Matahari Dan Bulan (Part 1)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Fantasi (Fiksi)
Lolos moderasi pada: 28 November 2015

Aku percaya tiap kehidupan -baik yang dulu, sekarang, maupun di masa depan kelak- memiliki tujuannya masing-masing. Tapi aku tidak menemukannya -atau mungkin belum.

Sudah hampir satu jam berlalu, dan aku beserta teman-temanku sedari tadi masih duduk mengelilingi meja makan kami di kantin kampus. Makanan kami sudah habis, tapi kami tetap duduk dan mengobrol seru. Seperti biasanya, jika dua atau tiga cewek berkumpul dan mengobrol, maka apapun yang dibicarakan pasti banyak sekali. Mulai dari fashion, hewan peliharaan, mata kuliah, sampai sekarang -entah bagaimana topik perbincangan saat ini adalah kelahiran kembali. Reinkarenasi, kehidupan sebelumnya, semacam itu.

“..Kalau misalkan kau sampai di suatu tempat yang tak pernah kau kunjungi sebelumnya, tapi kau merasa mengenal tempat itu, itu berarti setidaknya sekali di kehidupanmu sebelumnya, kau pernah ke tempat itu!” kata Vanessa penuh semangat.
“Déjà vu, begitu?” Senia mengangkat alis sambil tersenyum. “Kedengarannya romantis sekali. Jadi, misalnya kau bertemu seseorang yang tak pernah kau temui sebelumnya pun, namun kau merasa pernah bertemu sebelumnya, itu berarti mungkin saja orang itu ada di kehidupanmu sebelumnya?”

“Yap,” Vanessa mengangguk mantap. “Aku pernah merasakannya, déjà vu itu, waktu ke Paris mengunjungi Nenekku di desa. Baru sekali aku ke sana -Ayah dan Ibuku yang mengatakannya- tapi rasanya aku mengenal seluk beluk desa itu. Mungkin dulu aku ini gadis Prancis, berambut pirang dan cantik?”
Senia dan aku sontak tertawa. “Yah, berimajinasilah sesukamu,” sahut Senia. “Aku sih belum pernah merasakan hal itu. Kalau kau, Aria?” tanya Senia padaku.
Aku mengangkat bahu sebagai jawaban.
“Kau tidak percaya soal begituan ya?” tanya Vanessa.
“Aku netral sebenarnya,” jawabku sambil nyengir.

Aku terlalu malas menjelaskan pikiranku. Anggap saja kehidupan sebelumnya itu ada, lantas yang jadi pertanyaan buatku adalah: mengapa kita semua terlahir kembali? Apa arti hidup baik dulu maupun sekarang? Apa tujuan hidup dulu maupun sekarang? Terlalu rumit. Dan kalau aku mengatakannya pada mereka, mereka juga pasti kebingungan. Jadi lebih baik diam saja.

Vanessa menghela napas. “Kau ini benar-benar.. Aku jadi penasaran di kehidupanmu yang sebelumnya kau ini seperti apa. Apa seacuh ini juga?”
“Kalau iya, aku jadi membayangkan Aria memakai gaun abad pertengahan, dengan acuhnya menolak pernikahan yang ditawarkan seorang pemuda tampan padanya,” ujar Senia, menatap langit-langit, matanya menerawang.
“Ya, ya. Ku rasa aku bisa melihatnya,” kata Vanessa, matanya ikut menerawang juga.
Aku memicingkan mata memandang kedua sahabatku itu. “Sejak kapan kalian jadi pemimpi di siang bolong seperti ini?” tanyaku.
Vanessa dan Senia tertawa. “Kami kan cuma bercanda!” ujar keduanya sambil menepuk keras punggungku.

“Oh ya, ngomong-ngomong soal zaman dulu,” Vanessa kembali memulai, “Kepala Rektor kita yang kolektor benda-benda bersejarah itu baru saja membeli sebuah patung yang berasal dari berabad-abad sebelum Masehi. Ku dengar katanya patung itu berbentuk pangeran yang sangat tampan.”
“Masa?” Senia langsung tertarik.
“Dan katanya beliau meminjamkannya pada jurusan seni siang ini juga. Itu artinya, Aria dan aku beruntung!” kata Vanessa, kentara sekali senang.

Vanessa dan aku memang mahasiswi jurusan seni, dan beberapa menit lagi kami akan mengikuti kelas melukis. Kalau apa yang dikatakan Vanessa benar, maka model lukis kami nanti adalah patung itu. Senia cemberut. Dia berada di jurusan sejarah, jadi sudah pasti tidak bisa melihat ‘patung tampan’ itu secepatnya.
“Tapi nanti fotokan untukku!” katanya, dan anggukkan kami membuat cemberut di wajahnya berganti menjadi senyum lebar.
Tak lama kemudian kami akhirnya bangkit dan berjalan menuju kelas kami yang selanjutnya. Senia berpisah dengan kami setelah terus-menerus mengingatkan kami agar memotret patung tampan itu.

Ketika Vanessa dan aku tiba di depan kelas, ternyata sudah banyak yang menunggu di depan -berhubung pintu kelas masih terkunci. Aku tak sengaja mendengar beberapa teman sekelas bersemangat sekali berbicara soal patung tampan itu. Astaga… Sungguh, sebenarnya aku tak mengerti kenapa patung yang belum jelas asal-usulnya menjadi bahan pembicaraan yang hot. Mungkin karena aku belum melihatnya sama sekali, jadi rasanya biasa saja. Tapi Vanessa juga belum melihatnya, dan bisa ku lihat dia bersemangat sekali. Hanya karena gosip mengatakan patung itu berwujud seorang pangeran tampan.

Ketika akhirnya pintu kelas dibuka, kami masuk dan akhirnya melihat patung yang ribut dibicarakan itu berdiri begitu megah di tengah kelas, aku langsung maklum. Patung itu terbuat dari batu -entah batu apa, aku tidak ahli soal bebatuan- berkilauan ketika tersiram cahaya matahari. Pahatannya sangat halus, indah dan mendetail. Sosok yang digambarkan patung itu jadi terlihat sangat jelas: seorang pangeran. Tampaknya patung itu tidak menggambarkan seseorang dari Yunani kuno, Mesir, ataupun negara kuno lain yang aku tahu. Seolah patung itu menggambarkan seseorang yang berasal dari antah berantah. Pakaiannya hampir seperti pakaian pangeran yang biasanya ada di dongeng-dongeng. Proporsi tubuhnya mengesankan. Dan wajahnya.. memang tampan.

ADVERTISEMENT

Anehnya, tak bisa ku pungkiri rasanya entah mengapa aku pernah melihat patung itu. Sosoknya familiar. Inikah yang namanya déjà vu? Tapi mungkin saja aku pernah melihatnya di suatu museum seni, toh bukan cuma sekali aku mengunjungi museum-museum macam itu. Lagi pula, itu cuma patung. Jadi aku duduk di balik kanvasku, dan mulai membuat sketsa tanpa banyak bicara. Sementara Vanessa baru duduk di kursinya di sebelahku sepuluh menit kemudian.

“Kau tahu, Aria, dia cuma patung, tapi entah mengapa aku merasa aneh,” Vanessa mengoceh sambil menggambar sketsa di kanvasnya. “Sepertinya patung itu memiliki charm yang sangat kuat untuk menarik perhatian para wanita. Padahal dia cuma patung..”
Aku membiarkan Vanessa berbicara terus sambil tetap berkonsentrasi pada sketsaku. Beberapa kali aku harus melirik ke pangeran -batu itu untuk menyerap gambaran detailnya kemudian menumpahkannya ke kanvas. Pada lirikan yang kelima, aku mulai merasa aneh. Seseorang berdiri diam di kaki patung itu.

Aku memandang ke sekeliling kelas. Ruang melukis ini memang seperti podium besar, dengan model lukisan tepat di tengahnya, tapi jumlah kanvasnya sesuai dengan jumlah mahasiswa di kelas ini. Aku jadi tahu dengan mudah bahwa semua orang telah duduk di bangkunya masing-masing, karena tidak ada kanvas yang tidak ada pelukisnya. Jadi orang itu -pemuda itu jelas bukan salah satu mahasiswa kelas ini. Tatapanku kembali lagi pada pemuda di kaki patung itu. Namun kali ini, pemuda itu sudah tidak ada di sana, melainkan berjalan dari satu kanvas ke kanvas yang lain, memperhatikan lukisan tiap-tiap orang. Pemuda itu juga bukan dosen, jelas, karena aku tahu dosen kelas ini dan beliau sedang mengamati lukisan mahasiswa lain di seberang ruangan. Tidak ada satupun yang mempedulikannya, pemuda itu berjalan-jalan dengan bebas dalam kelas. Lebih karena merasa heran daripada takut, aku berbisik pada Vanessa.

“Ness, pemuda itu siapa sih?”
Vanessa menolehkan wajahnya ke arahku, tapi matanya tak lepas dari patung. “Siapa?”
“Itu, yang itu. Lihat ke sana coba.”
Tatapan mata Vanessa akhirnya beralih ke arah yang ku tunjuk. Keningnya berkerut. “Siapa, maksudmu Billy?”
“Bukan. Itu, pemuda yang pakai baju merah aneh mencolok, sedang mengamati lukisan Billy!”
Kerutan di kening Vanessa semakin dalam. Dia memandangku. “Tidak ada yang pakai baju merah di sana. Tidak ada yang mengamati lukisan Billy. Kau.. lihat apa?”

Ucapan Vanessa membuatku merinding. Aku melirik ke arah itu sekali lagi, tapi pemuda aneh itu masih ada di tempat yang sama, sedang membungkuk ke arah kanvas Billy untuk mengamati lebih jelas. Kemudian aku kembali memandang Vanessa. Dia tidak kelihatan bercanda. Sebaliknya, malah kelihatan takut.
“Apa kau lihat hantu, Aria?” tanya Vanessa, menelan ludah.

Melihat temanku ketakutan seperti itu, aku jadi tidak tega. Kalau memang cuma aku yang bisa melihat pemuda itu, ku rasa lebih baik aku tidak mengatakannya pada siapapun. Daripada orang lain jadi ketakutan, seperti Vanessa.
“Mungkin aku salah lihat,” ucapku, menenangkan Vanessa. Vanessa menghembuskan napas lega, dan kembali menekuni lukisannya. Aku sekali lagi melirik ke pemuda itu, yang sekarang sudah berpindah mengamati kanvas Tasha di sebelah Billy. Sambil menghela napas, aku melanjutkan lukisanku sendiri.

“Kau pulang duluan saja. Ada barang yang ketinggalan di kelas,” kataku pada Vanessa. Saat itu kami baru saja ke luar gedung kampus. Sepanjang kelas tadi, pikiranku penuh dengan pemuda aneh yang ternyata hanya aku yang bisa melihatnya. Beberapa menit sebelum kelas berakhir, pemuda itu tidak tampak di manapun juga, seolah lenyap ditelan bumi. Mungkin pemuda itu benar-benar hantu, tapi aku tidak percaya. Dia kelihatan solid dan padat, seperti manusia biasa. Lagi pula, aku tidak pernah punya kemampuan melihat hal-hal supranatural. Karena rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku, aku memutuskan untuk kembali ke kelas seorang diri untuk mencari tahu. Siapa pemuda itu sebenarnya?

Ku buka pintu kelas. Kelas sudah kosong dan sepi. Dan pemuda aneh itu ada di sana, sedang menatap lukisanku. Dia mendongak ketika mendengar pintu dibuka, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya memandangku. Menelan ludah, aku berjalan pelan-pelan ke arahnya -lebih tepatnya ke arah kanvasku. Dia bergeser saat aku tiba dan mengambil tempat pensilku yang sengaja ku tinggalkan di sana. Sunyi. Tak tahan lagi, aku berbalik dan mendapati pemuda itu masih ada di belakangku. Dia tampak kaget. Aku juga kaget. Baru kali ini aku melihatnya dengan jelas dari dekat. Pemuda itu kira-kira seusiaku, memiliki rambut berwarna perunggu, berkilauan ditimpa sinar matahari sore yang merembes lewat jendela kelas. Matanya biru sekali, sangat indah. Wajahnya sangat tampan. Dan yang ku maksud ‘sangat’ itu benar-benar berarti sangat tampan. Rasanya pernah melihatnya entah di mana.

Aku memberanikan diri. “Maaf, tapi siapa kau?” tanyaku.
Pemuda itu memandangku dengan matanya yang indah. Tiba-tiba air mata mengalir deras di wajahnya.
Aku terlonjak. “K—kau kenapa? Ada apa?” tanyaku panik.
“Oh, maaf,” ujarnya seraya menghapus air matanya. “Aku cuma terlalu senang. Namaku Alven,” katanya kemudian sambil tersenyum.
Keningku berkerut. “Mahasiswa juga?”
“Bukan.”
“Kalau begitu, sedang apa di sini?”
“Melihat-lihat.”

Aku terdiam, kehabisan pertanyaan. Berada dalam sebuah ruangan kosong nan sepi bersama pemuda tak dikenal seharusnya membuatku was-was. Tapi anehnya aku malah merasa tenang. Lagi pula si Alven ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia memiliki maksud tersembunyi, berbahaya, atau jahat -meski dia aneh karena tiba-tiba menangis seperti tadi. Dia cuma berdiri diam di depanku, kelihatan sedikit bingung tapi tenang juga. Dia mengamatiku.
“Er—kau?”
Aku mendadak ingat. “Namaku Aria,” kataku, secara refleks mengulurkan tangan. Alven terdiam sejenak, tapi kemudian menjabat tanganku sambil tersenyum.
Sebuah perasaan aneh muncul ketika kulitku dan kulitnya bersentuhan.

“Apa bulan sudah bicara padamu?” tanya Alven, setelah rasanya untuk waktu yang lama kami akhirnya menarik tangan kami masing-masing.
“Apa?”
Alven tak menjawab. Ia memandang ke luar jendela, ke arah langit yang berwarna oranye. “Tak lama lagi, aku yakin,” gumamnya. Kemudian kembali memandangku sambil nyengir.
Sungguh pemuda yang aneh, meski tidak membuatku takut padanya. Matanya bertemu pandang dengan mataku, dan aku mengalihkan muka, tak kuat bertatapan lama-lama dengannya. Matanya seolah menyihirku agar tak memalingkan wajah darinya.
Akhirnya aku menjatuhkan pandanganku pada patung yang masih dipajang di tengah ruangan. Alven juga. Dari sudut mata bisa ku lihat ekspresinya berubah saat memandang patung itu. Tampak.. getir.

“Dulu,” kata Alven tiba-tiba, membuatku sedikit terlonjak, “Ada seorang pemuda yang jatuh cinta pada seorang gadis. Pertemuannya dengan gadis itu membuat seluruh hidupnya berubah: berbagai rintangan dan bahaya menghalangi cinta mereka. Namun pemuda itu tidak menyesal. Dengan seluruh hidupnya, dia melindungi gadis yang dicintainya itu. Tapi takdir berkata lain. Seorang penyihir yang tak senang melihat keduanya bersama berusaha memisahkan dia dengan gadis itu. Si gadis berusaha melindungi si pemuda dari serangan penyihir, tapi nyawanya malah melayang. Si pemuda sangat menyesal, dan di saat terpuruk itu, si penyihir berhasil menaruh kutukan padanya. Tubuhnya berubah menjadi batu, dan kerajaannya hancur untuk selama-lamanya. Seluruh rumahnya, semua yang dimilikinya, ditelan oleh kegelapan karena ia gagal melakukan satu-satunya tugas yang diperuntukkan hanya bagi dirinya: yaitu melindungi gadis yang ia cintai.”

Aku mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba Alven menceritakan hal itu? Karena dia sedang memandang patung, ku rasa dia baru saja menceritakan dongeng tentang patung itu. Secara tak sengaja, mataku terpaku pada wajah patung. Aku tiba-tiba menyadari sesuatu. Aku memandang Alven, lalu kembali lagi memandang patung itu. Memandang Alven, lalu kembali memandang patung. Aku menelan ludah. Tidak mungkin kebetulan kan? Tapi kalau memikirkan tidak ada orang lain yang bisa melihatnya, tidak ada yang menyadari keberadaannya, dan kenapa dia tampak terkejut waktu aku mengajaknya bicara.

Bersambung

Cerpen Karangan: Fiery Autumn
Penulis merupakan penggemar kisah fiksi fantasi yang bisa dibilang cukup fanatik. Jika mendatangi toko buku, pasti genre pertama yang dicari adalah fiksi fantasi, plus genre romance dan petualangan jauh lebih bagus. Saat ini penulis masih duduk di bangku kuliah dan sedang berjuang menyelesaikan skripsi. Menulis cerita fiksi fantasi merupakan hobi yang dilakukan tiap ada waktu luang atau saat sedang bosan.
Penulis bisa dihubungi di:
Twitter: @akiyuki_chan

Cerpen Matahari Dan Bulan (Part 1) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Aku dan Sahabatku (Part 2)

Oleh:
Aku pulang ke rumah dengan disambut oleh budeku yang terlihat sibuk membersihkan halaman rumah, dan ia memekik bahagia ketika melihatku pulang. Aku bertanya sebenarnya ada apa kok bude bisa

Pohon Berlian

Oleh:
Namanya Shaqueena Mardhiyyah. Biasa dipanggil Dhiyyah. Namanya cantik pemberian Almarhum dan Almarhumah orangtuanya. Memang Dhiyyah tinggal di tenda. Ia tinggal di hutan tetapi tak terlalu dalam. Sebenarnya, Dhiyyah harus

The Forest

Oleh:
Berlarilah jika itu diperlukan. Berjalan hanya menghambat langkahmu untuk hidup. Jika sekali saja, kau menoleh belakang. Tamat riwayatmu! — Gia menatap lurus pemandangan rumah kakeknya, yang terletak di Cincinnati.

Friend and Boyfriend (Part 1)

Oleh:
Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di SMA Darmawangsa. Di sinilah ia, dengan dandanan super norak, yaa seperti MOS biasanya. Rambut dikepang empat, memakai pita berwarna kuning, menggendong tas

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *