho, Dhe,” jawab Tuti.
“Pasti nih Allam sama Dhea pacaran di kamar mandi nih! Eh, bukan pacaran. Tapi celebek!” ucap Diko.
“Hahaha.. Iya. Kenapa harus di kamar mandi, sih? Kayak nggak ada tempat yang lebih elite dikit gitu!” sambung Babas.
“Kalian apaan sih? Orang gue nggak balikan sama Dhea kok.”
“Iya. Sok tahu, deh! Apalagi elo, Dik!” aku ikut-ikutan mengelak. Padahal dalam hati? Aamiin.
“Yaaahh.. Kok gue?”
“Tahu deh..”

ADVERTISEMENT

Aku membuka pintu kamarku dan mulai senyum-senyum sendiri layaknya penghuni rumah sakit jiwa. Menyanyikan lagu cinta sekeras mungkin. Bercermin dengan percaya dirinya. Oh indahnya hidup ini jika sampai saat ini aku masih bersama Allam. Meskipun aku sudah tak memilikinya seutuhnya, aku sangat bahagia mengalami kejadian ini. Aku ingin mengulanginya kembali. Seperti kata teman-teman, yah, celebek! Alias cinta lama bersemi kembali. Aamiin, dalam hatiku. Modus berjalan mulus. Saatnya untuk bilang SEMPURNA!

Cerpen Karangan: Rianna Andayani
Blog: www.andynriana.blogspot.com
Rianna Andayani | SMPN 7 YK’14 | Add : Riana Henvers Clalu | Follow @rianaanday

Cerpen Modus Tipis merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Melepaskan

Oleh:
“Aku juga sayang kamu kok yan, tapi hanya sebatas teman tidak lebih dari itu”. Kata-kata itu selalu teringat di memori otakku berdengung di dalam telingaku dan menghantui kehidupanku. Dimana

Kenapa Aku Harus Menyesal?

Oleh:
Kamu tau? Ada banyak kata yang tidak dapat aku utarakan pada dirinya. Tapi mungkin aku akan mencoba ketimur, atau mungkin barat. Kamu harus tau. Bintang itu baik. Manusia paling

Misteri Sebuah Gang

Oleh:
Waktu itu sebenarnya adalah hari paling indah dalam hidupku. Dari pagi sampai menjelang sore tiada hentinya perut ini mendapat makanan Gratis. Teman-temanku banyak yang mentraktirku mulai dari yang ulang

Tidur Senja Hari

Oleh:
Ini merupakan sebuah kisah tentang seorang pemuda yang bernama Doni. Doni duduk di bangku kelas 11 SMA. Orangtua Doni pergi merantau jauh dari tempat tinggalnya. Ia tinggal bersama kakak

Zahranomia

Oleh:
Zahranomia. Sindrom itu sudah merebak di kalangan siswa dan siswi di sekolahku. Katanya sindrom tersebut diakibatkan oleh sebuah virus tak dikenal yang masih diselidiki jenisnya. Data terbaru yang diketahui

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *