Stop Four Second (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 25 August 2016

“Apakah kau sibuk?,” tanya Arka dari seberang sana.
“Siapa, Fel?,” tanya Bram.
“Arka!,” jawab Felly dengan berbisik.
Bram hanya mengangguk dengan mulut yang membentuk huruf “o”.
“Fel, keluar sono! Bia kita bisa latihan!,” ucap Billy setengah berbisik saat melihat Felly yang mengangkat telepon dari kekasihnya, Arka.

Felly pun menuruti kemauan Billy. Ia melangkah ke luar menjauhi studio. Awalnya, ia enggan untuk ke luar. Karena, ia merasa sungkan dengan Billy, Bram dan juga Riska. Rekan bandnnya.
“Kenapa kau menelepon aku di jam pagi seperti ini? Apakah kau free sekarang? Tidakkah kau mengurus pembelian sahammu?,” tanya Felly menderet dengan penasaran.
“Haruskah aku sesibuk itu saat aku merindukan kekasihku?,” tanya Arka dengan nada yang menggoda.
“Tidak bisakah kau membuat aku untuk terayu dengan gombalanmu, hah?! Kau tahu, kan aku sangat membenci hal itu!,” jawab tegas. Tetap dengan pipi yang semu memerah.
“Hahahaha. Apakah pipimu sekarang telah memerah seperti kepiting rebus?,” tanya Arka memastikan dugaanya.
“Ah, terserah kaulah!,” jawab Felly ketus untuk menghindari dugaan Arka yang memang benar itu.
“Hahaha. Ok, ok. Aku akan berhenti menggodamu.”
“Ya.. sekarang berikan aku alasan kenapa kau menelponku hari ini?,” tanya Felly tegas.
“Bisakah kita bertemu hari ini?,” tanya Arka serius.
“Untuk apa?”
“Ada yang ingin aku bicarakan! Kuharap kau tidak menolaknya!”
“Baiklah kalau begitu.”
“Aku akan menjemputmu 30 menit yang akan datang dari sekarang!,” kata Arka serius dengan nada ketegasan di dalamnya. Kemudian, ia mematikan teleponnya.

Felly hanya bisa menghembuskan nafas beratnya. Entah apa yang dirasakannya saat itu masih tidak bisa menentu. Hasratnya tak karuan. Rindu? Tidak. Banyak pertanyaan yang menghela benak Felly. Akan tetapi, Felly menghiraukannya dengan masuk kembali ke ruang studio.

“Gimana, Fel? Apakah terjadi sesuatu?,” tanya Riska dengan menghentikan permainan pianonya.
“Enggak. Dia cuma pengen ketemu aja.”
“Terus kita latihannya kapan, dong?!,” tanya Bram dengan nada yang mulai meninggi.
“Hahaha! Santai sayang! Dia akan menjemputku 30 menit lagi. Jadi, kita bisa latihan dalam kurun waktu yang masih tersedia. Lagipula, apakah kalian senang dengan siksaanku selama ini? Semakin lama kita latihan, maka semakin lama pula siksaanku untuk memberikan jam karet makan untuk kalian. Bahkan, aku tidak akan peduli kalaupun usus kalian akan melilit lambung kalian untuk memprotes!,” jawab Felly dengan menaikkan sebelah alisnya dan menepuk pundak Bram dengan tatapan mata yang penuh dengan jawaban.
“Yeeee kalau itu mah lu udah kebiasaan mau bunuh kita pelan-pelan, Fel!,” kata Billy dengan wajah melengos.
“Hahaha. Jadi gimana? Diem kayak begini? Atau…”
“Latihan! Yah… ayo latihan!,” jawab Bram, Billy, dan Riska bersamaan. Kemudian beranjak dari tempat duduknya ke tempat mereka masing-masing untuk mengambil alat musiknya.
Mereka pun latihan bersama dengan serius. Mengingat, turnamen nasional akan segera dekat dengan Dead Line.

“Felly!,” panggil seseorang.
“Arka?!,” panggil Felly terkejut.
“Bentar guys!,” lanjut Felly dengan melepas kaitan sabuk gitar dan berjalan ke arah Arka.
“Kenapa begitu cepat dan tidak sesuai dengan waktu yang kau tentukan?,” tanya Felly memastikan dengan suara yang berbisik.
“Lo bisa pakai ruangan ini untuk berbicara kok, Fel. Kita akan keluar buat makan,” kata Riska penuh pengertian.
Billy dan Brampun mengikuti Riska untuk ke luar dari studio.
“Kalian tidak perlu keluar dari tempat ini. Aku hanya pinjam Felly sebentar. Tidak lama,” kata Arka dengan manarik tangan Felly untuk mengikutinya masuk ke dalam mobil.
“Baiklah!,” kata Riska dengan melangkah mundur. Kembali ke studio. Dan, mereka duduk bersama di atas sofa itu. Yah.. sofa yang biasa digunakan oleh Felly dan Bram untuk tidur saat mereka merasa lelah karena kerasnya latihan yang diberikan oleh Felly. Namun, semua itu tidak sia-sia. Karena, semua itu menghasilkan berbagai piala atau semacamnya.

“Apa yang ingin kau katakan. Haruskah kita ke luar dengan kondisi seperti ini?,” tanya Felly membuka keheningan antara mereka berdua.
“Karena tidak ada waktu lagi!,” ucap Arka serius.
“Kenapa kau tampak berbeda, Ka?,” tanya Felly memastikan dugaannya.
Arka menoleh ke arah Felly. Kemudian, tersenyum tipis.
“Aku mencintaimu!,” ucap Arka serius.
Felly pun mendekat ke arah Arka. Ia menempelkan telapak tangannya. Mengecek suhu badan Arka. Membandingkan dengan suhu tubuhnya sendiri.
“Kenapa?,” tanya Arka dengan senyum simpulnya.
“Badanmu tidak panas. Kenapa kau mengucapkan hal itu seperti sebuah perpisahan?,” tanya Felly dengan sorot mata yang penuh tanya.
Arka tetap tersenyum dengan senyuman simpul. Begitu memabukkan. Sama persis saat mereka pertama bertemu.
“Tidakkah kau mau menjawab pernyataan cintaku, sayang?!,” tanya Arka berusaha menggoda Felly.
“Tidak! Untuk apa aku mengucapkan bahwa aku mencintamu?! Masih banyak waktu aku untuk mengucapkan hal itu.”
“Benarkah?”
“Yah…,” jawab Felly santai.
“Apakah kau akan tetap di sini sendiri? Tidakkah kau rindu dengan tempat ini?,” tanya Arka.
Felly tampak begitu bingung. Namun, semua kebingungannya terjawab saat ia melihat papan tulis yang tertera di depan kaca mobil milik Arka. Tempat itu lagi. Air terjun itu lagi. Dan, pelangi itu lagi. Hanya pelanginya saja yang tidak ada. Karena, cuaca itu begitu terik dan cahaya matahari bersinar cerah.
“Kenapa kau mengajakku kemari?,” tanya Felly penasaran.
“Aku rindu dengan tempat ini. Walaupun, hanya bebarapa hari saja aku dan kau tidak ke sini.”
“Benarkah?”
Arka mengangguk pasti.
“Tidakkah kau ingin masuk ke dalam?,” tanya Arka.
“Kenapa perlu ditanya?,” jawab Felly dengan membuka pintu mobil dan berjalan untuk mendekati tempat itu.
“Selalu saja dia meninggalkanku! Ak harap untuk kali ini kau tidak akan meninggalkanku, sayang!,” gumam Arka dengan berjalan mengikuti Felly yang sudah berlari girang.
Mereka pun berjalan bersama ke hingga dengan posisi yang sama seperti sebelumnya.
“Kucing!,” panggil Arka serius. Tentunya dengan mata yang menunjukkan keseriusan.
“Apa?,” tanya Felly polos.
“Ayo menikah!,” kata Arka singkat. Dan, sangat serius.
Felly hanya terdiam menatap Arka yang mengatakan hal tidak terduga.
“Ayo menikah!,” ucap Arka mengulangi. Menyadarkan Felly dari tatapannya yang masih tak percaya akan maksudnya.
“Apa yang kau lakukan?,” tanya Felly polos.
“Maafkan aku, Fel. Sebenarnya, aku ke sini bukan untuk perjalanan bisnisku saja. Melainkan, menjemputmu untuk mengikutiku ke New York. Ayo kita hidup bersama di sana.”
“Apakah itu artinya kau menyuruhku untuk berhenti dari karirku yang tinggal sedikit lagi?”
Arka mengangguk pelan. Muram.
“Aku akan berjanji untuk membahagiakanmu. Aku juga akan memenuhi kebutuhanmu dan juga anak-anak kita nanti tanpa harus kau bekerja. Aku akan menjagamu. Jadi, aku hanya ingin kau bersamaku. Aku tidak peduli kalau kau harus meninggalkan karirmu. Karena sebenarnya, itu yang aku mau. Aku tidak bisa hidup berjauhan terus menerus seperti ini, Fel. Aku merasa gila dengan semua ini. Kau tahu, semua laporan perusahaan dan tulisan saham yang ada di depanku berubah menjadi dirimu. Bahkan, aku sampai gila karena berulang kali pendengaranku terdengar suaramu. Aku gila dengan semua itu. Lagipula, apakah masih belum cukup bagimu kesuksesanku saat ini? Aku sudah menyediakan rumah dan segala perlengkapannya untuk kita. Bahkan, aku sudah merencanakan gedung dan juga catering untuk pernikahan kita nanti. Begitu juga dengan tempat bulan madu yang juga hotel untuk penginapan kita. Apa semua itu belum cukup bagimu? Apakah aku belum layak untuk menjadi suamimu?,” jelas Arka dengan tatapan mata yang tajam dan penuh dengan keseriusan. Tulus dan penuh dengan cinta.
“Apakah kau pikir, meninggalkan kebanggaan begitu mudah bagimu? Aku tahu kau kaya raya. Aku juga tahu kalau kau sudah mapan menitih rumah tangga. Aku juga tahu kalau kau begitu mencintaiku dengan keseriusan. Tapi, aku tidak pernah tahu bahwa kau menilai cinta kita dengan uang yang kau hasilkan. Arka, aku tidak butuh uangmu. Aku akan mencari sendiri. Bahkan, jika aku memiliki anak denganmu kalaupun takdir menyatukan, aku tidak ingin menjawab pertanyaan anakku bahwa Ibunya adalah seorang yang tidak ada harga dan derajatnya. Setidaknya, aku bisa mengucapkan bahwa Ibunya adalah seorang gitaris. Aku tahu, kemampuanku memang jauh darimu. Tapi, tak seharusnya kau menawarkan uangmu di atas cinta kita yang ada di hatimu.”
“Felly, bukan itu yang kumaksud. Aku hanya ingin mewujudkan mimpiku untuk menikah denganmu. Seharusnya kau menyadari hal itu, Fel.”
“Mimpi? Kau pikir aku juga tidak punya mimpi? Aku juga mempunyai mimpi, Arka. Kenapa kau tidak bisa mengerti bahwa selama ini aku tengah ada di separuh jalan mimpiku. Saat kau bisa bermimpi, kenapa aku tidak? Kita sama-sama manusia, Arka.”
“Aku ingin kau berhenti sekarang! Karena aku hanya ingin kau terfokus dengan mimpi kita. Aku yakin, kau juga ingin menikah denganku. Apakah salah aku menginginkan hal yang lebih intim daripada hanya sebagai kekasihmu? Tidak bisakah kau mengerti maksud dari cintaku?”
“Ya, Ka salah! Kau salah besar, Arka. Aku memang mencintaimu. Tapi tidak dengan perlakuanmu yang seperti ini. Asal kau tahu saja, saat kita bisa meraih mimpi yang benar-benar kita impikan. Dan itu bisa kita lakukan sendiri, kenapa harus kita lakukan bersama. Kalaupun kita bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan siapapun?! Arka, aku sudah tidak bisa melakukan apapun untuk hubungan kita. Aku merasa, aku… aku begitu rendah di matamu. Dulu, kau meninggalkan aku demi ke New York. Sekarang, kau menyuruhku untuk meninggalkan karirku begitu saja. Kau bertindak semaumu, Arka. Kau begitu arogan. Aku harap, kau bisa mengerti dengan perpisahan kita saat ini. Aku lelah harus menjelajah hatimu. Hanya satu yang telah kutemukan sebagai jawaban. Kau hanya menilai cinta kita dengan perbandingan uang. Terimakasih atas segalanya!,” ucap Felly dengan meninggalkan Arka yang masih berdiri mematung mendengar jawaban dari Felly. Matanya penuh dengan kesedihan, kecemasan, dan juga penyesalan.
“Felly! Tunggu! Aku bisa jelaskan semuanya!,” teriak Arka berulang kali.
Fely pun menghentikan langkahnya saat ia sudah tidak mendengar teriakan Arka lagi. Dengan gontai, ia membalikkan tubuhnya. Mendapati Arka yang menunduk lemas. Pasrah dengan semua keputusan.

Dengan penuh hati-hati, Felly berjalan kembali ke arah Arka. Saaat Arka menyadari kehadiran Felly kembali, terlihat sedikit harapan yang terpancar di matanya. Akan tetapi, matanya kembali terlihat dalam kesedihan saat ia harus merasakan benda itu.
Yah… cincin yang pernah Arka berikan untuk Felly. Tepat di detik ke empat. Dan, semuanya telah berhenti dalam hitungan detik yang sama. Detik ke empat. Mereka kembali dengan cinta pada detik ke empat. Mereka mengadu rindu pada detik ke empat. Dan, mereka berhenti dengan semua kisah tepat pada detik ke empat. Detik yang selalu sama. Seperti sebuah skenario.

Tapi, siapa yang akan menyangka jika skenario itu berasal dari pencipta-Nya sendiri. Semua tidak bisa dihindari. Berlangsung begitu saja. Tanpa rencana. Dan, tanpa hasil yang terduga. Begitu juga mimpi. Ia akan mendapatkan saat berusaha merelakan. Dan, menerima sebagai langkah terakhir dari sebuah kenyataan.

Cerpen Karangan: Pratiwi Nur Zamzani
Facebook: Pratiwi Nur Zamzani (Pakai Kerudung Putih)
Nama saya Pratiwi Nur Zamzani. Dapat menghubungi melalui akun facebook saya yaitu Pratiwi Nur Zamzani ( Pakai kerudung putih ) , twiiter @nur_zamzani atau E-mail pratiwinurzamzani@yahoo.co.id. Dengan no Telepon 085-852-896-207. Dengan alamat, Jl. Rambutan, Pesanggrahan selatan, Bangil, Pasuruan. Prestasi yang pernah saya raih adalah juara 3 Mading, puisi dan cerpen pernah diterbitkan di majalah SPEKTRUM dan berbagai buku antologi. Antara lain adalah, Menjembut Ridhomu, Sapa malam teriak rindu, Dream Wings, dll.

ADVERTISEMENT

Cerpen Stop Four Second (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Between Us (Part 2)

Oleh:
Keesokan harinya, teror kembali datang menghampiri Cadie. Kali ini, tepat di dalam loker Cadie, terdapat sebuah bingkai foto dirinya dengan kaca yang sengaja di retak dan sebuah cutter di

Cinta Pertama

Oleh:
Hari ini awal aku masuk ke sekolah SMA, rasa ini bercampur aduk dengan jantung yang terus berdetak kencang. Rasa ini selalu ada di sat aku masuk ke sekolah yang

Air Mata untuk Sahabatku

Oleh:
Ratia… Ya ini adalah nama panggilan kesayangan dari keluarga maupun dari sahabat-sahabatnya. Sebenarnya Ratia adalah gadis yang ceria, namun entah sebab kenapa terkadang ia terlihat murung bahkan tak jarang

Destiny

Oleh:
Namaku Amala, aku adalah anak kelas 3 di SMA. Semua teman-temanku memanggilku “Si Macan Jones” Hei!!! Siapa yang mirip macan?!!! Walaupun aku tidak suka sebutan itu, tapi aku harus

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *