Misteri Kado Sebuah Boneka

Cerpen Karangan:
Kategori: Cerpen Horor (Hantu), Cerpen Misteri
Lolos moderasi pada: 23 April 2013

Kado ulang tahun menumpuk rapi di atas meja. Di sampingnya sudah siap kue tart dilingkari dua puluh satu lilin. Hari ini ulang tahunku. Dari jumlah lilin yang disematkan pada kue tart, pasti sudah dapat mengira umurku kini dua puluh satu tahun. Bukan umur yang muda lagi, namun juga bukanlah umur yang sudah tua. Karena aku masih bisa berkarya dan melakukan sesuatu untuk keluarga, nusa, dan bangsa.

Pukul tujuh malam pesta ulang tahunku dimulai. Kawan-kawan dengan membawa kado masing-masing sudah datang sejak tadi. Di sinilah kami berada, di ruang tamu yang berukuran tujuh kali enam meter ini. Ruang yang cukup luas untuk menampung kurang lebih dua puluh orang yang meramaikan pesta ulang tahunku.

Suasananya cukup meriah, dentuman lagu pop membahana ke seluruh sudut ruangan. Ayah, ibu, dan kedua adik perempuanku ikut meramaikan pesta ini. Lampu-lampu hias berwarna-warni menambah gemerlapnya malam. Pesta ulang tahun yang meriah. Kami bersenda gurau. Dan… tibalah saat aku harus meniup lingkaran lilin di atas kue tart.

“Selamat ulang tahun kami ucapkan…” Iringan lagu membuat hasratku terus membuncah ingin segera meniup lingkaran lilin kecil itu.

“… Selamat panjang umur dan bahagia! Tiup lilinya… tiup lilinnya, tiup lilinnya… sekarang juga…”

Aku berdo’a di dalam hati sebelum ku tiup lilin. Dan inilah saatnya!
“Sekarang juga… sekarang… jugaaa… !“

Pet…

Seketika lampu mati serentak setelah lilin ku tiup. Sontak semua berteriak, tak terkecuali aku. Bagaimana tidak kaget, jika tiba-tiba saja ruangan sebelumnya begitu terang dengan gemerlapnya lampu pesta seketika padam, begitu pula dengan lilin yang ku tiup.

“Ayah cek sekring di luar dulu…” ujar ayahku sedikit cemas.

“Wah gelap banget nih…” ujar Ayna, salah satu temanku. Kawan-kawan lain mengiyakan.

ADVERTISEMENT

“Iya, nih… nakutin!”

Tak ingin kawan-kawanku kecewa, aku menyusul ayah yang sibuk mengecek sekring di depan. “Aku susul ayah dulu, ya! Siapa tahu butuh bantuanku.”

Adik perempuanku menarik tanganku. “Jangan, Mbak. Biar aku saja. Kan, mbak sedang ulang tahun. Jadi, mbak diam saja disini.”

Aku menyetujui usulnya. Dan, aku kini menemani kawan-kawanku yang mulai ribut sendiri. Lima menit berlalu, ayah dan adikku belum juga kembali. Kami terpaksa, menyalakan kembali lilin-lilin di kue tartku, agar ada sedikit cahaya yang melegakan pupil mata kami.

Puk!

Ada yang menepuk pundak kiriku. Sontak aku menoleh. Heran, tidak ada siapa-siapa. Aku agak merinding karena suasana yang gelap gulita. Aku merapat pada Inna yang duduk di samping kananku. Tak lama kemudian, ayah dan ibuku datang membawa nyala api dari korek api.

“Sekringnya terbakar, enggak bisa dibetulkan. Biar ayah panggil tukang listrik saja.”

“Aduh, kalau panggil tukang listrik, masih lama, dong?” Aku agak sedih. Mengapa ulang tahunku jadi begini?

Salah satu kawanku, Hendra, mengusulkan, “Bagaimana kalau kita rayakan ulang tahunmu dengan suasana lilin saja?”

“Benar kata Hendra, Mila!” Serentak yang lainnya menyetujui usulan Hendra.

Sebenarnya, aku tidak ingin kondisinya menjadi seperti ini, tapi bagaimana lagi? Tak ada yang menyangka kalau ulang tahunku kini menjadi gelap.

“Ya, sudah kalau begitu, kita potong kue nya, yuk!” sahutku.

Ibu berdiri. “Oke, ibu carikan lilin yang lebih banyak lagi di dapur.” Ia kemudian beranjak menuju dapur.

***

Pukul 00.30 WIB tengah malam. Listrik sudah bisa dinyalakan dan kawan-kawanku sudah pulang semua. Saatnya aku membuka kado dari kawan-kawanku. Dua puluh orang dengan lima belas kado yang berbeda. Di antara mereka ada yang berpatungan sehingga kado tidak sebanyak jumlah orang yang hadir. Tak apalah, yang penting kawan-kawanku sudah berkenan hadir.

Satu persatu aku membuka kado. Ada yang menghadiahkan jam tangan, tas, bantal lucu, hingga boneka yang memiliki tatapan dingin dan… menyeramkan!

Rambutnya ikal berwarna pirang, kusut, dan sangat kumal. Bajunya juga kumal. Memang, benar kainnya berwarna-warni, tapi warnanya sudah memudar bahkan kekuning-kuningan.

Kedua tangannya terbuat dari plastik, sepertinya agak rapuh. Sedikit saja aku tekan pasti tanganya patah. Kedua tangan dan kaki boneka itu dapat digerak-gerakkan dan ditekuk. Sehingga mampu didudukkan pada kursi atau sekedar disandarkan pada dinding.

Ih… belum lagi wajahnya yang bak hantu! Mukanya pucat kekuning-kuningan tapi bibirnya merah mencolok. Tersenyum tegas dan mengerikan. Seolah-olah penuh kelicikan. Kelopak matanya mampu terbuka dan tertutup seraya badannya terguncang. Bulu matanya lentik panjang, hitam, dan sedikit tajam.

Aih… matanya berwarna biru dan bulat! Jika ia membuka matanya lebar-lebar, seakan mendelik ke arahku. Seperti ingin mencengkeramku.

Aku bergidik, tengah malam sendirian di kamar. Aku membuka kado terakhir itu. Awalnya aku heran karena bungkus kado itu berwarna merah legam tetapi berkilau saat terpantul cahaya. Bentuknya persegi panjang dengan pita berwarna hitam tersemat di keempat sisinya.

Kuselidiki siapa yang memberi hadiah ini, aku melihat-lihat seluruh sisi dan sudut kotak kado itu. Mencari kartu ucapan. Ah, ada kartu ucapannya!

“Selamat ulang tahun Mila. Hari ini adalah harimu! Kau akan mendapatkan keinginanmu.”

Tapi… tak ada namanya. Siapa, sih?

Kemudian, aku mengumpulkan semua kartu ucapan yang kuperoleh. Kuingat-ingat siapa saja yang hadir malam ini, lalu kucocokkan. Tapi, tak ada yang terlewat. Semua yang hadir, semua itulah yang hadir pada kartu ucapan.

Lalu, dari siapa kado tadi?

Lelah berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk menaruh boneka itu ke kotaknya dan kuletakkan di kolong tempat tidurku, sedangkan kado-kado yang lain aku rapikan di atas meja belajarku.

Lelah mulai merambat relung tulang belakangku. Mataku pun juga terasa berat dan ingin sekali terpejam. Entah berapa menit kemudian, akhirnya mataku terpejam dengan nyaman.

***

Kakiku bergerak-gerak? Ada apa? Apa sudah pagi?

“Nanti dululah… capek, nih!” gerutuku dengan mata masih tertutup.

Namun, guncangan di kakiku semakin keras. Kurasakan tangan yang menyentuh kakiku terasa dingin. Pasti baru saja cuci tangan. Ah! Membuatku terpaksa untuk bangun karena sentuhan dinginnya.

Mataku terbuka, tapi tak kuhiraukan ia yang membangunkanku. Namun, tiba-tiba jempol kakiku ditarik! Begitu keras hingga persendian tulang jempolku berbunyi. Seketika itu aku marah.

“Kira-kira, dong, kalau mau bangunin!” aku mengangkat badanku dan hendak melihat siapa diantara anggota keluarga yang membangunkanku dengan keji seperti itu.

Jempolku terasa linu. Sambil terus melihat sekeliling kamarku yang remang-remang karena hanya lampu tidur saja yang menyala. Aku menoleh ke arah jam dinding. “Ya, ampun! Ini masih jam satu kurang lima menit! Kenapa membangunkanku jam segini, sih?! Nggak tahu apa, aku capek! Baru setengah jam aku tidur sudah dibangunin. Ada apa sih?!”

Tak ada yang menyahut, juga tidak tampak seorang pun di kamarku. Aku sedikit merinding. Sedangkan jempol kakiku juga masih terasa sangat ngilu. Aku memutuskan untuk tidur lagi, meski sebenarnya aku tidak akan bisa tidur lagi.

Benar saja, insomnia menjalar di tubuhku. Badanku seakan tidak ingin melemas, juga mataku seperti diganjal korek. Kantuk pun rasanya sudah hilang. Aku menutupi kepalaku dengan selimut.

Tapi… ah, itu mungkin hanya mimpi dan halusinasiku saja. Tapi mengapa rasa ngilu di jempolku masih terasa? Ini bukan mimpi!

Hah, selimutku ditarik! Ya tuhan, lindungilah aku!

Seketika berhenti! Namun, aku tetap tak ingin membuka selimutku. Karena aku yakin, tidak ada orang lain di kamarku. Karena pintu kamarku pun tak berbunyi pertanda tidak ada seseorang pun yang masuk.

***

“Apa-apaan ini?!” jeritku seraya melihat lengan kiriku penuh dengan goresan yang dalam dan darah yang bercucuran. Darahnya tidak banyak, namun sudah mengering. Selain itu, lebam yang membiru di sekitar lukanya. Warna kulitku menjadi kekuning-kuningan karena pucat.

Pagi ini, aku bangun karena merasakan perih di lenganku, ternyata memang lenganku yang tersayat. Ayah, ibu, dan adik-adikku bergegas masuk dan menjerit melihatku. Mereka sangat terkejut melihatku.

“Astaga, Mila!” ibuku menggeleng-gelenggkan kepala, seakan tidak percaya melihatku. Ia menangis dan menjauhiku.

“Mbak… kenapa Mbak berubah seperti ini?”

“Berubah?”

Adikku memberikan cermin padaku. Seketika aku melihat wajahku, dan aku berubah! Aku menjadi… seperti boneka yang kudapat tadi malam! Lengkap dengan lipstik merah menyala di bibirku!

Aku segera menoleh mencari kado yang semalam kutaruh di kolong tempat tidur. Ternyata kotaknya terbuka dan tidak ada isinya. Ke mana boneka itu?

Aku menangis! Aku tampak muda! Sangat muda!! Bahkan nyaris seperti gadis kecil berwujud boneka. Apa ini jawaban atas doaku semalam? Bahwa kuingin tetap muda seperti gadis kecil. Dan kini…?

TAMAT

Cerpen Karangan: Csintia Maharani
Email: csintiamaharani123[-at-]yahoo.com
Facebook: Csintia Ithue Cheweghk Sukcess
Hai kenalkan ini cerpen horor pertama saya.
Sebelumnya saya belum pernah menulis kisah horor.
Untuk kekurangan atau kritikannya dimohon untuk kirim pesan di e – mail saya… 🙂

Cerpen Misteri Kado Sebuah Boneka merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

WhatsApp


" Baca Juga Cerpen Lainnya! "


Arganta

Oleh:
laki-laki kesepian yang mencari rumah untuk pulang. Kakinya lemas saat pisau menancap ke tubuh seorang gadis dia sebut Isyana. Gadis itu dia bunuh dengan tangan dinginnya. Malam mencekam kilat

Bayangan Hitam dan Tengkorak

Oleh:
Aku sering mengalami pengalaman mistis. Bermula saat aku berumur sekitar 8 tahun atau 9 tahun. Dan sejak kejadian itu, aku mulai bisa merasakan, mendengar, melihat sesuatu yang tidak bisa

Rumah Kosong

Oleh:
Entah mengapa ibuku selalu melarangku untuk bermain di rumah kosong di seberang rumah kami. Ibuku bilang bahwa di dalam rumah itu, terdapat monster penculik anak kecil yang seumuran denganku.

Legenda Kota Bangku

Oleh:
“Ya memang masalah selalu ada menghampiri kehidupan kita. Namun kita tidak akan mengenal kebahagiaan tanpa adanya masalah-masalah di hidup kita. Kebahagiaan yang sekecil apa pun dapat menghapus kesedihan untuk

Pembunuhan di Siang Bolong

Oleh:
Sore yang tenang ketika itu. Seorang berpakaian agamis mendatangi toko kopiku. Ia menuju ke arahku dan duduk di depan hadapanku, di meja panjang. Ia memesan kopi seperti biasanya akan

“Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?”
"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan cerpenmu.com loh, bagaimana dengan kamu?"

7 responses to “Misteri Kado Sebuah Boneka”

  1. Veren Chandra says:

    Cerpennya bagus

  2. angel says:

    Scare :-):)

  3. Dhita says:

    Ihhhh, serem juga kalau bacanya sambil dibayangin. BTW, cerpennya bagus

  4. Andhini Sekar Putri says:

    Bagus bgt ceritanya… sereem

  5. Affiantara Marsha Yafenka says:

    Ide dasar ceritanya, menarik.. Kalo dikembangkan lg ceritanya, bakal lebih menarik lagi, menurut saya 🙂

  6. Rasakan itu! Wajahnya akan terus seperti itu! Seharusnya bersyukur karena akan muda terus.

  7. Shafa Maura Raihanah says:

    Bagus kak ceritanya,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *