What We Do When We Know a Little Secret of Earth

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Fantasi (Fiksi)
Lolos moderasi pada: 18 July 2017

BUKTI BUMI DATAR, merupakan salah satu kata kunci populer di search engine sejak akhir tahun lalu. Sebuah pemahaman lama dengan teori-teori terkini yang jika dikaji serius tak kalah masuk akalnya dengan konsep gravitasi Newton, belum lagi kutipan beberapa baris kitab seolah mendukung dan keduanya –sains dan agama– memang seharusnya tidak pernah dipisahkan. (Menurut mereka) Bumi tidaklah berbentuk globe seperti yang telah diakui hampir seluruh manusia di dunia selama ini melainkan datar dengan kubah, atau mengambil istilah dari salah satu kitab: firmament, di atasnya. Dalam konsep Bumi datar dijelaskan bahwa kutub Utara merupakan pusat sekaligus sumber elekromagnetik Bumi sementara benua-benua dinding Antartika menyebar dalam posisi mengelilingi.

Pendapat ini (selain mendapat persetujuan dari sejumlah awam yang baru-baru ini mengaku menemukan kemungkinan adanya konspirasi luar biasa besar di kelas pemerintahan akan Bumi, Antartika, satelit dan berbagai hal lain) mendapat acungan negatif mengingat menyatakan bahwa Bumi adalah datar seolah juga mengubah persepsi satu tambah satu adalah dua. Pertanyaan-pertanyaan seputar kedataran Bumi pun diajukan guna menguji isu tersebut: bagaimana terjadinya siang di bagian Bumi yang satu sementara malam di bagian lain –bukankah cahaya Matahari akan menyebar ke seluruh bagian Bumi apabila ia datar; bagaimana terjadinya gerhana bulan pada Bumi datar yang menurut defenisi (kaum Heliosentris –Bumi bulat) terjadi saat Matahari, Bumi dan juga Bulan secara berurutan berada dalam satu garis lurus dan baik sebagian atau seluruh penampang Bulan tertutupi bayangan Bumi.

Tak hanya di komunitas maya, pembahasan-pembahasan mengenai bentuk Bumi pun terdengar di kehidupan tatap muka, saling beradu agumen demi menemukan nilai-nilai kebenaran yang nantinya diharapkan mengisi keraguan lalu kemudian bisa dijadikan pegangan pengetahuan yang kuat –sebagian orang lagi sama sekali tidak peduli. Namun jika kau bertanya kepada pihak mana saat ini aku berlabuh, aku akan menjawab: datar.

Dalam kehidupan ini tidak banyak hal yang kupedulikan selain keluarga, teman dan pekerjaan. Tetapi entah kenapa ketika mendengar kabar Bumi mungkin saja datar, sebagian diriku begitu saja teralihkan hingga ingin sekali rasanya segera mendengar pendapat para penganut Geosentris –Bumi datar– setidaknya mengenai satu dari berbagai pertanyaan yang sering dilempar para awam maupun penganut paham Bumi bulat: jika Bumi adalah datar, bagaimana sebuah kapal yang berjalan lurus ke Timur akan kembali ke tempat asal di waktu berikutnya. Penganut Geosentris bicara. Mereka memiliki jawaban.

Sejak saat itu tak salah lagi Bumi telah menambah daftar kepedulianku terhadap hal-hal di dunia ini –selain tiga sebelumnya. Setiap pagi sembari bekerja atau lebih tepatnya sebelum bekerja aku mencari-cari artikel terkini mengenai pengetahuan Bumi datar. Apakah orang-orang berhasil menemukan celah tentang paham tersebut atau apakah orang-orang justru mendapat penjelasan masuk akal lain mengenai fenomena alam dalam kacamata Bumi yang datar. Seperti halnya hari ini aku lebih memilih mendekatkan pikiran pada video yang menjelaskan bagaimana kerja Matahari –yang dalam konsep Bumi datar berukuran tidak besar bahkan hampir berdiameter serupa Bulan yaitu (berdasarkan pengukuran sekstan dan trigonometri bidang datar) hanya sekitar 32 mil –dibanding harus mengerjakan slide rapat dua hari berikutnya. Alhasil aku lembur setelah pukul lima petang, larut mengalahkan rekor sebelumnya yang tercatat ditemani kafein selama 20 jam menjadi tidak kurang dari 24 jam demi bisa tidur tenang dan bermalas-malasan di Minggu siang dan sorenya.

Semua tanggung jawabku terhadap pekerjaan berhasil selesai beberapa menit sebelum pukul delapan pagi Minggu itu. Aku meregangkan badan sekali sebelum melangkah ke luar meja untuk segera beristirahat. Sesuatu menghentikanku. Terlalu lama duduk dan menguras konsentrasi membuat diriku tak bisa menjejakkan kaki seperti biasa, yang sekarang terasa mengambang. Perlengkapan kantor terlihat hilang-timbul seakan ragu mereka seharusnya berada di sana. Dinding-dinding ruangan menghilang, menampakkan bagian ruangan lain di sebelah yang dindingnya pun juga berkedip-kedip.

“Kenapa, Mas?” Seorang penjaga gedung bernama Helmi mengkhawatirkan kondisiku yang mematung.
Aku mengerjapkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala yang sepertinya terganggu akibat jadwal tidur berantakan sebelum mengatakan tidak apa-apa dan mulai melangkah ke kamar yang di hari sebelumnya ditawarkan untukku beristirahat. Tak sampai di yang ketiga, langkahku bergetar. Otot-otot penggerak lupa akan pekerjaannya dalam menahan bobot. Aku jatuh ke lantai. Perlahan, aku mendapati wajah Helmi di pandanganku yang mengabur.

Air bergejolak seperti dituangkan ke dalam wadah. Bisikan-bisikan. Langkah-langkah. Tuts keyboard. Aku mendengar kesemuanya tepat sebelum terbangun dan menemukan diriku menatapi lampu ruang yang menyala putih dan kecil-kecil. Dingin ranjang baja yang tidak beralas mencemaskanku: aku tidak berada di ruangan Helmi yang nyatanya tidak memiliki ranjang seperti ini melainkan sebuah kasur yang digelar ke lantai.

Ruang yang kutempati adalah ruangan berlapis kaca transparan dimana konstelasi bintang-bintang terlihat. Aku bangun dan menggantungkan tubuhku di atas ranjang dengan heran bercampur kekaguman, bertanya-bertanya sekaligus menikmati pandangan yang selama ini hanya kudapat dari hasil efek khusus atau CGI film-film Hollywood; Ursa Mayor, Orion, Vulpecula. Di antara rasi yang berpendar mataku menemukan Polaris tepat dan hampir diam di tengah angkasa sementara titik-titik lain –yang sebelumnya kuduga lampu- lampu kecil–memutar dari kiri ke kanan, yang hingga hampir seketika itu juga membuatku beralih memandang lantai. Di sanalah ia terbentang, obyek yang telah akrab dari gambar-gambar di masa kecil hingga sekarang, yang semenjak satu bulan lalu kuyakini tidaklah berbentuk sebagaimana di buku pelajaran. Bumi (dalam ruangan ini) berbentuk–

“Sudah sadar?”
Aku beralih ke asal suara, dan aku tercengang. Dia bukanlah Helmi, bukan pula siapapun yang kukenal atau seseorang berseragam dokter. Ia adalah makhluk -bukan-manusia yang tidak berambut dengan kepala lebar ke atas, bertentakel empat di ujung mulut, tidak berpakaian, dan berselaput di sela-sela tangan dan kakinya. Makhluk itu menatapiku begitu saja dari sana–yang latar tempat berdirinya tidaklah angkasa seperti di ruangan melainkan putih. Makhluk itu menoleh ke belakang setelah menuai responku yang mungkin tidak sesuai ekspektasi. Tak lama dua makhluk serupa menampakkan diri. Masing-masing tanganku dipegangi, digiring meninggalkan ruangan berdinding angkasa.

ADVERTISEMENT

Ruangan tempat aku melintas kemudian (selain berlatar putih, seperti yang kukatakan sebelumnya) dihiasi rumput-rumput tinggi dan dedaunan pohon yang bergoyang karena angin. Enam belas ranjang baja disusun rapi, tak berpenghuni. Di titik ini aku ingin meralat dua hal: pertama, ruangan berdinding angkasa tidaklah transparan dan menampakkan bintang-bintang di sisi luarnya melainkan merupakan hasil proyeksi bergerak yang entah bagaimana dilekatkan sesuai pada bidang ruangan; ke dua, jangan terlalu berharap dengan penampakan yang kulihat, imajinasi alam sadar ini sangat besar kemungkinan hanya obsesi berlebihanku pada makhluk asing yang kuyakini tinggal di daratan di balik dinding Antartika Bumi datar –didasari ditemukannya peta dunia yang diperkirakan berusia sekitar seribu tahun di sebuah kuil Jepang serta dokumentasi penjelajahan sekaligus pernyataan perwira angkatan laut pemegang Medal of Honor, Richard E. Byrd, yang menggambarkan adanya daratan lain di balik dinding Selatan.

Ruangan berikutnya yang kumasuki berlatar lautan biru dengan sebuah perahu kayu kecil tak bertuan yang dihembusi ombak hingga terlihat menari-nari di atas air. Burung-burung laut beterbangan ke sana-ke mari, bergantian keluar-masuk ke dalam tampilan proyeksi–tidak sempat kuperhatikan kehadiran burung-burung laut itu merupakan perulangan atau tidak. Di ruangan itu aku melihat satu makhluk asing, yang bertubuh persis sama seperti tiga lainnya, terduduk di salah satu ranjang baja yang disusun rapi. Ia memandangi isi ruangan, kemudian pada kehadiran kami yang berlalu sejenak kemudian.

Aku dibawa menuju sebuah ruangan yang tertata mirip sebuah studio rekaman dimana terdapat banyak sekali papan tombol yang kuyakin memiliki fungsi-fungsi tersendiri lengkap dengan pengeras suara. Kedua makhluk bertentakel yang sebelumnya memegangiku, meninggalkan lengan-lenganku sendiri.

Makhluk bertentakel yang pertama kali menghampiriku di ruang berdinding angkasa menginstruksikan untuk memperhatikan apa yang dilihatnya di depan. Di balik papan-papan tombol itu (melalui kaca transparan) terlihat satu ruangan besar yang agak menjorok ke bawah, dan aku mendekat beberapa langkah hanya untuk melihat lebih jelas tempat tabung-tabung setinggi kurang-lebih 2 meter tersusun ribuan. Setiap tabung itu terisi air dengan makhluk-makhluk bertentakel tak sadarkan diri di dalam.
Makhluk bertentakel itu memandangiku dan bertanya.
“Bagaimana?”
Aku memandanginya sekali, tak menjawab pertanyaan yang tidak benar-benar kumengerti melainkan masih bertanya-tanya dalam kepala yang belum cukup beristirahat ini tentang bagaimana ini bisa terjadi. Makhluk bertentakel menghela nafas, tampak lelah atau mungkin bosan. Ia memandangi dua makhluk bertentakel lain yang tadinya memegangi kedua tanganku. “Ingatkan aku untuk membahas pengadaan pil ingatan saat rapat direksi sehingga kita tidak perlu repot bergantian menjelaskan kepada setiap mereka yang kembali.”
Kedua makhluk bertentakel itu mengangguk mantap, dan satu lainnya kembali memperhatikanku.
“Kau bernama Bern –setidaknya itu yang kulihat dari formulir.” Ia memulai percakapan. “Terdaftar sejak 28 hari lalu, yang mana satu hari di sini diatur setara dengan setahun di dalam sana –di Bumi. Bumi tidaklah nyata.”
Aku mendengarnya, namun tidak mengatakan apa-apa, melainkan sejenak memandang sekali lagi ke balik papan-papan kunci. Tetapi kali ini aku tidak berfokus pada ruangannya, tidak pada makhluk-makhluk yang memejam di bawah melainkan pada kaca transparan yang membatasi kami. Makhluk bertentakel mengajakku minum di lantai atas dimana menurutnya aku bisa mendengar lebih rileks sementara dua makhluk bertentakel lain dibebastugaskan dari urusan kami.

Tempat itu bisa dikatakan sebagai sebuah kafetaria dimana berpasang meja dan kursi panjang baja tersusun mengisi ruangan seluas lapangan bola. Akses keluar-masuknya sendiri berupa lift-lift kapsul yang salah satunya telah kami pakai, masing-masing di ujung Utara, Selatan dan Barat sementara sisi Timur merupakan jalur panjang yang entah mengarah ke mana. Beberapa makhluk tentakel sedang mengobrol dalam grup.

Aku dan makhluk bertentakel itu duduk berseberangan di salah satu meja dekat pilar dengan segelas cairan-biru-kehijauan -sekental-sirup masing-masing. Ia menyeruput sebagian minuman itu dengan empat tentakel di mulut yang tersendat-sendat, lalu memandangi aku dan minuman di hadapan yang tidak tersentuh.

“Jadi Bumi itu tidaklah nyata.” Ia mengulangi lagi, seolah aku tidak mendengar perkataan sebelumnya. Menempatkan gelas miliknya kembali ke atas meja. “Dunia yang sekarang kita tinggali adalah dunia yang sempurna. Kita sempurna –taat, tanpa emosi dan hasrat. Hampir semua hal yang kita inginkan ada atau setidaknya bisa dikerjakan walau terkadang memerlukan waktu lumayan lama tergantung seberapa rumit. Kita mencari dan mengerjakan hal-hal berjangka panjang –seperti penyusunan bata pada tembok raksasa dan piramid yang gambarannya kemudian kita sisipkan di daratan Cina dan Mesir Bumi –hanya agar tidak membuang-buang waktu percuma sebelum hari kematian besar yang telah ditentukan dan agar tidak terlalu memandangi pohon yang buahnya dilarang Pencipta untuk dimakan. Lalu dari situlah segalanya dimulai: dari alur imajinasi tentang makhluk yang penasaran dan akhirnya menelan buah larangan menuju kiamat. Bumi adalah sebuah wahana. Permainan yang diciptakan agar kita merasakan emosi dan hasrat yang selama ini terpajang dalam galeri lengkap dengan penjelasan-penjelasan betapa mengerikan sekaligus menakjubkannya mereka. Merasakan tantangan menjadi sesuatu yang tidak sempurna, melainkan bekerja sama dan berjuang demi apa yang diinginkan, menjadi apa yang kemudian kita sebut sebagai Manusia –sembari menunggu waktu.”

Aku memikirkan penjelasannya.
“Jika memang begitu,” kemudian. “bagaimana aku bisa keluar dari permainan –dari Bumi? Apakah waktu … waktu reservasiku habis?”
“Kau mati. Semua yang mati dalam permainan akan kembali ke sini dimana nantinya bisa diikutsertakan lagi namun tidak dengan latar belakang, peran dan pekerjaan yang sama persis untuk setiap orang.”
“Terdengar seperti konsep reinkarnasi: mati lalu bangkit kembali dengan kondisi yang berbeda. Tunggu, mati? Kau bilang aku mati? Aku pikir aku sekadar memimpikannya; ruang berdinding angkasa, makhluk asing, percakapan ini.”
“Cara kerja mimpi tidak seperti itu. Selagi kalian tidur, baik sejenak atau lama, kami di sini bekerja memperbaiki program dalam pikiran yang mungkin saja rusak atau hilang ketika berkegiatan sehingga nantinya setelah bangun kalian bisa kembali beraktivitas dengan sistem yang telah diperbaharui –hasil perbaikan sendiri tergantung dari jenis kerusakan yang terjadi, yang mana kerusakan-tak-terperbaiki akan diakumulasikan dengan kerusakan-tak-terperbaiki selanjutnya hingga akhirnya akan benar-benar rusak total dan tidak bisa dipakai. Dalam masa (perbaikan) itu memungkinkan bagi pikiran-pikiran makhluk yang satu ‘melompat’ secara acak pada pikiran-pikiran makhluk lain sehingga menciptakan gambaran-gambaran kejadian di latar tempat dan waktu yang pun tidak bisa ditebak. Hal itulah yang disebut mimpi. Dan mengingat bagaimana kau memperlakukan tubuhmu –jadwal tidur berantakan– selama periode yang tidak bisa ditolerir program, tentu saja kau sudah mati.”

Aku tidak mendebat apapun lebih jauh, dan jika kau perhatikan pertanyaan-pertanyaanku kepada makhluk bertentakel hanyalah berupa penegasan, sekadar penambah informasi (selanjutnya kutemukan bagaimana dejavu tercipta dan alasan mengapa tak jarang terjadi penampakan unindentified flying objects atau UFO di atas langit Bumi) bukannya justru penolakan besar-besaran dimana seseorang mungkin saja melakukannya karena terlalu terkejut dan tidak percaya dengan apa yang ditemukannya saat ini –satu makhluk bertentakel baru saja berlari menjauh secepat mungkin dari salah satu grup kafetaria, menjatuhkan segelas cairan -biru-kehijauan-sekental-sirup di lantai. Bagaimanapun, sebenarnya aku telah menemukan kebenaran semenjak keluar dari ruang berdinding angkasa: ketika salah satu makhluk bertentakel itu terbangun di atas ranjang baja di ruangan berlatar lautan biru dengan perahu, aku berpikir bahwa jika kondisinya terbangun bisa sama sepertiku maka aku pun memiliki kemungkinan untuk bisa sama sepertinya, lalu aku melihat tubuh dan jari-jari yang ketika itu dipegangi untuk digiring –aku tidak berbaju dan berselaput; gambaran selanjutnya terlihat jelas dari pantulan kaca transparan di ruang dengan banyak papan-papan kunci yang membatasi ruang penuh tabung.

Sementara berpaling dari apa yang kusaksikan dan yang kurasa tak lebih dari sekadar menipu diri sendiri, kuputuskan untuk menerima –walaupun itu berarti aku harus kembali meralat pikiranku (rangkaian kejadian ini nyata, bukan sekadar obsesi) dan menambah catatan-catatan kecil di sana-sini. Kemudian aku teringat sesuatu dalam percakapan kami, tentang apa yang kutemukan di lantai ruang berdinding angkasa, obyek yang belakangan menjadi perhatianku dan juga orang-orang dalam wahana.

“Jika Bumi adalah permainan, dan kalian yang menciptakan–” Aku berhenti sesaat. “Aku penasaran bagaimana Bumi sebenarnya dikonsepkan. Apakah bulat atau justru datar? Apa benar seperti yang kulihat di–kau tahu–ruangan berdinding angkasa?”
Makhluk bertentakel memandangku sekali, menghabiskan minumannya lalu menatapku lagi. Rahasia kecil Bumi yang lain terungkap.

Cerpen Karangan: Aditya Prawira
Blog: adityaprawira.blogspot.com
Penyuka horror-thriller yang merupakan lulusan S1-Ilmu Komputer USU tahun 2015. Telah menerbitkan 2 cerpen dari jalur indie, yaitu Secret Admirer (Pustaka Jingga, 2012) dan Breathing for A Death (Puput Happy Publishing, 2013), sebuah film pendek 8 detik berjudul Experiment #139 dalam rangka mengikuti Hellofest 2014, finalis 15 terbaik dalam Books on Screen Competition 2014 yang diadakan Gramedia Pustaka Utama dengan mengadaptasi cerpen karya Triyanto Triwikromo berjudul Seperti Gerimis yang Meruncing Merah.

Cerpen What We Do When We Know a Little Secret of Earth merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Sepatu Impian

Oleh:
Nora, gadis bertubuh gempal penyuka permen dan coklat. Berpose dengan berbagai gaya pada cermin besar dihadapannya, mukanya masam impiannya untuk kurus hanya sebuah angan-angan saja. Nyata Nora tidak bisa

Pensil Ajaib

Oleh:
Nia adalah seorang anak yang pendiam di kelasnya. Ia tidak mempunyai teman, dan tidak ada yang mau berteman dengan dia, akibat ia sangat bodoh dalam hal pelajaran. Suatu hari,

Wibi Si Kupu Kupu

Oleh:
“Hore.. Dapat madu banyak..” Wibi melonjak girang sambil memegangi perutnya. Ia baru saja menghisap madu dari bunga matahari di taman milik seorang nenek-nenek. Nenek-nenek itu bernama Tina. Nek Tina

Jill

Oleh:
Tiba di ruang BK. “Ibu?” Bukan. Ibu yang kusebut bukan Ibu Siti, tapi ibuku. Entah apa yang beliau lakukan di sini. Ibu hanya menoleh lalu tersenyum tipis. “Jill, ibumu

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *