The Power of Love

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Fantasi (Fiksi)
Lolos moderasi pada: 18 November 2015

Aku masih mengingatnya. Sepuluh tahun yang lalu, di puncak bukit itu ada sebuah pohon beringin yang rindang. Sulurnya menjulur ke bawah, berwarna kecokelatan di pangkalnya. Dulu aku dan teman-teman sering membuat kumpulan sulur itu menjadi ayunan. Kami melakukan banyak hal yang sangat menyenangkan. Aku masih mengingatnya dengan jelas –Jessica dengan bedak dan jepitnya, Sofia dengan buku-bukunya, Adam dengan laptopnya, dan Aldo. Sungguh lucu bahwa aku dulu pernah menyukainya. Tapi itu dulu, mungkin hanya cinta monyet. Kenangan itu mulai kami lupakan saat pohon itu ditebas untuk dibuat area pemakaman. Tapi aku, tidak akan pernah bisa melupakan saat-saat kami bersama. Aku merindukan mereka.

Ibu melarangku untuk ke luar. Sinar matahari yang menyengat mungkin saja akan membakar kulitku. Pada masa ini, badai matahari telah menguasai bumi. Manusia yang masih berakal sehat akan memilih untuk tetap di dalam rumah saat matahari bersinar terang. Dan saat malam, banyak dari kami menggunakan jaket berlapis lima karena dinginnya udara.
“Manusia mungkin akan punah,” kata Ibu sambil meletakkan semangkuk sereal di depanku. Ia mengunyah apel keriput yang ajaibnya bisa berbuah di pohon apel yang kami tanam di rumah kaca.
“Persediaan pangan mulai berkurang, namun bayi-bayi terus lahir. Ayahmu bersikeras untuk bekerja, menyebalkan bukan?” katanya lagi. Aku hanya mendengarkan sambil terus menyendokkan sereal ke dalam mulutku.

“Dia menelantarkan istri dan anaknya sendirian di rumah. Dan aku melarangmu untuk pergi bersekolah. Kau sama keras kepalanya dengan Ayahmu, cukup membaca buku di rumah kau pun sudah mendapat ilmu bukan? Keadaan seperti ini tidak memungkinkan untuk sekolah.” Ia terus mengoceh. Aku menghabiskan serealku dengan terburu-buru dan segera naik ke kamarku, sementara Ibu mulai membuat roti isi daging tuna kaleng untuk sarapannya.

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur. Kamarku terkesan suram karena jendela kamarku telah dirancang untuk tidak membiarkan cahaya matahari masuk pada siang hari. Kami mulai hidup seperti vampir yang menghindari cahaya matahari. Makanan segar pun sudah tidak ada lagi. Namun Ibu sudah menyediakan beratus-ratus makanan kaleng di lemari dapur. Dan kami hanya mempunyai satu tandon air untuk kelangsungan hidup kami selanjutnya. Ibu melarangku untuk menggunakan alat elektronik selama badai matahari berlangsung. Dan oleh karena itu, aku bersikeras untuk sekolah karena aku merindukan Sofia. Hal yang aneh mungkin karena kami berkegiatan di malam hari, dan tidur di pagi dan siang hari. Sementara sore hari kami anggap sebagai subuh.

“Kau tidak harus bersekolah Kat,” cegah Ibu saat aku meraih ranselku. Aku tersenyum.
“Aku butuh ilmu untuk mengakhiri ini, Bu,” jawabku. Ia meraih kunci mobil.
“Aku akan mengantarmu hingga ke halte bus,” pintanya. Aku mengangguk. Ini adalah salah satu cara untuk membuat Ibuku tetap tenang. Sesuai pesan Ayah, “Buatlah Ibu tetap tenang, berjanjilah pada Ayah,” begitu katanya.

Mobil melaju menuju halte bus. Aku sempat menengok ke rumah Caroline, guru les vokalku dulu saat sebelum badai matahari menyerang. Wanita berambut ikal dan berkulit tropis, serta tubuh molek dan suara yang indah. Satu kata untuk Caroline, “Cantik”. Aku tidak tahu apakah ia masih hidup atau tidak. Karena banyak orang yang mengakhiri hidupnya karena badai ini. Mobil berhenti di depan halte bus. Baru ada satu orang yang duduk di bangku halte itu. Aldo. Aku sempat ragu untuk turun, namun jika aku tidak turun Ibu dengan senang hati akan mengantarku kembali ke rumah. Aldo memandangku. Aku sedikit menunduk untuk menutupi wajahku yang sepertinya mulai memerah. “Daaah, belajar yang baik,” kata Ibu. Ia menginjak gasnya lalu melesat pergi.

“Hai, lama tidak bertemu,” sapa Aldo. Ia mungkin baru kembali dari New York karena matanya terlihat lelah.
“Kau baru kembali dari New York?” tanyaku memastikan. Ia mengangguk.
“Dan selama aku di New York, kau tidak pernah mengirim e-mail padaku,” katanya.
“Ibu melarangku untuk menggunakan alat elektronik,” jawabku dengan wajah sedikit kesal. Ia tertawa kecil.
“Aku mengerti. Padahal di e-mail itu aku mengatakan sesuatu yang belum sempat aku katakan kepadamu sebelum aku pergi ke New York,” kata Aldo. Aku memandangnya heran.

Dan saat itu aku mulai mengakui bahwa dia sangat tampan.
“Kalau begitu lebih baik dikatakan langsung,” lanjutnya. Ia meraih kedua tanganku.
“Aku tidak tahu sampai kapan aku bertahan, Kat. Tapi aku berharap selama sisa hidupku di dunia ini, kau dan aku bisa saling mencintai,” katanya membuatku terbelalak. Tanganku bergetar dan jantungku berdebar-debar.
“A…aku…tidak mengerti,” kataku. Aldo memandangku penuh harap. Tepat saat itu, bus sekolah datang menjemput kami.

Hari ini mungkin adalah ajal bagi semua umat manusia, karena tepat saat aku sampai di sekolah, matahari terbit secara tiba-tiba. Waktu saat ini memang tidak menentu. Bahkan jam sudah tidak berlaku. Banyak dari kami yang pingsan terkena cahaya matahari itu. Kulit-kulit melepuh, erangan kesakitan, dan sesak napas mulai terjadi. Saat itu aku menyadari, oksigen telah hilang dari muka bumi ini. Banyak orang meninggal di tempat karena kejadian ini. Aldo menarikku menuju loker. Dengan terengah-engah, ia membuka lokernya dan mengeluarkan tabung oksigen.

Ia memberikannya padaku. “A…ku…mo…hon..” paksanya. Aku mengerti tubuhku melemas, tapi bagaimana dengan Aldo jika aku menerima ini? Tanpa banyak bicara Aldo memberikan oksigen itu kepadaku, dan aku merasakan tubuhku mulai bertenaga kembali. Tetapi, aku dapat melihat Aldo tidak lagi bergerak. Ia menjadi salah satu korban dari kekejaman alam. Air mataku menetes. Saat itulah aku sadar bahwa aku sangat mencintainya, dan seharusnya aku memenuhi keinginannya saat ia mengungkapkan perasaannya padaku.

ADVERTISEMENT

Setelah oksigen hilang selama tiga hari, entah keajaiban apa yang Tuhan berikan kepadaku hingga aku dapat bertahan hingga saat ini. Walaupun kondisiku hampir sekarat. Tabung oksigen sudah kosong. Lagi pula aku tidak membutuhkannya lagi karena alam kembali bersahabat. Badai matahari telah berhenti. Dan saat aku terbangun, pepohonan rindang sudah memenuhi bumi kembali. Saat itu aku baru percaya, bahwa Tuhan dan segala keajaibannya itu nyata. Aku dapat melihat mayat-mayat berceceran dimana-mana. Kebanyakan dari mereka telah membusuk.

Aku melihat mayat Aldo tergeletak di dekat loker. Aku kembali menitikkan air mata. Aku membungkuk dan mencoba mendeteksi detak jantungnya walaupun aku tahu hasil akhirnya. Namun, aku mendengar detak jantung lemah. Aku tersentak dan mencoba memberinya napas buatan. Setelah mencoba beberapa kali, Aldo mulai membuka matanya.
“Kau mencoba untuk menciumku?” tanyanya lirih. Mukaku memerah. Tiba-tiba kami mendengar suara benda turun dari langit, seperti… roket. Aku melihat ke luar. Benar-benar roket. Beberapa saat kemudian, dua orang berbaju astronot menuju gedung sekolah kami.

“Jesus, ini ajaib. Gedung ini bertahan dari badai matahari!” teriak salah satu dari mereka. Lalu mereka menengok ke arahku.
“Tora, apakah ia manusia?” tanya salah satu orang itu kepada temannya. Mereka mendekatiku dan membuka helmnya.
“Tuhan, dia selamat. Nak, apakah ada yang tersisa selain dirimu?” tanya mereka.
“Ada temanku di dalam, namun ia sekarat,” jawabku. Mereka segera berlari dan menggendong Aldo.
“Ayo, kita bawa ke pesawat! Kita harus merawatnya!” kata mereka. Mereka juga membawaku ke pesawat mereka.

Kami selamat. Orang-orang itu adalah dua dari pengungsi yang mengungsi ke Mars saat sebelum badai matahari terjadi. Mereka tidak percaya kami berdua bisa selamat dari serangan badai matahari. Dan saat itu, manusia yang tersisa mulai kembali kepada Sang Pencipta. Tidak ada lagi penderitaan. Namun, umur kami –aku dan Aldo mungkin tidak akan panjang. Kami menderita kanker di sisa hidup kami karena efek badai matahari yang pernah kami rasakan. Namun aku telah memenuhi janjiku. Untuk mencintai Aldo selama sisa hidupku.

Cerpen Karangan: N. Nugrahaning

Cerpen The Power of Love merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Hujan Saksinya

Oleh:
23:45 mataku masih saja belum mengantuk, masih terbayang senyum manisnya tadi siang di sekolah. Kata sahabatku dia menyukaiku, tapi entahlah. “Aduh Qilla, apaan sih lo. Udah tidur besok lo

Hanya Dia

Oleh:
Entah apa yang terpikirkan olehku saat melihat malam ini. bagiku, malam ini penuh kedamaian. Kelamnya malam yang berhiaskan bintang-bintang. Kilauan bulan purnama yang menerangi langit. Mendengarkan suara serangga malam

Sudah Terlambat

Oleh:
Semilir angin menghembus menusuk ke dalam jaket yang ku pakai. Ya, ini sudah musim dingin. Malam sudah tiba dan aku masih berada dalam perjalanan menuju rumahku. Inilah aku Didit.

Rindu Senja (Sebelum Senja Part 2)

Oleh:
“Terkadang hidupku, hidupmu dan hidupnya saling berhubungan. Terkadang hidup ini tak menentu dan tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Terkadang juga hidup ini tak kita mengerti. Namun bagaimanapun

Perasaan Di Teras Gereja

Oleh:
Saat ini aku ingin sekali duduk di sebelahmu, menatap indah mata hitammu, menceritakan tentang kisah kita menurut sudut pandangku. Jika kau mengatakan ini adalah pembenaran diriku atau kebohongan, aku

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

2 responses to “The Power of Love”

  1. Miley says:

    Bagus, q suka…
    Trus brkarya!

  2. Tika says:

    Sangat menyentuh perasaan. Bagus banget. Semangat untuk terus menulis ya, kak!

Leave a Reply to Tika Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *