Taman Dian

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Motivasi, Cerpen Romantis
Lolos moderasi pada: 23 December 2013

Pagi yang indah di kota yang berjulukan “kota tepian” ini. Cuaca yang berawan sedikit gelap menandakan tak lama lagi turun rinai hujan. Dian tak lama lagi akan memasuki sekolah semester empat. Dian hanya satu dari segelintir orang yang hidup dengan keadaan yang terbatas, bahkan sangat terbatas sehingga tak jarang yang mencemooh dirinya karena keterbatasannya itu. Bahkan sampai ada yang tega memfitnah dirinya hingga banyak yang enggan mendekatinya. Tetapi Dian tetap tegar, kuat dan sedikit pun tak mempengaruhi kehidupannya karena Dian tahu bahwa hidup bagaikan roda yang berputar.

Dian mempunyai dua penyemangat dalam hidupnya, tak lain adalah sang ibunda tercinta. Kepada beliau lah Dian menceritakan semua yang dia dapat, entah celaan ataupun hinaan. Sang bunda mengatakan kepada Dian bahwa tidak perlu mendengarkan kata mereka, anggaplah itu semua pujian dari para utusan Allah untuk membangkitkan semangatmu. Penyemangatnya yang kedua adalah Hafidz, teman semasa SMP-nya. Terkadang Hafidz merasa iba melihat fisik Dian yang terbatas, tapi ada kalanya Hafidz merasa kagum atas pencapaian prestasi teman karibnya itu.

Pernah waktu sore hari Dian ditanya oleh Hafidz, sahabatnya tentang cita-citanya
“Dian, ngomongin cita-cita nih, kamu bercita-cita apa sih?” tanya Hafidz.
“Hmmm.., dulu sih aku mau jadi dokter Fid, tapi keadaanku tidak memungkinkan begini. mana ada dokter cacat kayak aku. Yang ada aku makin diejek Fidz” jawab Dian sedikit menangis.
“huuussshhh, jangan ngomong begitu Dian. Semua orang berhak punya cita-cita Dian, termasuk kamu, kamu juga berhak menjadi dokter. Jangan jadikan kekuranganmu ini sebagai kelemahan kamu, tapi jadikan sebagai kelebihan dan pembangun semangatmu Dian. Orang berhak menghakimimu, tapi orang tidak berhak untuk mengatur kemauanmu Dian” ucap Hafidz menggamit punggung tangan kanan Dian “kamu pasti bisa Dian, jangan dengarkan orang-orang yang menganggapmu lemah. Buktikan dalam dirimu itu kuat Dian. Aku yakin kamu itu bisa Dian” lanjut Hafidz meyakinkan.

Dalam hati Dian berpikir, benar juga apa yang dikatakan Hafidz, orang-orang memang tidak berhak mengatur kemauan Dian. Akibat perkataan dari Hafidz, Dian kembali bersemangat dan kembali ingin meraih cita-citanya walaupun kaki sebelah kiri Dian telah diamputasi karena kecelakaan yang membuat kakinya hancur di masa SMP. Karena itulah, Dian merasa hidupnya sudah tak berguna lagi. Tetapi setelah tidak sengaja bertemu dan berteman dengan Hafidz, Dian kembali bersemangat karena cuma dialah yang mau menerima kondisi Dian apa adanya.

Seminggu sudah Dian dan Hafidz menikmati liburan semester yang diberikan pihak sekolah. Dian dan hafidz sekolah di sekolah yang sama, SMA Negeri 2 Samarinda. Dian dibantu oleh Hafidz berjalan menuju kelasnya, tetapi genk P’LOT Girl yang beranggotakan Pitri sebagai ketua Genk, Lolita, Olive, dan Tiara menghadang jalan mereka
“ehhh, ada si cacat lagi. Ngapain kesini. Disini bukan tempatnya orang cacat kayak kamu” tegur Pitri berkacak pinggang.
“bener, ini bukan tempat kamu. Kamu itu cocoknya di pinggir jalan atau nggak di kolong jembatan” timpal Lolita dan Olive bersamaan. Lalu mereka tertawa bersama seakan puas menghina Dian.
Dian mengepal tangannya, hatinya sudah panas mendengar hinaan yang berpuluh-puluh kali Dian dengarkan. “sudah Dian, ingat perkataanku kemarin” bisik Hafidz menenangkan Dian, tak lama Dian kembali tenang lalu berjalan menuju kelas tanpa memperdulikan hinaan Pitri dan kawan-kawan.

Hinaan dan caci maki terus dilontarkan P’LOT Girl pada Dian di dalam kelas, hingga akhirnya kesabaran Dian menghadapi mereka pun sudah habis. Pada saat Guru Sejarah telah selesai memberikan penjelasan pelajaran, tiba-tiba Dian berdiri lalu melompat-lompat tanpa memperdulikan tongkat berjalannya mendatangi Pitri. “BUUUKKK” suara yang ditimbulkan akibat tonjokan Dian ke perut Pitri.
“AAWWW, apa-apaan kamu” bentak Pitri yang tersungkur meringis kesakitan.
“kamu yang apa-apaan, belum puas kamu selalu hina aku, bikin aku malu, buat aku jadi sasaran hinaanmu. Kamu belum puas nyakitin aku” bentak Dian meluapkan emosinya “gimana rasanya kalau kamu jadi aku, kamu dihina, kamu dikerjain, kamu dijahilin. Kamu perempuan nggak punya hati. brengsek kamu Pit, bajingan” lanjutnya diiringi tangisan.

Mendengar kegaduhan yang terjadi di kelasnya Dian, Hafidz langsung datang menghampiri kelas Dian. Hafidz menegur Dian ketika melihat Dian yang sudah terbakar emosi.
“Dian…” teriak Hafidz menghampiri Dian “kenapa kamu, ngapain kamu ladeni perempuan ini, ingat per…”
“diam kamu Fidz, kamu itu nggak tahu apa-apa. Aku sudah cukup muak melihat mereka yang selalu mengucilkan aku” bentak Dian lagi memotong perkataan Hafidz.
“tapi bukan begini caranya Dian. Ayo kita keluar. Jangan bikin masalah di kelas ini. Oke” sahut Hafidz seraya menggenggam jemari mungil Dian.

Hafidz membawa Dian keluar ruangan kelas dan pada saat itu keadaan sekolah sudah masanya pulang. Hafidz menggiring Dian ke tempat persembunyiannya yang dimana dua bola mata Dian ditutupi oleh kain hitam. Dian sama sekali tidak tahu tempat itu. Dian Takjub melihat sekeliling tempat itu ketika kain penutup yang terikat di matanya terbuka, sungguh sejuk, bersih dan tenang.
“duduklah” ucap Hafidz lembut pada perempuan yang tingginya 157 sentimeter itu. Terhempaslah pantat Dian menindih rumput-rumput kecil yang tumbuh di sekeliling.
“apa kamu pernah ke tempat ini. Aku yakin kamu belum pernah, sekalipun melihatnya aku yakin kamu tidak pernah” ucap Hafidz selembut mungkin “disinilah tempatku berinteraksi, berinteraksi dengan Tuhan Sang Pencipta Alam” lanjut Hafidz berbicara.
“subhanallah, jujur saja aku belum pernah melihat taman seindah ini. Apa nama taman ini?” ungkap Dian yang kagum dan penasaran.
“taman ini aku beri nama Taman Dian, taman ini seperti kamu” jawab Hafidz.
“seperti aku?” balas Dian bertanya.
“ya, seperti kamu. Taman ini berbeda dari yang lainnya. Taman ini begitu kuat walaupun tidak terlalu banyak hal yang berarti, hanya taman yang hijau dengan ditemani danau yang indah, serta pohon-pohon yang siap memanjakanku dengan udara yang sangat istimewa” ucap Hafidz santai.
“apa berarti aku harus…”
“yaap, kamu itu harusnya kuat menghadapi segala apapun masalah. Seperti kejadian barusan, itu hal bodoh, Cuma melukai dirimu aja Dian” serobot Hafidz “aku tahu kamu emosi dan sudah nggak tahan dengan kelakuan mereka itu, kamu punya tangan dan jari, kenapa nggak kamu tulis aja apa yang kamu alami saat ini. Akan lebih bermanfaat dibanding kamu pukul para perempuan bin*l itu” lanjutnya lalu menggamit punggung tangan kanan Dian.
“ ‘DEG’ kenapa aku deg-degan gini ya. Ahh nggak mungkin, Hafidz sahabatku semasa SMP” ucap Dian membatin. “kamu benar Fidz, tapi aku harus mulai dari mana Fidz, aku bingung. Apalagi aku belum pernah menulis sebelumnya” ucap Dian terus terang.
“kalau itu masalah gampang, biar aku bantu kamu deh” jawab Hafidz yakin lalu membelai Rambut panjang Dian yang panjang seperti sutra.
Hafidz lalu merangkul pinggang Dian yang otomatis kepala Dian bertengger di bahu lelaki 1,69 meter itu. Dian merasa terlindungi pabila di dekat Hafidz karena hanya Hafidz lah yang mau menemaninya.

Setahun sudah berlalu dan tak terasa Dian dan Hafidz akan melaksanakan Ujian Nasional. Ujian Nasional yang diadakan tiga hari pun tuntas dilalui oleh Hafidz dan Dian.
Saatnya pengumuman hasil Ujian Nasional pun tiba, Dian Anggraini Putri Yani menduduki posisi pertama dengan Nilai hasil akhir delapan koma sembilan lima. Suatu nilai yang fantastis yang digapai oleh Dian.

“Hafidz…, Hafidz…” teriak Dian di depan rumah Hafidz. Mendengar teriakan Dian, Hafidz bergegas keluar dan menemui Dian.
“ada apa Dian, pagi-pagi sudah ngagetin orang aja” sergah Hafidz yang merasa terganggu tidurnya. Dian langsung lompat dan memeluk hafidz yang sudah 1,75 meter itu dan dengan sigap Hafidz balas memeluk Dian dengan gelagat yang masih kebingungan.
“ada apa Dian” bisiknya di daun telinga Dian.
“aku peringkat satu Fidz, aku peringkat satu di sekolah. Aku nggak percaya Fidz, ini betulan atau cuma mimpi” celoteh Dian lalu menyuruh Hafidz menjewer kuping Dian. “aduuhh. Sakit tahu Fidz” protes Dian.
“lah, ‘kan kamu yang minta Dian” protes balik Hafidz.
“hehehe.., kelewat senang makanya jadi begini Fidz” ucapnya kegirangan.
“aku ucapkan selamat sama kamu, kamu sudah berhasil lulus dengan nilai yang luar biasa. Tetapi, sepertinya kita harus terpisah sementara” ucap Hafidz seraya melepaskan pelukan Dian.
“maksud kamu apa Fidz, kamu mau ninggalin aku, kamu mau aku tersiksa disini ya Fidz, kamu mau…”
“sssttt…” potong Hafidz menempelkan jari telunjuknya di bibir tipis Dian. “lebih baik kita masuk dulu” ajak Hafidz ke dalam rumah.

ADVERTISEMENT

Di dalam Rumah yang hampir dua kali rumahnya Dian, Hafidz menjelaskan sesuatu sambil menunjukkan surat yang berisi kertas pemberitahuan penerimaan mahasiswa Monash University di Australia. Setelah mendengar dan penjelasan hal tersebut, Dian menangis sesunggukan. Dian tidak bisa membendung air matanya lagi.
“Dian, hentikan tangisanmu Dian” ucap hafidz lembut “Dian, lihat aku” lanjut Hafidz sambil memegang kedua pipi Dian yang langsung beradu mata dengan Dian yang masih mengalirkan air mata. “Dian, aku janji nggak akan tinggalin kamu. Kamu orang yang luar biasa buat aku. Aku janji, sebaliknya aku dari Australia, aku akan temui kamu, dan orangtua kamu” ucap Hafidz sangat lembut di depan wajah Dian. Tanpa sadar, Dian merangkulkan tangannya ke belakang kepala Hafidz, lalu tersenyum dan kemudian bersentuhanlah bibir Dian dan Hafidz. Untuk beberapa saat, perasaan dan pikiran kedua insan ini menyatu untuk sementara, menumpahkan segala emosinya. Saat kedua insan itu melepaskan ciumannya, Dian langsung memeluk erat Hafidz lalu menangis kembali. “aku akan menikahimu setelah aku lulus, karena aku cinta kamu sejak lama” ucapan Hafidz membuat Dian makin menambah laju air matanya.

Hafidz melepaskan pelukannya lalu pergi meninggalkan Dian yang masih menangis. Tak berselang lama Hafidz kembali dan membawa kotak kecil yang langsung diberikan kepada Dian. Dian langsung membuka kotak kecil yang isinya adalah kalung emas putih dengan bandul bertuliskan “BE_STRONG”. Semakin terharu Dian karena keseriusan Hafidz yang ingin menjadikan istri setelah Hafidz lulus kuliah. Dipeluknya lagi Hafidz sebagai tanda perpisahan yang sangat berat. “besok pagi aku akan berangkat ke Australia, jaga dirimu baik-baik ya Dian” ucap Hafidz dengan penuh kasih sayang lalu mencium hangat kening Dian.

Keesokan harinya, Dian mengantarkan Hafidz menuju Bandara Sepinggan Balikpapan. Hafidz terlebih dahulu harus transit ke jakarta, lalu menuju Bandara di Sydney, Australia. Dalam hati Hafidz tidak ingin meninggalkan Dian, tetapi masa depan sudah memanggil di negeri yang berjulukan Negeri Kangguru itu. Dian melanjutkan studinya ke universitas ternama di Samarinda, dunia kedokteran yang Dian pilih karena Dian ingin menggapai cita-citanya seperti apa yang dikatakan Hafidz waktu lalu.

Dengan bantuan beasiswa, akhirnya setelah enam tahun bergelut di dunia perkuliahan Dian mendapatkan gelar dokter dengan hasil cum laude. Dian yang mempunyai kekurangan mampu meraih gelar dokter muda. Tanpa sepengetahuan siapapun termasuk ibunya, ternyata Dian meluncurkan sebuah buku novel. Dan dua bulan lagi Dian akan melaunching novel pertama Dian.

Enam hari sudah berlalu sejak Dian mendapatkan gelar dokter. Hingga dia membuka praktek umum di ruko yang disewanya selama setahun. Dalam kepindahannya menuju ruko yang disewanya, Dian merindukan sosok penenang dan penyemangat dirinya, Hafidz. Dian memandangi kalung pemberian Hafidz, sang pemberi semangat. Dian berharap Hafidz cepat pulang karena Dian sudah sangat merindukan Hafidz yang enam tahun telah berpisah.

Dua bulan pun sudah berlalu. Dan hari yang ditunggu pun sudah tiba untuk peluncuran novel perdananya. Sebuah hotel berbintang pun telah dipersiapkan untuk memperlancarnya kegiatan launching novelnya. Saat Dian memasuki ruangan yang telah dipersiapkan, semua orang terlihat kaget, karena orang yang ditunggu adalah seorang yang luar biasa menurut salah satu wartawan majalah.

Beberapa pertanyaan pun dilontarkan wartawan untuk Dian. Dari pertanyaan masa-masa sekolah hingga masalah keluarga Dian.
“mbak Dian, terinspirasi dari siapa novel yang mbak buat, dan siapa kekasih mbak saat ini? Apakah ada seseorang yang memberi anda semangat dan memotivasi anda selama menuliskan novel ini?” ucap wartawan dari majalah GLAM’Our itu.
“sebenarnya, buku ini menunjukan kisah saya pribadi. Buku ini saya buat untuk memberi motivasi kepada wanita-wanita dan juga ingin membuktikan kalau saya bisa walaupun saya berbeda. Manusia cacat seperti saya bisa menggapai cita-cita, itu karena semangat dan rasa pantang untuk menyerah. Saya teringat kata-kata dari seseorang yang dekat dengan saya dulu bahwa semua orang berhak punya cita-cita, jangan jadikan kekurangan sebagai kelemahan, tetapi jadikan sebagai kelebihan yang orang normal tidak miliki. Orang berhak menghakimi, tetapi orang tidak berhak untuk mengatur kemauanmu” jelas Dian sambil menitikkan air mata.

Entah mimpi atau kenyataan, seorang lelaki telah berdiri menatapi Dian di pinggir pintu. Dengan senyuman yang khas yang sangat dikenali oleh Dian. “apakah itu hafidz yang sedang memandangi aku terus. Kok aku gak yakin ya, tapi dari senyumannya kok khas banget sih” ucap Dian membatin. Seakan tahu isi dari hati Dian, sang lelaki itu pun menganggukkan kepalanya lalu mengucapkan suatu kata dari kejauhan yaitu “be strong”. Langsung bangkitlah Dian dari singgasananya, dengan yakin Dian mengambil tongkat lalu berjalan dengan tergesa-gesa. Tanpa basa-basi, sang perempuan memeluk lelaki itu, lelaki yang sangat dirindukannya selama enam tahun. Tanpa bisa dibendung lagi, air mata mulai membanjiri mata Dian dan menangislah Dian di dalam dekapan Hafidz.
“miss you so much, Fidz. I really miss you” ucap Dian sesunggukan.
“miss you too Dian. Janji ku sudah aku laksanakan ‘kan” balas Hafidz mendekap erat tubuh Dian dan mengecup pangkal rambut di kening Dian. Dian makin merapatkan tubuhnya ke lelaki berperawakan 180 sentimeter itu. “aku sudah temui orangtuamu, dan orangtuamu menyetujui niatku untuk meminangmu. Meminang gadis yang luar biasa kuat, gadis yang merupakan taman di pangkal hati dan relung jiwaku, dan gadis yang telah berhasil menggapai cita-citanya” lanjut Hafidz seraya memandang mata cokelat Dian.
“kamu jahat Fidz, kenapa kamu nggak kabari aku dulu, seenggaknya aku bisa jemputin kamu, aku jadi malu kalau begini Fidz, aku…”
“sssttt” potong Hafidz menempelkan telunjuknya di bibir mungil Dian. “kamu nggak berubah ya, kalau sudah kesal pasti ngomong nggak pakai nafas” ucap Hafidz yang membuat Dian mengembangkan senyum tipis di bibirnya.
“astaga, aku lupa” Dian nyeletuk tiba-tiba. Diambilnya tongkat berjalan lalu berjalan menuju meja dan Hafidz mengekori dari belakang.
“maaf mas-mas dan mbak-mbak. Wawancara kita terpotong. Apa ada lagi yang ingin bertanya sebelum saya memberitahukan sesuatu”. Ucap Dian menghapus air matanya yang sempat mengalir. Sejenak para wartawan terdiam, hanya beberapa wartawan yang melihat Dian lalu melihat Sang Lelaki secara bergantian. “baiklah kalau tidak ada, seperti yang saya katakan tadi, saya akan memberitahukan sesuatu kepada kalian dan jujur saya sangat gugup sekali” ucap Dian lagi lalu mengembangkan senyumnya. Sang lelaki yang tak lain adalah Hafidz, mendatangi Dian yang sedang duduk manis di kursi hangatnya. “inilah penyemangat saya, lelaki yang memenuhi relung hati dan seluruh pengharapan saya. Dialah orangnya” Dian berdiri lalu memperkenalkan Hafidz pada wartawan majalah tetapi dicegah oleh Hafidz, sehingga Dian kembali menyandarkan tulang ekornya ke bangku.
“maaf kalau kehadiran saya sempat mengganggu kegiatan mas-mas dan mbak-mbak disini. Saya datang kemari karena saya ingin menepati janji saya kepada beliau” ucap Hafidz seraya menggenggam punggung tangan Dian. Para wartawan sempat kebingungan, janji apa yang ingin lelaki itu tepati. “dan saat ini, janji saya sudah saya tepati. Kembali ke Tanah Air, dan kembali menyirami “taman” saya yang sempat layu karena ditinggal oleh penghuninya. Dan juga, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada awak media yang telah hadir untuk peluncuran novel Dian, Dian Anggraini Putri Yani.” Lanjut Hafidz “dan lagi, saya ingin mengabarkan sesuatu hal yang menggembirakan. Saya dan Dian akan melangsungkan pernikahan bulan depan. Jadi saya mohon do’anya kepada mbak-mbak dan mas-mas wartawan untuk kelancaran pernikahan kami yang akan sangat sakral bagi kami berdua” lanjut Hafidz lagi yang membuat para wartawan terkejut sekaligus gembira mendengar hal yang menggembirakan ini. Semua berdiri lalu bertepuk tangan. Dian langsung berdiri, memeluk Hafidz dan kembali menyentuhkan bibir mungilnya yang kedua kali ke bibir Hafidz. Semua bersorak melihat kemesraan yang terjadi di dalam ballroom hotel itu dan peluncuran novel Dian Anggraini Putri Yani berakhir dengan rasa suka cita.

Bulan yang ditunggu pun tiba, Dian akan merasakan kebahagiaan yang tak terkira karena akan ada pelindung di hatinya. Namun di hati Dian sempat mengalami keraguan, apakah Hafidz serius untuk menikah dengannya. Mungkinkah karena kasihan melihat keadaannya yang cacat, atau Hafidz benar-benar mencintainya. Dian sudah siap dengan kebaya cantiknya yang sengaja dijahit oleh ibunya sendiri sebagai hadiah atas pernikahannya, Hafidz pun telah siap juga dengan pakaian pengantian pria berwarna coklat. Para keluarga dan tamu undangan pun sudah tiba untuk melihat prosesi akad nikah kedua mempelai, serta pak penghulu yang akan menikahkan calon suami-istri ini.

“alhamdulillah hirabbil alamin. Semuanya sudah datang, dan calon mempelai laki-laki sudah siap juga. Tinggal kita tunggu calon mempelai perempuan keluar.” Ucap Pak penghulu memulai kegiatan. Tak lama berselang, mempelai perempuan pun datang dengan kebaya cantik yang senada dengan Pakaian yang dikenakan Hafidz, sang mempelai Laki-laki. Dian langsung duduk di sebelah Hafidz. Akad nikah berlangsung serius dan sakral.
“bismillahirrahmaanirrahim, saudara Hafidz Dewantara, ikuti perkataan saya setelah saya mengucapkannya” ucap Pak penghulu. “baik Pak Penghulu” jawab Hafidz.
“Saya Nikahkan dan kawinkan saudara Hafidz Dewantara dengan mempelai wanita yang bernama Dian Anggraini Putri Yani binti Putra Syamsul Yani dengan Mas Kawin Seperangkat Alat Sholat dan emas putih 3 gram serta uang sebesar Satu Juta Lima Ratus Lima Puluh Lima Ribu Lima Ratus Lima Puluh Rupiah dibayar TUNAI”.
“Saya Terima Nikahya Dian Anggraini Putri Yani binti Putra Syamsul Yani dengan Mas Kawin tersebut TUNAI” ucap Hafidz lantang dan yakin dengan satu tarikan nafas.
“gimana para saksi, SAH”.
“SAAAHHH” jawab para tamu dan keluarga kedua mempelai.

Sah lah sudah Dian menjadi Istri Hafidz, sang lelaki pelindung untuknya. Dan Halal sudah Hubungan keduanya. Para kerabat dan teman-teman kuliah Dian serta teman-teman dari dokter memberikan ucapan selamat kepada Dian atas pernikahannya. Salah satu teman kuliah Dian sempat membisikkan sesuatu ke telinga Dian “Selamat Dian, kamu memang luar biasa. Aku nggak tahu kalau kamu punya cowok yang super banget. Semoga bahagia Dian” ucap dr. Catrina, teman kuliahnya yang sekarang juga menjadi dokter yang memberikan selamat. Semuanya berdo’a untuk menjadikan pasangan pengantin baru ini bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah.

TAMAT

Cerpen Karangan: Panji Asuhan
Facebook: Panji_asuhan[-at-]yahoo.com

Cerpen Taman Dian merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Apa Sih Cinta (Part 1)

Oleh:
Bagi seorang Driana cinta itu bukan apa-apa, dan tak pernah mempermasalahkannya, dia tidak pernah mengalami jatuh cinta. “Dri, lo mau balik apa main dulu?” kata Chika, teman Driana. Mereka

You’re My Little Secret

Oleh:
Pagi senin yang cerah. SMA Merah Putih tampak lebih hidup hari ini dengan suara riuh rendah para siswa mulai dari tingkat sepuluh sampai tingkat dua belas yang sedang berkumpul

Biru

Oleh:
“Liam, kau tahu, aku ini selalu menyukai warna biru.” Saat itu, angin berhembus dengan kencang, mempermainkan rambut panjangnya yang hitam legam. Netra berwarna biru gelap itu fokus menatap hamparan

Kita dan Hujan

Oleh:
Ku kumpulkan segala rasa pada ujung jemari Tak memberikan celah sedikitpun untuk membuang rasa yang tak pernah ku mengerti Walau dirimu hanya bayang semu dalam setiap mimpiku Hujan yang

Bintang Hancurpun Tak Sepenuhnya Hancur

Oleh:
Rasa tak pernah berbeda ketika seseorang merasa ingin sekali menang. Begitupun aku yang selalu menginginkan kemenangan. Saat ini aku hanya duduk diam berada di atas ranjang tidur. Balutan udarapun

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Taman Dian”

  1. Endanie says:

    Cerpennya KEREEEN ABIS (Y)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *