Secangkir Kopi Almira

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Perpisahan
Lolos moderasi pada: 21 August 2022

Nathan mengusap tato kecil di punggung tangan kanannya. Sudah tiga kali. Dia terbiasa mengusapnya ketika keraguan muncul di benaknya. Mungkin hanya sugesti semata, tapi dia selalu merasa yakin setelah mengusap tato kecil itu. Tapi malam ini berbeda, dia tidak siap menjumpai wanita berhijab yang akan muncul dibalik pintu sesaat setelah ia mengetuk pintu kayu di depannya.

Tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Nathan terus saja mengingat percakapan mereka di mobil sewaktu dirinya mengantar wanita itu ke rumah. “Kayaknya kita ndak bisa lanjut, mas”. Kalimat itu terus saja terulang di kepalanya. Itulah yang membuat dirinya ragu untuk menemui wanita itu.

Nathan mengusap tato kecilnya sekali lagi, kemudian mengetuk pintu kayu dihadapannya. Hari ini dia tidak berniat menuntut penjelasan. Sejak awal, sejak wanita itu mengungkapkan kalimat itu, dia tidak berniat menuntut penjelasan. Nathan sudah menduga, entah dirinya atau wanita itu, pasti akan mengungkapkan kalimat perpisahan itu.

Pintu kayu itu terbuka, Nathan tersenyum ketika mendapati wanita berjilbab itu berdiri dihadapannya.
“Maaf lama ya, Mir. Tadi mas mikir dulu mau ngomong apa,” Nathan membuka percakapan. Dia tersenyum canggung, sementara Amira, wanita berjilbab itu, tertawa kecil. “Tumben banget dipikir dulu kalau mau ngomong.”

“Duduk, mas.” Amira mempersilakan Nathan untuk duduk di kursi teras. Nathan belum pernah masuk ke dalam rumah Amira. Dia tidak pernah dipersilakan untuk masuk ke rumah. Nathan tidak pernah bertanya. Toh, Nathan suka mengobrol di depan rumah Amira sembari merok*k atau sekedar melihat para tetangga Amira.

“Emang mas nggak pernah mikir dulu kalau ngomong?”
“Seinget Mira nggak pernah sih. Asal aja gitu”

Mereka tiba-tiba tertawa. Canggung. Tidak lama kemudian mereka diam. Bingung. Nathan tidak menyangka akan mengawali obrolan perpisahan ini dengan obrolan tidak jelas, seperti mikir dulu sebelum ngomong. Baik Nathan maupun Amira sama-sama tidak suka suasana canggung. Mereka terbiasa mengeluarkan becandaan tidak jelas ketika canggung. “Asikin aja, mas. Jangan canggung-canggung gitu, Mira ndak suka“. Tapi Nathan tidak percaya Mira dan dirinya akan mengeluarkan becandaan disaat seperti ini.

“Kita aneh ya. Mau pisah malah becanda canggung gini,” Nathan membuka suara sambil mengusap tatonya lagi. Mata Nathan memandang kedua punggung tangan yang bertaut. Keheningan menyelimuti dua insan yang sebentar lagi akan berpisah.

Almira berdeham, mengalihkan perhatian Nathan dari tangannya. Nathan mendapati Almira melirik dirinya. Mata mereka bertemu sesaat kemudian. Kemudian tawa kecil kembali terdengar.

“Mas mau minum apa?”
“Kopi yang biasanya kamu buat. Rasanya enak”
“Lah, itu kan kopi instant rasanya enaklah”
“Beda rasanya,”
“Jangan kopi ah, udah malem. Nanti mas nggak bisa tidur”

ADVERTISEMENT

Nathan tersenyum. Sudah lama sekali rasanya mereka tidak berdebat masalah kopi ataupun rok*k. Almira memang tidak pernah melarang Nathan merok*k atau minum kopi setiap hari. Tapi terkadang, mereka berdebat sedikit masalah kesehatan. Ah, Nathan bakal rindu saat-saat itu nanti.

“Bisa kapan-kapan minum kopinya, kalau mas mampir ke sini Mira buatin”
“Rasanya udah beda, Mir. Nanti mas dateng sebagai temen, bukan pacar kamu lagi. Buatin aja, daripada kita malah ribut. Katanya mau pisah secara damai. Nggak lucu kalau kita ributnya Cuma gara-gara kopi.” Almira tertawa, tawanya menular ke Nathan. Selalu begitu.
“Aku buatin dulu”

Nathan tidak menanggapi, dia memandang Almira masuk. Rasanya, waktu berjalan begitu lambat tadi. Tapi sekarang, saat Almira meninggalkan dirinya masuk ke rumah, dia tiba-tiba merasa waktu berjalan dengan cepat. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk segera kembali begitu secangkir kopi buatan Almira sudah habis. Kalau boleh, dia tidak ingin menyesap kopi itu sedikitpun. Tapi dia sadar, dengan begitu dia tidak akan pernah sanggup untuk berpisah dengan Almira.

Secangkir kopi Almira, entah kenapa, begitu istimewa bagi Nathan. Rasanya berbeda. Dia tidak pernah merasakan sebelumnya. Nathan tahu, Almira tidak suka rasa pahit. Dia bahkan tidak pernah minum kopi. Nathan sadar kalau rasa manis di secangkir kopi Almira disebabkan karena ketidakmampuan Almira membuat kopi. Almira pernah jujur kepada Nathan, dia tidak bisa membuat kopi. Maaf, ya, mas. Rasa kopinya mungkin manis banget, Mira enggak bisa buat kopi, dan Mira rasa rasanya pas buat Mira, kalau kemanisan enggak usah diminum ya. Tapi nyatanya, secangkir kopi Almira menjadi candu baginya. Nathan sering kali meminta Almira membuatkan kopi sebelum mereka berangkat bekerja. Nantinya, mungkin, secangkir kopi Almira akan selalu menjadi candu bagi Nathan. Tapi apa mungkin rasanya akan sama?

Tak lama, Almira datang dengan secangkir kopi di tangannya. Tiga hari lamanya Nathan tidak mencium bau kopi buatan Almira. Dia rindu, tentu saja. Untungnya dia sempat menikmati secangkir kopi Almira untuk terakhir kalinya.

“Ternyata benar ya, mas,” ucap Almira sambil menyerahkan secangkir kopi untuk Nathan.
“Apanya?” Nathan langsung menyesap kopi itu. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Dia harus segera pulang.
“Kata Marcell.” Nathan mendapati Almira menerawang jauh. “Mas tahu Marcell ‘kan? Yang penyanyi itu loh,” kali ini Almira menatap Nathan.
“Tuhan memang satu, kita yang tak sama” Almira mengakhiri kalimatnya, atau lebih tepatnya lirik lagu, dengan tertawa kecil. Pahit. Dia kembali menerawang jauh. Nathan juga tersenyum. Pahit. Dia membenarkan kalimat Almira.

Mereka diam dengan pikiran masing-masing. Lama. Sangat lama. Tidak ada kata yang muncul setelah itu.

Nathan bertanya-tanya apa yang dipikirkan Almira sekarang. Sesekali dirinya melirik Almira yang terus-terusan menerawang jauh sembari menyesap kopinya. Demi Tuhan dia harus segera menghabiskan secangkir kopi Almira ini. Dia tidak ingin pikirannya terus-terusan memikirkan tentang masa lalu. Ya, Nathan sedang memikirkan masa lalu saat ini. Dia teringat bagaimana keduanya bertemu di kafe dengan stasiun Yogyakarta. Dia teringat marahnya Almira ketika tahu dirinya membuat tato salib di punggung tangannya, walau kemudian Almira memuji tato itu. “Tatonya kecil, bagus, mas”. Ah… dia benci mengingat masa lalu.

Tanpa sadar cangkir kopi itu telah kosong. Nathan tidak pernah meminum kopi secepat itu. Dia selalu menikmati. Tapi malam ini, dia menikmati tentunya, tapi dia tidak sadar setiap kali memikirkan tentang masa lalu ia selalu menyesap kopinya.

“Setelah kita pisah mas bakal gimana?” Almira memecah keheningan, sekaligus menyadarkan Nathan. Dia meletakkan cangkir kopinya di meja yang memisahkan jarak mereka.
“Cari yang lain. Mas harus nikah, biar nggak dikejar-kejar mulu sama ibu bapak. Kamu?”
“Belum kepikiran sih, mas. Nikmati aja dulu hidup,” pandangan Almira tiba-tiba bertemu dengan Nathan. “7 tahun ini mas nyesel nggak kenal Almira?”

Cerpen Karangan: Eka Indrayani
Blog: ekaidr.blogspot.com

Cerpen Secangkir Kopi Almira merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Si Jutek Pengujiku

Oleh:
Matahari mulai menampakan diri dari tempat persembunyiannya, aku segera bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke kampus, hari ini adalah hari pertama praktikum, dan untuk pertama kalinya

Dibalik Rencana Tuhan

Oleh:
Bagian 1 (Awal ibu meninggalkan ku) Awal saat ibu pergi meninggalkanku serta ayah dan juga kakak-kakakku, sejak saat itu aku memutuskan untuk ikut tinggal bersama tante serta om ku.

My Bad Heart

Oleh:
Aku berjalan ke tempat duduk di Taman E-park New York, dan duduk di salah satu kursi taman di dekat pohon besar. Aku bergumul sendiri, sambil meminum kopi cappucino-ku yang

Waiting

Oleh:
Pagi yang indah, sinar mentari mulai menghiasi bumi ini. Nyanyian burung yang terdengar sangat merdu di pagi ini membuat hati ini sangat tentram. Syukur tak hentinya aku ucapkan kepada

Takkan Terganti

Oleh:
Memandangi sosok itu dari jauh. Hanya dialah yang mampu membuatku tersenyum. Hanya dialah yang membuatku jatuh dan menikmati indahnya cinta. Dialah orang yang membuatku selalu semangat. Walaupun sebenarnya, dia

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *