Cemburu

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Romantis, Cerpen Galau, Cerpen Penyesalan
Lolos moderasi pada: 23 November 2013

Aku sulit mengerti kenapa dia selalu menjadi daya tarik bagi setiap wanita yang ada di dekatnya.
Aku tidak habis pikir, atau entah aku cemburu…

Setiap hari ada saja perhatianku padanya. Tidak adakah sesuatu yang membuatku merasa ada yang perlu dikerjakan selain memikirkannya?
Aku yang cepat mengambil keputusan terlalu gegabah dan membuatmu kecewa..

Dua hari lalu, seseorang mengetuk pintu dan mengatakan ‘ini maksudnya apa? this is ending?’ dan dia terhenyak saat aku membalik badan dan menutup pintu kembali.
Bulan menyaksikan itu, kemudian hening sampai hari ini..

Selalu aku dengar berita bahagia darinya, mulai rumor tentang dia menjalani kasih dengan gadis yang cantik sampai bahagia dan hampir dijodohkan dengan gadis manis yang orang tuanya menjadi pengusaha sukses.
Aku tidak masalah dengan hal itu sampai aku menemukan sesuatu yang lain saat dia jalan 10 langkah di depanku dengan menggandeng tangan seseorang seakan tak mau lepas.
Saat ini aku menyesal dan ingin kembali di hari itu. Aku tak mau kalau di hari kemudian aku tak bisa melihatnya dan tak pantas merindukannya..

Tangan indah itu menggandeng lengannya yang terlihat cocok dari sini. Temanku, Windi, sudah mengingatkanku sejak tadi untuk berhenti mengikutinya, tapi entah kenapa aku terus mengikuti kemana arah wanita itu menggandeng tangannya dan berharap dia melepaskannya segera. Dua menit setelah aku sadar tak mungkin terlepas, aku berjalan berlawanan arah dan kembali pulang diantar Windi.

Pagi ini aku terlambat, mataku benar-benar ingin tertutup, kantukku tak terbendung setelah semalam tak bisa aku pejamkan mata ini untuk beristirahat sejenak. Windi, aku sempat melihat wajahnya khawatir saat aku terbangun dari tidurku di ruang kesehatan dan pandanganku terlihat bingung.
“Kamu tadi lari-lari, terus bilang pengen tidur, untung pak Wahyu gak masuk, aku anter kesini deh.” Katanya.
Aku tersenyum, tapi dia masih khawatir, aku tau dia mengkhawatirkan aku dari kejadian semalam.

Di kantin pada jam istirahat ini aku akhirnya dapat kesadaran juga setelah tidur hampir 3 jam di ruangan serba putih tadi. Dari tempatku duduk, kira-kira empat bangku dari sini, aku lihat laki-laki yang mengetuk pintu rumahku waktu itu sedang bersama teman-temannya dengan canda tawa mereka seperti biasa. Masih ada tanya, ‘mudahnya aku dilupakan?’ hah.. aku memang yang bersalah. Aku sendiri yang bersikap seolah-olah itu akhir.
Tapi, senyummu dari sini saja sudah membuat aku sadar kenapa wanita-wanita itu selalu ingin dekat dengan laki-laki seperti kamu…

Laki-laki di kantin tadi, laki-laki yang dengan senyumnya membuat wanita ingin dekat itu berdiri dan bersandar pada pintu mobilnya. Seragam putih abunya membuatnya terlihat lebih berwarna bukan hanya dari senyumnya, ‘Dida!’ sapa temannya yang langsung melambaikan tangan tanda ia akan pulang mendahului Dida yang dibalas Dida dengan senyum dan lagi-lagi aku berpikir ingin memiliki senyum itu lagi.
Dida menundukkan wajah sesekali dan melirik ke arah pintu masuk sekolah, seakan menunggu seseorang keluar dari situ, dan benar saja ada yang menghampirinya. Kulihat senyumnya yang manis mengikuti kedatangan wanta itu, tapi sedikit tersirat kecewa.
Sayangnya aku melihat ekspresinya ini hanya dari kejauhan, tepatnya dari arah luar gerbang sekolah…

Esoknya masih seperti kemarin, aku masih ingin melihat Dida, sosok yang selalu senyum dihadapanku, membuatku bahagia tapi aku mengecewakannya karena suatu hal bernama ‘cemburu’. Selama aku bersama Dida, aku benar-benar merasa apa itu arti bahagia, apa itu arti bersama, tapi tidak aku bawa rasa terima atas itu karena kesan yang terlihat di mataku itu semua bukan atas dasar sayangnya. Aku yakin itu setelah melihat dia selalu tersenyum juga di hadapan wanita lain.

ADVERTISEMENT

Mobil yang akan menjemputku tiba sekitar 40 menit lagi, hah.. sudah bosan aku menantikannya. Sudah lima menit aku menunggu, ’35 menit lagi’ pikirku. Saat-saat menunggu ini terusik saat aku sadar ada yang memperhatikanku dari jauh, mata itu tak lepas memandangiku sejak tadi, seperti menunggu, tapi aku tak menghiraukannya karena malu dan tau itu Dida.
Melihatku dari jauh mungkin tak memuaskannya, akhirnya ia mulai bergerak mendekatiku. Aku benar-benar terusik, tak nyaman dan ingin sekali bergerak menjauh, tapi perasaan mencegah dan aku diam.
“Mau pulang sama aku?” sapanya, lagi-lagi dengan senyum.
“Iya” jawabku singkat.
Dida sedikit menunduk, mungkin ia sadar saat ini aku tak nyaman lagi berada di dekatnya. Saat ini rasanya mungkin seperti cermin yang kupandangi setiap sore yang ada bayangan senja di alam sebrang yang dia tampilkan itu, berambang, tidak jelas dimana tapi itu bukan disini.

Sudah sepuluh menit sejak aku menjawab ‘iya, kami tidak mengatakan satu katapun sampai akhirnya Dida membuka pembicaraan dengan bertanya,
“Masih mau nunggu? atau pulang bareng aku?” kali ini ekspresinya datar.
“Nunggu” jawabku yang masih memikirkan ego.
Kaget aku saat Dida tiba-tiba menggenggam tanganku dan membawaku yang terpaksa mengikuti langkahnya.
Di halaman belakang sekolah, dia menghentikan langkahnya, dia sedikit menundukan wajah lagi, mungkin malu atau ragu atau juga sedang memikirkan awal pembicaraan yang baik denganku. Aku yang melihat wajahnya yang menunduk dengan ekspresi wajahnya yang seperti itu, tak mau lagi menahan untuk tak bicara ‘kenapa’. Dida kembali menemukan nada bicara dan percaya dirinya untuk bicara.
“Setiap hari aku harus khawatir sama kamu, tapi aku baru tau kenapa, dan aku disini mau minta maaf, selain maaf belum ada yang bisa aku bilang lagi”
“Memang aku juga yang berlebihan”
“Jadi?”
“Aku juga minta maaf”
Ekspresi wajah Dida berubah bahagia setelah mendengar kalimat terakhir yang aku katakan.
Seketika aku berpikir, Dida tidak pernah ingin aku jauh dariku.
Tapi Dida tidak lagi menampakkan wajah khawatirnya walaupun aku pergi mulai berjalan meninggalkannya. Mungkin itu berarti dia yakin aku juga masih merasakan hal yang sama dengannya.

Istirahat hari ini terasa sangat ringan dari kemarin, aku benar-benar merasa ini istirahat yang paling istimewa walaupun aku sadar hanya beberapa menit saja luang waktu untuk sejenak bersantai ini.
Dari sini aku melihat Dida dengan ekspresi bahagianya setelah memasukkan bola ke ring. Dida tidak lagi tersenyum dengan sedikit corak wajah tak bahagia, aku yakin setelah ini Dida akan kembali pada ekspresinya saat dia bersamaku.
Tapi aku lupa, wanita yang pernah digandengnya, siapa?
Sampai Windi mengingatkan aku tentang itu dilorong sekolah saat kami berjalan menuju pulang.
Aku menghela nafas dan mengingatnya lagi…
Hah, aku tidak percaya, bahagiaku terusik lagi.
Baru beberapa menit lalu aku mendengar Windi mengingatkanku akan hal itu, aku lihat Dida tersenyum di depan wanita yang waktu itu kulihat sedang menggandeng tangannya.
Hari ini aku tersadar lagi dan pergi menjauh tanpa berani menatap Dida lagi.

Setelah hari yang membuatku bungkam lagi itu, tidak pernah ada lagi kontak mata ataupun komunikasi antara Dida dan aku. Tapi ekspresinya tidak lagi seperti gundah. Wajahnya kali ini tetap bahagia seperti setelah mendengar aku meminta maaf padanya, seolah tidak ada lagi yang perlu dicemaskannya dan aku baik-baik saja.
Aku berpikir lagi, ini bukan berarti dia bahagia karena aku memaafkanya atau karena aku meminta maaf padanya, tapi ini karena ada sesuatu yang lebih membahagiakan dari itu.
Aku takut, takut sekali, takutku belum terbayar bahkan sekalipun aku mendengar aku lulus dari ujian nasional.

Hari ini, sudah dua bulan setelah hari-hari yang mengambang itu. Sudah kuduga Dida memang tidak lagi mau aku menjadi khawatirnya. Semua khawatirnya tentangku, membatasinya untuk bebas. Aku sadari itu setelah aku tak lagi melihatnya sampai hari ini.
Aku tak tau dimana dia, apa kabarnya saat ini, apa yang sedang dia lakukan, bahkan Windi yang selalu mudah mendapat info pun masih belum tau dimana Dida.
Tapi aku yakin Dida bahagia, karena terakhir kali aku melihatnya begitu.

Dida tidak lagi di sampingku, Dida tidak tahu ada dimana, tapi aku masih ditemani bayang-bayangnya. Malam ini aku ada janji dengan Windi setelah dia mengirim pesan singkat yang isinya membuatku penasaran untuk datang ke tempat kami biasa bersantai, cafe dekat taman kota ini.
Dalam perjalananku ke cafe itu, aku melihat wanita yang digandengnya waktu itu yang sampai saat ini membuatku cemburu. Wanita yang dengan wajah menunggu, bersandar di kursi taman kota.
Sejenak aku berpikir, wanita itu ada disini, Dida pasti disini juga. Sedang berpikir seperti itu, Dida datang dan menghampirinya. Seperti sebelumnya Dida tersenyum duduk di dekatnya dengan kemudian memasang wajah sedih dan menenangkan wanita di sampingnya.
Aku tau ada masalah yang membuat Dida memasang wajah itu. Aku memang selalu tak berpikir panjang, malah semakin ingin mendekat dan mengetahui isi pembicaraan mereka, tapi kemdian aku diingatakn Windi lagi dengan pesan singkatnya yang membuat handphone ku bergetar.
Kembali aku menuju cafe di dekat taman kota ini.

Aku benar-benar malu, aku gugup, kali ini aku diluar kendali, aku ingin menangis, Windi kemudian menenangkanku setelah sebelumnya ia mengatakan,
“Dida itu punya sepupu dan wanita yang sama Dida itu pacar sepupunya”
Aku menyesal dengan ucapanku dikala rintik hujan membasahi Aku dan Dida di tengah lapangan basket hari itu, aku tau aku kalah dengan emosi yang terbungkus cemburu sampai Dida seperti mematung setelah aku melepas satu tangannya yang memegang pundakku yang kemudian berucap “Dida, kita putus” setelah itu dengan mata berkaca aku meninggalkan Dida.

Dida, aku menyesal, aku ingin hari itu kembali, hari dimana rintik hujan itu beramai-ramai menghentikan aku tuk berucap hal yang menghentikan kebersamaan kita. Sekarang aku yang berekspresi mematung menggantikan Dida di hari itu. Tapi aku yakin penyesalan ini tidak akan mengembalikan senyummu seperti saat maafku terucap atau bahkan seperti saat kita bersama.
Haha, sudah sampai dimana kita? Jika ini sandiwara, sudah sampai di episode berapakah?
Yang jelas, aku berpikir, sepertinya ini episode terakhir dari kepastian hubunganku dengan Dida.

Aku di fakultas seni, dan Dida di Fakultas Kedokteran. Aku baru tahu itu setelah dua bulan kami ada di Universitas yang sama.
Masih saja ada yang menggangguku, tentang apa kabarnya senyum Dida itu?
Apakah sudah dimiliki wanita lain?

Hari ini aku di rumah, ditinggal mama dan papa yang terbang ke Bali untuk bisnis dan berlibur.
Dua hari ini aku tidak mengisi waktu dengan kuliahku sampai Windi pun lelah mengingatkanku untuk berhati-hati dengan kehadiranku karena kuis minggu depan.

Acara televisi hari ini tidak ada yang menghibur, bahkan lawakan yang dulu hanya dengan melihat pemerannya saja sudah membuatku tertawa tidak lagi ada daya tariknya. Mataku hanya tertarik melihat acara televisi yang kupindah-pindah sampai teralihkan aku sejenak karena pintu rumah yang diketuk dengan cukup keras. Kakak memang selalu seperti itu kalau pintu rumah terkunci.
“Hai” sapa orang dibalik pintu saat aku membukakan pintu untuknya.
Kupikir kakaku yang setiap malam baru pulang berolahraga untuk membuat badannya berotot itu kala mama bertanya kenapa malam-malam, tapi ini sosok lain.
“Dida?” tanyaku heran yang kusembunyikan perasaan bahagia di kedalaman hati.
“Apa kabar?” tanyanya yang masih selalu didampingi dengan senyumnya.
“Kenapa kesini?”
“Haha, gak bisa tahan kangen lagi”
Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas aku tau, dia sedang berusaha menjelaskan perasaannya padaku melalu kata-kata yang dengan hati-hati dipasangkannya untuk menjadi kalimat yang baik kudengar sehingga aku tak menutup pintu lagi seperti malam itu.
“Aku boleh masuk?”
“Disini aja”
Aku takut jika aku dan Dida berpindah dari tempat saat kami memulai bicara, akan canggung untuk memulai pembicaraan lagi, terlebih lagi itu di dalam rumahku, di ruang tamu yang pastinya aku harus duduk didekatnya berhadapan atau di sampingnya.
Dida meyakinkan aku dengan senyumnya kemudian memegang tanganku, menarikku ke dalam dan duduk.
“Ganti baju, aku tunggu!” perintahnya dan aku turuti.
Aku masih mengutamakan egoisku, tak mau Dida berpikir aku berpenampilan baik hanya untuk membahagiakannya. Sepuluh menit dia menunggu. Aku menghadiahinya penampilan sederhanaku saja, tidak sesederhana dipandangannya karena wajahnya kemudian tersenyum menyambut aku hadir kembali di hadapannya tanpa mengenakan pakaian santai untuk di rumah lagi.

Aku digandengnya, jari-jariku digenggam erat jari tangannya, membuatku yakin ini Dida yang masih sayang aku.
Aku digandengnya sampai di halaman dekat rumah. Di halaman ini dulu dia pernah memintaku menjadi seseorang dengan sebutan ‘kekasih’ untuknya, “Aku gak punya bahasa yang lebih manis, tapi God never know that i love you, ah sorry, God ever know that i love you” katanya dulu.
Kujawab “yes, I never know, but in the end I ever know and I love you too”
Dan Dida mengulangi hari itu dengan kata yang lebih manis.
“Sorry, sebenernya malu, tapi, haha.. I LOVE YOU again”
Aku tak bisa menjawabnya kali ini, ucapannya terlalu manis, aku hanya tersenyum, membuka jalan kemabali menuju kebersamaan dengan Dida, dan aku yakinkan, aku tak mau lagi melepasnya hanya karena cemburu…

Sepotong ingatan yang kujadikan memory terindah tanpa resiko yang akan membuatnya kembali biru…

Cerpen Karangan: Nanda Utamidewi
Blog: nandautamidewi.blogspot.com
Always with ‘hahaha’ expression

Cerpen Cemburu merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Terlambat

Oleh:
Semenjak gue udah tahu kalau dia emang bukan buat gue, gue memutuskan untuk segera melupakannya. Ya walaupun lo tahulah gak mudah buat ngelupain orang yang udah ada di hati

Pelukan Terakhirku

Oleh:
Namanya Sahira Anastasia, ia berumur 17 tahun. Tapi malang, ia tak pernah merasakan kasih sayang mamanya. “Sahira, cepetan setrika baju mama” kata mama dengan nada ketus. Mamanya selalu lebih

Pengagum Rahasia

Oleh:
Aku datang dengan segala harapan agar aku bisa menampung ilmu yang diberikan guru. Niat, persiapan, dan lain-lain sudah kusiapkan. Tinggal menimba ilmu untuk kubawa pulang nanti. teman-teman hanya mendukungku

Stella

Oleh:
“Buta ya?!” cerca Stella seketika saat dirinya terhuyun ke belakang dan hampir ambruk. Untung nya sang penabrak segera menarik lengannya. Setengah berpelukan pun tidak terhindari. Stella menyadari tubuhnya sangat

Aku, Kamu dan Dia

Oleh:
Aku dan kamu adalah sahabat sejak kita kecil. Kita sangat dekat dan selalu menghabiskan waktu bersama. Hingga kita beranjak remaja, kita mulai menyadari bahwa ada perasaan lebih dari sekedar

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

One response to “Cemburu”

  1. christmemory says:

    Ada kata yang salah di bagian akhir “Kemabali” seharusnya “kembali” namun,ceritanya sudah sangat bagus 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *