Udara Yang Dingin

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 10 January 2017

“Felly! Lo kenapa, sih? Dari tadi bengong melulu?! Lu faham nggak sama yang gue bilangin tadi?,” tanya Riska dengan sisa kesalnya.
“Nih anak pikirannya, putus deh kayaknya!,” tebak Billy yang tengah duduk di samping Felly.
“Lu ada masalah, ya?!,” tanya Bram tepat sasaran.
Felly masih terdiam. Ia menundukkan kepalanya setelah tatapan kosongnya dapat diketahui oleh rekan-rekan bandnnya. Pertanyaan terus terlontar dari setiap orang. Kecuali, Bram. Memang, Bram adalah sahabat masa kecil Felly. Tapi, jika dalam masalah, Bram masih belum mengetahui taktik Felly untuk mengatasinya.
“Fel, lo kalau ada masalah bilang kenapa?!,” kata Billy.
“Felly, inget! Turnamen cuman tinggal menghitung hari! Bukannya lo sendiri yang bilang, kalau tahun ini kita bakalan bawa pulang tiga kategori piala? Tapi, gimana bisa kita menang kalau kaptennya aja lagi ancur begini!,” keluh Riska.
Felly tidak menjawab. Melainkan, ia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Pro Techno tanpa sepatah katapun.
“Felly! Lo mau kemana?!,” tanya Riska dengan nada suaranya yang mulai meninggi.
“Latihan kita belum selesai, Fel!,” tambah Billy.
“Gue mau keluar. Dan semua ini bukan urusan kalian!,” kata Felly dengan lirikan tajamnya membelakangi Pro Techno yang masih terduduk bingung dengan sikap Felly.

Yah.. Felly Anggi Wiraatmaja. Gadis liar di atas panggung. Dan dingin saat ia turun dari panggung. Kehangatannya, tak pernah mereka rasakan setelah kejadian itu. Kejadian yang menjadi masalah lumrah bagi Pro Techno. Tapi, tidak bagi Felly.

Langkahnya terasa begitu berat. Semilir angin yang menyambutnya dengan sapuan lembut, seketika tertepis oleh mata singanya yang liar. Begitu tajam dengan sedut dan warna garis mata hitam alaminya. Sorotan matanya, memancarkan kekecawaan yang tertutupi dengan amarah hati yang membara. Entah kemana Felly akan melangkah, Ia tidak mempedulikan itu. Karena saat itu, hanyalah satu yang tertulis di dalam benak hati dan pikirannya.

“Lo mau keluar juga?!,” tanya Billy kepada Bram yang beranjak dari tempat duduknya setelah ia menguap.
“Kalau terus-terusan kayak begini, kita nggak bakalan bisa ngejar dead line penyerahan sketsa lagu,” kata Riska panik.
“Percuma juga ada di sini, nggak ada anggota terpenting. Lagipula, perut gue laper banget. Dari tadi, kita nggak ada waktu istirahat. Tahu lah, kebiasaan Felly kayak bagaimana,” kata Bram dengan meninggalkan sudio tanpa rasa bersalah.
Riska hanya bisa menghembuskan nafas beratnya melihat kedua temannya seperti itu. Sedangkan Billy, hanya bisa melihat punggung Bram yang semakin jauh, jauh, dan jauh menjadi titik hitam. Kemudian, menghilang dengan langkahnya.
Mereka tak tahu apa yang harus mereka lakukan di studio sepi itu. Kertas-kertas berserakan, begitu pula melodinya. Yah… melodi setiap imajinasi dan rupa rasa mereka. Terutama, Felly. Gadis liar dengan suluruh dinginnya yang mengalahkan udara dan salju.

“Lagi panas, Mbak?!,” tanya seseorang dengan mengulurkan minuman dingin di depan Felly tanpa memperlihatkan siapa dirinya.
Seketika Felly mendongkakkan kepalanya. Ia menatap mata gurau di sana tanpa menghilangkan keseriusannya. Bram. Yah… Bram Salesvegas. Drummer di Pro Techno.
“Lo ngapain ada di sini?!,” tanya Felly ketus.
“Seharusnya, gue yang nanya gitu sama lo!,” kata Bram membalik ucapan Felly.
Felly tidak menjawab. Melainkan, ia tetap menatap hamparan rumpus hijau dengan bunga yang masih menguncup tanpa menghilangkan kesegarannya. Bram pun duduk di samping Felly. Kemudian, ia meminum susu coklat yang telah dibelinya di kantin. Bram membiarkan kesunyian berada di sekitarnya. Untuk sejenak, ia memandang ke arah yang sama dengan Felly.
“Apa semuanya ada hubungannya dengan peristiwa itu, Fel?!,” tanya Bram membuka pembicaraan.
“Sekalipun gue berbohong sama lo, apa mungkin lo bakalan bisa percaya?!,” jawab Felly.
“Tch! Biarin mereka hidup dengan dunia mereka, Fel. Kenapa juga lo harus mikirn mereka yang belum tentu mikirin lo. Lo hanya akan bisa membuang-buang waktu.”
“Dalan kata sahabat, nggak ada kata membuang-buang waktu, Bram.”
“Tch! Oh ya? Apa lo sadar sekarang kalau lo membuang waktu bersama dengan sahabat lo? Felly! Apakah kita akan bertem setiap hari? Kita hanya akan bertemu di studio musik. Itu pun tak lama seperti lamanya lo memikirkan mereka!!! Masa lalu yang nggak harus lo pikirkan, lebih baik di buang, Fel!,” kata Bram dengan sedikit nada tinggi di akhir katanya.
“Bisa lo tinggalin gue sendirian?,” tanya Felly yang mengusir Bram dengan cara halusnya.
“Ok! Gue akan pergi! Sejauh mungkin, sampai lo PUAS!!!,” ucap Bram dengan tekanan di kalimat terakhirnya.
Setelah itu, Bram beranjak dari tempat duduknya. Lalu, meninggalkan Felly yang tengah menatap Bram dengan tatapan tajam dan membuhunya. Begitu juga Bram, yang membalas tatapannya dengan tatapan yang penuh dengan kebencian.

Felly kembali sendiri di taman yang sepi itu. Udara yang hendak menemaninya, seakan takut mengalami nasib yang sama dengan Bram atau personil Pto Techno yang lainnya. Begitu pula saat udara marah dengan seluruh kedinginannya. Tetap saja, tak dapat mendampingi Felly.
Dalam hening dan kicauan burung dara, Felly terdiam dan menatap rerumputan hijau. Seakan, ia mencoba bertanya, apa yang harus ia lakukan saat ia ingin mengubah segalanya seperti semula. Melawan kehendak takdir dengan seluruh kuasanya. Yah.. seperti itulah ego dan ambisi yang dimiliki oleh Felly. Sebanding dengan hasil usahanya yang begitu keras.

“Jika kau menolak minuman coklat dari Bram, setidaknya kau menerima coklat dariku,” kata seseorang dengan posisi yang sama seperti Bram.
“Kau!,” kata Felly saat ia mendongkakknya kepalanya.
Orang itu hanya membalasnya dengan senyuman. Tanpa mengatakan apapun, ia duduk di samping Felly. Membukakan bungkus coklat itu, dan menyuapkannya ke bibir Felly yang terkatup rapat. Serapat hatinya.
“Kenapa kau ke sini, hah?!,” tanya Felly judes.
“Apakah sebuah perpisahan menuntut untuk saling membenci dan bermusuhan satu sama lain? Lalu, dimanakah kehangatan yang pernah ada sebelumnya? Apakah lenyap hanya karena sebuah keputusan? Felly, aku memang bukan orangtuamu, tapi aku pernah menjadi kakak dalam kehidupanmu. Sekaligus, kekasih yang entah kau anggap atau tidak.”
“Arka!,” panggil Felly dengan nada suaranya yang mulai meninggi.
“Kau bisa berteriak, atau memukulku, menamparku, bahkan mencekikku hingga aku kehabisan nafas dan mati. Tapi aku memohon padamu, jangan menyakiti dirimu.”
“Apa urusannya dengan kau, hah?! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi! Jadi, kau jangan iku campur dengan urusanku!,” kata Felly ketus.
“Yah! Aku memang tidak berhak ikut campur dalam urusanmu! Tapi aku berhak ikut campur atas dirimu!!!,” bentak Arka kepada Felly.
“Lalu, kenapa kau meninggalkan aku di ssaat yang sama saat semua sahabat-sahabatku meninggalkanku?!! Kenapa kau tidak ada di sisiku saat aku menginginkan pelukanmu?!!! Kenapa…”
“Karena aku tidak ingin kau kehilangan mereka, Felly!!!,” bentak Arka tak kalah keras saat ia memutus perkataan Felly.
“Maksud… mu?!,” tanya Felly ragu dengan menyipitkan matanya.
Arka membalikkan tubuhnya. Seakan, ia menutupi hal yang baru saja ia sampaikan. Dan hal itu, tak seharusnya ia sampaikan.
“Arka! Jawab aku!,” kata Felly memaksa dengan meraih lengan Arka dan membalikkan tubuh Arka.
Arka masih terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Matanya beralih. Ia tak berani menatap mata Felly yang tajam. Yah.. mata singa yang tengah menangis di depannya saat Felly tahu maksud Arka.
“Arka jawab aku,” ucap Felly lemah di tengaah isak tangisnya.
Arka masih terdiam. Ia tak mampu menjawab pertanyaan Felly. Sedangkan Felly, terus menggoyang lengan Arka. Menandakan, ia tengah menunggu jawaban dari Arka. Tapi, Arka tak merespon apapun, ia terdiam membeku dan lemass dalam teguhan kakinya. Sampai akhirnya, Felly melepaskan genggamannya di lengan Arka. Tanda bahwa ia telah menyerah untuk membuat Arka membuka mulutnya.
“Maafkan aku,” kata Felly lirih dengan pergi meninggalkan Arka yang masih berdiri mematung dengan seluruh tangisnya yang membanjiri pelataran pipinya.
Langkah demi langkah, Felly meninggalkan Arka dengan desiran angin dan belain udara yang ingin menyapu air matanya. Isak tangis Felly, menggema di antara pantulan pohon yang terus menyuruh Arka untuk bergerak. Yah.. bergerak tuk meraih lengan Felly.
“Maafkan aku, Fel!,” kata Arka dengan meraih Felly ke dalam pelukannya saat langkah Felly masih belum jauh.
Felly terdiam. Ia masih ada di dalam isak tangisnya. Sedangkan Arka, ia merapatkan pelukan itu. Felly tak mengerti dengan laki-laki ini. Memang, kepergiannya saat itu seperti hantu. Tanpa alasan, atau sekedar tanpa kata perpisahan. Di sanalah Felly masih bingung dengan posisinya.
“Kenapa kau meninggalkan aku?,” tanya Felly kembali dengan melepas pelukan Arka.
Arka tidak mau melepaskannya. Melainkan, ia tetap merapatkan pelukannya. Felly yang tak tahu niatan Arka, terpaksa ia harus terbentur dada Arka yang bidang. Felly berusaha memberontak. Namun, tangan besar Arka masih bisa menangkup kepala Felly dan membawa Felly dalam dekapannya.
“Arka, lepasin,” kata Felly lembut dengan seluruh kepolosannya.
Arka masih terdiam. Sedangkan Felly terus menunggu jawaban Arka. Karena merasa sedikit kesal, Felly mendongkakkan kepalanya. Melihat Arka yang penuh dengan air mata. Felly tak berani berkata. Sehingga, ia kembali merapatkan kepalanya di dada Arka tanpa membalas pelukannya.
Lama mereka dalam posisi seperti itu. Membisu dengan dinginnya udara senja yang menyelimuti keduanya. Mentari yang menjadi saksi pelukan hangat mereka. Ilalang yang ikut terhenyak dalam kisah cinta mereka. Begitu pula dengan Bram yang bisa menyaksikan segala hal yang telah terpenda di sana.

Di balik kerinduan itu, Arkana Aditya kembali. Yah.. kembali dengan segenap hatinya dalam pelukan gadis yang sama. Gadis yang pernah ia tinggal untuk kedua kalinya setela perpisahan pahit itu. Sampai akhirnya, pelukan Arka semakin melemah.
“Apa kau meninggalkan aku karena ingin melindungi reputasiku?,” tanya Felly dengan mendongkakkan kepalanya.
Arka masih terdiam dalam bisu. Ia masih menatap mata Felly yang tajam dengan matanya yang berkaca.
“Matamu sudah menjawab semuanya,” kata Felly.
“Haruskah aku meninggalkanmu lagi di saat seperti ini?,” tanya Arka polos.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apakah kau akan pergi di saat aku merindukan pelukan ini?! Kau tak perlu takut akan segala reputasiku yang akan dihancurkan oleh mereka apabila kau tidak meninggalkan aku. Biarlah mereka melakukan apapun yang mereka mau. Anggap saja semua itu adalah dunia mereka. Jika kau mau berkorban demi cimtamu, kau tak perlu menyiksa dirimu seperti ini, Arka! Sudah cukup kau berjuang untukku. Berilah aku waktu untuk melakukan hal yang sama denganmu.”
“Bukankah kau yang mangajarkan aku akan perjuangan cinta? Bukankah kau sendiri yang bilang, kalau perjuangan cinta adalah dimana saat kita rela tersakiti demi orang yang kita cintai? Bukankah…”
“Apa perlu aku menarik seluruh kata-kata dan terdiam dengan menatap matamu yang terus menuntut akan segala ajaranku?,” tanya Felly dengan candaan ringan di nada ucapannya.
Arka tersenyum saat melihat Felly kembali dengan tatapan hangatnya tanpa kehilangan ketajaman matanya yang begitu menggoda. Felly membalas senyuman itu. Kemudian, ia kembali merapatkan kepalanya di dada Arka. Di sana, Felly menikmati suara detak jantung Arka. Nafas Arka yang tenang menyapu puncak kepalanya menjadi selimut kehangatan di sana.
Begitu pula dengan Arka yang tak henti-hentinya mencium puncak kepala Felly. Kesunyian mereka bukanlah kesunyian yang penuh hampa saat itu. Melainkan, sunyinya waktu dalam ucapan kata janji untuk saling memahami, mengerti, dan menjaga posisi masing-masing. Mengingat, kehidupan Arka yang penuh dengan gadis cantik karena profesinya yang mendukung wajah tampannya. Begitu juga dengan Felly yang penuh dengan melodi gitar serta suaranya yang menggelegar di setiap aliran musik menjadikan Arka harus berjuang mati-matian untuk menjaga nama baik Felly. Dan juga, orangnya. Felly Anggi Wiraatmaja.

Cerpen Karangan: Pratiwi Nur Zamzani
Facebook: Pratiwi Nur Zamzani (Pakai Kerudung Putih)
P.N.Z adalah nama yang selalu tercantum dalam setiap karya gadis ini. Ia lebih akrab di panggil Pratiwi Nur Zamzani.Terkadang, banyak orang yang memanggilnya nama Felly. Karena, ia selalu menggunakan nama tersebut di setiap karyanya.
Ia lahir di keluarga sederhana, dengan kelahiran Pasuruan 4 Juli 1999. Gadis ini telah menempuh pendidikan Menengah ke atas di SMA NEGERI 1 BANGIL, dan Menengah Pertama di SMP NEGERI 1 BANGIL.
Ia memiliki cita-cita sebagai seorang Dosen dan motivator. Ia berharap, dengan tulisan yang ia buat, ia dapat menginspirasi dan memotivasi kalian dengan karyanya. Sehingga, karya tersebut dapat bermanfaat dalam kehidupan kalian. Banyak karyanya yang sudah di muat di media masa. Kalian juga bisa melihat karyanya di cerpenmu.com dengan mengetikkan namanya di search pencarian. Atau menjadikan namanya sebagai kata kunci pencarian di google.
Jika kalian berminat, kalian bisa menyapanya dengan alamat Facebook Pratiwi Nur Zamzani (Pakai Kerudung Putih) atau melalui E-mailnya pratiwinurzamzani@yahoo.co.id

Salam dan Peluk Hangat
Pratiwi Nur Zamzani

ADVERTISEMENT

Cerpen Udara Yang Dingin merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Tentang Dia

Oleh:
Matahari bertengger di cakrawala. Asap-asap mulai mengepul di udara. Hawa panas semakin terasa di seluruh pelosok negeri. Kepenatan mulai merajalela. Di sinilah, gadis itu terduduk sambil mengerjakan soal-soal di

Antara Kita dan Taekwondo

Oleh:
Awal mulanya aku masuk organisasi taekwondo, aku disitu kenal banyak temen, salah satunya Mitsalina yang sekarang sudah ngelanjutin perguruan tinggi negeri di Malang. Kita awal latihan taekwondo itu semangat

Awal Ku Mengenal Cinta

Oleh:
Awal pertama aku menjadi anak SMP aku beserta teman-temanku yang lain melanjutkan ke sekolahan yang berbeda-beda, ada yang di SMP negeri, swasta dan ada juga yang di madrasah tsanawiyah.

Kamu Bisa Bertanya Dua Tahun Lagi

Oleh:
“Sudah berapa lama?” “Tujuh ratus tiga puluh hari yang lalu.” “Terlalu sebentar kedengarannya.” “Baik, enam puluh juta sekian ratus ribu detik?” “Itu terdengar lebih baik.” Ia, laki-laki itu tersenyum.

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *