Tetaplah Bersama Ku

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 1 March 2016

‘Ada yang tak ku mengerti dalam hidupku ini, kadang aku berpikir apa yang aku inginkan? Apa yang ku cari. Kehampaan ini enggan meninggalkanku.’ Ketika aku sedang sibuk sendiri dengan pemikiranku, tiba-tiba saja suara gaduh itu menyadarkanku.

“Ada apa itu?” Batinku penasaran, aku pun langsung menghampiri orang-orang itu.
Terdengar sangat riuh saat aku mulai mendekat.
“Permisi… Permisi…” Aku mencari celah dalam kerumunan itu, dan terlihatlah seorang pria muda bertato tergeletak di sisi jalan raya.
“Siapa orang ini? Kenapa dia?” Aku bertanya dengan nada keras kepada semua yang ada di sana.
“Dia Gangster pemabuk, baru saja dia ditabrak lari, dia selalu membuat kerusuhan di sini, akhirnya dia mati juga.”

‘Hah! Perkataaan macam apa itu?’ Batinku. Ku rasa ini bagian dari tugasku, aku pun tak tega melihat orang ini malah menjadi tontonan.
“Tolong bawa dia ke mobil saya,” Ucapku. Semua orang menatapku heran, tapi akhirnya mereka menuruti perkataanku. Aku langsung membawanya ke Rumah Sakit tempatku bekerja, dengan bantuan beberapa perawat aku mulai menanganinya. Ku bersihkan luka di wajahnya. Tanpa niat, aku memandangnya lama. Entahlah ada yang beda ku rasa.

“Maaf Dokter, apa butuh alkohol lagi?” Ucap seorang perawat mengagetkanku.
“Oh tidak, sudah… Sudah cukup. Tolong jaga dia saya mau ke ruangan sebentar,”
“Baik Dok.” Beberapa saat kemudian pria Gangster itu mulai siuman.
“Saya di mana?”
“Tenang Pak, Bapak di Rumah Sakit. Dokter Yura yang membawa anda ke sini,”
“Jangan panggil gue Bapak!” Tegasnya.
“Maaf..”
“Ada apa ini?” Tanyaku ketika mulai memasuki ruangan.
“Ini Dok.”

“Oh rupanya sudah sadar,” Aku langsung memotong ucapan perawat itu dan menghampiri mereka.
“Permisi Dok, saya mau ke luar,” Ucap perawat itu.
“Oh iya terima kasih,” Lalu ku sunggingkan sedikit bibirku, dan kini di ruangan perawatan itu hanya ada aku dan pasienku, entah siapa dia.
“Lo siapa?”
“Saya Dokter Nayura, panggil saja Dokter Yura. Tadi saya melihat anda tergeletak di jalan raya, orang di sekitar berkata bahwa anda adalah korban tabrak lari,” Jelasku.
“Oh.” Singkatnya. Oh tidak! Penjelasanku panjang lebar hanya di balas dengan kata, “Oh.”

“Sebaiknya anda istirahat saja dulu, kondisi anda masih lemah,”
“Gue mau pulang,” Spontan dia langsung turun dari ranjangnya.
Aku langsung menarik tangannya, bermaksud menahannya. Namun, dia malah menatapku dengan tatapan tajam.
“Maaf, tapi anda masih perawatan di sini. Anda belum pulih,”
“Gue gak peduli,” Dia kembali menatapku dengan tatapan tajamnya, dan terus berjalan ke luar dari ruangan itu.
‘Lelaki macam apa itu, tak tahu terima kasih.’ Kesalku.

Setelah kejadian itu, ku lalui hari-hariku seperti biasa. Tak ada yang berubah. Tetap menghabiskan waktu bersama pasien-pasienku di Rumah Sakit. Namun, bila aku memasuki ruangan bekas lelaki tak tahu diri itu dirawat, aku selalu teringat wajahnya. Di akhir pekan ini aku punya jatah 2 hari libur, karena biasanya aku selalu lembur. Ku pikir 2 hari lumayan untuk ku pakai refreshing. Ku persiapkan kamera kesayanganku, meski seorang Dokter aku pun hobi memotret. Namun, karena pekerjaan yang selalu menyita waktuku, aku jadi tak punya kesempatan untuk hunting. Tak terasa matahari sudah ingin pulang.

“Wah udah sore aja, kalau kejebak macet bisa kemaleman nih, mana ada janji bareng temen-temen lagi,”
Akhirnya untuk menghindari macet aku memutuskan untuk lewat jalan pintas, meski yang ku dengar di jalan ini sering banyak gangster-gangster berkeliaran.
“Ah sudahlah, yang penting aku bisa pulang tepat waktu.” Aku mulai memasuki kawasan para gangster ini. Benar saja, baru setengah perjalanan mobilku sudah dihadang beberapa orang menyeramkan. Mereka menggedor-gedor kaca mobilku dengan cukup keras.

“Ada apa ya?” Tanyaku polos, dan langsung menurunkan kaca mobilku.
“Pake tanya, turun!!!” Gertak salah satu dari mereka.
“Tapi maaf saya buru-buru,”
“Wah cari mati lo ya, turun turun!” Mereka memaksaku ke luar, dan tiba-tiba saja…
“Ada yang cari mati bos,”
‘Apa? Bos?’ Batinku, ku pikir aku memang akan mati beberapa saat lagi. Namun ternyata lelaki yang dipanggil ‘Bos’ ini adalah lelaki yang pernah aku tolong.
Ya! Lelaki yang tak tahu diri itu. Aku menatapnya, dia pun sama. Namun, saat ini tatapannya tak setajam kemarin.

“Biarin dia lewat,” Ucapnya datar.
“Tapi Bos, dia…” Ucap salah satu dari mereka. Tapi hanya dengan dengan tatapannya mereka langsung diam tak berkutik.
“Makasih ya,” Ucapku dengan sangat ramah, aku tersenyum, berharap dia akan membalas senyumanku.
Tapi, dia tetap dalam ketenangannya, lalu segera berbalik arah meninggalkanku. Diikuti oleh para anak buahnya.
“Ah sudahlah yang penting aku selamat.” Aku. Langsung menancap gas meninggalkan tempat itu.

ADVERTISEMENT

Keesokan harinya. Hari ini, entahlah mengapa hari ini rasanya aku ingin kembali bertemu dengan lelaki misterius itu lagi. Aku semakin penasaran, semalaman aku tak bisa tidur karena terbayang-bayang wajahnya. Tidak… Tidak… Aku tidak menyukainya, aku hanya penasaran saja. Sungguh! Akhirnya ku putuskan untuk pergi ke tempat di mana kemarin aku bertemu dengannya. Rasa takutku merendah karena rasa penasaranku. Namun, sampai hari mulai sore pun aku tak kunjung melihatnya. Aku sangat kecewa, apalagi ini hari terakhirku libur. Besok aku sudah mulai kembali disibukkan oleh pasien-pasienku. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja. Namun ketika sudah memasuki mobil, tiba-tiba saja ada yang mengetuk kaca mobilku.

“Apaan sih?” Ucapku kesal, jantungku tersentak saat ku lihat wajahnya.
“Ada apa lagi ke sini? Tempat ini berbahaya,”
“A… Aku.” Ucapku gugup.
“Pergi sana!” Usirnya. Lagi-lagi dia menatapku. Teramat dingin.
“Aku hanya ingin tahu siapa namamu.” Ku beranikan diri berucap lagi, walaupun memang tak tepat.
Kemudian hening. Dan akhirnya setelah beberapa saat, “Gue Regga.” Ucapnya datar, dan dia berlalu pergi menghilang dari penglihatanku.
Kini berganti, aku yang terdiam. “Hei salam kenal ya…” Aku berteriak, semoga dia mendengarnya.

Dua minggu setelah pertemuan itu, sejak ku tahu namanya. Ku rasakan otakku mulai tak sehat. Entahlah sejak saat itu aku selalu terbayang wajahnya. Aku selalu memikirkan sesuatu tentangnya, ya tentangnya. Apa mungkin? Ah tidak, tentu saja itu tak mungkin terjadi. Hari sudah mulai malam, lagi-lagi aku memilih untuk lembur di Rumah Sakit. Karena pasien-pasienku pun telah beristirahat, aku memilih untuk berjalan-jalan menyusuri Rumah Sakit, sambil mengecek keadaan sekitar pikirku. Baru beberapa langkah aku berganti pijak, ku lihat dari kejauhan ada seseorang berlari tergopoh-gopoh, ke arahku.

“Dok tolong dok tolong saya,”
“Ikut saya.”

Aku mengajaknya menuju IGD, dan dibantu beberapa perawat. Aku tak sempat melihat orang yang tadi membawa pasien ini. Ku lihat di depanku IGD ada seseorang yang duduk tertunduk lesu. “Tenang, beliau hanya kelelahan, anda bisa melihatnya sekarang.”
“Terima ka….”
“Regga!”

Aku tak menyangka bahwa sekarang yang sedang duduk di hadapanku adalah Regga, sosok yang terus mencemari otakku dengan namanya. Lagi-lagi dia menatapku dingin, tanpa sepatah kata dia langsung memasuki ruang IGD. Sedangkan aku, aku hanya diam mematung. Entahlah, aku harus bahagia atau justru merana. Satu minggu sudah aku bersama Regga, karena Ayahnya dirawat di sini jadi aku bisa bertemu dengan Regga setiap hari. Suatu yang tak pantas, aku mengharapkan Ayah Regga dirawat di sini lebih lama. Oh tidak! Itu konyol. Tapi tak ada yang berubah, sikapnya tetap dingin padaku. Ku lihat dia sedang duduk di taman Rumah Sakit, ku beranikan diri untuk menyapanya.

“Hei…” Sapaku, dia hanya memandangku sesaat.
“Boleh aku duduk?” Lanjutku, lagi-lagi dia tak menggubris keberadaanku.
Akhirnya ku paksakan untuk duduk saja.
“Lagi apa di sini?” Dan untuk yang kesekian kalinya dia tak menjawab pertanyaanku.
“Sesulit itu ya menghargai orang lain? Aku sungguh menyesal.” dan aku berlalu pergi.

Dia menatap langkahku, tapi aku tak peduli. Dan saat itulah saat terakhir pertemuanku dengan Regga di rumah sakit. Karena kini Ayahnya telah dibawa pulang. Aku sudah bertekad untuk melupakannya dan tak akan mengingatnya lagi. Namun tak bisa ku pungkiri, namanya tak pernah bosan untuk menyelusup masuk ke dalam ingatanku. Aku sadar bahwa aku memang mencintainya. Aku sungguh merindukannya. Malam ini aku tak lembur, kurasa tubuhku sangat lelah, terlebih otakku yang tak pernah bosan memikirkan satu orang yang berhasil membuatku seperti ini. Karena sudah malam ku putuskan untuk melewati jalan pintas. Ya! Jalan di mana aku sering mencari-cari Regga dulu. Tapi kali ini aku tak mengharapkan bisa bertemu dengannya. SIAL!!! Aku dihadang beberapa Gangster, mereka memaksaku untuk ke luar dari mobil. Sungguh mereka begitu beringas, aku benar-benar ketakutan. Aku mencoba berteriak meminta pertolongan, meski mustahil ada yang menolongku.

“Jangan sentuh dia!!!” Terdengar suara seseorang berteriak.
Suara itu, aku kenal suara itu. “Apa lo bilang? Lo nantangin kita? Lo itu sekarang udah bukan siapa-siapa lagi. Lemah!” Aku yang sangat ketakutan tetap berdiam diri di dalam mobil. Hanya suara-suara perkelahian antara dua kubu yang aku dengar. “Mati!” Aku mendengar suara itu, dan..

“BRUUKKK!”

Terdengar seperti ada yang terjatuh. Kemudian semua gangster itu berhamburan. Ku beranikan diri untuk ke luar dari mobil. Di sisi jalan raya ku lihat sesosok tubuh terkapar penuh memar dan tetesan darah hampir di sekujur tubuhnya. Dengan sangat hati-hati ku dekati sosok itu. Dari sisi kiri wajahnya aku merasa sangat mengenal sosok ini. Namun karena tak ada penerangan disana maka hanya samar-samar yang mampu ku lihat. Rasa penasaran membuat aku semakin berani. Perlahan ku sentuh wajahnya, dan ternyata, “Regga!”

Sontak aku terkejut, sangat sangat terkejut. Ku letakkan kepalanya yang berlumuran darah akibat pukulan-pukulan tadi di pangkuanku. Perlahan dia membuka matanya sedikit demi sedikit.
Entah berapa tetes air mataku yang jatuh tepat di wajahnya. “A… Aku mencintaimu.” Ucapnya lemah, hampir tak terdengar olehku. Namun aku tak peduli dengan ucapannya itu, aku hanya peduli pada keselamatannya saja saat ini.

3 hari sudah Regga terbaring tak sadarkan diri, aku semakin khawatir bila terjadi sesuatu pada Regga. Haru keempat aku kembali ke ruangannya, aku menyapanya, mengajaknya berbicara.
Namun dia tetap khusuk dalam tidurnya. “Regga. Bangun. Kau tahu? Aku merindukanmu. Aku rindu tatapanmu yang selalu membuatku membeku,” Tetap hening, tak ada respon darinya. Ku pegang erat tangannya, semakin erat. Aku tak ingin kehilangannya, dialah yang menemani hatiku sehingga tak sendiri lagi. Dan beberapa saat kemudian jarinya mulai bergerak, matanya sedikit demi sedikit terbuka. Aku langsung memeluknya, ku teteskan air mata tetap di dadanya.

“Regga, terima kasih,” Ucapku lirih.
“Untuk apa?”
“Karena kau telah membuang jauh rasa hampa dalam hatiku.”

Aku berharap kali ini dia tak lagi menatapku dengan tatapan khasnya. Dia kembali menatapku lagi, tapi tak seperti biasanya. Ada yang berbeda dari tatapannya. Iya tatapannya, penuh arti. Tak lagi membuatku membeku. “Yura…” Aku sungguh tak percaya, dia memanggil namaku. Untuk yang pertama kalinya. Tapi lidahku kelu, aku terlalu bahagia sampai aku tak mampu berkata. Regga menatapku lebih dalam, begitu hangat. Tatapannya seakan mampu mendekapku. Senyumnya, senyum yang lagi-lagi untuk pertama kalinya merekah dari bibirnya. Dia menggenggam lemah tanganku.

“Tetaplah bersamaku.”

SELESAI

Cerpen Karangan: Umi Kulsum Aisyah
Blog: www.umikaaisyah.mywapblog.com
Facebook: Umi Kulsum Aisyah
Twitter: @umikaaisyah12
Hai πŸ™‚ Nama saya Umi Kulsum Aisyah, tapi saya lebih seneng dipanggil Ayi sebenernya. Saya salah satu siswa SMAN 1 Cikulur, Lebak-Banten yang sekarang ini lagi fokus untuk UN πŸ™‚ Ini adalah cerpen pertama saya yang rampung pada 22 Agustus 2015. Saya suka dengan literasi, bermimpi ingin menjadi pejuang literasi πŸ˜€
Maksudnya mau jadi Pustakawan dan Penulis yang Inspiratif πŸ™‚ Salam kenal πŸ™‚

Cerpen Tetaplah Bersama Ku merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Tulang Rusuk Takkan Tertukar

Oleh:
β€œkriiiing, kriiiiiing,”, suara yang tak asing lagi bagi telinga Zahra, ya jam beker berbentuk hati berwarna ungu yang berada di meja kecil di sebelah ranjang Zahra. Jarum pada jam

Pengagum Rahasiaku

Oleh:
Huahh.. Aku menggeliat terbangun. Aku mengerjapkan mata, menyesuaikan dengan kondisiku kamarku yang temaram. “Heii.. Si Neva belum bangun?” aku beranjak turun dari ranjang dan berniat untuk membangunkan Neva. Dia

Mama Untuk Dara

Oleh:
Perempuan yang duduk bersimpuh di samping sebuah makam itu bernama Dara. Makam itu adalah tempat peristirahat terakhir mamanya, Malena. Sudah seminggu terakhir Dara mengunjungi makam setelah bubaran sekolah dan

Nafa dan Zulfikar

Oleh:
Sendiri… Sekarang aku hanya ingin menyendiri di tempat berkapuk ini. Tak peduli aku berdiri, aku duduk, atau aku berbaring. Aku hanya ingin membiasakan diri bercengkraman dengan dinginnya dinding dan

β€œHai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *