My Doctor is My Love

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 4 March 2016

Namaku Belva Erly Christyna, aku memang gadis tunarungu, tapi kebahagiaan yang ku dapat begitu indah dan bertambah indah setelah aku bertemu dengannya, Deva Jonathan, seseorang yang membuatku dapat mendengar walau menggunakan alat bantu dengar. Dirinya membuatku merasakan keindahan yang tak biasa. “Kamu gadis yang manis. Mungkin fisikmu tak sempurna, tapi hatimu begitu sempurna. Membuatku tak bisa jauh dan berpaling darimu.” Kata-kata indah itu membuatku merasa semakin nyaman dengannya. Aku bersyukur Tuhan. Ternyata di balik semuanya Engkau telah mempersiapkan rencana yang begitu indah.

“Dokter, pasien gawat!” seorang suster memberitau dokter yang sedang sibuk memeriksa komputernya. Dokter itu segera mengikuti sang suster menuju kamar di mana pasien yang dimaksud suster itu dibaringkan. Dokter itu segera masuk dan dengan cepat memeriksaku, ya pasien gawat itu aku. Entah apa yang terjadi sampai aku bisa terbaring di sini. Yang aku ingat hanyalah aku sedang bermain sepeda dan tiba-tiba semua gelap. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. Dokter itu mengobati luka-lukaku dengan hati-hati.

Ku rasakan sakit di kepalaku, aku terbangun dan samar-samar aku melihat seorang laki-laki dan dua perempuan yang sedang membantunya. Lelaki itu seperti berbicara padaku dengan seuntai senyum lega, tapi aku tak bisa mendengar apa-apa. Ada apa ini? Aku sungguh tak mengerti! Semua sunyi. Sunyi tanpa suara. Aku sungguh tak mengerti apa yang dokter itu bicarakan, semuanya tak terdengar. Sangat sunyi! Aku benar-benar bingung sekarang. Dokter itu pun keluar bersama dua suster yang setia mengikutinya ke mana-mana dan aku sendirian di sini. Ruangan yang penuh dengan bau obat. Aku sempat berpikir bahwa aku tuli, tapi aku mencoba membuang semua pikiran jelek yang terlintas dalam otakku.

Tak lama dokter itu kembali dan kali ini hanya ada satu suster yang mengikutinya dengan membawa kursi roda. Dokter itu pun membantuku untuk bangun dan duduk di kursi roda. Suster itu mendorong kursi roda itu pelan-pelan, mengikuti dokter yang berjalan di depanku. Aku sungguh bingung akan dibawa ke mana aku? dan di belakang suster yang mendorong kursi rodaku, keluargaku dan sahabat-sahabatku membuntuti dengan keadaan cemas. Aku tak mengerti mengapa mereka terlihat begitu cemas, padahal aku baik-baik saja.

Tapi aku merasakan keanehan di sini. Rumah sakit ini begitu ramai banyak orang yang terlihat berbicara, tapi aku sama sekali tak mendengar apa-apa. Semua sunyi! Tiba-tiba ku dengar suara dengingan yang sangat keras membuat telingaku begitu sakit sehingga aku menutup telingaku, tapi suara itu tak hilang juga, malah semakin keras. Sekarang telingaku sakit sekali aku meronta dan berteriak saat itu juga, tak peduli orang-orang memperhatikanku. Sekarang semuanya gelap dan tak ada cahaya sama sekali.

Saat ku buka mata ku lihat keluarga dan sahabat-sahabatku berdiri mengelilingi tempat di mana aku dibaringkan, mereka mencoba untuk tersenyum, terlihat kesedihan di balik senyum mereka, aku pun mencoba bertanya ada apa sebenarnya? “Ada apa? Kenapa kalian terlihat sedih?” tanyaku. Mereka hanya menggeleng sambil tersenyum sedih, mengapa tak ada yang bicara padaku? “Bicaralah, aku ingin mendengar curahan hati kalian. Bukankah kalian menganggapku diary kalian? Tempat mencurahkan hati kalian? Ayolah bicara, aku ingin mendengarnya!” entah ada apa dengan kata-kataku tadi sehingga membuat tangis mereka pecah. Saat aku sedang kebingungan seorang dokter masuk dan berbicara pada mereka tapi tak bisa ku dengar sama sekali, lalu semuanya ke luar dari kamar tempat aku dirawat dan sekarang hanya ada aku dengan dokter itu. Dokter itu menatapku dengan tulus.

“Kenapa mereka ke luar?” tanyaku, dokter itu lalu menulis di sebuah buku kecil dan memberikannya padaku, ku baca tulisannya. “Karena aku ada perlu denganmu,” aku pun memasang wajah bertanya-bertanya. Mengapa dokter ini tidak bicara saja? Apa dia bisu?
“Dokter, kenapa tidak bicara saja? Seperti dokter berbicara pada keluarga dan sahabat-sahabatku?” Tanyaku membuat dokter itu menunduk lesu dan meminta kembali buku itu, aku pun memberikannya dan ia kembali menulis lagi lalu memberikannya padaku lagi.

“Apa kamu yakin ingin tahu alasannya?” pertanyaan dokter itu membuatku bingung, tanpa pikir panjang lagi aku mengangguk setuju.
Dokter itu pun meminta bukunya dan aku memberikannya. “Maaf saya harus katakan. Kecelakaan tadi membuat kamu menjadi gadis tunarungu.” Dokter itu membuatku terkejut, buku yang ku pegang jatuh ke lantai. Pandanganku mulai kosong, perlahan air mata mulai menetes membasahi pipiku. Aku berteriak, memberontak, menangis sekencang-kencangnya. Aku tak menyangka semuanya jadi begini. Dokter itu memelukku dan menenangkanku. Aku merasa sangat nyaman berada di pelukannya, perlahan tangisku berhenti dalam pelukannya. Pelukan yang begitu tulus ku rasakan dalam dirinya. Mungkin ini hanya perasaanku saja.

Dokter itu menulis lagi dan memberikannya padaku, “Sudah cukup menangisnya?” pertanyaan itu membuatku menatap mata dokter itu dan menunduk sedih.
Dokter itu segera menulis lagi, “Tenanglah, aku yakin kau akan kembali mendengar. Walau menggunakan alat bantu dengar.” Tulisan itu membuatku sedih. Aku gadis cacat sekarang! Tak ada yang mau berteman apalagi bersahabat denganku! Aku benci ini! Aku benci! “Aku gadis cacat sekarang! Semua menjauhiku sekarang! Aku nggak ada gunanya sekarang! Aku bukan Belva yang dulu lagi! Sekarang hidupku nggak ada artinya lagi! Aku benci ini! Aku benci!” aku menghujat diriku sendiri sekarang. Aku begitu sedih, dokter itu pun menulis lagi.

ADVERTISEMENT

“Aku akan membuatmu mencabut semua omonganmu itu! Aku akan selalu ada di saat kau membutuhkanku! Akan ku buat kau kembali mengenali arti hidup!” tulisan itu sederhana namun membuatku luluh. “Bagaimana caranya?” aku bertanya dan dia kembali menulis. “Di mana alamat rumahmu?” aku menjawab tulisan itu, “Jalan anggrek nomor 54.” Jawabku, dokter itu pun tersenyum dan kembali memberikan tulisan. “Namaku Deva Jonathan, panggil saja Deva. Jangan menggunakan dokter lagi. Aku sekarang sahabatmu!” tulisan itu membuatku tertawa, “Hahaha.. Aku Belva.” Di sinilah perkenalan kami dimulai.

Sekarang aku sudah berada di rumahku. Tentunya dengan keluarga dan sahabat-sahabatku, tak lupa Deva, dokter yang berjanji akan mengembalikkan pandanganku tentang arti hidupku. “Welcome Belva..” Ibuku memberikan secarik kertas, aku tersenyum membacanya. Louis juga memberikan secarik kertas padaku.
“Cepet sembuh ya cayang.. Ai Lop Yu Somat..” dia masih dapat menghiburku dalam keadaanku ini.
Tiara juga. “Lo cepet sembuh ya.. entar kalau nggak sembuh-sembuh gue bawa ke klinik Tong-fang ciptaan gue lo.. biar di jambi-jambi lo..” itu membuatku tertawa terbahak-bahak. Begitu banyak yang menyayangiku, tapi tetap saja aku tak berguna, aku tetap saja gadis cacat! “Ayo istirahat. Aku aku antar ke kamarmu!” sekarang kertas dari Deva yang mendarat di tanganku. Entah mengapa tak ada penolakkan dariku, kepalaku refleks mengangguk. Dia pun tersenyum dan berbicara dengan ibu dan ayahku lalu mendorong kursi rodaku menuju kamarku.

“Sekarang istirahatlah.” Dia memberiku secarik kertas.
“Kenapa? Aku belum mau istirahat. Aku masih ingin merenungkan semuanya!” tolakku, ia pun mengangkat sebelah alisnya dan kembali menulis.
“Apa yang akan kau renungkan?” pertanyaan itu membuatku kembali lesu.
“Baiklah, kalau kau belum ingin beristirahat ikut aku.” Tulisan itu membuatku bertanya-tanya. Sebelum aku menjawab dia mendorong kursi rodaku menuju taman belakang rumahku.
“Apa maksudnya?” tanyaku, dia pun memberikan secarik kertas lagi.
“Lihatlah, dunia masih ingin melihatmu. Dunia masih punya seribu cerita untukmu. Dunia masih ingin mendengarmu tertawa. Jadi jangan anggap dirimu tak lagi berguna.” Tulisan itu membuatku meneteskan air mata, aku memeluknya dan dia membalasnya dengan tulus.

Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sekarang aku sudah 3 bulan bersama Deva. Semakin lama aku dan Deva semakin dekat. Bila Deva datang terlambat aku merasa cemas dan merindukannya. Setiap hari selalu ada cerita yang ku lewati bersamanya. Aku melupakan segala sedihku bila bersamanya. Dia selalu bisa membuat air mataku menjadi tawa kebahagiaan. Aku semakin nyaman di dekatnya. “Aku punya tantangan untukmu!” secarik kertas lagi dari Deva, aku membacanya dan mengangkat sebelah alisku.

“Bila kau berhasil berjalan sampai kursi putih aku punya hadiah untukmu!” tulisannya membuatku bersemangat. Aku memang gadis penyuka hadiah.
“Baiklah aku terima tantanganmu itu! Tapi jangan bohong!” Deva hanya mengangguk. Aku pun perlahan bangkit dari kursi roda dan berjalan pelan-pelan. Aku ingat saat Deva mengajarkanku berjalan dia bilang bahwa hati-hati. Kesabaran akan menuntun ke arah benar. Aku berusaha untuk menuruti kata-katanya dan aku berhasil! Walau agak lama. Aku tersenyum penuh syukur dan melihat Deva bertepuk tangan sambil berjalan mendekatiku. Dia memelukku dan menyuruhku untuk duduk.

Aku menagih janjinya. “Mana hadiahnya?” tanyaku, ia pun tersenyum geli dan menyuruhku menutup mata. Aku menurut. Entah apa yang Deva pasang di telingaku.
“Hey! Apa kau bisa mendengarku?” suara? Aku mendengar suara? Bukankah aku tunarungu? Lalu mengapa aku mendengar suara? Dan suara siapa itu? Ku buka mataku dan memegang telingaku, ternyata hadiahnya alat bantu dengar. Deva terima kasih!

“Aku bisa mendengar! Terima kasih Deva!” aku memeluknya bahagia. Tunggu apa tadi itu suara Deva? Bila ya, suara itu sangat indah dan ceria.
“Deva apa tadi itu suaramu?” tanyaku padanya, dia pun tersenyum.
“Ya, memangnya kenapa? Kau tidak suka?” candanya, aku pun menggeleng takut, ia pun tertawa dan aku ikut tertawa.
“Kamu gadis yang manis. Mungkin fisikmu tak sempurna, tapi hatimu begitu sempurna. Membuatku tak bisa jauh dan berpaling darimu.” Mendengar itu jantungku terasa berdetak lebih keras. “Apa maksudnya?” tanyaku. “Dengar, mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku mencintaimu. Maukah kau menjadi bagian dari hidupku?” aku merasa sangat bahagia sekarang. Baru ku sadari aku juga mencintainya. Aku pun menganggu dan tersenyum lalu memeluknya. “Kaulah dokter yang mampu mengobati luka-lukaku!”

Siapa sangka Dokterku adalah cintaku?

Cerpen Karangan: Beby Evangelica Christy
Facebook: Christy Evangelica

Cerpen My Doctor is My Love merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Tentang Cinta

Oleh:
Tentang cinta adalah segalanya. Kebahagaiaan datang dari cinta yang sederhana. Cinta bukan hanya bercerita tentang senyum, canda dan kesenangan. Namun, cinta juga bercerita tentang apa artinya menunggu, bersabar dan

Cinta Butuh Waktu

Oleh:
Hamparan bintang malam terlihat jelas di mata Willy, terlihat indah bagaikan rangkaian bunga di taman luas baginya. Benaknya selalu berpikir tentang semua hal yang ia rasakan, seperti pedih yang

Pengakuan Terlarang

Oleh:
Drrt.. drrt.. drrt.. I have died everyday waiting for you.. drrt.. drrt.. drrt.. Darling don’t be afraid I have loved you.. “Halo Dhik?” ucapku setelah menekan tombol hijau di

Melbourne University

Oleh:
Melbourne University merupakan salah satu universitas yang paling ternama di Negeri Kanguru. Aku kurang tahu banyak sih, cuman setauku major yang ditawarkan sangatlah beragam, mulai dari yang berbau bisnis,

Masa yang Tak Berubah (Part 3)

Oleh:
“Anak itu, kan? Dia adek kelas, kan.” “Aku gak nyangka kalo itu Esha.” “Esha anak 11 MIPA 1 itu, kan?” “Iya, dia orangnya.” “Iel tau gak nih, ya?” “Emang

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

0 responses to “My Doctor is My Love”

  1. Widiarto says:

    Beby,cerpenya bagus. Teruskan karyamu dan buat cerpen lebih banyak lagi ya… Tapi belajar jangan tertinggal. Tuhan memberkati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *