Matahari Dan Bulan (Part 2)

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Fantasi (Fiksi)
Lolos moderasi pada: 28 November 2015

Alven seperti mengetahui bahwa aku mulai menyadari sesuatu. Dia menoleh padaku, tersenyum penuh arti.
Sekali lagi aku menelan ludah. “Alven, apa kau..” Lagi, aku memandang patung, lalu kembali pada Alven, “..apa kau hantu patung itu?”
Di luar, matahari semakin terbenam, membuat keadaan semakin gelap. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Dan sosok Alven semakin transparan.
“Sampai ketemu lagi, Aria,” ujar Alven sebelum sosoknya benar-benar menghilang.

“Yang benar saja,” gerutuku dalam hati berulang-ulang. Aku sudah pulang ke rumah berjam-jam yang lalu, tapi kejadian itu masih terpatri jelas di otakku. Aku berguling-guling di ranjang, frustasi sendiri. Hantu macam apa dia?! Tidak ada hantu yang seperti dia: muncul di siang bolong, ucapan-ucapannya yang aneh, tapi sewaktu bersentuhan denganku, aku bisa merasakan dia padat dan hangat. Dia bukan hantu. Seketika itu juga aku yakin. “Aargh!” mengerang keras, aku bangkit, memakai jaketku, lalu berlari ke luar, menuju kampus. Untung saat ini aku tinggal sendirian, jadi tidak ada orang rumah yang melarang. Rasa penasaranku terlalu hebat untuk dipendam. Aku harus tahu saat ini juga.

Dengan mudah aku memanjat gerbang kampus, berlari pelan di antara bayang-bayang gedung dan pepohonan supaya tidak ketahuan satpam, dan akhirnya aku sampai di jendela kelas melukisku. Aku tidak masuk lewat pintu karena aku tahu petugas sudah mengunci pintunya, dan aku juga tahu jendela tidak pernah dikunci. Ku lihat Alven ada di sana, duduk memunggungi jendela di depan lukisanku. Begitu melihatku, dia terlonjak saking terkejutnya.

“Aria! Apa yang.. Kenapa kau..”
Aku juga terkejut. “Kau kok.. sekarang transparan?”
“Beginilah rupaku saat tak ada matahari,” jawab Alven sambil lalu. Kemudian nada bicaranya berubah jadi jengkel. “Jawab aku, kenapa kau di sini? Ke luar malam-malam itu berbahaya! Aku yakin rumahmu tidak berada di dekat-dekat sini.”
“Karena aku ingin penjelasan, Alven. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi,” kataku tegas sambil berjalan mendekatinya. Aku tahu aku kedengaran amat memaksa, dan aku malu akan hal itu. Tapi rasa ingin tahuku begitu kuat.
“Kau kan bisa mendapat jawabannya besok!” protes Alven.

“Aku..” Aku takut aku tak bisa bertemu dengannya besok. Takut Alven menghilang setelah hari ini. Yah, aku tak bisa mengatakan itu! “Ini semua salahmu. Kalau saja kau menjawab pertanyaanku bukannya langsung menghilang seperti tadi, aku akan bisa tidur dengan tenang malam ini,” dalihku. Setengah alasanku memang itu sih.
“Karena tadi hari mulai gelap dan kau harus segera pulang,” kata Alven, tapi aku mengabaikan perkataannya.
“Apa kau hantu?” tanyaku lagi.
Alven menghela napas. “Aku bukan hantu. Aku cuma jiwa. Tubuhku membatu, tapi jiwaku tidak. Aku bisa berjalan kemanapun sesukaku, hanya dalam wujud seperti ini.” Alven terdiam sejenak.

Kemudian bertanya, “Apa kau sudah bicara pada bulan?”
Aku menggeleng. “Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Alven,” ujarku.
“Apa maksudmu bulan bicara padaku? Kalau kau cuma jiwa, kenapa aku bisa menyentuhmu? Siapa kau sebenarnya?” Mengapa aku merasa begitu ingin tahu tentangmu seperti ini?
“Apa boleh buat,” katanya pasrah. “Aku bisa menceritakan semuanya padamu, tapi kau pasti tak akan percaya. Lagi pula, apa kau memang harus tahu itu di kehidupanmu yang sekarang?” Ucapannya membuatku semakin bingung.
“Aku ingin tahu,” kataku keras kepala.

Alven mendengus dan tersenyum, senyum yang entah mengapa membuat hatiku menghangat. “Bagian dirimu itu tak pernah berubah,” gumamnya. “Aria, takdirmu dan takdirku terjalin ribuan tahun yang lalu. Kau dulu seorang putri yang diberkati bulan, membuatmu bisa berbicara dengan bulan tiap malam. Dan aku…”
“Seorang pangeran?”
“Ya, dari kerajaan yang berbeda denganmu. Kita bertemu saat pesta pertunangan Kakakmu dengan Kakakku, dan sejak saat itu kita… saling jatuh cinta.”
Alven memandangiku lagi, menunggu reaksiku. Ku rasa aku tidak menunjukkan ekspresi apapun yang diharapkannya, jadi Alven melanjutkan lagi.

“Selanjutnya sudah ku ceritakan tadi siang, secara garis besar. Seorang penyihir tidak senang melihat kita bersama, karena dia menginginkan kekuatanmu yang unik. Dia berusaha membunuhku, tapi kau..” Alven menelan ludah, ekspresinya pedih, “Kau menerima serangannya. Akibatnya kau yang mati. Aku tak bisa menerima itu. Dia juga. Sebagai gantinya, dia mengutukku menjadi patung batu yang tak akan bisa hancur. Itu hukumanku. Aku akan hidup selama-lamanya sebagai benda mati, sementara jiwaku bisa pergi kemanapun yang ku suka. Dan ingatanku tentang kejadian itu, tentang kematianmu, tak akan pernah ku lupakan. Selamanya.”

Sunyi. Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi Alven keburu memotongku. “Kemudian aku menemukanmu kembali,” katanya. Mata birunya menatap tepat ke mataku. “di sini, di masa ini. Saking senangnya, aku…” Wajah Alven memerah. Aku teringat Alven yang tiba-tiba mengucurkan air mata tadi sore. “Yah.. aku melakukan hal yang memalukan itu,” tambahnya pelan.
“Dari mana kau tahu kalau aku adalah putri itu?” tanyaku heran.
“Aku bisa merasakannya,” jawab Alven. “Wajahmu yang persis sama. Dan yang terpenting, jiwamu. Kau memiliki jiwa yang sama dengan Ariana.”

Ariana.. mungkin itu nama putri yang Alven cintai? “Tapi aku bukan Ariana,” kataku, yakin. “Aku tidak bisa bicara dengan bulan, aku tidak ingat apapun..” Apalagi masalah percintaan itu.. Ah, aku tidak mau memikirkan hal itu sekarang.
“Kau terlahir kembali, wajar kalau kau melupakan semuanya.” Alven tersenyum sedih. “Tapi kau reinkarenasi Ariana. Aku yakin.”
Aku terdiam. Cerita Alven luar biasa. Seperti dongeng, tapi diriku ada di dalamnya. Alven juga tampak begitu serius. Aku bisa melihat setiap emosi yang terpancar darinya saat dia menceritakan itu semua. Kemudian mendadak aku teringat pertanyaanku sendiri: kenapa cuma aku yang bisa melihat dan menyentuh Alven. Dari ceritanya, aku mengambil kesimpulan bahwa ikatan Alven dengan Ariana -yang kalau benar adalah inkarenasiku- begitu kuat, sehingga bahkan setelah bereinkarenasi menjadi aku, Ariana -aku bisa melihat jiwa Alven. Belum lagi perasaan déjà vu yang ku rasakan sejak tadi.

ADVERTISEMENT

Alven tidak berbohong. Dan entah mengapa, aku yakin. Meski rasanya masih sulit dipercaya.
“Aku tidak tahu, Alven,” ujarku pelan. Kata-kata itu tepat menggambarkan perasaanku sekarang. Rasanya semua informasi itu terlalu berat bagi otakku. Yah, aku juga sih yang memaksanya menjelaskan padaku malam ini juga. Aku tak bisa terlalu menyalahkannya.
“Tidak apa-apa,” Alven tersenyum lembut. “Aku mengerti kau pasti kebingungan. Kelak kau akan mengerti semuanya. Kita toh bertemu kembali setelah ribuan tahun lamanya. Pasti ada alasannya.”
Ya. Alven benar. Aku tersenyum juga. “Jujur saja, ada untungnya juga aku mendengar ceritamu,” kataku. “Tadinya aku takut setengah mati. Jangan-jangan aku mendadak bisa melihat.. er, kau tahu.. sesuatu”
Alven tertawa keras. “Jangan khawatir soal itu. Kalau kau tidak mau melihatnya, kau tak akan melihatnya,” katanya sambil nyengir.

Kemudian sesuatu melintas dalam otakku. “Hei, Alven, bagaimana caranya mengangkat kutukanmu?” tanyaku. Terlalu menyedihkan kalau Alven hidup selama-lamanya sebagai patung batu.
“Aku tidak tahu,” jawab Alven. “Penyihir yang mengutukku dulu sudah menghilang. Rasanya tidak mungkin kalau dia masih hidup setelah ribuan tahun.”
“Kau masih hidup,” ujarku mengingatkan.
Alven terkekeh. “Benar juga. Yah, hal itu bisa kita bicarakan nanti. Sekarang sudah lewat tengah malam. Kau harus pulang,” katanya tegas.
Aku menunduk malu. Seorang gadis ke luar malam-malam demi mendengar penjelasan dari seorang pemuda berwujud roh di kampusnya -kedengaran memang tidak masuk akal.. dan aneh.

“Maaf sudah mengganggumu. Aku pulang sekarang,” kataku seraya memanjat ke luar jendela.
“Jalan sendirian malam-malam itu bahaya,” kata Alven. Dia menembus dinding dan berdiri di sebelahku, nyengir. “Biar ku temani.”
Aku mengerutkan kening. “Tidakkah seharusnya kau menjaga tubuhmu di sini? Bukannya mengharapkan yang tidak-tidak, tapi siapa tahu ada yang mau mencurimu..”
“Pemilikku sudah memasang alarm. Siapapun yang menyentuh patung itu, sedikit saja, alarm langsung menyala ke kantor polisi,” kata Alven acuh. “Lagi pula, jangan remehkan aku. Biarpun cuma kau yang bisa melihatku, tapi kalau ada orang yang macam-macam denganmu–” Alven mengepalkan tinjunya, “aku bisa menghajarnya.”

“Memangnya kau bisa menyentuh orang lain?” tanyaku kaget.
Dia nyengir lagi. “Selama kau bersamaku, ku rasa bisa.” Aku mendengus.
“Ayolah. Kau harus pulang. Sudah terlalu malam,” desaknya. Dia bahkan kedengaran jauh lebih cemasan dibanding Ibuku. Aku tertawa geli. Pemuda yang aneh. Benar-benar aneh. Dan aku juga aneh, di sampingku ada sosok transparan yang eksklusif bagiku sendiri tapi aku sama sekali tak merasa takut.

Lagi-lagi aku teringat suatu hal. Pandangan hidupku selama ini, tentang tujuan hidup. Kalau memang aku adalah reinkarenasi Ariana, maka aku yang sekarang, yang sudah terlahir kembali, memiliki tujuan hidup yang lain. Aku yakin itu adalah untuk bertemu Alven kembali. Kami pun berjalan bersama menuju ke rumahku. Tanpa kami sadari, di bawah sinar rembulan, tanganku dan tangan Alven diam-diam saling bertaut.

Cerpen Karangan: Fiery Autumn
Penulis merupakan penggemar kisah fiksi fantasi yang bisa dibilang cukup fanatik. Jika mendatangi toko buku, pasti genre pertama yang dicari adalah fiksi fantasi, plus genre romance dan petualangan jauh lebih bagus. Saat ini penulis masih duduk di bangku kuliah dan sedang berjuang menyelesaikan skripsi. Menulis cerita fiksi fantasi merupakan hobi yang dilakukan tiap ada waktu luang atau saat sedang bosan.
Penulis bisa dihubungi di:
Twitter: @akiyuki_chan

Cerpen Matahari Dan Bulan (Part 2) merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Puzzle

Oleh:
Hawa dingin menyergap malam itu. Dengan tiap langkah aku semakin mengeratkan jaketku. Jantungku berdetak sangat kencang seakan siap mematahkan pelindungnya. Ada hal yang lebih menyakitkan lagi. Ketika aku saja

Sahabatku Seorang Penyihir

Oleh:
Claire menghela nafas kelelahan. Seperti biasa, di hari libur ia melakukan aktifitas olahraga pagi dengan cara jogging di taman kota. Di bawah pohon taman yang cukup rindang itu, Claire

Bunga Terakhir

Oleh:
Di sebuah toko bunga berjejer beribu-ribu pot bunga berbagai ukuran yang berisi tanaman bunga berwarna-warni dengan berbagai jenis. “serangga kamu lagi apa?”. tanya seorang gadis kepada seorang pria yang

Misteri Saudara Kembar Sara

Oleh:
SARA HUSSEIN, anak yang selalu bahagia dan ceria. Anak yang berumur 10 tahun. Selidik warga di sekitar, Sara harusnya dilahirkan kembar, karena hasil USG 10 tahun yang lalu harusnya

Dipta-nya Keysha

Oleh:
“gue masih sayang sama lo.” Kata seorang perempuan benama Keysha. Ia berbicara pada seorang laki-laki yang bernama Dipta. Lelaki itu hanya menatapnya dengan pandangan yang datar. Setelah itu, lelaki

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

2 responses to “Matahari Dan Bulan (Part 2)”

  1. Dayu Swasti Kharisma says:

    cerita fiksinya bagus bgt, ide cerita yg ga biasa, cara penulis menuliskan alur ceritanya, dan imajinasi penulisnya…semuanya bagus. aku rasa cerita spt ini layak diterbitkan deh heheh ( berasa aku publishernya ya)

  2. risaaa says:

    Keren kaaa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *