Keabadian Yang Dicintai

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Horor (Hantu), Cerpen Rohani
Lolos moderasi pada: 14 October 2017

BLEDARR… langit kelabu menggantung di angkasa menutupi wajah sang surya yang terkesan tidak bernyawa untuk menyinari dunia. Kilat dan guntur bersautan seperti berebut perhatian sang maha kuasa. Setitik air dari langit jatuh di ujung sandal seorang pelayat yang memandang onggokan kayu yang menancap pada gundukan tanah yang ditaburi bunga. Badanya yang tegar sesekali bergetar ketika menahan dinginya air yang menghujam tubuhya, rencana Tuhan memang tiada yang tahu, akhir kehidupan kita akan seperti apa? Baik ataupun buruk, kita seperti seorang tokoh dalam cerita dan Tuhan adalah penulisnya.

Kini suasana di pemakaman mulai sepi sedikit demi sedikit orang-orang mulai meninggalkan gundukan baru tersebut tetapi ia tetap berada di sana dengan pakaian yang kini sudah basah oleh tangisan langit.

Seandainya waktu itu aku mengaktifkan teleponku, seandainya waktu itu aku tepat waktu menjemputnya, seandainya waktu itu aku tidak membiarkannya sendiri. “Arrggghh!!!” aku mengacak rambut frustasi. Dari sudut pandang manapun memang akulah penyebabnya seharusnya aku tetap mengaktifkan teleponku jika saja aku mengaktifkannya mungkin dia tidak akan mengalami hal seburuk ini. Dia berusaha tetap menungguku meskipun yang kulakukan pada saat itu hanyalah rapat, rapat dan rapat.

“Ikhlaskan dia biar dia pergi dengan tenang di alam sana” ujar seorang wanita paruh baya kepada pemuda tadi. “Kasian dia kalau kamu ga bisa mengikhlaskannya” lanjut wanita paruh baya “Tuhan ga adil kenapa harus dia yang dipanggil lebih awal?” ujar pemuda itu sambil menangis dan sesekali badannya bergetar. “Kamu ga boleh seperti itu, umur ga ada yang tau sampai kapan? jadi kamu harus bisa mengikhlaskannya”. Memang berat kehilangan seseorang yang kita sayangi jika waktu bisa terulang kembali mungkin ia tidak akan bernasib seperti ini, jika saja aku mengantarnya pulang dia tidak akan menjadi korban para preman itu. Ingin ku berteriak sekencang-kencangnya aku ingin memaki diriku sendiri ingin ku menghukum diriku sendiri kini aku sudah tak punya arah hidup.

Sejak pemakaman itu aku langsung kembali ke rumah, perasaan yang aku rasakan ini benar-benar tak menentu, aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, teman-temanku berusaha memberiku semangat tetapi telingaku seolah tak mau mendengarkan semua ucapan itu. Satu persatu teman-temanku pamit karena mungkin bosan terus menerus aku acuhkan. Aku mengambil izin beberapa hari untuk tidak sekolah, guru-guru pun sepertinya mengerti akan keadaanku saat ini.

“Nak kamu ga bisa begini terus, kamu harus kuat nak” Ujar ibuku aku masih terdiam tanpa suara seolah berada di ruangan yang hampa. “Kamu inget yah nak dia ga akan senang melihatmu seperti ini, kamu harus ikhlaskan dia nak, Tuhan lebih sayang sama dia” “Kalo Tuhan memang sayang sama dia seharusnya tuhan kasih dia waktu sedikit lagi biar dia bisa mencapai cita-citanya” lanjutku “Semua udah ada takdirnya nak, kamu ga bisa nyalahin Tuhan, dosa” kata ibuku, aku kembali terdiam emosiku sungguh sangatlah labil saat itu.

Malam itu yang bisa kulakukan hanyalah menangis hingga diriku terlelap dalam suasana malam yang dingin seolah mendukung suasana hatiku ini. Pagi harinya aku sulit sekali untuk membuka mata karena lebam pada mata ini membuatku kesulitan untuk melihat kenyataan yang pahit, aku melakukan aktifitas tidak seperti biasanya semua kenangan ku bersamanya kembali bermunculan, ketika aku melihat bingkai foto yang terpapang jelas di meja belajarku foto bersama dia dan diriku yang saling tersenyum. Nafasku kembali sesak aku perlahan menarik nafas dan membuangnya secara perlahan aku harus tetap tenang aku harus mencoba untuk mengikhlaskannya tetapi justru hati seperti memberontak seakan tak ingin melupakan kenangan indah bersamanya. Aku dan dia adalah sahabat sedari kecil dan kami berniat untuk menjalin rumah tangga bersama, ya kami berniat untuk menikah ketika sudah lulus tetapi ini sungguh sangat sulit memori-memori kenangan berputar kembali di otakku.

Semua kenangan-kenangan indah ataupun tidak kembali berputar di kepalaku bahkan kini aku berhalusinasi tentang dirinya, dia berdiri di dekatku, mata kami saling beradu pandangan dia berjalan makin dekat ke arahku dan dia tersenyum kepadaku “Apakah ini asli? Ataukah mimpi? Jika ini mimpi tolong jangan bangunkan diriku” ucapku dalam hati “Ini asli bukanlah mimpi aku memang berada di depanmu saat ini” jawabnya seolah dia mendengar apa yang aku bicarakan tadi, aku yang mendengarnya sangat kaget bagaimana bisa ini nyata? Sedangkan dia sudah dimakamkan kemarin lantas siapakah dirinya? Aku bertanya-tanya dalam hatiku sendiri dan lagi diapun menjawab “Aku adalah aku tetapi aku bukanlah diriku yang dulu karena sekarang aku merupakan arwah” sontak aku kaget mendengarnya. Aku menutup mata lalu membukanya kembali, wajah itu masih terlihat jelas di depanku. Aku masih tidak percaya, aku mulai menamparkan pipiku sendiri dengan keras. Ini bukan mimpi ini benar-benar nyata!

Aku mulai mendekat ke arahnya, kali ini jantungku rasanya ingin copot. Tanganku mulai terangkat perlahan, hampir menyentuh pipinya. Saat tangan ini menyentuh pipinya, tidak ada sengatan dalam tubuhku. Aku seperti tidak menyentuh apapun “Kamu tidak dapat menyentuhku. Kita sudah beda dunia” gadis itu menyelipkan kesedihannya dalam seutas senyuman tulus, tidak ada jawaban. Aku mulai memberanikan diri untuk bertanya “Apa yang membawamu kembali ke dunia ini?” dia tersenyum dan selangkah lebih dekat denganku. Aku merasakan hembusan nafasnya yang begitu dingin “Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat” ucap gadis itu berbisik “Pejamkan matamu sekarang.” Lanjutnya. Aku pun mengikuti perintahnya untuk memejamkan mata.

“Sekarang coba buka matamu secara perlahan” Lanjutnya. Begitu aku membuka mata secara perlahan betapa terkejutnya diriku banyak sekali arwah-arwah di sini dan lagi udara di sini sangatlah dingin bahkan udaranya melebihi kutub es, udara yang mencerminkan betapa kesepiannya semua arwah di sini tanpa seseorangpun yang berada di dekat mereka. “Selamat datang ini adalah duniaku sekarang” Ucapnya. “Ayo aku ingin mengajakmu jalan-jalan ke duniaku” Lanjutnya sambil meraih tanganku. Aku pun hanya menurut saja, sungguh tempat ini sangatlah ramai oleh para arwah tetapi mereka saling acuh tak acuh terhadap sesama.

ADVERTISEMENT

Aku mengikuti langkah kakinya, dari kejauhan terlihat sebuah pintu. Dia pun mulai mendekati pintu tersebut, aku mengikutinya dari belakang. Semakin dekat dengan pintu asing itu, ternyata itu bukanlah sebuah pintu melainkan lebih dari ratusan pintu terpampang jelas di depan mataku saat ini. Tanpa sadar kini aku sudah berada tepat di depan pintu asing itu. “Ini adalah pintuku untuk menuju alam surgawi” ucapnya. Aku melihat pintu itu dari atas ke bawah aku sungguh terkejut di pintu itu terukir jelas namaku. “Ini apa?” tanyaku terhadapnya. Dia tersenyum kepadaku dan berkata bahwa itu adalah nama seseorang yang belum bisa mengikhlaskan kepergian seseorang, jika pintu seorang arwah masih tertulis nama seseorang maka pintu itu tidak akan terbuka selama masih ada yang belum mengikhlaskan kepergiannya dan selama itu pula ia akan tetap berada di dalam dunia yang gelap dan dingin ini sendiri tanpa kehangatan siapapun. “Makasih banyak selama ini kamu udah baik sama aku, aku tau bahwa kamu benar-benar menyayangiku tetapi kamu harus bisa mengikhlaskan kepergianku karena aku harus pergi ke alam surgawi sana”. Aku tertegun jadi selama ini aku sudah membuat dia kesulitan karena semua egoku ini? Aku pun menunduk. Bahuku seperti tersengat, aku menoleh ke belakang. Dilihatnya senyuman itu (lagi) “Maaf” aku pun menunduk kembali “Maafian aku, gara-gara aku kamu jadi meninggal dan gara-gara aku jugaa kamu jadi ga tenang gini. Aku ini memang ga berguna!” ujarku menangis.

Saat ini dia tepat di depanku, namun aku masih menunduk. Ia memegang wajahku penuh kelembutan, lalu mengangkatnya secara perlahan mengusap air mata yang membanjiri wajahku “Jangan menangis, ini semua bukan salahmu. Memang sudah takdirnya aku harus seperti ini. Kamu harus mencoba untuk merelakan” lagi-lagi ia tersenyum seperti itu, senyum yang selalu memutarkan memori ingatanku, senyum yang selalu mengisi hari-hariku, senyum yang berhasil membuatku luluh. Dan kini, permintaan terakhirnya aku akan menurutinya meskipun berat tapi aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Semua orang tentunya akan kembali kepada sang pencipta “Aku akan mencoba merelakanmu” aku tersenyum kepadanya. Tangannya pun berpaling dari wajahku “Terima Kasih” ia lalu memelukku dengan erat aku memejamkan mata, sampai akhirnya aku tidak merasakan sentuhan apapun lagi. Begitu aku tersadar, ia sudah pergi.

Aku terbangun, mimpi itu seakan nyata atau itu bukan mimpi. Entahlah, yang pasti dia benar-benar seperti nyata. Aku pun sudah merelakannya, aku tidak ingin ia terus terjebak di alam arwah. Aku tidak seharusnya seperti ini, Tuhan sudah menentukan semuanya. Tuhan juga sudah memiliki rencana lain saat ia pergi dari kehidupanku, Tuhan begitu mencintaiku namun aku malah mencintai sesuatu yang ia ciptakan. Seharusnya aku tidak boleh seperti itu! Terima kasih, dia sudah mengingatkanku agar lebih meencintai-Mu.

Cerpen Karangan: Muhammad Tsani Fathuljawwad
Facebook: www.facebook.com/Sani.Luffy
Karya Pertama yang di publis disini semoga suka hehe:)

Cerpen Keabadian Yang Dicintai merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Bunga Untuk Yang Terakhir

Oleh:
“Dear, Diary… Alira Faza Anindya. Itu namaku. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakakku yang pertama bernama Ahzan Fauzi. Kakakku yang kedua bernama Alby Fazrial.”. Lembaran kenangan tulisanku waktu

Bunga Berguguran

Oleh:
Jakarta, 22 April 2013 Aku MelangkahkanKakiku dengan Cepat. hari ini Jadwalnya bertemu dengan dosen pembimbing skripsi. Seharusnya proposal ini sudah jadi dan diajukan seminggu yang lalu. Tapi aku terlalu

Seandainya

Oleh:
Hujan masih terus mengguyur, air di jalanan sudah mulai naik, namun Icha masih terus menunggu. Taman ini menjadi saksi bisu penantian Icha. Hari telah senja, hampir tiga jam sudah

Wanita Berlumuran Darah

Oleh:
Di suatu desa terpencil, tinggallah sebuah gadis berumur 14 tahun bernama Rika dan kakaknya Riko. Di seberang rumahnya, terdapat rumah tua yang telah ditinggal oleh pemiliknya. Konon, rumah tua

Langit Hitam dan Anyelir

Oleh:
“Jika ini adalah masa depan yang kau gambarkan, aku ingin menatap langit yang sama dengan perasaan yang sama. Bersamamu…. Tapi, jalan takdir ini berbeda”. Aku benci hujan, harusnya hujan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *