Saksi Kedua
Cerpen Karangan: Arief AgoomilarKategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Fantasi (Fiksi)
Lolos moderasi pada: 18 November 2015
Saat pertama kali ia membelikanku dengan selembar uang pecahan seratus ribu, aku merasa sedikit heran, sebab waktu itu, aku saksikan ia tengah memakai sejenis aku di kepalanya, malah lebih bagus, lebih mengilap dan terlihat mahal. Apa ia membawaku untuk koleksinya? Atau untuk hadiah? Ah, rasa-rasanya tidak mungkin aku dijadikan hadiah, tidak lucu membelikan seseorang hadiah sebuah helm, kecuali jika ia adalah seorang pembalap atau mungkin tukang ojek. Ia tersenyum dan menentengku dengan amat hati-hati, meletakannya di sebuah cantelan kecil di ujung depan jok motor bebeknya, kemudian menyalakan mesin dan memacu motornya begitu cepat. Tak lama kemudian kami dihentikan oleh sebuah lampu merah di persimpangan yang padat, ia merogoh sesuatu dari kantongnya, sebuah benda berbentuk persegi empat dengan sisi-sisi yang halus, lalu ia menempelkan benda itu ke telinga kanannya.
“Halo, kamu dimana? Aku jemput ya?”
Ada hening sesaat.
“Oke kalau begitu, tunggu aku.”
Duh, dasar laki-laki aneh. Membeli helm baru padahal masih punya yang lebih bagus, setelah itu berbicara sendiri dengan sebuah persegi empat dengan wajah sumringah, dan coba kamu dengarkan sekarang! Ia bernyanyi-nyanyi kecil, dengan suara sumbang dan lirik yang tak jelas, tapi aku yakin aku beberapa kali mendengar kata ‘sayang’ dan ‘kekasih’ dari nyanyian kecilnya yang lebih mirip gumaman itu.
Lampu merah berganti hijau, ia segera memacu kembali motornya, kali ini dengan kecepatan yang lebih tinggi, aku sampai berguncang-guncang di antara kedua kakinya. Nyanyiannya sudah tidak terdengar, tetapi wajah sumringahnya tak berkurang sama sekali, bahkan sampai ia mengurangi kecepatan kendaraannya dan berhenti di sebuah rumah berwarna krem yang dipenuhi oleh pot-pot besar berisi macam-macam tanaman hias di halamannya.
Lelaki ini membunyikan klaksonnya beberapa kali, dan tak lama kemudian seorang gadis muda berkemeja jingga pun ke luar dari rumah tersebut, dan hey, gadis ini cantik! Lihatlah bentuk mukanya yang sedikit bulat dengan potongan rahang yang sempurna, bibirnya pun ranum merekah seperti jambu air yang saban hari aku lihat berjejar di sepanjang jalan tempat aku dipajang, bahkan meskipun terhalang oleh sebuah kacamata, tetapi aku dapat merasakan sepasang mata milik gadis itu menjelma lebih indah dari sekedar bintang di langit, seperti menyimpan kecantikan misterius yang sulit digambarkan oleh kata-kata paling puitis sekalipun.
Gadis itu tersenyum manis, dan laki-laki yang membawaku ini mendadak menarikku ke atas dan memberikan aku pada gadis ini, dalam sekejap aku pun berpindah posisi, dari sebuah cantelan kecil di ujung depan jok sebuah motor bebek ke kepala seorang gadis cantik beraroma stroberi, entah dari parfum yang ia pakai atau dari shampo yang biasa ia pergunakan sehari-hari. Mereka –atau lebih tepatnya kami- pun melaju dalam kecepatan motor yang ku rasa jauh lebih lambat daripada kecepatan sebelum lelaki tersebut menjemput si gadis. Dan setelah perjalanan yang sepertinya tidak terlalu lama, laki-laki itu pun berhenti pada sebuah restoran yang tidak terlalu besar tapi ramai luar biasa. Mereka berdua lalu turun dan meninggalkanku pada sebuah cantelan lagi, kali ini aku tidak sendiri, sebab laki-laki itu juga meletakan helm yang sedari tadi ia kenakan tepat di sebelahku.
“Hai.” Ujarku lembut mencoba membuka percakapan, berusaha untuk ramah pada si helm yang terlihat lebih mengilap itu. Tapi ia diam saja. Ah, dasar kau helm yang membosankan.
—
Aku mungkin terlalu banyak ingin tahu untuk ukuran sebuah helm yang seharusnya bernilai tak lebih dari sekedar pelindung kepala atau sebagai benda yang melindungimu dari peluit polisi lalu lintas di sembarang tempat. Tapi harus kau tahu kebenarannya, bahwa semua benda sesungguhnya hidup, hanya saja kuasa yang diberikan kepada kami oleh Tuhan yang Maha Besar tak pernah lebih hebat dari kuasamu sebagai manusia yang bisa bergerak, berbicara, hidup dan mencintai. Dan perihal ‘mencintai’ itu, bagiku tak butuh waktu lama untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi antara si laki-laki pemilikku ini dengan gadis cantik berkemeja jingga yang saban hari ia jemput dari rumahnya yang dipenuhi pot-pot besar berisi tanaman hias tersebut. Ada cinta di antara mereka, aku tahu itu.
Tetapi ku kira ini bukan cinta yang bersambut dengan baik, sebab ku pikir, dari percakapan-percakapan yang sering mereka lakukan ketika motor tengah melaju dan aku terpasang seluruhnya pada kepala gadis itu, si cantik ini sepertinya masih lebih memilih untuk sekedar berteman dengan laki-laki ini dalam semacam zona nyaman yang membuat wanita enggan beranjak dari batasan-batasan dimana ia merasa bahwa dirinya memiliki keuntungan untuk disayangi tanpa harus dimiliki.
Sementara laki-laki itu… ah, entah apa yang dipikirkan olehnya, tapi setahuku, ia tak pernah mengeluh dengan sikap gadis itu kepadanya, ia tetap rajin membawaku sehari-hari untuk menjemput gadis itu pulang dari kampusnya, mengantarnya ke kelas yoga, menemaninya ke toko buku, atau bahkan sekedar mengajaknya jalan-jalan mengitari kota sambil berbincang tentang banyak hal yang terkadang menjurus kepada soal perasaan mereka yang bersinggungan.
Semakin lama, aku tahu bahwa ini adalah sebuah proses yang mungkin menyenangkan bagi mereka berdua, toh, sekalipun si cantik ini bilang tak ada rasa yang spesial, tapi ia tetap menjatuhkan pilihannya pada laki-laki ini untuk mengantarnya kemanapun ia perlu untuk diantar dan ditemani, padahal aku yakin tak sedikit laki-laki lain yang menawarkan diri mereka untuk melakukan hal yang sama, bahkan dengan kendaraan yang lebih bagus dan mahal. Dari sini aku mulai menyadari, mungkin memang tak ada laki-laki yang seharusnya mendengarkan seratus persen perkataan seorang wanita mengenai perasaan mereka, sebab seringkali wanita sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya mereka inginkan. Hei, aku yang hanya benda bisu ini pun tahu, kisah yang seperti ini tentu terlalu indah untuk sekedar berakhir pada penolakan-penolakan yang klise.
—
Kau tahu mengapa aku basah hari ini, kawan? Tadi sore hujan lebat, langit hitam kelam dan guntur mengguruh-guruh dari awan yang terlihat penuh menutup keseluruhan langit.
Oh, tadinya aku pikir ini adalah sore yang menyenangkan, aku bisa menikmati sore yang tenang diiringi dengan aroma hujan yang khas itu, tapi ternyata, aku salah besar. Laki-laki itu tiba-tiba ke luar dengan tergesa-gesa, kemudian ia mengenakan jas hujan miliknya yang sudah berlubang di beberapa bagian, lalu ia membungkusku dengan sebuah kantong plastik, membawaku menuju motor kesayangannya, dan meletakanku di cantelan seperti biasa.
Setelah itu ia melaju kencang di antara hujan, menembus rintik-rintik air yang jatuh membasahi badannya yang sepertinya sedikit mengurus. Aku lihat tangannya bergetar-getar halus diterpa dinginnya angin campur air dan bibirnya mulai membiru karena suhu tubuhnya yang tak lagi hangat. Duh, ini sih sama dengan menyiksa diri, hal sepenting apa sebenarnya yang membuatnya rela melawan kehendak alam seperti ini? bahkan di sepanjang jalan yang kami lalui, aku hampir tak menemui pengendara sepeda motor selain laki-laki ini, sebab memang cuaca sore ini terlalu buruk untuk seorang pengguna sepeda motor melenggang di jalanan.
Di sebuah jalan antah berantah, ia berhenti di depan satu toko kecil yang sepertinya sudah hampir tutup. Kemudian ia masuk sejenak dan kembali ke luar dengan membawa sebuah kantong berisi kotak yang tidak kecil tapi juga tidak terlalu besar. Lalu ia bergegas memacu motornya lagi, namun kali ini bibirnya yang membiru karena dingin itu tersenyum, senyuman yang tipis tetapi terlihat begitu tulus dan merekah. Akhirnya, setelah cukup lama ia mengeja jarak lewat putaran roda-roda motornya yang setia, ia berhenti di depan sebuah halte yang berada tak jauh dari sebuah kampus, dan rupanya ada gadis itu di sana! Gadis itu tengah duduk sendirian di kursi halte dengan wajah merengut dan sepertinya ia amat terkejut dengan kedatangan si laki-laki itu, ia bergegas berdiri dan menghampiri si laki-laki yang baru saja hendak melepaskan helmnya itu.
“Dika?!”
Si laki-laki hanya tersenyum, memaklumi keterkejutan gadis itu.
“Kenapa gak minta aku jemput, Ge?” tanya si laki-laki itu lembut.
“Dari mana kamu tahu aku di sini?”
“Airin memberitahuku, ia bilang kau terjebak hujan di halte ini.”
Gadis itu sedikit menundukkan pandangannya.
“Hujan seperti ini terlalu lebat Dik, aku tak tega unt…”
“Sekalipun hujan api jatuh dari langit, aku dengan senang hati akan datang menjemputmu!” seru laki-laki itu tegas, dengan mimik serius.
Sejujurnya itu adalah kata-kata paling gombal yang pernah aku dengar dari mulutnya, namun nampaknya itu benar-benar berhasil membuat si gadis terdiam dan salah tingkah. Aku juga diam, tentu saja karena aku memang selalu diam. Lelaki itu membuka isi kantong plastik yang tadi ia bawa dari sebuah toko.
“Ini, pakailah,”
Oh, ternyata itu sebuah jas hujan berwarna biru muda. Si cantik itu memakainya dengan wajah senang, kemudian aku dikeluarkan dari dalam kantong, dan gadis itu pun mengenakan aku di kepalanya sebelum si mereka melaju berdua menembus hujan lebat yang entah mengapa tak lagi terlihat mengerikan untukku. Sepanjang jalan mereka diam, tapi gadis itu memeluk punggung si laki-laki erat sekali, seakan-akan tak mau lepas, tak mau berpisah. Bahkan seandainya motor ini tergelincir, menabrak pembatas jalan dan berakhir pada kematian mereka berdua, aku cukup yakin mereka berdua akan mati dengan posisi yang sama, dengan pelukan yang tak akan bergeser sedikitpun.
Akhirnya sampailah mereka di depan rumah si gadis, dan ia sempat menawarkan laki-laki itu untuk masuk dan berteduh menunggu hujan selesai, tapi ia menolak, sebab ia rasa hari sudah terlalu sore dan ia harus menemani Ibunya yang sedang sakit di rumah. Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Lalu ia segera masuk ke dalam rumah, tidak untuk waktu yang lama. Sebab sebelum laki-laki ini sempat meletakkan aku di cantelan jok depan seperti biasa, gadis itu berlari kembali ke luar rumah, dan mengecup pipi laki-laki yang mendadak terlihat begitu gugup itu, kemudian ia berlari kembali ke dalam rumah tanpa kata-kata dan aku pun mengerti bahwa laki-laki ini telah berhasil meluluhkan hatinya. Hujan masih turun dan udara yang dingin menjadi semakin dingin, tapi aku rasa ada sepasang anak adam sore ini yang tak merasakan dingin sama sekali.
—
Dari kebiasaanku mengiringi lelaki ini setiap hari, aku sedikit heran dengan anggapan segelintir laki-laki yang mengatakan bahwa wanita adalah mahluk yang keras kepala. Mereka sebenarnya tak keras kepala. Tak pernah. Hanya saja diperlukan banyak pemahaman dan sedikit seni dalam bersikap untuk mengetahui apa yang sebenarnya dapat meluluhkan mereka dan membuat mereka mengakui perasaan mereka kepadamu. Hanya itu saja. Dan aku rasa, lelaki ini, lelaki yang gemar sekali meletakanku di sebuah cantelan di ujung jok depan motornya, adalah salah satu dari mereka yang berhasil melakukan hal itu.
Lihatlah dia sekarang, asyik bercanda mesra dengan si gadis yang aku akui kecantikannya sejak pertama kali melihat ia ke luar dari sebuah rumah yang dijejari pot-pot besar tanaman hias dengan baju berwarna jingga. ‘Sayang’, begitulah mereka berdua saling memanggil nama satu sama lain, dengan nada bicara yang dilembut-lembutkan. Oh, aku kini mengerti mengapa orang-orang yang tidak merasakan cinta selalu melihat mereka yang sedang jatuh cinta sebagai mahluk yang menyedihkan. Sebab kenyataannya memang begitu.
Waktu berputar dengan irama yang sama bagiku, tapi entah bagi sepasang kekasih yang tengah berpelukan erat di depan di atas jok sepeda motor ini. Mungkin bagi mereka waktu tengah membeku di tempatnya, dan jam-jam berhenti memutar jarum detik mereka untuk waktu yang tak ditentukan. Dalam hal-hal yang seperti ini. Cinta mungkin saja menjadi semacam musuh bagi waktu.
Hari berganti hari dan minggu-minggu memutar bulan-bulan menjadi tahun. Aku saksikan ribuan peristiwa terjadi dan terlewati begitu saja dari kebersamaan mereka berdua, melalui putaran roda-roda yang berjalan senada dengan masa dari musim ke musim. Ada begitu banyak cerita di antara mereka, seperti kisah seribu satu malam dari negeri antah berantah yang tak terhitung banyaknya, bahkan ada sebagian kisah yang tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata. Bukan karena tak ada kata-kata yang mampu menggambarkannya, tetapi karena memang sulit untukmu memahami apa yang aku maksudkan dalam kata-kata, sebab terkadang perasaan memang mudah untuk dipahami, tapi sulit sekali untuk dijelaskan.
Tetapi… ah, mungkin memang benar kataku dahulu, bahwa cinta adalah musuh bagi waktu. Coba perhatikan kini, cinta yang dahulu hangat bersemi pelan-pelan seperti redup sendiri dalam gelap yang tampak berbeda di mata mereka masing-masing. Kebersamaan yang mereka lalui itu, detik demi detik itu, nampaknya telah menyingkap apa yang tak bisa disingkap oleh sesuatu pun selain waktu. Ya, aku tahu mereka pasti mengerti bahwa tak ada manusia yang sempurna di dunia. Tapi sejauh apa mereka dapat menerima ketidaksempurnaan orang yang mereka kasihi, tentu menjadi semacam bom waktu yang menentukan nasib perasaan mereka sedikit demi sedikit.
Nah, lihatlah sepasang kekasih tersebut sekarang, mereka saling berargumen dengan nada tinggi meskipun mereka masih melaju di atas kendaraan roda dua millik si lelaki. Aku yang menempel erat pada kepala gadis cantik ini pun sampai terheran-heran. Kemana perginya kehangatan yang dulu? Sekarang aku lebih sering mendengar mereka saling mengeluh, menyalahkan dan memarahi satu sama lain.
Laki-laki itu menghentikan sepeda motornya tepat di depan rumah si gadis yang hingga kini masih saja dipenuhi oleh pot-pot besar tanaman hias, dan tiba-tiba dengan satu gerakan yang tak terduga, si gadis itu bergegas turun dengan cepat dari jok, melepaskan aku dari kepalanya, dan membantingku cukup keras ke atas tanah yang keras sambil mendengus penuh amarah. Kemudian ia masuk begitu saja ke dalam rumah, dengan pipi berlinangan air mata.
Fiuh, untunglah aku tak mengenal rasa sakit. Laki-laki itu hanya terdiam dengan wajah sedih bercampur bimbang di atas motornya. Tak ada kata yang terucap, tak juga ia turun, mengetuk pintu rumah gadis itu baik-baik dan berusaha menenangkan kekasihnya tersayang dengan bujuk rayu dan kata maaf yang berulang-ulang. Ia hanya diam. Diam saja. Lalu, lama berselang setelah itu, ia pun beranjak mengambilku dari atas tanah, mengusap debu-debu yang menempel padaku, dan pergi begitu saja dari tempat itu. Masih tanpa kata-kata.
—
Hei, tolong jangan tanya padaku bagaimana kelanjutan kisah sang laki-laki dan si gadis cantik yang aku ceritakan kepadamu itu. Sebab memang aku tak tahu. Kau boleh saja menganggapku sebagai saksi kedua setelah Tuhan yang menyaksikan bagaimana kisah mereka terajut selama ini, tapi sayangnya, terakhir kali aku melihat mereka bersama adalah malam ketika si gadis itu membantingku ke atas tanah dengan pipi berlinangan air mata. Setelah malam itu, aku tak tahu apalagi yang mereka berdua lakukan, ke mana mereka pergi, dan bagaimana mereka melaui waktu mereka berdua, bukan karena aku tak lagi peduli, tetapi karena si laki-laki ini memang tak pernah lagi membawaku pergi bersamanya.
Aku kini ditinggalkan. Selalu ditinggalkan. Hanya dia saja yang dibawa, si helm bagus dan mengilap yang selama ini setia menemani laki-laki itu pergi kemanapun. Pernah aku coba untuk bertanya kepadanya tentang apa yang laki-laki ini lakukan selama aku tak diajak, ke mana ia pergi, dan apakah si gadis yang dahulu membantingku itu masih cantik seperti biasa. Tapi ia tak menjawab, hanya diam saja. Ah, tentu saja ia hanya diam, bukankah ia helm yang membosankan?
Selesai
Cerpen Karangan: Arief Agoomilar
Facebook: Arief Fajar
Twitter: @agoomilar
Ditulis di Bandung, saat hujan rintik-rintik.
Cerpen Saksi Kedua merupakan cerita pendek karangan Arief Agoomilar, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"
Share ke Facebook Twitter WhatsApp" Baca Juga Cerpen Lainnya! "
Lucid Dream
Oleh: Mia Aprianti Putri“Uhh.. Apa ini sudah pagi?” ucap naya mengucek matanya dan kini mulai bangkit serta turun dari tempat tidurnya, dia pun keluar kamar dan memanggil-manggil orang seisi rumah akan tetapi
The Pencil (The Andromeda Girl, Lotus)
Oleh: Rey GoodmanSeperti biasa, setiap pagi Vauxhall selalu duduk di kursi yang ada di teras depan rumahnya sambil ditemani secangkir kopi. Kegiatan itu sudah seperti kewajibannya sebelum berangkat ke sekolah. Walaupun
Hilangnya Mutiara Peri
Oleh: Wiwin ErnawatiSering kudengar dongeng tentang peri, dari buku anak-anak dan juga film. Ayahku juga sering menceritakan kisah peri, hampir setiap hari, disetiap malam sebelum tidur. Hingga terbayang dalam imajinasi jika
Salut D’Amour
Oleh: Paula NugraheniAku memandang ke luar jendela sejak pulang sekolah tadi. Memandangi hujan yang mengguyur Bumi hari ini membuat hatiku sedikit lega. Ya, rasanya dingin, tentram, menyejukkan, menyegarkan. Rasanya kedongkolanku hari
Marvirath (Part 2)
Oleh: Arrum Yoanita Sari“Samantha! Aku kira kau akan datang minggu depan?” Sir Thomas segera memeluk adik kesayangannya itu. “Awalnya begitu, tapi semua tiket penerbangan menuju Miami sudah terjual habis, kami susah payah
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"
Nice story…
ini cerpen terbagus yang pernah saya baca, ada ya orang yang kepikiran ambil dari sudut pandang sebuah “helm” .. ide yang sangat kreatif ..
ditunggu ya Arif Agoomilar cerpen cerpen selanjutnya dengan sudut pandang yang berbeda ^^
SUKSES!!
Terima kasih banyak, semoga bisa menginspirasi 🙂