Seribu Tahun

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 25 March 2016

“Non. Non Kiran, bangun Non! Sudah jam 7, Mas Bian sudah jemput ada di bawah,” suara Bi Yuki membangunkanku pagi itu. “Iya Bi, aku bangun, bilang Bian tunggu setengah jam lagi aku siap-siap,” kataku seraya turun dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi. Pagi ini seperti biasanya, setiap pagi aku selalu dijemput oleh pacarku Fabian karena dia tahu kebiasaanku yang selalu mengantuk kalau menyetir di pagi hari.

“Yuk berangkat Bi!” ucapku sambal meraih susu yang disiapkan Bi Yuki,”
“Yuk Ai, aku tunggu di mobil, kamu abisin aja dulu susunya, jangan lupa paperwork ekonomi dasar kamu tuh di atas meja jangan ketinggalan,” ucap Bian, seraya berjalan menuju mobil. “Fuh untung kamu ingetin Bi, kalau enggak pasti kita telat deh harus bolak-balik ngambil paperwork aku, mana macet banget kayak gini lagi,”
“Lucky you to have me girl! Kalau gak ada aku kamu apa kabar coba Ai ai,” Ucap Bian nyengir.

Aku selalu merasa beruntung bisa punya pacar kayak Bian, gimana enggaK udah pinter, baik, pengertian, intinya cowok macem dia cuma ada di novel-novel. “Wooo geer kamu,” kelakku. Kami pun menuju kelas kami masing-masing, dan akan bertemu setelah makan siang. Karena aku dan Bian tidak ada kelas lagi sehabis makan siang. Hari-hari dengan Bian berjalan lancar tanpa hambatan berarti, bukan artinya kami gak punya masalah. Tapi sikap dewasa Bian yang selalu membuatku mengerti apa arti saling menghargai satu sama lain.

“5 tahun?” Ucap Sarah kepadaku sambil menatapku kagum.
“5 tahun 2 bulan Sar! Ah lo gak nyimak omongan gue nih,” kataku sambil menyeruput teh yang ada di depanku.
“Hahaha iya Ran iya, gue tahu cuma maksud gue lo pacaran udah dari sma sampe kuliah terus kapan nikahnya?”
Tak sengaja aku menyemburkan sedikit teh yang aku minum, dan membuat Sarah mendelik tajam ke arahku.
“Duh lulus dulu deh kuliah baru gue nikah, lagian Bian kan harus jadi dokter dulu baru dia bisa nikahin gue,” ucapku sambil tersenyum memikirkan impian indahku itu.
“I wish Kir,” tiba-tiba suara Bian terdengar di telingaku, aku pun segera membalikkan badanku dan memeluk cepat tubuh Bian, yang entah mengapa aku merasa pelukan itu sungguh berarti.

“Beri tepuk tangan kepada Kirana Nasya Hanafiah,” Suara pembawa acara itu sungguh bergema di telingaku, aku pun tersenyum menghadap penonton yang ada di depanku.
“Terima kasih atas penghargaan yang diberikan kepada saya, namun bagi saya tidaklah pantas menerima penghargaan atas perkembangan potensi jiwa muda dalam berbisnis ini hanya untuk seorang diri, saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada tim saya yang selalu setia membantu saya dalam kegiatan ini, dan tidak lupa kepada penyemangat utama saya My husband Andara Putra Hanafiah,” Ucapku lancar di acara tersebut, dan setelahnya aku berpamitan dengan seluruh tim dan pergi bersama suamiku.

“Wow, you really can make it hun!” Ucap Nara kepadaku.
“Like I said, it’s also because of you Nar,”
“Selamat ya Kiran sayang, kamu selalu berbakat dari dulu, gak heran usaha yang kamu mimpiin dari dulu berhasil,” Bisik Sarah seraya memelukku erat.
Aku tersenyum nanar menghadap Sarah, dan kembali menatap suamiku.”Kita pulang?” tanyaku. Suamiku memberi anggukan dan kami pun berpamitan ke Sarah, sekilas aku mendapati tatapan Sarah yang terlihat jelas bahwa dia kecewa padaku, apa pun alasannya.

“Nar, besok aku mau makan di restaurant yang romantis ya,” pintaku pada Nara.
“Alright, jam 8? Aku jemput pulang kerja ya,”
“Oke! Kayak kencan ya, aku deg-degan hehe,” Ucapku sembari tidur di pangkuan Nara.
Nara mengecup keningku, “Biarpun sudah 3 tahun menikah bukan artinya kita gak bisa kencan lagi kan,” Ucapnya sambil tersenyum nakal.

Esok harinya aku pun segera bersiap, kebetulan memang hari ini aku tidak bekerja. Nara pun menjemputku sekitar pukul 6 sore. “Selamat datang Pak Andara, silahkan mejanya di sebelah sini,” ucap pramusaji seraya mengantar kami menuju meja kami di dekat jendela.
“Always surprise me a lot Nar! You’re my best,” tatapku kagum menatap meja yang dihias seromantis mungkin, ya ini memang ulang tahun pernikahan kita, biasanya Nara di rumah memasakanku makanan yang aku suka, namun kali ini aku meminta sesuatu yang berbeda.
“With my pleasure honey, and please enjoy our fabulous dinner,”

Makan malam berjalan dengan lancar, dan kami pun menutup malam itu dengan hidangan special dari chef yaitu pannacotta rosemary with white souce. Rasanya malam itu begitu sempurna kalau bukan karena hal itu. “Nara? Andara Putra Hanafiah? Oh my god, you’re alive dude?” Rangkul wanita itu sembari mengecup pipi suamiku. Nara mengelak cepat dan segera melepaskan rangkulannya dari wanita itu.

ADVERTISEMENT

“Lepasin Nez, kamu pikir kamu siapa?” ucap Nara lirih tanpa memandang wajahku.
“Nara, Nara, sejak kapan kamu gak suka sama pelukan manis Kyanez Syarafa Bangunkusumo?”
Aku menatap wanita itu dan Nara bergantian, aku menatap Nara meminta penjelasan darinya. Nara pun menjawab, “Kyanez anak om Kusumo Ran, dia yang dulu…”
“Dijodohin sama Nara kalau bukan gara-gara wanita sialan itu,” Sambar Kyanez, dan Nara langsung menarik tangannya dan pergi dari hadapanku, meninggalkan aku terdiam memikirkan ucapnya barusan.

“Udah gila kamu Nez? Cukup! Kiran istriku, mau apa lagi kamu?” Ucap Nara ketus.
“Jadi dia perempuan gila yang waktu itu? Yang terpaksa kamu nikahin karena masalah itu? Munafik kamu Nar!” Ucap Kyanez keras, dan Nara langsung menampar Kyanez telak.
“Pergi kamu, dan ingat! Aku mencintai Kiran bukan seperti yang kamu pikirkan!” Desis Nara, dan langsung meninggalkan Kyanez terdiam di tempatnya, kemudian menghampiri aku kembali dan memintaku untuk segera pergi dari situ, setelah meletakkan beberapa lembar uang di meja.

Aku masih terdiam di dalam mobil, begitu pula Nara, tatapannya keras tidak seperti Nara selama ini yang selalu menatapku lembut dan penuh kasih sayang. Sesampainya di rumah aku mengganti baju dan membuat segelas cokelat panas untuk ku nikmati, Nara segera menuju tempat tidur dan aku pun membiarkannya, aku tak mau masalah tadi membuat dia semakin panas atau marah. “Bian,” Tiba-tiba nama itu terucap begitu saja dari mulutku, aku menatapi malam sambil meminum cokelat panasku sedikit demi sedikit. Aku kembali ke kamar dan menatapi Nara yang sudah tertidur dan menarik diri di sampingnya. Pagi itu Nara sepertinya berusaha melupakan kejadian malam itu, namun aku menarik tangannya pelan.

“Sudahlah Nar, aku gak marah. Kadang dalam hidup kita perlu tersandung kerikil supaya kita tau rasanya sakit dan lebih berhati-hati dalam berjalan,” Nara menatapku.
“Aku rasa tanpa aku jelasin kamu sudah paham siapa perempuan itu, dan aku seutuhnya mencintaimu Kiran,”
“Baiklah, aku segera pergi habis ini, aku mau yoga, catch up at lunch?” tanyaku.
“Pasti, aku masak pasta hari ini,” balas Nara, dan aku segera bersiap untuk pergi.

Aku berbohong, aku tidak pergi menuju tempat yogaku hari itu, aku hanya berjalan untuk menenangkan pikiranku, aku hanya tak mau Nara memikirkan hal itu. “Bian,” lagi-lagi aku teringat nama itu. Nama yang seharusnya menjadi nama belakangku, nama yang seharusnya menjadi hidup sematiku. Tapi bagaimanapun aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena telah memberikan Nara pada hidupku, laki-laki yang aku tahu betul bahwa dia bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri maupun diriku.

“I am going home hun,” ucapku di telepon kepada Nara.
“Hm.. oke, ada seseorang yang nunggu kamu di rumah juga,”
“Siapa?”
“You’ll know,” Tutup Nara.
“Bii-ann?!” ucapku terbata melihat sosok yang ada di hadapanku saat ini.
“Hai Ran, kamu terlihat berbeda ya, lebih dewasa,” Ucap Bian menatapku.

Aku melihat Nara, dia hanya tersenyum kepadaku dan mengatakan bahwa Bian sudah menungguku dari pagi, dan dia mempersilahkan kami berbicara berdua.
“Kata Nara kamu baru selesai yoga, kok gak terlihat lelah?”
“Aku gak yoga, cuma jalan jalan aja bosen,” Aku memilih untuk tidak berbohong pada saat itu, aku memperhatikan sosok Bian, masih terlihat seperti dulu. Seperti saat aku mengenalnya pada saat itu, yang berbeda hanya cincin yang tersemat di jari manisnya.
“Kapan nikah? Kok aku gak diundang?”
Sambil memilin cincin yang ada di jarinya Bian menatapku, “Belum, baru tunangan,”

“Sudahlah, tujuanmu apa ke sini? Suamiku ada di dalam, aku rasa kita tidak punya urusan,” kataku sambil pergi meninggalkan Bian. “Kamu tahu kan kamu dan Nara gak mungkin menikah kalau bukan karena aku, karena aku yang memintanya menikahimu karena aku gak mungkin bisa,”
Aku tersenyum, “Bian, aku perempuan yang bisa mendapatkan apa pun yang aku inginkan, termasuk diriku yang membiarkanmu menghamili Sarah. Karena aku menginginkanmu menikahinya, tapi kamu tetap membuatnya seperti itu, bukan salahku kalau pada akhirnya aku menemukan cinta dalam hidupku, dan bukan kamu,”

“Kamu membiarkan aku menghamili Sarah? Kamu menjebakku!” tandas Bian marah.
“Iya, karena aku tidak menginginkanmu lagi, sama seperti aku tidak menginginkan dirimu menjadi suamiku. Dan aku bersyukur memiliki Nara dan bukan kamu,”
“You!” Desis Bian.
“Dan sebaiknya Anda segera pergi dari sini, saya rasa urusan anda cukup sampai di sini,” Potong Nara, sepertinya Nara mendengar seluruh pembicaraan kami. Dan Bian pun pergi tanpa menatapku kembali. Ya aku rasa memang saatnya dia pergi, pergi selamanya dari hidupku.

“Maaf aku berbohong Nar, aku gak pergi yoga tadi,”
“Aku tahu. Aku juga minta maaf gak menjelaskan apa yang terjadi dengan Keynez, perempuan yang dia maksud adalah Meyran, dia yang menjebakku untuk menikahinya sebelum aku bertemu dengan kamu malam itu, dan dia mengira bahwa Meyran itu kamu,”
Aku memegang halus pipi suamiku, “Nar, aku gak butuh penjelasan itu semua, aku yang harusnya menjelaskan ke kamu bahwa masa laluku gak seindah yang kamu tahu, dan Bian dan Sarah adalah masa lalu yang coba aku singkirkan walaupun terkadang aku masih mengingatnya,”
“Dan aku sungguh mencintaimu, setulus hatiku,”

Aku dan Nara saling menatap dan kita sadar bahwa pada saat itu masing-masing dari diri kita adalah yang kita nanti selama ini, mungkin sebelum kita bertemu satu sama lain kita menemui cinta terlebih dahulu. Tapi tidak seperti cinta yang kita miliki saat ini, cinta dimana orang lain tersebut adalah cinta yang melebihi diri kita sendiri. Karena aku percaya kalau dia adalah cintamu, tidak dalam seribu tahun pun akan tergantikan oleh cinta yang lain.

Cerpen Karangan: Rachmani Rila

Cerpen Seribu Tahun merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Ego

Oleh:
Seorang gadis berjalan tergesa menyusuri koridor sekolah. Suara genderang perang seolah mengiring derap langkah. Terlihat otot-otot pada tubuh gadis itu menegang. Ada aura hitam bercampur merah yang menyelimuti jiwanya.

Harapan Hati

Oleh:
Harapan ini hadir karenamu. Harapan yang jauh dari kenyataan. Harapan yang hanya khayalan dan mimpi belaka. Harapan untuk bisa bersamamu entah kapankah itu. Aku lancang ya? Telah masuk ke

Lentera Bintang (Part 1)

Oleh:
“Reeeeennndy, bangun sayang udah siang!!!” “Bentaran napa mi, masih pagi,” kata gue sambil meluk guling membelakangi mami gue. “Bangun gak sekarang, kamu jangan bikin mama kesel kenapa sih Ren?”

Cinta Sejati

Oleh:
Bella Jevani itulah namaku, di SMA ini hampir tidak ada yang mau mendekatiku, hanya satu orang yang setia menemaniku dia bernama Diana Margaretha. Hingga suatu hari ketika ku telah

Batasan Maya Seorang Prajurit

Oleh:
Kami duduk di atas besi tua yang berbentuk kursi. Meminum perlahan minuman berwarna merah yang berasal dari buah stroberi. Memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Mereka terlihat sibuk dengan langkah

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *