Terpleset Cinta di Lapangan Hijau (Part 3)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 25 April 2017

Tak kusadari sudah setengah tahun aku latihan bersama Egi dan sering belajar bersama di perpustakaan saat istirahat. Selain itu, Egi juga sering main ke rumahku untuk belajar bersama. Kadang aku yang ke rumahnya. Hingga teman-temanku di sekolah menganggap aku dan Egi berpacaran. Mungkin memang seperti orang berpacaran namun, kami tak berdua saja. Dia selalu bersama temannya dan aku juga selalu bersama Rahma dan April. Sejak aku kenal dia aku semakin terlihat jika sebenarnya aku anak pandai dan rajin karena tempat istirahatku adalah perpustakaan bukan kantin lagi. Sejak itu pula, lapangan futsal di sekolah kami menjadi basecamp. Futsal, mengerjakan tugas, curhat, dan canda tawa kami selalu ada di lapangan futsal itu. Awal aku mengenal kata suka, kagum, dan cinta juga di lapangan. Ya, aku mulai menyukai Egi. Suka karena dia tampan dan pandai. Suka itu berkembang menjadi kagum dan tumbuh menjadi benih cinta.
Ety, tergolong dalam tipe cewek tomboy. Jadi, aku hanya bisa menyimpan rasa itu dengan rapi. Terbesit keinginan untuk mengungkapkan. Tapi, itu suatu saat nanti bila aku menemukan waktu yang tepat. Hanya aku, Tuhan, dan buku diaryku yang tahu jika aku mengaguminya.

“Ety!! Selamat ya kamu dapat rangking satu.” Teriak Eko teman Egi yang sering meledekku.
“Makasih, Eko. Ehh, Dia juga rangking satu lho.” Aku melirik Egi yang sedang memainkan handphone-nya. Dia hanya tersenyum dan menaikkan alisnya.
“Ty? Nggak jadilah” Egi tiba-tiba aneh, seperti ingin mengatakan sesuatu tapi ingin empat mata saja.
“Ahh, Egi nggak asyik, PHP. Ngomong aja nggak jadi.” Protes Fendi yang tak biasanya dia protes karena dia merupakan teman Egi yang paling kalem dan pendiam.
“Alhamdulillah, terima kasih Yaa Allah, Engkau telah memberikan Fendi suara lebih. Sehingga dia bisa protes. Suatu kehormatan bagi saya bisa membuatnya protes. Haha…” semua tertawa mendengar Egi mengatakan kalimat itu. Dan Fendi tersipu malu, wajahnya seketika memerah.

Teman-teman Egi, Rahma, dan April sibuk bercerita dan bercanda. Sedangkan aku dan Egi bermain bola di lapangan. Indah sekali suasana ini. Bermain bola berdua ditemani canda tawa teman-teman. Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit dan satu jam sudah aku bermain bola dengan Egi namun tak ada rasa lelah. Satu per satu tenam-teman pamit pulang dan tersisa aku dan Egi. Aku duduk di tengah lapangan karena merasa lelah. Menyadari hal itu, Egi ikut berhenti dan menggiring bola ke arahku. Dia membaringkan tubuh disampingku dan kulirik dia, matanya terpejam.
“Landak!! Jangan tidur!!” aku memukul bahunya. Seketika dia membuka mata.
“Landak? Sejak kapan aku landak? Siapa yang tidur? Aku lagi menikmati oksigen yang kuhirup. Enak aja tidur.” Dia menarik tangan kananku yang kugunakan untuk menopang tubuhku. Sehingga kini aku terbaring. Kepala membentur telapak tangan Egi yang siap menjadi bantal saat aku jatuh.
“Dasar Landak!! Kalau kepalaku terbentur gimana coba?” dengan nada jengkel aku memprotesnya.
“Aku mikir kali. Makanya tanganku disini. Ehh, kenapa seorang Ety memanggilku Landak? Beri aku alasan. Dia memengubah posisi menjadi tengkurap dan menatapku penuh pertanyaan.
“Karena rambutmu seperti landak.” Dengan enteng dan tanpa rasa bersalah aku menjawabnya. Tiba-tiba…
“Aaawww… Sakit!!” teriakku saat hidungku ditarik olehnya. Seketika wajahku memerah seperti bule yang lama kepanasan. Lagi-lagi Egi tertawa puas setelah menarik hidungku dan melihatku sangat marah.
”Udah, udah jangan marah dong, Ty.” Rayunya setelah membuatku marah. Aku masih saja memasang wajah terseramku. “Jangan marah, please! Aku minta maaf.” Dia merangkul yang sedari tadi duduk karena hidungnya ditarik olehnya. Dia sering merangkulku untuk menenangkanku. Tak hanya aku, tapi semua teman-teman. Aku menutup wajahku dan mengusapnya berharap rasa sakitnya berkurang.
“Baaaaa…” saat aku membuka usapan tangan diwajahku. Aku tertawa diperlakukan seperti anak kecil. “Nah, gitu dong kan cantik.” Lanjutnya memujiku. Aku tersipu malu.

“Ety?” dia memanggilku seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Ya?” aku menoleh, menatap matanya penuh pertanyaan.
“Aku mengagumimu.” Aku benar-benar kaget mendengarnya.
“Aku tidak bercanda. Aku mengagumimu.” Dia mengulang lagi kalimatnya. Dia begitu peka dengan tatapanku yang butuh penjelasan.
“Iya, kamu tomboy, tapi apa adanya. Tak sungkan bertanya saat tak mengerti dan tak bisa. Sejak kenal denganmu, aku lebih rajin dari sebelumnya. Karena kita sering belajar bersama tak hanya nongkrang di kantin dan di sini. Sejak ada kamu lapangan ini menjadi taman yang indah penuh canda dan tawa.. Aku ingin semua dugaan dan pikiran teman-teman menjadi nyata. Maukah kamu menjadi pacarku?” dia menatapku tajam penuh harapan. Aku memalingkan tatapannya dan menunduk. Aku senang sekaligus sedih.
“Eeemm… sebenarnya aku juga memiliki rasa yang sama sepertimu. Tapi, aku tak ingin semua dugaan dan pikiran teman-teman menjadi nyata. Aku ingin seperti ini saja. Aku lebih nyaman dan lebih senang dengan ikatan persahabatan daripada pacaran. Menurutku, jika kita sahabat seperti ini bisa bertahan hingga tua. Masalah bisa kita selesaikan bersama dengan teman yang lain agar tak pecah persahabatan kita di lapangan ini. Tapi, jika pacar kita pasti aka nada masalah dan masalah itu akan kita selesaikan hanya berdua. Jika selesai kita masih berhubungan, jika tak terselesaikan hanya putus jalan terbaiknya. Setelah kita putus, kita akan merasa enggan menyapa dan bersama dan lapangan ini bukan lagi tempat terindah lagi. Aku tak ingin kehilangan sahabat sepertimu, jadi aku menolak menjadi pacarmu karena aku berharap lebih lama bersamamu. Sahabat selamanya. Sahabat tak akan menyakiti, tak seperti teman.” Aku menatapnya dan tersenyum. Dia terlihat malu dengan jawabanku.
“Maafkan aku, Ty. Ternyata aku salah dalam menilai hubungan kita. Kamu memikirkannya begitu jauh. Aku setuju denganmu. Memang sahabat tak akan nada kata ‘putus’, sedangkan pacar aka nada kata ‘putus’. Ety ternyata lebih pintar dari Egi.” Dia merangkulku tanda kita akan sahabat selamanya. Jika kita ditakdirkan berjodohpun akan tetap sahabat.

Liburan akhir semester dimulai, saatnya aku bermain seharian dengan puas. Aku bisa bermain sepak bola dengan puas dan bebas nonton pertandingan. Saat libur tidak ada larangan begadang menonton pertandingan sepak bola. Apalagi klub yang bertanding Arsenal. Nggak akan ketinggalan saat liburan.

Dert… dert…
Handphoneku bergetar. Kulihat satu pesan masuk dengan pengirim ‘Landak’.
“Ty, main bola yuk!! Udah seminggu nggak main nih.”
Aku tersenyum membaca pesannya.
“Heh Landak! Ngomong aja kangen sama aku! Gitu aja malu. Payah. Main di mana?”

Sejak kejadian saat itu aku tak malu-malu mengatakan sesuatu dengannya. Diapun demikian. Dan sejak saat itu, kita semakin terbuka dalam bercerita hal apapun itu. Dia kuanggap sebagai kakak laki-lakiku dimana tempatku berkeluh kesah. Semakin hari, semakin akrab dan tahu semua kesukaan, kebiasaan dan lainnya. Pokoknya kita benar-benar seperti kakak beradik. Hingga suatu hari Egi memiliki pacar, seangkatan dengannya. Saat aku tahu, aku marah tapi, aku memendamnya. Setelah dua minggu rasa kecewa, marah dan ingin memutuskan persahabatan ini hilang karena dugaanku salah. Aku pikir Egi lupa denganku dan akan mengutamakan pacarnya. Namun, saat kita berkumpul dia lebih memilih meninggalkan pacarnya daripada sahabatnya. Dan ternyata, tak hanya aku yang berpikiran seperti itu. Teman-teman yang lain pun memiliki pikiran sepertiku.

Setelah tiga bulan Egi berpacaran dengan Anin, aku berpacaran dengan teman seangkatanku, Uzi. Namun, aku putus setelah satu bulan dan Egi masih bertahan dengan Anin. Hingga aku memiliki mantan tiga dia masih bertahan. Kupikir aku tak bisa mengagumi cowok lain, selain Egi. Dan aku memutuskan tak berpacaran lagi. Saat dilapangan aku selalu menjadi bahan utama candaan mereka. Semua penghuni lapangan tahu Ety dan Egi saling suka tapi, tak mau berpacaran dan mereka mendukung keputusan kami.

“Ty, putus terus nggak bisa move on dari Egi yaa?” selalu Eko yang memulai meledekku.
“Iya nih mungkin Egi terlalu mempesona dimataku.” Jawabku enteng penuh kejujuran.
“Aduuhh, kasihan temanku ini. Mas Egi bagaimana denganmu kok lama putusnya?” April ikut andil. Kini giliran Egi yang diledek.
“Gimana ya? aku juga belum berhasil move on. Sepertinya Ety terlalu khas auranya deh jadi aku klepek-klepek karena Ety.” Dengan santai dan tanpa rasa malu dia mengutarakan kejujurannya dan bibumbui dengan kata alay.semua tertawa mendengar kalimat Egi. Lapangan futsal masih indah, semakin indah dan semakin ramai canda tawa kami. Apalagi setelah semuanya tahu bahwa aku dan Egi saling suka. Dan ternyata April dan Eko juga saling suka. Kemudian mereka memutuskan untuk sahabatan saja layaknya aku dan Egi. Meski ada bahan candaan baru, yaitu kisah Eko dan April namun, bahan utama candaan kami tetaplah Ety dan Egi. Yang akhir-akhir ini panggilan kami berbeda. Landak, begitu aku memanggil Egi karena rambutnya seperti landak. Dan Kelinci, adalah panggilan untukku dari Egi, katanya dia merasa gemes seperti melihat kelinci saat melihatku tersenyum karena lesung pipitku. Padahal dia sendiri memiliki lesung pipit di pipi kanan dan kirinya, sedangkan aku hanya pipi kiri saja.

Dert… dert…
“Ci, aku besok mau ikut -tryout- di SMA 7 sama Anin. Sampaikan ke teman-teman ya aku nggak ikut main. Thanks Kelinciku tersayang. Salam lama tak guyon.”
“Cieee, sekarang berduaan aja. Udah seminggu lho nggak main.” Aku membalas pesannya. Sebenarnya kecewa tapi, aku menutupinya.

ADVERTISEMENT

Dert… dert… dert…
Panggilan masuk. Tertera nama Landak.
“Assalamu’alaikum. Salam lama tak guyon.”
“Wa’alaikumsalam, Kelinciku. Maaf ya aku nggak bisa ikut. Soalnya aku udah bayar sebulan lalu. Sayang kalo ditinggalkan. Maaf ya?” ucapnya memelas seperti ada di depanku sedang memohon.
“Biasa aja kale, Ndak. Berangkatlah itu ilmu. Masih ada hari lain kita main.” Aku mencoba menenangkannya.
“Aku kangen banget lho seminggu nggak ngumpul, nggak ketemu Kelinci. Satu sekolah aja nggak pernah lihat. Apa aku terlalu sibuk?” aku berpikir demikian juga. Satu sekolah saja tak pernah bertemu.
“Kamu kan les, pulang sore. Aku juga seminggu ini nggak keluar kelas. Perpustakaan enggak, kantin juga enggak. Wajar kalau nggak ketemu, Ndak. Sama-sama sibuk.” Aku mencoba menjelaskan.
“Benar juga. Udah jam Sembilan, tidur yuk, Ci!”
“Siap Kapten Landak. Assalamu’alaikum.jangan lupa mimpikan aku.” Aku mengakhiri dengan meledeknya, hal yang biasa kulakukan.
“Jangan lupa juga undang aku dalam mimpimu. Wa’alaikumsalam.”
Tut… Tut…Tut…

Suasana yang cerah. Secerah suasana hatiku. Dengan ssemangat aku berangkat ke sekolah karena hari ini aku akan bertemu keluarga futsal. Meskipun tanpa kaptennya. Semenjak kenal dengan Egi aku berangkat selalu lebih awal. Tidak lagi tepat jam tujuh dan tepat guru masuk. Dia sudah merubah kebiasaan burukku.
“Biologi, Ety! Kita ketemu monster.” Ucap Rahma yang sangat membenci guru Biologi.
“Dinikmati saja, Ma!” dengan santai dan tanpa dosa aku menjawabnya. “Nanti siang Egi nggak ikut main, dia terlanjur mendaftar tryout sebulan lalu.” Lanjutku.
“Hah? Nggak seru dong?” April tak bersemangat karena dia yang selalu menjadikan aku dan Egi bahan utama candaannya.
“Assalamu’alaikum, pagi ini mata pelajaran Biologi, ya?” wanita paruh baya yang dikatakan monster oleh Rahma masuk.
“Wa’alaikumsalam. Ya, bu” kami menjawab serentak.
“Hari ini semua mata pelajaran ditiadakan. Berbahagialah kalian. Dan bersedihlah kalian karena ada berita lelayu.” Lanjutnya membuat kami penasaran. Sebenarnya siapa yang meninggal.
“Kakak kelas kalian tadi pagi kecelakaan, saat dibawa ke Rumah Sakit hanya bertahan sebentar dan meninggal. Dia siswa teladan sekolah kita, Rizky Egi Permana.” Guru Biologiku menangis setelah mengatakan berita yang membuat kami penasaran. Sontak April dan Rahma langsung menoleh ke arahku tanda tak percaya dengan berita ini. Seketika tubuhku lemas seperti kehilangan tenaga yang berlebihan. Aku tak percaya Landak pergi secepat ini.

Semua siswa dan guru sekolahku pergi ke rumah Egi. Ya, ini jalan kerumahnya. Terlihat kerumunan orang dirumahnya. Aku berjalan kea rah rumahnya bersama April dan Rahma. Kudapati Om Ripto merangkul istrinya sedang menangis di samping peti. Kulihat di belakang om Ripto ada ayah. Aku berlari ke ayah dan memeluknya. Menyadari hal itu, Om Ripto dan istrinya berdiri dan memelukku.
“Yang sabar, Ty. Ikhlaskan dan doakan Egi tenang di sana.” Ibu Egi mencoba kuat dan menenangkanku. Aku tahu beliau merasa sakit melebihi rasa sakitku. Egi adalah adak kesayangan mereka, kini telah pergi selamanya. Orangtua mana yang tak sakit dengan keadaan ini.
Hingga pemakaman selesai aku masih menangis. Sakit. Tak adil.

“Ety harus sabar, jangan nagis lagi, ya? biar Egi tak sedih melihatmu.”
“Yang kuat ya, Ty.”
“Jangan menangis, ikhlaskan Egi.”
“Ini yang terbaik buat Egi, ikhlaskan dia, Et!”
Entah siapa saja yang menghampiriku dan memcoba menenangkanku. Ingin kulakukan hanya menangis dan menangis. Aku tak peduli dengan apa yang mereka katakan. Mungkin jika mereka di posisiku akan sepertiku.

“Ety!! Jangan di kamar terus. Doakan Egi, dia butuh doa bukan air matamu.” Kakakku mencoba merayuku. Aku hanya mengangguk. Tanpa sadar sudah tiga hari aku mengurung diri di kamar. Ya, dua hari ini tanggal merah jadi aku bebas menangis di rumah. Aku bangun dan duduk di meja belajarku. Kubuka buku Matematika.
“Ketelitiannya ditingkatkan!! Semangat belajar, Kelinci.” Aku tersenyum membaca tulisan Egi di bukuku. Lalu kubuka buku Bahasa Indonesia banyak tulisannya. Aku kembali menitikkan air mata.terbayang saat-saat indah bersama dengannya. Terbesit penyesalan mengapa aku dulu tak menerimanya jadi pacarku. Jika aku menjadi pacarnya mungkin sekarang sudah putus dan aku tak akan merasa kehilangan yang amat dalam seperti ini. Aku lelah bersedih. Memang benar untuk apa aku bersedih? Menangis berhari-hari tak akan membuat Egi hidup kembali.

Setelah libur dua hari dan menangis hingga membuat mataku bengkak aku pergi ke sekolah. Aku tak akan menangis lagi. Egi butuh doa bukan air mata. Aku mencoba tetap konsentrasi selama mengikuti pelajaran. Dalam tulisan-tulisan Egi dibukuku dia menginginkan agar aku selalu semangat belajar dan selalu berusaha menjadi yang terbaik. Aku tak akan pernah melupakan sahabatku, Egi. Dengan mengingatnya, aku semangat belajar. Kujadiakan Landak sebagai motivasiku untuk mengejar cita-citaku. Semoga dia bahagia melihatku semangat belajar karena dia. Salam Lama Tak Guyon!!

SELESAI

Cerpen Karangan: Ety Wahyuningsih
Facebook: Ety Wahyuningsih

Cerpen Terpleset Cinta di Lapangan Hijau (Part 3) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


I Really Love You

Oleh:
Ingin kuakhiri semua ini, namun aku hanya bisa menatap senyumannya yang selalu terpancar di wajahnya… “Hai” seseorang telah mengagetkanku dari lamunan. “ada apa? Kamu membuat aku terkejut” “kamu liat

Julie

Oleh:
“eh.. liat deh. miss sinting itu mau ke sini.” “ayo buruan kita cabut, ntar ketularan sinting kita.” “iya. ayo cepetan.. cepetan..” Belum sampai aku di bangku taman sekolah, gerombolan

Salah Faham

Oleh:
Apa yang harus Aku lakukan ketika Sahabatku membenciku hanya karena hal sepele? Haruskah penjelasan itu Ia abaikan? Setidak pentingkah suatu penjelasan itu? Hingga akhirnya suatu kesalah pahaman pun muncul

Hati Seorang Ayah

Oleh:
Tengah tersandar dari lelah yang menguras semua tenaganya, juga tetesan peluh rela ia buang, bersama hari-hari yang dipenuhi sandaran doa di setiap langkahnya.. Begitulah ratapan hidup seorang lelaki tua

Regret

Oleh:
Biar hujan datang membasahi bumi, aku masih termenung dalam renungku. Terdiam, menatap rintik air berjatuhan ke tanah. Enggan ku, untuk beranjak dari disini. Dari tempat ini. Kilatan petir bak

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Terpleset Cinta di Lapangan Hijau (Part 3)”

  1. rey says:

    ka cerpennya jgn pendek kli donk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *