Pemuda Berkacamata

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 19 February 2020

“Maaf, saya tidak sengaja,” ujarmu merasa bersalah kala itu. Saat petang menjemput suasana di taman kota setelah kau tumpahkan es jeruk itu ke lengan jaketku.
“Tentu, tak apa,” sahutku sambil mengibaskan lenganku.
Lalu, kau menyapukan beberapa lembar tisu yang membantu lengan jaketku agak kering, meski masih lengket. Beberapa kali kau membetulkan letak kacamata kotak beningmu.

“Sudah. Maaf ya?” katamu lagi.
Kita saling melempar senyum. Hingga seorang pemuda menarik tanganmu menjauh. Kau tampak terkejut. Tapi, saat dia berbisik di telingamu, kau pun mengangguk. Saat aku hendak pergi, kau menarik tanganku sehingga aku menabrak tubuhmu. Aku mengerjapkan mata beberapa kali.
“Namaku Mahar!”
Aku masih terdiam. Lalu, kau mulai menampakkan raut bingung padaku. Hingga teman pemudamu itu berteriak padamu.
“Mahar, ayo pergi!”
Aku lihat kau malas memperhatikan kawanmu yang berkacak pinggang. Lalu, kau menunduk meminta jawaban.
“Zahya!” Kau pun berlalu dari hadapanku.

Aku tersenyum kecil mengingat sore itu. Aku tak pernah melupakan kali pertama kita bertemu, Mahar! Setiap sore aku duduk di taman kota sambil membaca novel dan sesekali menyeruput es jeruk. Terkadang, kita tak bisa menghindari sesuatu, iya kan Mahar? Seperti saat kita bertemu. Jika ada kesempatan, aku ingin bertemu denganmu lagi. Dan, aku ingin mencium aroma pinus darimu. Namun, takdir sepertinya memang belum berpihak padaku.

“Menunggu seseorang?” sapa lembut suara pemuda.
Aku menoleh. Mendapati Panca duduk di sampingku dan menyunggingkan senyum. “Menunggu siapa?” tanyanya lagi.
“Menunggu Mahar ya?” tanyanya lagi.
Kuputar bola mataku dan kulanjutkan lagi membaca novel. Tak menghiraukan hembusan angin musim kemarau yang mengirim selembar daun mahoni kuning tua. Aku memungut daun itu. Menyelipkannya ke novelku untuk menandai di halaman berapa aku berhenti. Lalu kututup novelku.

“Dimana Mahar?” tanyaku pada Panca.
Kami lalu hening cukup lama. Kami sama-sama tahu, kau tak ada disini saat ini. Aku dan Panca suka saling bertanya tentangmu. Walaupun jawabannya selalu mengecewakan untuk diucapkan. Oleh karena itu, kami tak pernah mengatakan lagi dimana keberadaanmu, Mahar.
Kutatap langit sore yang melembayung. Kini, aku menyesalkan kepergianmu yang mendadak. Namun, bukankah, ini sudah kehendak takdir?

“Aku merindukan Mahar.”
“Aku lebih merindukannya karena aku adiknya. Sedangkan kau hanya kekasihnya.”
Aku tersenyum menyadari. Kau hanya perhatian padaku sebagai seorang kakak pada adiknya. Bukan sebagai seorang pria kepada wanita. Meski berulang kali Panca meyakinkanku tentang pemikiran itu. Dan aku akan langsung pergi setelah Panca mengucapkan kalimat itu.

Musim kemarau kali ini lebih terik dari yang sebelumnya, Mahar. Udara taman begitu panas. Aku mendesah malas. Lalu, kukeluarkan novel yang masih belum tuntas kubaca kemarin sore. Kembali membuka halaman yang kutandai dengan daun mahoni tua. Tapi, sebuah kecerobohan yang membuatku terhenyak sendiri. Aku menjatuhkan novel hadiah ulang tahunku yang ke 16 darimu. Dan, selembar foto terhambur keluar. Lekaslah aku memungut foto itu dan menatapnya terharu.

Itu fotomu, Mahar! Kau sedang bersandar di sebuah pilar. Kedua tanganmu terlipat di depan dada. Tubuhmu terbungkus jaket hitam yang tudungnya menutupi wajahmu saat kau menunduk. Seluruh pakaianmu berwarna hitam pekat. Dan sebelah kakimu seakan menginjak pilar itu. Seperti kau hanya berdiri dengan satu kaki. Saat aku membalik foto itu,
Aku bersyukur menumpahkan es jeruk ke jaketmu sore itu. Dan, itu menjadi awal satu hubungan yang tak pernah kau yakini meski Panca sudah berulang kali mengatakannya.

“Aku tak berbohong, Zahya!” kata Panca di sampingku.
Aku menetralkan keterkejutanku. “Sejak kapan kau disana?”
“Sejak kau membuka surat terakhir dari Mahar sebelum dia pergi.” Jawabnya sendu.
Kami hening. Tak ada obrolan yang menyenangkan jika namamu sudah terlibat, Mahar. Karena itu hanya akan membawa suatu kesedihan setelah kau meninggalkan kami.
“Aku yakin, Mahar mencintaimu, Zahya. Kau hanya terlalu minder untuk mengakuinya.”
Aku menghembuskan nafas kasar. Memangnya aku ini siapa? Buat apa aku memasakan kehendak kepada seseorang yang sudah pergi?
“Lalu, kau sendiri?” tanyaku padanya.
Panca hanya tersenyum miris. Dihempaskan duduknya di depanku setelah aku menyimpan kembali fotomu, Mahar. Panca meraih novel ini dan mengamatinya sejenak. Senyumnya terukir samar, hingga dikembalikanlah novel itu ke tempat semula.
“Apa aku punya pilihan, Zahya?” tanyanya balik.
Kami pun hening. Dan, kau tahu, aku benci keheningan yang memuakkan, Mahar. Mata Panca mengalihkan tatapan untuk menenangkan aroma kegusaran yang kutangkap.
“Mahar tak mengenakan kacamatanya terakhir kali kulihat,” kata Panca.
Alisku berkerut, mungkin begitu. Aku tak yakin, kau bisa melupakan kacamata yang berharga itu, Mahar.
“Kacamatanya retak, sebelum dia pergi. Dan aku berhasil menemukannya setelah aku mengobrak-abrik kamarnya.” Panca tertawa kecil tanpa menoleh padaku.

Kadang, hidup memang tak bisa ditebak, iya kan, Mahar?
Seperti adikmu yang berani mengobrak-abrik kamarmu dan entah kenapa aku jadi sebal. Kukira, adikmu tak akan berani melakukan itu karena tahu, kau adalah kakak yang garang.

ADVERTISEMENT

Aku merindukanmu, Mahar! Sangat! Tidakkah kau tahu aku merindukanmu? Aku rindu tatapan tajammu dibalik kacamatamu yang menyelamiku seperti kau ingin melihat isi hatiku. Tapi kenapa kau pergi? Kenapa jalanan terjal ini masuk ke dalam takdir kita?

“Pemuda Berkacamata itu menyebalkan,” gerutu Panca di suatu sore saat langit bermega emas.
Kuselipkan daun mahoni tua sebagai batas bacaan terakhirku. Lantas mengamatinya duduk di sampingku. Kau tahu, Mahar, kerinduanku padamu kini mencapai titik tinggi. Menyebut namamu saja adalah beban bagiku kini. Tapi, percayalah, aku suka memanggil namamu saat sendirian.

“Kau hidup selama 17 tahun dalam pengawasannya. Dan kini, bagaimana perasaanmu?”
Panca tersenyum hangat seperti sinar sore yang melingkupi kami. Sejenak, kuikuti arah pandangnya kepada kilauan awan yang mulai menggelap.
“Aku selalu menengadahkan kepalaku, dan merentangkan tanganku, di bawah guyuran hujan sambil memikirkan betapa aku merindukannya. Dia adalah kakak yang hebat!” pujinya. “…kau bisa mencobanya,” sambungnya.

Tak biasanya ada hujan di musim kemarau. Tapi Mahar, ini adalah hujan pertama pada pertengahan musim kemarau yang turun. Angin mulai berhembus melempar lembar-lembar daun kering. Seusai itu, hujan turun dengan deras. Percayalah, Mahar, ini luar biasa. Seakan aku bisa menyatu dengan alam dan larut dalam hujan. Kurentangkan kedua tanganku dan kutengadahkan kepalaku. Kututup mataku dan kubiarkan wajahku dibanjiri air yang melarutkan air mataku.

Maaf, aku menangis lagi.
Maaf aku tak bisa menepati janjiku untuk tak menangis lagi.
Maaf, aku tak bisa berhenti merindukanmu, Mahar.

“Ini menyenangkan, Panca!” pekikku.
Panca pun bergerak dan berdiri di sampingku. Kami lalu kembali melakukan aktivitas mengenangmu dalam diam, Mahar!
“Aku kedinginan!” kataku lalu bergemul selimut. Gigiku bergemeletuk. Sejak hujan reda dan kami pulang, udaranya sangat dingin.
Hanya pelukan selimut tebal inilah yang membungkusku. Juga uap dari secangkir air seduhan jahe yang sedikit menyamarkan kedinginanku. Tapi, meski fisikku merasa lebih baik, itu tak pernah mengingkari bagaimana batinku yang tak pernah membaik sejak kepergianmu, Mahar. Aku selalu merindukan aroma pinus dari tubuhmu yang menguar. Dan, ingin kau kembali dengan segala harapan yang membuncah dalam benakku.
Harapan tentang perasaanku yang terbalas.
Harapan tentang cinta.

“Kita tak pernah tahu kapan hujan akan berhenti, iya kan? Atau, kapan hujan akan memulai jadwal mereka turun? Dan, apa mereka sudah merencanakan akan turun di hari perpisahan kita?” gumamku.
Entahlah. Semua itu terlalu tabu untuk kupikirkan. Seperti kau yang terlalu tabu untuk terus kuharapkan, Mahar. Meski aku tak pernah berhenti berharap dan memikirkanmu. Walau hari terus berjalan meninggalkan titik dimana kita berpisah saat hujan di bulan Mei lalu. Hatiku serasa tersayat saat tahun memasuki bulan Mei. Karena hal itu hanya akan terus mengingatkanku pada Pemuda Berkacamata, pada aroma pinus, dan pada dirimu, Mahar. Walau aku harus memaksakan senyum saat beberapa orang mengucapkan selamat ulang tahun padaku di bulan Mei.

Udara sore di akhir bulan Mei kali ini, mengingatkanku sudah dua tahun kau pergi. Kadang, waktu memang berlalu cepat tanpa bisa kita kendalikan. Aku hanya termenung menatap butiran air membasahi cup es jerukku. Aku masih duduk di bangku taman seperti sore-sore sebelumnya, Mahar. Menatap iri beberapa pasangan mesra saling bercerita. Dan, aku hambar. Aku menunggu Panca, yang biasanya datang.
Meski jika harus jujur, aku mulai bosan menunggumu. Usia kita memang terpaut empat tahun. Dan, kau bilang itu bukanlah alasanmu pergi. Iya kan, Mahar?

Aku kadang ragu dan bimbang. Kutatap sepasang merpati yang hinggap di sebuah cabang pohon. Seakan benar-benar menghinaku jika aku sedang sendirian. Apakah aku salah jika aku berharap padamu, Mahar?

Deru angin yang memecah keheningan setidaknya mengalihkan pemikiranku sejenak. Sore yang menua hari ini, entah mengapa menenangkanku. Aku sedang tak membawa novel hadiah darimu karena kehujanan tempo hari. Itu mungkin kebodohanku. Tapi, aku tak bisa menolak ajakan Panca untuk mengenangmu dengan caranya yang unik itu.

“Baiklah, Panca. Lepaskan tanganmu dari mataku!” seruku.
Panca akan langsung melepas tangannya jika aku sudah berseru. Tapi, kenapa ini tidak?

Angin yang berhembus di bulan Mei ini, membawa aroma pinus yang kurindu. Mengingatkan akan peristiwa apa yang selalu terjadi di bulan Mei sejak aku mengenalmu tiga tahun yang lalu. Kau menumpahkan es jerukmu, dan dua minggu kemudian, kita saling menjalin hubungan tak lebih dari adik kakak kukira. Lalu, pada Mei berikutnya, kau pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan padaku. Mei selanjutnya, Panca mengisi kekosongan hariku sebagai teman. Namun, masih berharap dirimu kembali. Dan, pada Mei ini…

“Aku merindukanmu!”
“Aku lebih merindukanmu, Mahar!”

Cerpen Karangan: Tika Maya Sari
Tika Maya Sari
SMAN 1 Gurah

Cerpen Pemuda Berkacamata merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Tentang Anda

Oleh:
Seorang gadis dengan rambut hitam lurus terurai rapi mendatangi kelas kami. Ia anak kelas sebelah. “Ditunggu Bu Rina di lab. Biologi!” Lalu ia melenggang pergi. Meninggalkan decak kagum teman-teman

Pertemuan Kembali

Oleh:
Kali ini acara diklat yang kesekian kalinya aku ikuti. Bukan di dalam kota seperti biasanya, pemerintah daerah mengutusku mengikuti diklat di Jakarta. Tentu saja kesempatan ini tidak ku sia-siakan.

Cinta Yang Singkat

Oleh:
Cinta mungkin bisa dikatakan ilusi tapi nyata dan berbentuk, yang berawal dari kenyamanan dan kelembutan. Hari pertamaku dipertemukan denganmu, hari pertamaku mengenalmu, mengenalmu dalam diam, mengenalmu dari kejauhan dan

Sahabat Cinta

Oleh:
Setelah lulus SMA aku baru sadar aku mencintai sahabat ku sendiri, bahkan telingaku pun sering mendengar curhatan tentang dia dan pacarnya, ragaku tersenyum tapi hatiku menangis bahkan rasa sesak

Secangkir Kopi (Kopi 1)

Oleh:
Ingatan tentang hujan di Kedai Arch membuahkan rasa yang aku sebut cinta. “Ini kopimu!” Tangan besar menyuguhkan aku secangkir kopi pesanan. Aku mengira kamu adalah pelayan langganan. Ternyata sosok

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *